Oleh: Jannerson Girsang
Menantu meninggal
tiga bulan yang lalu, kini menyaksikan putranya--ayah dari dua cucunya,
berjuang melawan kanker ganas. Sebuah perenungan makna hidup diperlukan
menghadapi situasi semacam ini.
Beberapa menit yang lalu, saya mendapat berita (melalui inbox) dari temanku Idris Pasaribu-redaktur harian Analisa, Medan.
Isi beritanya sangat menyentuh dan membuatku teringat sebuah peristiwa sedih menimpa keluargaku empat tahun lalu.
"Kanker Ganas menggerogoti tubuh anakku. Dua cucuku akan jadi Yatim
Piatu, karena mamanya, (menantuku) sudah berpulang 3 bulan lalu. Anakku
harus dioperasi. Namun risiko operasi sangat besar. Bisa gagal operasi,
bisa pendarahan dan bisa koma seumur hidup, jika operasi berhasil. Dia
harus kemo terus menerus. Kegagalan operasi meliputi 68 Persen. Sisa
hidup anakku tinggal 28 Persen. Sesuai sumpah, kondisi ini harus
diberitahunakn kepada patien. Jangankan anakku, aku sendiri sangat down
mendengar keterangan itu. Harapan satu-satunya, hanya Mukzijat dari
Allah.
Mohon doa teman2 sekalian". (Idris Pasaribu di dalam inbox)
Saya minta izin dari lae Idris untuk menuliskannya di satusku dan beliau setuju.
Mengapa saya menuliskannya?
Manusia setinggi apapun imannya, akan shock dan terguncang menghadapi
situasi semacam ini. Baru tiga bulan lalu laeku Idris Pasaribu
kehilangan menantunya, kehilangan ibu dari dua cucunya yang masih kecil
itu, kini harus menyaksikan laki-laki kesayangan mereka berjuang
melawan kanker.
Di dalam hidup ini, kita menemukan persoalan
yang tidak mampu dijawab dengan pikiran, tetapi dengan iman percaya kita
kepada Tuhan.
Bagi pembaca setiaku, mari bersama-sama memberi
dukungan kepada beliau, seluruh keluarganya. Saya pernah mengalami hal
yang hal seperti itu, jiwa saya kosong, perlu diisi makanan rohani. Bagi
teman-teman memiliki persoalan yang sama saat ini, semoga memberi
inspirasi baru. Meski Anda menderita sekarang, Anda tidak sendirian.
Pak Idris Pasaribu (63 tahun) adalah penulis novel Acek Botak,
Pincalang dan beberapa novel lainnya, serta mengasuh rubrik budaya di
Harian Analisa, Medan. Sepanjang hidupnya beliau mengabdikan diri
menulis dan menginspirasi kami terus menulis. Beliau dikenal sebagai
budayawan, seniman, wartawan, sutradara film, penulis novel. (http://harangan-sitora.blogspot.com/…/bincang-bincang-denga…).
Mungkin pengalaman keluarga kami bisa menjadi inspirasi baginya.
Kebetulan saya memiliki pengalaman yang sama pada Maret 2010, saat adik
saya (persis) di bawah saya, diserang kanker nasopharing dan divonis
dokter hanya punya masa hidup 15 bulan.
Saat itu semua berdoa
agar adikku mendapat muzizat: dia sehat dan dapat membimbing dan
membesarkan ketiga putri kami. Yang terjadi justru sebaliknya. Tiga
bulan kemudian, 17 Juni 2010, adikku meninggalkan kami untuk
selama-lamanya di usia 49 tahun. "
Terbayang dalam pikiran saya
nasib ketiga putri kami yang saat itu tertua Yani Christin baru duduk di
kelas III SMA, dan si bungsu, Tri Melani baru duduk di kelas I SMP.
Istrinya sudah empat tahun mendahuluinya.
"Bagaimana nanti ketiga putri kami, tanpa ayah dan mama?". Sedih sekali. dan kadang gelap rasanya.
Buat laeku Idris Pasaribu, muzizat Tuhan kumaknai bukan supaya adikku
hidup terus, tetapi hanya berserah kepadaNya agar seandainya keadaan
terburuk akan terjadi, keluarga kami, teman-teman kami diberi kebijakan
untuk selalu memaknainya secara positif.
Firman Tuhan memiliki
kekuatan memberi pemahaman bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai
dengan pikiran kita, keinginan dan cita-cita kita.
Saya teringat
suatu hari ketika mendampingi adik saya dirawat di RS Cikini, Jakarta,
karena kanker. Pagi hari kami berdua membaca ayat harian dari kitab
Perjanjian Lama. Saat itu almarhum adikku usai mengalami kemo yang kedua
dan kondisinya sedang prima.
(Buat info teman-teman. Orang
penderita kanker, beberapa hari setelah kemo, fisiknya sehat, tetapi
beberapa hari kemudian lemas, tak bertenaga).
Yeremia 33:3.
"Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan
memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami,
yakni hal-hal yang tidak kauketahui".
Kami berdua dengan almarhum
adik saya membacanya dan saya menjelaskannya menurut pemahaman saya.
Sesudah itu kami berdoa meminta Tuhan menguatkan kami dan memberi
pemahaman atas situasi yang kami hadapi.
Saya tidak tau apa
artinya ayat itu bagi almarhum adik saya. Sepintas saya melihat dia
bersemangat. Bagi saya, ayat itu memberi kekuatan.
Saya memahami
hidup ini penuh rahasia yang tak bisa dijawab dengan pikiran manusia,
dan hanya Dia yang bisa menjawabnya. Awalnya saya tidak mampu memahami
rencana besarNya, tetapi kemudian diberi pemahaman melalui Firman itu.
"Peristiwa terburuk di mata manusia, bisa menjadi terbaik dibuat Tuhan"
Hidup dan kehidupan kita ada di tanganNya. Tuhan tidak pernah salah,
Tuhan tidak pernah memberikan yang buruk untuk umatNya. Dia selalu
memelihara umatNya, dan tidak akan membiarkannya menderita.
Empat tahun berlalu!. Kekhawatiran itu tidak pernah terjadi.
Si sulung--lulus UMPTN saat ayahnya sakit, sudah menyelesaikan D3
Sekretaris dari UI, pada 2013, dan kini bekerja di sebuah perusahaan
sebagai sekretaris, dan akan wisuda S1 dari Extension UI Agustus
mendatang. Yang kedua sudah memasuki semester 5 di Unibraw Malang, dan
si bungsu kelas II SMA Negeri I Bekasi.
Saya dan teman-teman,
mari kita doakan semoga keluarga ini kuat menghadapi situasi yang berat
ini. Semoga laeku Idris Pasaribu dan keluarga tetap yakin, bahwa semua
kejadian ini ada dalam RencanaNya.
Dia peduli, Dia mengerti segala persoalan kita. Berserulah kepadaNya.
Medan 13 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar