"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Minggu, 21 September 2014
SUKSES: Haruskah Menghilangkan Hal yang Paling Hakiki?
Sebuah keluarga mendapat pujian di sebuah kampung karena ke delapan anaknya sukses. Ada yang menjadi doktor, master dan sedikitnya sarjana.
Pekerjaannyapun relatif bagus dan semua menghasilkan pendapatan yang memungkinkan mereka berwisata kemana saja di seantero dunia ini. Semua tinggal dengan jarak minimal dua jam, atau ada yang lebih dari 10 jam pesawat, dan lima jam perjalanan darat dari rumah orang tuanya.
Di masa tuanya, bertahun-tahun orang tua mereka di kampung hanya hidup berdua, setelah sekian tahun menyekolahkan, menikahkan dan juga mengunjungi cucu-cucunya baik yang berada di ibu kota maupun di luar negeri. Meski anak-anak sudah sukses, tetapi orang tua ini selalu memilih hidup di desanya.
Kalau dilihat dari kemampuan financial orang tuanya dulu, tidak ada orang di kampung itu yang menduga keadaan mereka seperti sekarang ini. Orang tua ini hanyalah seorang petani. Memang berada di atas rata-rata yang dicapai penduduk desa itu. Tapi sehebat-hebat orang kampung, bisa dihitung kemampuannya kalau kemudian mereka bisa berlibur ke Amerika. Semua karena "sukses" tadi.
Suatu ketika, sang ayah sakit keras. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan dan merindukan anak-anaknya bisa kumpul, layaknya Yakub yang ingin memberikan petuah-petuah dan ingin petuah terakhirnya itu disaksikan semua anak-anaknya.
"Saya rindu seperti kalian anak-anak dulu. Kita makan dan berdoa bersama saat makan malam. Itulah kerinduanku yang terakhir," demikian sang ayah berpesan kepada semua anak-anaknya.
Saat itu, hanya dua dari delapan orang anaknya yang bisa memenuhi keinginan sang ayah. Berbagai macam alasan mengejar sukses itu, menyebabkan mereka tidak bisa hadir. Kalau soal uang, semua anak-anaknya mampu menyediakan berapapun yang dibutuhkan ayahnya yang sedang sakit itu.
Ayahnya tidak membutuhkan materi. Semua sudah dia miliki. Dia hanya membutuhkan kehadiran anak-anaknya, dia ingin menumpahkan kasih sayangnya yang terakhir yang tak bisa dinilai dengan apapun. .
Sayangnya, untuk memenuhi permintaan sang ayah, keenam anak yang berada di luar negeri dan memiliki jadwal yang cukup padat itu, tidak bisa hadir.
Sang ayah kemudian meninggal dunia. Dengan terpaksa semua anak-anak datang dan menghadiri pemakaman sang ayah yang dilaksanakan secara besar-besaran. Maklum, mereka adalah orang yang terpandang.
Seorang anaknya menangis. "Ayah, ketika kami meminta belanja kuliah dahulu, ayah tidak pernah memiliki alasan untuk tidak memenuhi belanjaku. Ketika aku sakit waktu kuliah, ayah langsung meminjam uang untuk ongkos Tapi, cuma satu permintaanmu hadir beberapa hari sebelum ayah meninggal, saya tidak bisa. Ayaah..untuk apa semua ini kulakukan?. Maafkan aku ayah,"
Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya juga tidak mau meninggalkan kampungnya. Rasa sedihnya ditinggal suami membuatnya kadang sekali seminggu harus berziarah. Alasan yang masuk akal.
Usianya yang makin tua, dalam kesendiriannya di kampung, meski didampingi seorang baby sitter perawat, tak mampu menahan ketuaan dan daya tahan tubu yang makin melemah. Akhirnya suatu hari, dia jatuh sakit, dan sakitnya sangat serius
Mungkin instict seorang yang sudah uzur, seolah dia mengetahui ajalnya sudah dekat, dia kembali berpesan agar anak-anaknya kumpul. Sama seperti permintaan suaminya yang beberapa tahun sudah mendahuluinya, permintaan ibu inipun tidak dapat dipenuhi anak-anaknya.
Sibuk, dan tidak memiliki waktu kembali ke kampung adalah alasan dari anak-anaknya yang tidak bisa hadir. Ibunya ingin mengingat masa lalu mereka dimana makan malam adalah sebuah suasana paling indah. Dima kecil anak-anaknya, sang ibu sudah menyiapkan semua makanan dan minuman dan semuanya makan dan berdoa bersama.
Akhirnya sang ibu meninggal dunia. Dengan "terpaksa", semua harus hadir, termasuk cucu-cucunya. Putri bungsunya yang bekerja di Amerika menangis dan sedih bukan main.
"Mama.....aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang terakhir. Padahal Mama selalu siap sedia, bahkan ketika cucumu lahir, Mama kupaksa tinggal di rumahku sebulan lebih, sampai aku sehat betul. Semua permintaanku dipenuhi Mama. Untuk apa semua ini Mama. Maafkan aku mama, maafkan aku"
Semua pelayat yang disampingnya terharu dan tak sadar harus menghapus air matanya dengan Ulos Batak Berwarna Hitam itu.
Salah seorang pelayat berkata: "Sebenarnya apa yang kita cari di dunia ini yah?".
Sukses, apakah harus mengorbankan hal yang lebih penting?
Orang tua selalu memegang prinsip: Kasih sayangku jangan kau sangsikan!
Tapi, alasan-alasan sibuk, tidak bisa meninggalkan tugas, mengejar sukses, untuk memenuhi permintaan terakhir orang tua, sering dimaafkan.
(Terinspirasi dari Ceramah Prof Dr Belferik Manullang hari ini).
Medan, Malam Minggu 20 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar