My 500 Words

Selasa, 10 Mei 2016

Musibah Haranggaol: Pemerintah Jangan Bersikap "OR"

Oleh: Jannerson Girsang

Seminggu terakhir kita membaca media dengan berita-berita seputar musibah Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba. Foto-foto ikan mati membuat hati trenyuh.

Pemerintah pusat ternyata langsung bereaksi. Tribun News memberitakan Prof Kismono dari Kementerian Perikanan dan Kelautan sedang meneliti penyebab musibah itu. Semoga tidak seperti selama ini, turun ke bawah tanpa solusi!

Hari ini Harian Sinar Indonesia Baru terbitan Medan memberitakan bahwa dalam dua minggu terakhir, 850 ton ikan mati di Haranggaol, Danau Toba.

Kalau angka itu benar, bayangkan, kalau harga sekilonya Rp 30.000, maka kerugian ditaksir sekitar 255.000.000.000 (dua ratus lima puluh lima miliar). Katakanlah angka itu hanya separuhnya benar, kerugiannya masih cukup besar!

Bahkan ada laporan yang menyebutkan lebih dari 1000 ton ikan mati dalam kurun waktu yang sama.
Laporan-laporan yang simpang siur seperti ini adalah bukti monitoring dan pendataan resmi pemerintah tidak bekerja dengan baik, tidak mampu menyajikan data yang akurat. Semua hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan saja, tanpa sumber yang resmi.

Yang jelas, dengan informasi seperti ini, tindakan yang akan diambil juga tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kerugian yang begitu besar dan terjadi hanya dalam beberapa hari, akan menimbulkan dampak ekonomi dan dampak psikis bagi pengusaha karamba dan penduduk nagori Haranggaol sendiri.

Para pengusaha karamba membutuhkan dukungan moral kita semua!. Turut prihatin, betapa sedihnya para pengusaha karamba saat ini.

Seperti diberitakan media, untuk sementara diduga penyebab kematian ikan-ikan itu adalah kekurangan oksigen, karena padatnya karamba, sehingga lalu lintas udara ke dalam karamba tidak mencukup kebutuhan ikan.

Tetapi perlu penyelidikan lebih lanjut penyebab kematian itu.

Untuk mengungkap kematian ratusan ton ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) Haranggaol Kabupaten Simalungun, Dinas Perikanan dan Peternakan (Diskanter) Kabupaten Simalungun bersama Prof Krismono dari Kementerian Kelautan dan Perikanan turun ke lokasi, Selasa (3/5/2016).

“Prof Kriamono dari Kementeriam Kelautan dan Perikanan (KKP), sedang dalam perjalanan menuju Haranggaol untuk meneliti. Sementara ini dugĂ an kekurangan oksigen”, ucap Kadiskanter Simalungun, Jarinsen Saragih, seperti dikutip Tribun News, Medan.

Meski selama ini banyak orang yang menangguk untung dari usaha ini, dan investor terus menyerbu dan berebut kapling untuk usaha karamba, risiko usaha ini juga bukan tanggung-tanggung besarnya, ,
Pasalnya, usaha karamba adalah investasi padat modal dan berisiko besar, dan rentan dengan serangan penyakit atau kekurangan oksigen yang saat ini terjadi. .

"Musibah" ini mengajak kita merenungkan kembali usaha Karamba Jaring Apung ini. Benarkah usaha karamba paling cocok memakmurkan rakyat di sana, benarkah rencana pemerintah mengembalikan fungsi Danau Toba menjadi daerah wisata akan mampu memberi kemakmuran bagi penduduk dalam jangka panjang?

Sikap pemerintah yang benar adalah "Yes" or "No",. Bukan "Or" yang selama ini diambil pemerintah, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang akhirnya rumit ditangani!

Mereka yang mengusahakan karamba di Danau Toba di satu sisi menguntungkan, karena mampu menyerap tenaga kerja,memenuhi kebutuhan protein nabati provinsi ini, serta tentunya menambah penerimaan daerah dan negara (kalau semuanya setia membayar pajak).

Seperti dilaporkan harian Metro Siantar tahun lalu (20 April 2015) , perputaran uang akibat bisnis karamba di Haranggaol mencapai Rp 1.6 triliun per tahun.

Sayangnya, meski sirkulasi uang dari bisnis ini cukup tinggi, namun Pemkab Simalungun ternyata tidak memeroleh PAD dari sektor usaha ini. Paling tidak, hal ini sesuai pengakuan Kadis Peternakan dan Perikanan Kabupaten Simalungun Jarinsen Saragih.

Kata Jarinsen, hal ini merupakan imbas dari ketiadaan produk hukum Pemkab Simalungun yang mengatur regulasi perizinan usaha keramba jaring apung.

“Kita tidak tahu secara pasti berapa perputaran uang di sana. Sebab memang, tidak ada izin. Artinya, tanpa adanya izin sulit menghitung sirkulasi uangnya,” tegas dia.

Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang merencanakan agar Danau Toba dikembalikan fungsinya sebagai daerah wisata. Bahkan Bupati JR Saragih dalam sebuah kunjungannya ke Haranggaol pada 2013 mengatakan Haranggaol sebagai salah satu DTW kawasan Danau Toba yang memiliki pemandangan alam yang indah, direncanakan akan dikembalikan fungsinya seperti pada puncaknya kejayaannya tahun 1990-an.
“Sekarang tergantung masyarakat, ke mana dibawa Haranggaol ini. Apakah menjadi DTW atau daerah Keramba Jaring Apung (KJA). Karena seperti kita ketahui di era tahun 1990-an, Haranggaol terkenal sebagai DTW di Simalungun. Turis mancanegara maupun lokal sering berkunjung ke tempat ini untuk berwisata,” kata Bupati Simalungun, seperti dikutip Harian Metro Siantar (23 September 2013). .
Kini, banyak penduduk memilih KJA, namun mereka harus sadar, bahwa di balik "menggiurkanya" bisnis karamba, risiko lingkungan yang ditimbulkannya juga cukup besar.

Boy Tonggor Siahaan dari YPDT dalam publikasinya menjelaskan, memang warga pemilik KJA dihadapkan pada pilihan sulit, yakni antara mempertahankan mata pencaharian yang menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di Danau Toba.

Bayangkan 850 ton ikan yang membusuk, akan menyebabkan bau yang tidak sedap, serta mengotori danau. Mengganggu penduduk sekitar dan pengunjung yang ingin menikmati Danau Toba.

Syukur kalau keuntungan yang diperoleh peternak ikan selama ini pernah disisihkan untuk mengatasi risiko lingkungan seperti ini. Kalau tidak, ujung-ujungnya, pemerintahlah yang disalahkan bertanggungjawab.

Dengan tidak menyalahkan siapa-siapa, semua harus berfikir ulang. Apakah usaha karamba masih terus dipertahankan di daerah yang dulunya dikenal sebagai wisata itu, berlanjut atau atau saatnya dihentikan.
Tidak mudah mencari jawabnya, dan juga jangan buru-buru memberi jawabnya. Semoga masyarakat Sumut makin pintar. Tidak asbun, tidak memberi komentar yang membuat masalah tambah keruh.

Perlu pemikiran dan diskusi yang mendalam dan komprehensif antara pengusaha karamba dengan pemerintah dan LSM yang peduli Danau Toba

Kesalahan ada di tangan kita semua. Saling menyalahkan adalah tindakan yang membawa petaka bagi kita semua.

Jadikanlah musibah ini momen untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik. Menghentikan usaha karamba atau mengembalikan fungsi Danau Toba sebagai wilayah wisata.

Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi masalah yang kini dihadapi petani peternak karamba, menunggu keputusan-keputusan selanjutnya. Jangan diam!

Masalahnya, "Kerugian masyarakat sangat besar, masyarakat terancam tidak bisa bayar kredit modal mereka ke bank," kata Ketua Koordinator Kelompok Perikanan Haranggaol, Hasudungan Siallagan, seperti dikutip Harian Analisa, 5 Mei 2016.

Turut prihatin dengan penderitaan petenak ikan karamba di Haranggaol, dan semoga penelitian yang dilakukan Prof Kimono memberi hasil dan rekomendasi yang bijaksana.

Medan, 7 Mei 2016

Tidak ada komentar: