Oleh: Jannerson Girsang
Kemajauan, bisa dilihat, kalau peristiwa masa lalu terekam.
Beginilah saya dulu ketika masih anak-anak hingga remaja di desa, di era 60-an hingga akhir 70-an. Supir "Gareta Horbo".
Sedikit rodanya sudah berubah. Kini memakai ban karet untuk ban mobil. Dulu terbuat dari kayu dan luarnya dilapisi besi, ukurannya lebih besar dan memakai jari-jari.
Subuh berangkat dari desa Nagasaribu ke Saribudolok, Kabupaten Simalungun, berjarak 7 kilometer. Kami menahan cuaca dingin daerah di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, selama satu jam perjalanan dengan membawa beban sekitar 400 kg.
Tiba di Jalan Kartini, ibu kota kecamatan Silimakuta itu, pagi sebelum matahari terbit.
Satu hal yang saya tidak lupa: upahnya adalah minum teh susu dan pulut serikaya, di sebuah kedai di Jalan Kartini, tempat membongkar barang. Karena keretanya milik sendiri, dan yang bayar ayah saya...he..he.
Saat ini, angkutan seperti ini hanya digunakan ke ladang dekat desa kami. Mungkin beberapa tahun lagi, dengan membaiknya jalan ke ladang-ladang penduduk, alat seperti ini tidak diperlukan lagi. Pick up, truk akan menggantikannya.
Namun kisahku jadi Supir Gareta Horbo, tidak akan pernah hapus dari dunia ini. Salah satu pengukur kemajuan yang kita capai sekarang. Kalau sejarah masa lalu, yang kuno itu tidak terekam, maka dari mana pula kita bisa mengukur kalau kita sudah modern.
Kemajauan, bisa dilihat, kalau peristiwa masa lalu terekam.
Beginilah saya dulu ketika masih anak-anak hingga remaja di desa, di era 60-an hingga akhir 70-an. Supir "Gareta Horbo".
Sedikit rodanya sudah berubah. Kini memakai ban karet untuk ban mobil. Dulu terbuat dari kayu dan luarnya dilapisi besi, ukurannya lebih besar dan memakai jari-jari.
Subuh berangkat dari desa Nagasaribu ke Saribudolok, Kabupaten Simalungun, berjarak 7 kilometer. Kami menahan cuaca dingin daerah di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, selama satu jam perjalanan dengan membawa beban sekitar 400 kg.
Tiba di Jalan Kartini, ibu kota kecamatan Silimakuta itu, pagi sebelum matahari terbit.
Satu hal yang saya tidak lupa: upahnya adalah minum teh susu dan pulut serikaya, di sebuah kedai di Jalan Kartini, tempat membongkar barang. Karena keretanya milik sendiri, dan yang bayar ayah saya...he..he.
Saat ini, angkutan seperti ini hanya digunakan ke ladang dekat desa kami. Mungkin beberapa tahun lagi, dengan membaiknya jalan ke ladang-ladang penduduk, alat seperti ini tidak diperlukan lagi. Pick up, truk akan menggantikannya.
Namun kisahku jadi Supir Gareta Horbo, tidak akan pernah hapus dari dunia ini. Salah satu pengukur kemajuan yang kita capai sekarang. Kalau sejarah masa lalu, yang kuno itu tidak terekam, maka dari mana pula kita bisa mengukur kalau kita sudah modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar