Oleh: Jannerson Girsang
Pengalaman menggunakan bahasa Indonesia, menulis dalam bahasa Indonesia saya cukup unik.
Sampai usia 16 tahun saya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara oral, karena tinggal di desa dan hampir tidak ada lawan bicara.
Kalau sekali-sekali orang-orang kota datang, kami hanya diam-diam saja. Pernah saudara saya datang, selama tiga hari, tidak berkomunikasi. Bersama tapi tidak bicara. Baru dua hari, dia belajar bahasa di kampung dan kami berkomunikasi dalam bahasa kampung kami .
Kadang kami pergi kalau disapa dengan bahasa Indonesia. Mungkin malu
Kadang pakai bahasa tubuh, atau sekali-sekali menggunakan bahasa Indonesia yang "menggelikan". "Sudah rata semua", maksudnya, "Sudah hijau semua". Bahasa Simalungun "rata" artinya hijau.
Mirip, ketika saya berkunjung ke desa di pedalaman Nias pada 2005-2006, bahkan 2011. Lucu sekali kalau mengingatnya.
"Berapa anaknya Ibu," saya sapa seorang ibu di desa padalaman Nias.
"Ha..ha..ha..," katanya sambil memilin-milin sirihnya dan tidak ada jawaban atas pertanyaan saya. .
Saya baru menggunakan bahasa Indonesia saat sekolah di SMA. Setahun lebih, saya bergaul dengan teman-teman SMA di SMA 2 Pematangsiantar. Bahasa Indonesianya masih "berpasir-pasir".
Dengan bermodalkan kemampuan berbahasa seperti itu, belum fasih benar berbahasa Indonesia, kemudian tahun kedua saya hijrah ke SMA 22 Jakarta.
Pasti kang Ahmad Hilmi, teman satu kelas saya di SMA tersebut ketawa-ketawa kalau mengingat saat ketika pertama kali saya sapa di SMA 22 Jakarta..he..he.
Seorang siswa perempuan orang yang pertama saya temui dalam perjalanan dari halte Bea Cukai ke SMA 22 di Utankayu, langsung mengejek saya: "Orang Medan ya". Walau kemudian dia sangat suka menyapa saya di hari-hari berikutnya dan menjadi teman akrab selama SMA .
Awalnya sekolah di Jakarta, saya seringkali bingung mendengar teman-teman yang bicaranya cepat sekali. Layaknya saya mendengar percakapan bahasa Inggeris seorang Amerika sedang berbincang.
Lama-lama, telinga terbiasa dan otomatis memahaminya.
Belajar bahasa Inggeris juga saya peroleh dengan bekerja dan berpartner dengan orang asing. Saya pernah menjadi kontributor media asing, pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing.
Saya punya pengalaman berbicara dan menulis dalam bahasa Inggeris meski hanya untuk dimuat di mediaonline asing atau lembaga asing saja(dengan sedikit edit tentunya). Belum media cetak terkenal.
Belajar bahasa itu harus terjun dan berenang di kolam. Harus mengalami bagaimana rasanya tenggelam, kemasukan air (diejek, khususnya ketika SMA di Jakarta--dibilang BTL), baru kemudian memperbaikinya terus menerus.
Belajar bahasa Sunda saya memperolehnya ketika tinggal di rumah seorang Sunda di Bogor dan tinggal tiga bulan di desa Jasinga, dan selama dua tahun bertugas di Ciamis.
Bahasa Batak Toba juga saya kuasai ketika duduk di bangku SMA di Pematangsiantar, Jakarta dan ketika kuliah di IPB, dari teman-teman Batak Toba.
Belajar bahasa melalui teori tidak banyak menyelesaikan kemampuan berbahasa, juga kemampuan menulis. Belajar bahasa, menulis adalah sebuah ketrampilan, hanya bisa dikuasai dengan praktek, banyak latihan.
Sama dengan menulis biografi atau otobiografi, atau artikel. Saya belajar dengan metode "terjun ke kolam".
Tulis, tulis, tulis dulu, kemudian perbaiki di buku kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Sekarang saya mau tanya, apakah bahasa Indonesia saya sudah cukup baik, secara oral dan tulisan?
Mari sharing pengalaman berbahasa oral dan lisan kita, mungkin ada gunanya buat anak cucu kita.
Medan, 18 September 2014
Pengalaman menggunakan bahasa Indonesia, menulis dalam bahasa Indonesia saya cukup unik.
Sampai usia 16 tahun saya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara oral, karena tinggal di desa dan hampir tidak ada lawan bicara.
Kalau sekali-sekali orang-orang kota datang, kami hanya diam-diam saja. Pernah saudara saya datang, selama tiga hari, tidak berkomunikasi. Bersama tapi tidak bicara. Baru dua hari, dia belajar bahasa di kampung dan kami berkomunikasi dalam bahasa kampung kami .
Kadang kami pergi kalau disapa dengan bahasa Indonesia. Mungkin malu
Kadang pakai bahasa tubuh, atau sekali-sekali menggunakan bahasa Indonesia yang "menggelikan". "Sudah rata semua", maksudnya, "Sudah hijau semua". Bahasa Simalungun "rata" artinya hijau.
Mirip, ketika saya berkunjung ke desa di pedalaman Nias pada 2005-2006, bahkan 2011. Lucu sekali kalau mengingatnya.
"Berapa anaknya Ibu," saya sapa seorang ibu di desa padalaman Nias.
"Ha..ha..ha..," katanya sambil memilin-milin sirihnya dan tidak ada jawaban atas pertanyaan saya. .
Saya baru menggunakan bahasa Indonesia saat sekolah di SMA. Setahun lebih, saya bergaul dengan teman-teman SMA di SMA 2 Pematangsiantar. Bahasa Indonesianya masih "berpasir-pasir".
Dengan bermodalkan kemampuan berbahasa seperti itu, belum fasih benar berbahasa Indonesia, kemudian tahun kedua saya hijrah ke SMA 22 Jakarta.
Pasti kang Ahmad Hilmi, teman satu kelas saya di SMA tersebut ketawa-ketawa kalau mengingat saat ketika pertama kali saya sapa di SMA 22 Jakarta..he..he.
Seorang siswa perempuan orang yang pertama saya temui dalam perjalanan dari halte Bea Cukai ke SMA 22 di Utankayu, langsung mengejek saya: "Orang Medan ya". Walau kemudian dia sangat suka menyapa saya di hari-hari berikutnya dan menjadi teman akrab selama SMA .
Awalnya sekolah di Jakarta, saya seringkali bingung mendengar teman-teman yang bicaranya cepat sekali. Layaknya saya mendengar percakapan bahasa Inggeris seorang Amerika sedang berbincang.
Lama-lama, telinga terbiasa dan otomatis memahaminya.
Belajar bahasa Inggeris juga saya peroleh dengan bekerja dan berpartner dengan orang asing. Saya pernah menjadi kontributor media asing, pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing.
Saya punya pengalaman berbicara dan menulis dalam bahasa Inggeris meski hanya untuk dimuat di mediaonline asing atau lembaga asing saja(dengan sedikit edit tentunya). Belum media cetak terkenal.
Belajar bahasa itu harus terjun dan berenang di kolam. Harus mengalami bagaimana rasanya tenggelam, kemasukan air (diejek, khususnya ketika SMA di Jakarta--dibilang BTL), baru kemudian memperbaikinya terus menerus.
Belajar bahasa Sunda saya memperolehnya ketika tinggal di rumah seorang Sunda di Bogor dan tinggal tiga bulan di desa Jasinga, dan selama dua tahun bertugas di Ciamis.
Bahasa Batak Toba juga saya kuasai ketika duduk di bangku SMA di Pematangsiantar, Jakarta dan ketika kuliah di IPB, dari teman-teman Batak Toba.
Belajar bahasa melalui teori tidak banyak menyelesaikan kemampuan berbahasa, juga kemampuan menulis. Belajar bahasa, menulis adalah sebuah ketrampilan, hanya bisa dikuasai dengan praktek, banyak latihan.
Sama dengan menulis biografi atau otobiografi, atau artikel. Saya belajar dengan metode "terjun ke kolam".
Tulis, tulis, tulis dulu, kemudian perbaiki di buku kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Sekarang saya mau tanya, apakah bahasa Indonesia saya sudah cukup baik, secara oral dan tulisan?
Mari sharing pengalaman berbahasa oral dan lisan kita, mungkin ada gunanya buat anak cucu kita.
Medan, 18 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar