My 500 Words

Senin, 23 Mei 2016

Kasihilah Sesamamu Seperti Dirimu Sendiri


Ketika kita memaksanakan standar diri kita (agama, kelompok, suku, profesi) diikuti orang lain, melihat orang lain yang tidak sama dengan kita adalah lemah, buruk, pada waktu yang sama kita sebenarnya menunjuk tiga atau empat kelemahan atau keburukan kita.

Kita memerlukan standar bersama, aturan yang disepakati bersama di dalam sebuah bangsa, organisasi atau perkumpulan. Dari sanalah kita menilai kelemahan, keburukan.

Masalah hubungan sosial saat ini banyak bersumber dari ketika manusia berfikir picik, menginginkan bahkan memaksakan manusia lain sama dengan dirinya yang belum tentu cocok dengan orang lain..

Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka".

Itulah hukum tertinggi dari semua hukum. Ketika manusia mampu melakukannya, maka amanlah dunia ini. itulah prinsip praktek mengasihi sesama.

Mengagungkan profesinya dan mengabaikan profesi orang lain, mengagungkan harta dan melecehkan mereka yang menderita dan miskin, mengagungkan agama, sukunya, serta melecehkan agama dan suku orang lain, di hadapan orang yang berbeda agama dan sukunya, masih kita jumpai dimana-mana dan dilakukan tanpa rasa bersalah.

Bukan tidak banyak pemikiran, ucapan dan tindakan yang saling mengadu domba penganut agama yang satu ke penganut agama yang lain, bahkan ada yang berbuntut kekerasan.

Anehnya, tanpa ada perasaan bersalah. Tanpa memikirkan kalau seandainya yang bersangkutan menerima perlakuan yang sama, seperti yang dilakukannya!

Sikap yang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Merasa selalu benar, mencuri kemuliaan Tuhan!

Bayangkan!. Kalau seorang penulis mengharapkan orang lain berfikir seperti penulis, seorang pengusaha menginginkan orang lain berfikir seperti dia, dan berlaku seperti dia, seorang politikus berfikir orang lain sama cara berfikir dan bertindaknya seperti dia, orang kaya berfikir yang lain seperti yang dipikirkannya.

Kalau kebanyakan orang kaya merasa dirinyalah yang paling hebat, para politikus merasa dirinyalah yang paling hebat, penguasa juga demikian, aktivis merasa dirinya benar dan harus mengikuti jalan pikiran dan tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya..

Sementara di lapangan, pikiran dan tindakan mereka tidak mampu menurunkan kemiskinan dan kesenjangan yang terus merangkak naik bagai deret ukur, sepeda motor hilang dan nyawa melayang, karena prampok ada di mana-mana.

Lantas, rakyat hanya mendengar mereka taunya menunjuk salah orang lain, hanya mampu mengoreksi tanpa solusi.

Apapun profesi kita, bagaimananpun kehebatan kita, hendaknya bersyukur--Tuhanlah melalui bangsa Indoensia memberi kesempatan kita hebat, Jika tidak, maka cepat atau lambat, kehebatan itu juga akan sirna. Paling satu keturunan, kemudian habislah kita.

Bersyukurlah, liriklah kiri kanan, mereka yang terabaikan, mereka yang masih di bawah garis kemiskinan, dan kebodohan, supaya tidak berada di atas menara yang tinggi, takut bergabung dengan masyarakat kebanyakan.

Saya dan Anda hebat, kalau menjadi berkat bagi orang lain, bukan mala petaka, atau sumber ancaman!
Belum lagi agama yang berbeda-beda. Bayangkan kalau masing-masing agama terus menerus mengumumkan kepada dunia merekalah yang paling hebat, hanya merekalah pemilik bangsa atau dunia ini?.

Bagaimana dengan agama yang lain.

Bukankah agama hadir sebagai pencipta suasana damai?

Anehnya, tidak sedikit umat beragama justru banyak berdiskusi tentang kehebatan agamanya, dan tidak cukup sampai disitu. Mereka justru pada saat yang sama mencari kelemahan agama lainnya di depan umum. Tidakkah mereka sadar, kalau agamanya sendiri diperlakukan sama, siapkah merenrimanya?

Agama yang konon memihak orang miskin dan lemah, justru kurang memberikan perhatian bahkan cenderung membiarkan dan menambah terus orang-orang yang merasa terabaikan, terlecehkan.
Bagaimana dengan suku?. Suku-suku kita memiliki kearifan lokal yang luar bisa mengatur kehidupan masyarakat lokal kita sekian ratus atau ribu tahun.

Sayangnya, dalam setiap pemilu, pilkada, pilpres, kita cenderung melupakannya. Suku, kadang hanya digunakan sebagai alat politik, justru melupakan kearifan-kearifan lokalnya. . .

Inilah sumber gangguan komunikasi, yang menghambat mengalirnya darah kebersamaan berbangsa, bernegara dan juga akhirnya muncul baik di gereja atau tempat-tempat ibadah, di perkumpulan-perkumpulan sosial dan tempat-tempat lain.

Inilah krisis yang sedang kita hadapi di negeri ini, kita membutuhkan banyak orang yang mampu melakukan keteladanan berbangsa dan bernegara yang merindukan terwujudnya cita-cita pendiri negeri ini. .

Kehebatan agama-agama dan torleransi berkumandang, pembakaran dan perusakan rumah ibadah, kekerasan mengatasnamakan agama terus berlangsung, hak azasi manusia terabaikan. Dimana hebatnya?
Manusia memerlukan bukti masa kini, bukan pernyataan-pernyataan dengan terus menerus memunculkan kehebatan di masa lalu, memunculkan kebanggaan semu, bahkan kadang bohong!.

"...semua agama, ajaran kebajikan dan etika moral bersumber dari pada Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada satu agamapun yang mengatasinya dan tidak ada satu agamapun dapat dikatakan mempunyai arti jika tidak bisa menolong manusia dan membangkitkan kesadarannya dalam konflik batinnya jika Tuhan Yang Maha Esa tidak menyinari jiwanya". (Nyoman S Pendit, Bagavadgita, Gramedia, 2002).

Semua penganut agama di negeri ini salah, kalau kita tidak berhasil menciptakan perdamaian, masih ada pembakaran-pembakaran rumah ibadah. Ketika kita cuma menyalahkan sepihak, maka perdamaian, toleransi itu hanya utopia.

Mengikuti alam pikiran-pikiran picik--menganggap profesinya paling hebat, pengetahuannya paling hebat, kekayaannya paling hebat, agamanya paling hebat, sukunya paling hebat, jangan heran kalau suku akan terpecah-pecah, bangsa akan terpecah, dunia akan terpecah-pecah.

Kita tidak akan memperoleh suka cita, tidak akan pernah tenteram, semuanya akan "remuk". Jangan berharap ada yang menang. Semua akan kalah, cepat atau lambat.

Untuk itulah kita harus setia pada pikiran dan tindakan yang mempersatukan. Ada organisasi, ada pijakan hidup, dan berbagai aturan sehingga semua dapat hidup berdampingan dengan damai.

Indonesia misalnya, ada empat pilar: Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Jangan pula kearifan lokal, pemikiran founding father kita punah, gara-gara kita terlalu mengagungkan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan pendiri bangsa ini.

Kita bangga dengan bangsa Indonesia. Bukan bangga meniru-niru Arab, Israel, Jahudi, Amerika atau orang-orang dan aliran hebat dari luar sana.

Kita masing-masing memiliki buku suci yang mengajarkan cara menghormati manusia, pelajari dan jalankanlah itu. Kita memiliki kearifan lokal dari masing-masing suku, pelajari dan praktekkanlah itu dalam kehidupan.

Jangan terus mempertentangkannya, hanya supaya kelihatan paling benar, yang selalu berbuntut pada saling melecehkan, tetapi hendaknya saling memperkaya satu dengan yang lain.

Tuhan memperlakukan manusia sama. Dia memberi mata hari yang sama, bulan yang sama, bumi yang sama, bintang yang sama. Semua manusia bisa menikmatinya, tidak ada diskriminasi.

Tuhan hanya meminta manusia ciptaannya "mengasihi sesamanya seperti mengasihi dirinya". Begitu mudahnya, tetapi "otak" yang sudah kotor membuat kita sangat sulit melaksanakannya.

Mari kita hormati mereka yang selalu memikirkan ide-ide, konsep-konsep dan keteladanan mempersatukan umat manusia. Mari kita belajar dari mereka menghormati sesama.

Tuhan sudah menciptakan semuanya lengkap untuk kita. Founding Father Bangsa kita sudah meletakkan dasar berbangsa dan bernegara sungguh lengkap dalam Pancasila yang berakar dari masyarakat bangsa kita agar bangsa ini saling mengasihi satu dengan yang lain, .

Masalahnya terletak pada kebodohan kita semua. Mari kita tidak bodoh!

Medan, 23 Mei 2016

Tidak ada komentar: