Oleh: Jannerson Girsang
Hari ini ibuku genap berusia 77 tahun. Beliau lahir 22 Januari 1938. Tanggal lahir kami berdekatan, dan baru saja merayakan Ulang Tahun ke 54, pada 14 Januari 2015 lalu.
Kasih ibu sepanjang masa, hingga menutup mata. Dia yang melahirkanku, terus menyayangiku, mendoakanku, mendoakan anak-anakku, cucuku, tanpa henti!
Bahkan hingga memiliki cucu, beliau selalu ada di belakangku. Beliau adalah wanita yang paling lama menyangiku dengan setulus hati, tanpa pamrih. Tidak ada wanita yang dapat menggantikan
ibuku, soal kasih sayang dan perhatian tanpa pamrih.
Melahirkan anak adalah satu pengorbanan ibu yang tak dapat dibayar dengan apapun. Taruhan nyawa! Tidak boleh dilupakan oleh siapapun yang masih hidup.
Sehari sebelum saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari, ibuku berangkat ke ladang sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung), tidak jauh dari desa kami, Nagasaribu, Kabupaten Simalungun.
Saat itu cabe hijau dan diantaranya terdapat juga daun sup sedang mekar-mekarnya. Ibuku masih menyiangi tanaman liar (gulma) dan seperti biasanya pulang ke rumah jam 5 sore.
Sesampainya di rumah, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari rumah.
Pulang dari pancuran, ibu yang sedang hamil tua itu tidak langsung beristirahat, tetapi harus memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk makan malam keluarga besar.
Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di rumah.
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah berkeluarga).
Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.
Saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu yang aneh dan sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya yang pertama seorang wanita hamil tua.
Beliau merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu bercampur bangga mendengarnya.
Terbayang ibuku yang meringis kesakitan dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.
Menunggu proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua (Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku dan kakek (ompung) saya sendiri. (Kecuali ayah dan ibu saya semua nama-nama ini sudah meninggal).
Tiga jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan (kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung (juga sudah meninggal), menggunakan peralatan medis yang sangat sederhana, berhasil menolong proses kelahiranku.
Itulah satu peristiwa pengorbanan ibuku yang bertarung nyawa untuk melahirkanku di suatu malam. Tentu banyak lagi kisah kasih ibu yang kalau saya menuliskannya semua hari ini satu kalimat saja satu peristiwa, akan sangat panjang dan Anda tak sempat membacanya.
Puji Tuhan!. Lima puluh empat tahun sudah beliau tidak pernah lepas memberi kasih sayang, mendoakan, memberi biaya yang kuperlukan semasa sekolah, menikahkanku, memberi jajan anak-anak dan cucuku, terus...entah apa lagi yang akan saya terima.
Tidak pernah menuntut balas. Hanya berharap supaya anak-ananya lebih baik dari dirinya, tidak ketinggalan dari orang lain, dan tetap menghormatinya, menghargainya sebagai orang tua. Itu saja, harapan yang sangat sederhana!
"Terima kasih kalian sudah mengingatkan ulang tahunku. Akupun tidak ingat kalau hari ini ulang tahunku. Baru bangun, karena sedikit flu,"kata ibuku pagi ini, saat berkomunikasi lewat telepon.
Hari ini mereka berdua akan merayakan ulang tahunnya dengan sederhana. "Makan siang ma hanami akkin i Saribudolok,"katanya.
Mereka berdua selalu seperti pengantin baru, menikmati masa pensiunnya di rumah kesayangannya di kampung Nagasaribu. Karena bapak masih bisa nyetir mobil, mereka bisa dengan leluasa pergi kemana-mana.
Salam dari ompung Nagasaribu buat cucunya, putri adikku Henri, Glenia Evelyn yang sedang sakit di RS Elizabeth, Medan. Semoga lekas sembuh!
Medan. 22 Januari 2015
Hari ini ibuku genap berusia 77 tahun. Beliau lahir 22 Januari 1938. Tanggal lahir kami berdekatan, dan baru saja merayakan Ulang Tahun ke 54, pada 14 Januari 2015 lalu.
Kasih ibu sepanjang masa, hingga menutup mata. Dia yang melahirkanku, terus menyayangiku, mendoakanku, mendoakan anak-anakku, cucuku, tanpa henti!
Bahkan hingga memiliki cucu, beliau selalu ada di belakangku. Beliau adalah wanita yang paling lama menyangiku dengan setulus hati, tanpa pamrih. Tidak ada wanita yang dapat menggantikan
ibuku, soal kasih sayang dan perhatian tanpa pamrih.
Melahirkan anak adalah satu pengorbanan ibu yang tak dapat dibayar dengan apapun. Taruhan nyawa! Tidak boleh dilupakan oleh siapapun yang masih hidup.
Sehari sebelum saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari, ibuku berangkat ke ladang sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung), tidak jauh dari desa kami, Nagasaribu, Kabupaten Simalungun.
Saat itu cabe hijau dan diantaranya terdapat juga daun sup sedang mekar-mekarnya. Ibuku masih menyiangi tanaman liar (gulma) dan seperti biasanya pulang ke rumah jam 5 sore.
Sesampainya di rumah, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari rumah.
Pulang dari pancuran, ibu yang sedang hamil tua itu tidak langsung beristirahat, tetapi harus memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk makan malam keluarga besar.
Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di rumah.
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah berkeluarga).
Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.
Saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu yang aneh dan sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya yang pertama seorang wanita hamil tua.
Beliau merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu bercampur bangga mendengarnya.
Terbayang ibuku yang meringis kesakitan dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.
Menunggu proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua (Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku dan kakek (ompung) saya sendiri. (Kecuali ayah dan ibu saya semua nama-nama ini sudah meninggal).
Tiga jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan (kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung (juga sudah meninggal), menggunakan peralatan medis yang sangat sederhana, berhasil menolong proses kelahiranku.
Itulah satu peristiwa pengorbanan ibuku yang bertarung nyawa untuk melahirkanku di suatu malam. Tentu banyak lagi kisah kasih ibu yang kalau saya menuliskannya semua hari ini satu kalimat saja satu peristiwa, akan sangat panjang dan Anda tak sempat membacanya.
Puji Tuhan!. Lima puluh empat tahun sudah beliau tidak pernah lepas memberi kasih sayang, mendoakan, memberi biaya yang kuperlukan semasa sekolah, menikahkanku, memberi jajan anak-anak dan cucuku, terus...entah apa lagi yang akan saya terima.
Tidak pernah menuntut balas. Hanya berharap supaya anak-ananya lebih baik dari dirinya, tidak ketinggalan dari orang lain, dan tetap menghormatinya, menghargainya sebagai orang tua. Itu saja, harapan yang sangat sederhana!
"Terima kasih kalian sudah mengingatkan ulang tahunku. Akupun tidak ingat kalau hari ini ulang tahunku. Baru bangun, karena sedikit flu,"kata ibuku pagi ini, saat berkomunikasi lewat telepon.
Hari ini mereka berdua akan merayakan ulang tahunnya dengan sederhana. "Makan siang ma hanami akkin i Saribudolok,"katanya.
Mereka berdua selalu seperti pengantin baru, menikmati masa pensiunnya di rumah kesayangannya di kampung Nagasaribu. Karena bapak masih bisa nyetir mobil, mereka bisa dengan leluasa pergi kemana-mana.
Salam dari ompung Nagasaribu buat cucunya, putri adikku Henri, Glenia Evelyn yang sedang sakit di RS Elizabeth, Medan. Semoga lekas sembuh!
Medan. 22 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar