Oleh: Jannerson Girsang
Seminggu
terakhir kita membaca media dengan berita-berita seputar musibah Keramba
Jaring Apung (KJA) di Danau Toba. Foto-foto ikan mati membuat hati
trenyuh.
Pemerintah pusat ternyata langsung bereaksi. Tribun
News memberitakan Prof Kismono dari Kementerian Perikanan dan Kelautan
sedang meneliti penyebab musibah itu. Semoga tidak seperti selama ini,
turun ke bawah tanpa solusi!
Hari ini Harian Sinar Indonesia Baru
terbitan Medan memberitakan bahwa dalam dua minggu terakhir, 850 ton
ikan mati di Haranggaol, Danau Toba.
Kalau angka itu benar,
bayangkan, kalau harga sekilonya Rp 30.000, maka kerugian ditaksir
sekitar 255.000.000.000 (dua ratus lima puluh lima miliar). Katakanlah
angka itu hanya separuhnya benar, kerugiannya masih cukup besar!
Bahkan ada laporan yang menyebutkan lebih dari 1000 ton ikan mati dalam kurun waktu yang sama.
Laporan-laporan yang simpang siur seperti ini adalah bukti monitoring
dan pendataan resmi pemerintah tidak bekerja dengan baik, tidak mampu
menyajikan data yang akurat. Semua hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan
saja, tanpa sumber yang resmi.
Yang jelas, dengan informasi seperti ini, tindakan yang akan diambil juga tidak akan menyelesaikan persoalan.
Kerugian yang begitu besar dan terjadi hanya dalam beberapa hari, akan
menimbulkan dampak ekonomi dan dampak psikis bagi pengusaha karamba dan
penduduk nagori Haranggaol sendiri.
Para pengusaha karamba
membutuhkan dukungan moral kita semua!. Turut prihatin, betapa sedihnya
para pengusaha karamba saat ini.
Seperti diberitakan media,
untuk sementara diduga penyebab kematian ikan-ikan itu adalah
kekurangan oksigen, karena padatnya karamba, sehingga lalu lintas udara
ke dalam karamba tidak mencukup kebutuhan ikan.
Tetapi perlu penyelidikan lebih lanjut penyebab kematian itu.
Untuk mengungkap kematian ratusan ton ikan di Keramba Jaring Apung
(KJA) Haranggaol Kabupaten Simalungun, Dinas Perikanan dan Peternakan
(Diskanter) Kabupaten Simalungun bersama Prof Krismono dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan turun ke lokasi, Selasa (3/5/2016).
“Prof
Kriamono dari Kementeriam Kelautan dan Perikanan (KKP), sedang dalam
perjalanan menuju Haranggaol untuk meneliti. Sementara ini dugĂ an
kekurangan oksigen”, ucap Kadiskanter Simalungun, Jarinsen Saragih,
seperti dikutip Tribun News, Medan.
Meski selama ini banyak
orang yang menangguk untung dari usaha ini, dan investor terus menyerbu
dan berebut kapling untuk usaha karamba, risiko usaha ini juga bukan
tanggung-tanggung besarnya, ,
Pasalnya, usaha karamba adalah
investasi padat modal dan berisiko besar, dan rentan dengan serangan
penyakit atau kekurangan oksigen yang saat ini terjadi. .
"Musibah" ini mengajak kita merenungkan kembali usaha Karamba Jaring
Apung ini. Benarkah usaha karamba paling cocok memakmurkan rakyat di
sana, benarkah rencana pemerintah mengembalikan fungsi Danau Toba
menjadi daerah wisata akan mampu memberi kemakmuran bagi penduduk dalam
jangka panjang?
Sikap pemerintah yang benar adalah "Yes" or
"No",. Bukan "Or" yang selama ini diambil pemerintah, sehingga
menimbulkan berbagai permasalahan yang akhirnya rumit ditangani!
Mereka yang mengusahakan karamba di Danau Toba di satu sisi
menguntungkan, karena mampu menyerap tenaga kerja,memenuhi kebutuhan
protein nabati provinsi ini, serta tentunya menambah penerimaan daerah
dan negara (kalau semuanya setia membayar pajak).
Seperti
dilaporkan harian Metro Siantar tahun lalu (20 April 2015) , perputaran
uang akibat bisnis karamba di Haranggaol mencapai Rp 1.6 triliun per
tahun.
Sayangnya, meski sirkulasi uang dari bisnis ini cukup
tinggi, namun Pemkab Simalungun ternyata tidak memeroleh PAD dari sektor
usaha ini. Paling tidak, hal ini sesuai pengakuan Kadis Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Simalungun Jarinsen Saragih.
Kata Jarinsen,
hal ini merupakan imbas dari ketiadaan produk hukum Pemkab Simalungun
yang mengatur regulasi perizinan usaha keramba jaring apung.
“Kita tidak tahu secara pasti berapa perputaran uang di sana. Sebab
memang, tidak ada izin. Artinya, tanpa adanya izin sulit menghitung
sirkulasi uangnya,” tegas dia.
Di sisi lain, pemerintah saat ini
sedang merencanakan agar Danau Toba dikembalikan fungsinya sebagai
daerah wisata. Bahkan Bupati JR Saragih dalam sebuah kunjungannya ke
Haranggaol pada 2013 mengatakan Haranggaol sebagai salah satu DTW
kawasan Danau Toba yang memiliki pemandangan alam yang indah,
direncanakan akan dikembalikan fungsinya seperti pada puncaknya
kejayaannya tahun 1990-an.
“Sekarang tergantung masyarakat, ke
mana dibawa Haranggaol ini. Apakah menjadi DTW atau daerah Keramba
Jaring Apung (KJA). Karena seperti kita ketahui di era tahun 1990-an,
Haranggaol terkenal sebagai DTW di Simalungun. Turis mancanegara maupun
lokal sering berkunjung ke tempat ini untuk berwisata,” kata Bupati
Simalungun, seperti dikutip Harian Metro Siantar (23 September 2013). .
Kini, banyak penduduk memilih KJA, namun mereka harus sadar, bahwa di
balik "menggiurkanya" bisnis karamba, risiko lingkungan yang
ditimbulkannya juga cukup besar.
Boy Tonggor Siahaan dari YPDT
dalam publikasinya menjelaskan, memang warga pemilik KJA dihadapkan pada
pilihan sulit, yakni antara mempertahankan mata pencaharian yang
menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di
Danau Toba.
Bayangkan 850 ton ikan yang membusuk, akan
menyebabkan bau yang tidak sedap, serta mengotori danau. Mengganggu
penduduk sekitar dan pengunjung yang ingin menikmati Danau Toba.
Syukur kalau keuntungan yang diperoleh peternak ikan selama ini pernah
disisihkan untuk mengatasi risiko lingkungan seperti ini. Kalau tidak,
ujung-ujungnya, pemerintahlah yang disalahkan bertanggungjawab.
Dengan tidak menyalahkan siapa-siapa, semua harus berfikir ulang. Apakah
usaha karamba masih terus dipertahankan di daerah yang dulunya dikenal
sebagai wisata itu, berlanjut atau atau saatnya dihentikan.
Tidak mudah mencari jawabnya, dan juga jangan buru-buru memberi
jawabnya. Semoga masyarakat Sumut makin pintar. Tidak asbun, tidak
memberi komentar yang membuat masalah tambah keruh.
Perlu
pemikiran dan diskusi yang mendalam dan komprehensif antara pengusaha
karamba dengan pemerintah dan LSM yang peduli Danau Toba
Kesalahan ada di tangan kita semua. Saling menyalahkan adalah tindakan yang membawa petaka bagi kita semua.
Jadikanlah musibah ini momen untuk mengambil langkah-langkah yang
terbaik. Menghentikan usaha karamba atau mengembalikan fungsi Danau
Toba sebagai wilayah wisata.
Pemerintah harus segera turun
tangan mengatasi masalah yang kini dihadapi petani peternak karamba,
menunggu keputusan-keputusan selanjutnya. Jangan diam!
Masalahnya, "Kerugian masyarakat sangat besar, masyarakat terancam tidak
bisa bayar kredit modal mereka ke bank," kata Ketua Koordinator
Kelompok Perikanan Haranggaol, Hasudungan Siallagan, seperti dikutip
Harian Analisa, 5 Mei 2016.
Turut prihatin dengan penderitaan
petenak ikan karamba di Haranggaol, dan semoga penelitian yang dilakukan
Prof Kimono memberi hasil dan rekomendasi yang bijaksana.
Medan, 7 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar