"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Sabtu, 07 Februari 2015
Bayi Kecil itu Sudah Berusia 54 Tahun
Oleh: Jannerson Girsang
Merayakan Ulang Tahun, tanpa mengisahkan bagaimana proses kelahiran diri, rasanya tidak afdol. Bagaimana penderitaan ibunya, siapa saja yang hadir mendampingi saat ibu melahirkannya.
Mengapa kita bersyukur atas hari lahir kita?. Salah satunya adalah memperingati keberhasilan ibu kita melahirkan kita, menghirup udara bebas untuk pertama kalinya. Inilah yang menjadi topik artikel saya di ulang tahun kali ini.
Saya termasuk bernasib mujur. Pasalnya, hingga usia 54 tahun ini, ayah dan ibu saya masih sehat walafiat, sehingga bisa mengetahui sekilas kisah kelahiran saya dari saksi pertama.
Pengalaman saya menulis biografi beberapa tokoh, mereka kurang memberikan perhatian atas peristiwa proses kelahirannya sendiri. Padahal peristiwa seperti ini cukup menarik untuk diketahui orang lain.
Peristiwa kelahiran terlalu sayang untuk tidak dikisahkan. Bagi saya, setidaknya sebuah refleksi bagi diri sendiri, dan mungkin bisa jadi pelajaran bagi anak-anak saya.
Memang, kelahiran bukan sesuatu yang menentukan masa depan seseorang. Chanakya, seorang guru, ahli filsafat dan penasehat kerajaan di India, yang hidup tiga ratus tahun Sebelum Masehi mengatakan “A man is great by deeds, not by birth”.
Bukan hanya yang sudah uzur, teman-teman seusia saya banyak yang tidak sempat bertanya kepada orang tua mereka soal kelahirannya. Bisa karena tidak tertarik, atau terlambat karena orang tuanya sudah meninggal.
“Kelahiran dan kematian adalah pintu lewat dimana anda lulus dari satu mimpi ke mimpi lain,” kata Paramhansa Yogandanda.
Dalam berbagai kesempatan, saya mendengar ayah dan ibu bercerita tentang peristiwa kelahiran saya. Merekapun senang menceritakannya, kembali mengingat masa-masa indah menanti seorang buah hati untuk pertama kali. Ada kisah menggembirakan, sekaligus membuat hati terharu.
Anak pertama seperti saya pada umumnya, lahir saat orang tuanya belum mapan. Orang tua baru memulai karier dan belum banyak duit atau mapan.
Ketika saya lahir, ayah dan ibu saya sendiri masih menumpang di rumah kakek saya. Kedua orangtua saya adalah guru Sekolah Dasar. Mereka lulus Sekolah Guru Bawah (SGB) di era limapuluhan. Usai menyelesaikan sekolahnya, mereka menjadi guru. Ayah saya sudah menjadi guru Sekolah Dasar sejak 1954, dan ibu saya 1957.
Mereka bukan guru yang memiliki gaji besar. Tidak seperti sekarang, sebagian guru yang memiliki sertifikasi dan menerima insentif. Mereka sungguh-sungguh guru yang hanya mengabdi, dengan gaji yang sangat kecil.
Selain mengajar di sekolah yang berjarak 1 kilometer dari desa kami, ibu dan ayah saya juga nyambi ke ladang setelah pulang sekolah. Karena gaji mereka berdua hanya bisa membeli 2 kaleng beras. Waktu itu gaji guru masih rendah. Menurut ibuku, mereka kadang bekerja di ladang yang disewa atau memburuh. Konon ekonomi terus memburuk hingga meletus Pemberontakan G 30 S PKI 1965. Ketika itu menurut ibu saya, banyak guru yang beralih profesi jadi pedagang atau petani.
“Kami sangat susah ketika itu,”ujar ibu suatu ketika mengenang kehidupan mereka menjelang hari kelahiran saya.
Sejak menikah, Maret 1960, mereka tinggal di rumah kakek saya di desa Nagasaribu, sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Kota Medan atau sekitar 70 kilometer dari kota Pematangsiantar.
Desa Nagasaribu terletak di Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa ini memiliki geografi yang berbukit dan sebuah jalan utama yang membelah kampung dari uruk (bagian atas) ke toruan (bagian hilir).
Rumah kakek saya terletak di bagian hilir dan menghadap jalan yang membelah desa tadi. Beberapa puluh meter ke sebelah Timur rumah itu terletak makam Raja Kerajaan Silima Kuta.
Sebelah Timur diapit satu rumah (milik Nan Salomo Sipayung) dan di sebelah Barat diapit rumah (Nan Saludin Simaringga dan di sebelahnya rumah Jonni Purba).
Berbentuk rumah petak (dinding papan membatasi setiap rumah dan merupakan batas langsung dengan tetangga), memiliki satu kamar tidur,ruang tamu dan dapur yang kecil, lebar 5 meter dan panjang 6 meter.
Uniknya, terdapat empat rumah dempet dengan tipe yang sama, berbeda dengan model rumah yang lainnya di desa itu.
Saat itu, semua rumah memiliki kolong dan belum ada rumah yang terbuat dari beton.
Saya belum pernah bertanya mengapa hanya empat rumah itu memiliki model seperti itu. (Pasti ada sejarahnya mengapa empat keluarga membangun satu tipe yang sama, berbeda dengan yang lain. Mudah-mudahan masih bisa ditanyakan ke orang tua saya).
Keunikan lain, rumah yang terbuat dari kayu dan beratap seng itu memiliki tangga dengan tinggi sekitar dua meter. Tangganya lebih tinggi dari hampir semua rumah di desa itu, kecuali jabu bolon (rumah adat besar) yang ketika itu masih ada beberapa buah.
(Sayangnya semua rumah itu sudah terbakar pada kebakaran desa Nagasaribu yang menghabiskan separuh desa yang berpenduduk sekitar 200 Kepala Keluarga itu pada 1972).
Di rumah seperti itulah ayah dan ibu tinggal bersama kakek saya, dan lima orang adik ayah yang masih anak-anak atau menjelang remaja atau dewasa.
Adik ayah kedua Lortina baru lulus Sekolah Dasar dari Perdagangan (28 kilomter dari Pematangsiantar kearah Kabupaten Asahan) dan Arlina tammat SD dari Nagasaribu. Bismar anak keempat dan Jasman anak kelima masih duduk di Sekolah Dasar dan Sarmelina anak paling bungsu masih belum sekolah.
(Saya sedih hari ini, bertepatan dengan hari Ulang Tahun saya, karena dinihari tadi adik ayah saya Jasman Girsang meninggal dunia di Rumah Sakit Djasamen Saragih di Pematangsiantar,.Kebahagiaan dan kesedihan bisa datang bersamaan, itulah hidup)
Kakek saya sudah menduda sejak 1958, dan ayah dan ibulah yang turut bertanggungjawab dalam keluarga besar Meski hidup serba kekurangan, mereka turut memikul tanggungjawab yang besar.
Seminggu sebelum ibuku melahirkan, beliau mengambil hak cuti hamil selama tiga bulan. Meski cuti mengajar, alih-alih istirahat, ibuku malah setiap hari ke ladang dari pagi hingga sore, sama seperti kebanyakan profesi penduduk desa itu.
Seperti biasa, sehari sebelum saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari, ibuku berangkat ke ladang sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung). Saat itu mereka menanam cabe hijau dan diantara tanaman itu terdapat juga daun sup. Hari itu ibuku menyiangi tanaman liar (gulma) dan pulang ke rumah seperti biasanya jam 5 sore.
Sesampainya di rumah dari ladang, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari rumah. Pulang dari pancuran, tidak langsung beristirahat, tetapi harus memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk keluarga besar.
Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di rumah.
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah berkeluarga). Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.
Alkisah, saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu yang aneh dan sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya yang pertama seorang wanita hamil tua.
Beliau merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu bercampur bangga mendengarnya. Terbayang ibuku yang meringis kesakitan dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.
Mungkin memiliki instink (atau sudah pernah belajar soal cirri-ciri melahirkan), merasakan sesuatu yang tidak biasa, ibuku memberitahu ayah. Ayah kemudian memberitahu tetangga kami sebelah Barat (ompung Nan Saludin Simaringga). Beliau kemudian memanggil seorang paraji, Nan Loyar br Payung ke rumahnya di Ruma Parik, kira-kira 300 meter.
Menunggu proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua (Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku dan kakek (ompung) saya sendiri.
Kecuali ayah saya semua nama-nama ini sudah meninggal. Betapa besar jasa mereka untuk saya.
Tiga jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan (kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung, menggunakan peralatan medis yang sangat sederhana, berhasil menolong proses kelahiranku.
Bisa dibayangkan, andai kata ada kelainan, pasti saya tidak bisa tertolong. Rumah sakit jauh dan angkutan belum sebaik sekarang.
Membandingkan proses kelahiran saya dengan beberapa kisah yang pernah saya dengar, ternyata sedikitnya selangkah lebih maju.
Pengalaman ibunya RE Nanggolan—calon gubernur Sumatera Utara 2013-2018), saat saya menulis biografinya: Haholongon, beliau mengaku pernah melahirkan sendiri beberapa anaknya, dan memotong-ari-ari sendiri. Ngeri ah!.
Yang lebih ngeri lagi, di abad modern sekarang ini, Ines Ramirez, seorang penduduk yang hidup di pedesaan Mexico, menjadi satu-satunya wanita yang diketahui melakukan operasi caesar sendiri pada proses melahirkan anaknya, tengah malam 5 Maret 2000. Saat itu, paraji (midwife) terdekat berjarak 50 mil (80 km) dari rumahnya. Sementara, suaminya sedang berada di kantin dan tidak ada telepon untuk menghubunginya.
Karena waktunya sudah tiba, Inez Ramirez melakukan operasi sesar sendiri. Oh.....betapa beraninya!. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/In%C3%A9s_Ram%C3%ADrez).
Akh tak bisa bayangkan, kalau saya lahir seperti itu. Syukur kepada Tuhan, proses kelahiran saya berjalan normal. Saya menghirup udara luar untuk pertama kalinya, 14 Januari 1961, sekitar pukul lima pagi.
Kata ibuku saya lahir sehat dan gemuk. Ayah dan ibuku, termasuk kakekku bangga punya anak pertama atau cucu pertama yang sehat.
(Aku belum banyak bertanya tentang hal-hal menarik lainnya. Saya berdoa agar ayahku panjang umur dan masih ada waktu bertanya).
Penduduk desa kami dan desa-desa di Simalungun pada umumnya, memiliki pemahaman waktu kelahiran dengan makna yang berkaitan dengan masa depan anak itu. Saya lahir menjelang mata hari terbit, mereka menyebutnya "gok hudon” (periuk yang penuh, artinya rezeki melimpah).
Dalam Kalender Jawa kelahiran saya adalah 26 Rejeb 1892, Setu Kliwon dan Kalender Islam 26 Rajab 1380 H.
Saya memiliki bintang Capricorn. Dalam astrologi, Capricorn dianggap sebagai tanda introvert, tanda bumi, dan salah satu dari empat tanda kardinal. Capricorn kadang-kadang digambarkan sebagai kambing laut. Alasan untuk ini tidak diketahui, tetapi citra kambing laut kembali setidaknya ke masanya Babel. Kata sebuah lagu Capricorn adalah orang yang sederhana tapi pendendam. Entahlah!.
Di kemudian hari, saya mengetahui bahwa 14 Januari 1961 adalah hari kelahiran Pramuka di Indonesia, kelahiran Robert Edwin Hall, seorang pengusaha dan pendaki gunung (meninggal pada 1996 di Mount Everest) dan seorang penyanyi Denmark, Mike Tramp.
(Ibu dan ayah saya masih hidup berbahagia menikmati masa-masa pensiun mereka berdua di desa. yang berada di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut itu. Keduanya sudah berusia 77 tahun dan kemanapun mereka pergi selalu berdua, ke ladang atau berkunjung ke rumah saya di Medan, ayah saya masih mampu menyetir mobil kijangnya.
Kisah perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi menjelang kelahiran saya senantiasa membuat saya tegar menghadapi berbagai masalah. Ayah dan ibu saya menjadi inspirasi.
"Your birth is a mistake you'll spend your whole life trying to correct," demikian kata Chuck Palahniuk, seorang penulis novel dan penuls bebas berkebangsaan Amerika.
Medan, 14 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar