My 500 Words

Rabu, 17 September 2014

SIMON SARAGIH: Merampungkan Biografi Taralamsyah Saragih

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini saya mengintip kegiatannya Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas.

Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB, pagi ini saya menyaksikan sampul buku Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.

Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an.

Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun

"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun

(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html).

Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi.

Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset,

Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping.

"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")

"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .

Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. .

Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.

Buku setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.

Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.

Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya.

(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!)

Medan, 17 September 2014.



Photo: SIMON SARAGIH: MERAMPUNGKAN BIOGRAFI TARALAMSYAH SARAGIH

Pagi ini saya mengintip kegiatannya  Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas. 

Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB,  pagi ini saya menyaksikan sampul buku  Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.

Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an. 

Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun

"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun 

(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html). 

Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 

Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi. 

Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset, 

Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping. 

"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")

"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .

Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. . 

Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi yang ditulisnya. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.

Buku itu setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.  

Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.  

Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya. 

(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!) 

Medan, 17 September 2014.
Sumber foto:  (http://www.beritasimalungun.com)

Tidak ada komentar: