Julius Nainggolan, pengusaha kemenyan di era 1930-an sampai 1950-an, tidaklah banyak diketahui masyarakat luas di Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, desa kecil Huta Julu, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, barangkali tak pernah tersebut, bahkan di peta umum propinsi yang dipublikasi luas, desanya tidak tercantum. Sama seperti wilayah Humbang yang selama ini dikenal dengan “Si Jama Polang” (Petani Kemenyan), kurang begitu dikenal kalangan generasi muda maupun masyarakat Sumatera Utara sebagai wilayah wisata agro.
Sama seperti kami sebelum mengunjungi wilayah ini, kebanyakan masyarakat Sumatera Utara di luar Humbang, tidak begitu mengenal akan tanaman khas daerah ini, Haminjon Toba (Styrax paralleloneurum) dan Haminjon Durame (Styrax benzoin)!.Apa lagi kisah sukses mereka yang pernah mengelola komoditi ini, seperti Julius Nainggolan dan puluhan pengusaha lainnya. Padahal, aktor-aktor pengelola kemenyan sebenarnya adalah pengusaha kelas-kelas dunia, karena wilayah itu merupakan penghasil kemenyan terbesar di dunia!. Tidak ada daerah lain yang menawarkan wisata seperti ini di Indonesia. Bagi pencinta wisata agro ada baiknya melongok wilayah ini sebagai satu alternatif tempat berlibur sekaligus tempat belajar bagi para remaja dan anak-anak muda. (Pelajar dan Mahasiswa).
Selain kemenyan, kota penghasil komoditi dunia lainnya sebenarnya tidak begitu jauh dari sini, yakni Barus. Jaraknya dari Onan Ganjang ibu kota kecamatan Onan Ganjang hanya 52 kilometer. Tidak jauh dari sana, Bakkara, terdapat istana Sang Raja Sisingamangaraja XII. Sebenarnya potensial untuk sebuah paket wisata.
***
Wisata agro dan kisah sukses pengusaha kemenyan terdapat di banyak tempat di Humbang. Salah satu diantaranya adalah Huta Batuara. Siang itu, Jumat 15 Februari 2008, suasana kampung begitu senyap. Rumah-rumah kosong. Di pekarangan terlihat beberapa wanita tua sedang berbincang-bincang. Di sudut lain dua atau tiga orang siswa Sekolah Dasar sedang bermain. Sekolah Dasar adalah satu-satunya fasilitas pendidikan satu-satunya di desa itu. Dua kompleks makam berdiri megah, diam membisu di antara 13 rumah di kampung itu. “Ibu-ibu bekerja di sawah dan para bapak-bapak ke tombak,”ujar seorang pria berusia 60-an. Begitulah desa itu dari masa ke masa, tanpa perkembangan yang berarti.
Di tengah-tengah suasana hening seperti itu, pandangan mata tertuju pada sebuah rumah. Dari luar, tampak ukurannya relatif besar dan tinggi menjulang dengan arsitektur campuran Batak, Melayu dan Barat, dibangun sekitar pertengahan 1930-an. Sungguh berbeda dari rumah-rumah lainnya. Proses pelapukan ternyata tak terhindarkan, sehingga bentuk asli bangunan tersebut sudah mengalami sedikit perubahan akibat renovasi. Untungnya, bangunan asli seperti bagian atap, desain ruangan masih dapat terlihat dengan jelas. Pemilik rumah pasti adalah seorang yang istimewa dari umumnya penduduk kampung itu. Muncul rasa kagum, mengingat arsitektur dan ukuran rumah seperti itu dibangun pertengahan dekade 30-an!.
Melongok ke dalam rumah, pertama kekaguman muncul saat melihat ruang tamu. Ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang “kongko-kongko” atau tempat pertemuan, yang bisa menampung sekitar 100 orang. Selain itu, terdapat 7 buah kamar tidur dan kamar mandi berjajar di seputar ruang tamu dan bagian belakang rumah. Sebuah pertanda bahwa pemiliknya menerima tamu-tamu dari luar, tidak hanya petani-petani atau pedagang kemenyan di sekitar Huta Julu. Konon semasa pendudukan Belanda sampai 1942 di wilayah ini, para petinggi pemerintahan kerap mengunjungi rumah itu. Ini menggambarkan, pemiliknya adalah orang yang memiliki wibawa, tidak hanya dengan sesama pengusaha tetapi juga diantara para penguasa ketika itu. ”Orang-orang Belanda dulu sering bertamu dan menginap di rumah itu,”ujar Jakin Nainggolan (77), yang dulu pernah menjadi ”sijama bajut” (bendahara) si pemilik rumah.
Menurut Jakin Nainggolan, di sisi kanan rumah dulu terdapat garasi. Sang pemilik rumah rupanya sudah memiliki mobil di era 1930-an. Mobil KOPE, demikian penduduk kampung menyebut merk mobil milik Julius di era 30-an. Memiliki sebuah mobil pada masa itu adalah sebuah sukses besar ditengah-tengah masyarakat yang ketika itu masih terbiasa berjalan kaki dari desa itu sampai ke Dolok Sanggul yang berjarak sekitar 25 kilometer. Di sebelah kiri, terpisah dari rumah itu terdapat sebuah rumah kayu yang berkolong. Dulunya bangunan itu gudang kemenyan. Disinilah kemenyan dikeringkan, disortir menurut kualitasnya, dan dikemas dalam kotak sebelum dikirim ke luar Huta Julu.
Pemilik rumah itu adalah Julius Nainggolan, seorang pengusaha kemenyan besar di era 1930-an. Dia adalah seorang petani kemenyan yang ulet dan menikah dengan Binaron Br Silaban, seorang “partiga-tiga” (pedagang). Julius ditinggal ayahnya semasa masih anak-anak. Meski tidak mampu membaca dan menulis, keuletannya dan kelihaiannya bertani dan berdagang, membuat dirinya menjadi seorang pengusaha kemenyan ternama di Humbang sampai dengan akhir 1950-an. Bahkan sekitar 1954, dia mendirikan NV Dolok Pinapan, berbasis di Dolok Sanggul. Di masa Jayanya, NV Dolok Pinapan adalah sebuah perusahaan perdagangan kemenyan yang menjual kemenyan ke Jawa dan bahkan ke luar negeri. Perusahaan itu bangkrut, hanya beberapa tahun setelah dia meninggal dunia pada 26 Januari 1960 (terlihat di nisan makamnya di Batuara).
Konon, di masa jayanya, dua minggu sekali, Julius mampu mengirim 1 truk kemenyan ke Pematangsiantar atau ke Sibolga. ”Kakek sudah berdagang sampai ke Singapura, walau desanya kecil,”ujar John Pieter Nainggolan salah seorang cucunya. Dia mengumpulkan kemenyan dari para petani di sekitar Huta Julu.
Selain sebagai pengumpul kemenyan, Julius juga memiliki lebih dari 10 hektar tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Bahkan ladang dan sawah. Julius sebenarnya bukan penduduk asli kampung Huta Julu, dia berasal dari Bonan Dolok tidak jauh dari desa Huta Julu. Konon setelah Julius menapaki sukses, dia bisa memiliki sebidang tanah di Batuara dan kemudian memiliki tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Julius kemudian mengajak saudara-saudaranya pindah dari desa lain ke huta Julu bahkan membentuk huta Batuara. ”Ketika itu amanguda, amangboru, adikku, anak amangtua, amangtua membantu dia untuk mengerjakan tombaknya” ujar Jakin Nainggolan, salah seorang bekas sijama bajut (bendahara Julius) menggambarkan kiat Julius untuk membesarkan usahanya, sekaligus membantu keluarganya. Semua keluarga Julius bekerja di tombak atau sawahnya. Julius memperoleh kemenyan (si jama polang) dari lahan miliknya sendiri. Dia juga pemilik sawah yang dikerjakan penduduk desa. Setiap tahun Julius mengumpulkan hasil kemenyan dan hasil-hasil ladang lainnya yang hasilnya dibagi dua dengan para pekerjanya.
Kalau dihitung-hitung, dari tombaknya saja Julius menghasilkan setidaknya 2.5 ton per tahun getah kemenyan. Kalikan saja kalau harga satu kilogram kemenyan di Dolok Sanggul bulan Pebruari 2008 lalu, katakan Rp 75,000 per kilogram (Kami menghitungnya, ketika melihat harga kemenyan di Dolok Sanggul saat mengunjungi pekan di kota itu Jumat 16 Pebruari 2008). Dari tombaknya saja, bisa dikalikan berapa penghasilan Julius. ”Paramak na so habalunon, tikar yang tak pernah digulung”, ”partataring na so ra mintop, tungku yang tak pernah padam” Demikian ungkapan orang desa itu atas kebesaran Julius.
Kebesaran Julius Naingolan, juga masih bisa disaksikan dari makam yang ada di sekitar kampung Batuara. Ada tugu Ompu Solam Nainggolan dengan keturunannya. Dia mampu mengumpulkan saudara-saudaranya di desa itu dari desa lain. Makam yang ada di sana menunjukkan bahwa Julius keturunan Ompu Solam Nainggolan, yang tulang belulangnya diangkut dari Bonan Dolok, desa yang berjarak beberapa kilometer dari kampung itu pada 1981. Puluhan jasad keluarga besar mereka dimakamkan di sana. Ini juga sebuah pemandangan akan sebuah kesatuan keluarga mereka di masa lalu, dan bertahan hingga sekarang ini, walau sebagian besar mereka ada di rantau.
***
Huta Batuara jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari Medan ibu kota propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Muara kemudian ke Dolok Sanggul, atau kalau mau melihat lapangan Terbang Silangit dan Pacuan Kuda bisa melalui Siborongborong. Kami memilih alternatif terakhir karena ingin melihat lapangan terbang Silangit dan Pacuan Kuda terbesar di Sumatera Utara itu. Setelah mengendarai mobil selama 75 menit dari Siborongborong, kita akan tiba di sebuah kota kecil Onan Ganjang. Sebuah pertigaan sesudah pasar Onan Ganjang, membeloka ke kiri dari jalan Raya Dolok Sanggul-Pakkat, belok ke kiri menjadi titik putar menuju desa Huta Julu. Dari sana dibutuhkan 20-30 menit untuk sampai di Huta Batuara.
Sepanjang perjalanan dari Dolok Sanggul beberapa pohon kemenyan berdiri tegak di pinggir jalan. Lobang-lobang bekas panenan terlihat jelas dengan kasat mata. Melihat orang memanen kemenyan merupakan pemandangan tersendiri. Karena pohonnya tinggi, maka panen dilakukan dengan memanjat dengan menggunakan alat khusus. Para pemanjat pohon kemenyan menggunakan tali yang terbuat dari ijuk dan “riman”—seperti ijuk tetapi lebih kuat daya tahannya. Tali itulah digunakan sebagai pengganti “tangga”. Mereka menyebutnya Polang. Itulah sebabnya mereka disebut Sijama Polang. Para pemanjat bergerak dan memindahkan tali ke arah puncak, kemudian bergerak lagi dan demikian seterusnya. Mereka bisa mencapai ketinggian 30 meter, kadang terlihat bergoyang-goyang. Ngeri juga!
Melalui jalan aspal yang sempit, dengan pemandangan sawah dan tanaman kemenyan di kiri kanan jalan, kampung itu dapat dicapai dalam waktu hanya 20-30 menit. Pada penggalan jalan tertentu, di kiri atau kanan jalan mata akan menyaksikan lembah-lembah dalam dan suara gemericik air jernih yang mengalir mengikuti alur lembah tersebut. Suara gemercik air dari sungai-sungai jernih yang mengalir deras, suara-suara burung dari tengah hutan bercampur baur menerpa telinga, alam hijau nan indah memberi pemendangan segar bagi mata. Kadang disebelah kanan kita bukit yang terjal seolah mengancam muntahan onggokan tanah di atasnya yang dapat menerpa siapa saja yang lewat, seolah menawarkan sebuah petulangan
Hutan-hutan alam di lembah dan kaki bukit, memberikan berkah bagi penduduk berupa pohon-pohon kemenyan dan kayu api. Dari sebuah bukit saat istirahat, tampak pemandangan menonjol. Pepohonan yang memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20-30 cm, tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Batangnya lurus dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Terlihat daunnya tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung daun meruncing. Inilah pohon kemenyan, sebuah komoditi yang mengangkat nama Huta Julu ke permukaan pada era 30-an. Kalau kita mendekat ke pohon, terlihat lobang-lobang disepanjang batang dari bawah ke atas. Ini menunjukkan aktivitas penduduk menyadap kemenyan masih aktif. Buahnya berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan keras.
Di beberapa tempat dipinggir jalan, terlihat kayu api yang sudah mulai kering, tersusun rapi. Sebuah pertanda bahwa kebiasaan di masa lampau sampai sekarang masih dilakukan sebagian penduduk. Hutan masih merupakan sumber kayu untuk kebutuhan bahan bakar.
Di penggalan jalan lainnya sawah menghijau terhampar di kiri kanan jalan. Sebuah kehidupan kampung yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu dan tidak banyak mengalami perubahan. Sawah dibajak dengan kerbau, pematang dibentuk dengan cangkul dan tangan.
Di kiri kanan jalan juga terlihat tanaman baru yang terlihat adalah kopi sigarar utang. Menurut Sekretaris Camat (Sekcam) Kecamatan Onan Ganjang, Leiker Nainggolan, tanaman baru ini sudah mulai merubah kebiasaan masyarakat di sana. Sebelumnya, mereka hanya tergantung pada tanaman hutan kemenyan atau hasil sawah. “Kehadiran kopi sigarar utang banyak membantu ekonomi kami,”ujar P.Sihombing, seorang pensiunan guru SMP di Onan Ganjang.
Setelah meliuk-liuk mengikuti tikungan, kemudian mendaki dan menuruni bukit-bukit, sebuah pertigaan muncul di depan. Bagi orang baru, kondisi persimpangan seperti ini bisa memilih jalan yang keliru karena tidak ada tanda-tanda penunjuk arah. Tapi jangan takut, penduduk di sana ramah dan perhatian kepada tamu. ”Ke kiri adalah Bonan Dolok, ke kanan adalah Huta Julu”, demikian penduduk kampung memberi petunjuk. Sebuah pengalaman perjalanan yang menarik! Ramah dan polosnya penduduk desa. Kemudian kita mencapai Batuara, Huta Julu.
***
Setelah mengunjungi rumah dan tombaknya Julius, kami kembali ke Siborong-borong. Tour berikutnya adalah memutar balik melalui Onan Ganjang ke pekan Dolok Sanggul, yang jaraknya 25 kilometer. Hari Jumat adalah pekan mingguan di kota itu. Dolok Sanggul adalah transaksi kemenyan terbesar di dunia!. Menurut JN Nainggolan, tidak kurang dari 15 pengusaha kemenyan mengumpulkan kemenyan dari petani-petani kemenyan, baik dari wilayah Humbang maupun Pangaribuan dan Sipahutar.
Usai transaksi, beberapa petani kemenyan masuk ke rumah makan yang menyediakan daging kuda!. Sebuah ciri khas Dolok Sanggul. Daging kuda cukup enak. Di Dolok Sanggul setiap hari tersedia daging kuda. Kalau di kampung saya di Saribu Dolok, daging kuda hanya tersedia saat Perayaan Ulang Tahun Republik Indonesia atau Tahun Baru.
Mengunjungi gudang-gudang proses pengolahan kemenyan sampai siap untuk dikirim, memberikan kesan baru. Dari bahan yang disadap petani, kemudian dikeringkan, dipisahkan sesuai dengan kualitasnya, semua dilakukan di puluhan gudang yang terdapat di Dolok Sanggul. Menurut seorang penjaga gudang di Dolok Sanggul, tingkat kualitas kemenyan bisa sampai 8 jenis. Mulai dari jenis lak-lak yang terendah sampai kasar I yang paling mahal. Diantara jenis tertinggi dan terendah itu ada ukuran yang diberi nama menurut jenis tanaman. Misalnya kacangan, ukurannnya sebesar kacang, jagungan, berasan dan jenis lainnya.
Suasana di gudang kemenyan menyemburkan semerbak aroma yang sangat khas dan mengesankan. Wewangian yang berbeda dari yang pernah kami cium. Sebuah weangian kemenyan yang khas. “Kalau anda berada di gudang kemenyan anda akan merasa dunia luar itu bau,”ujar seorang petugas gudang milik TN Nainggolan di Dolok Sanggul.
Beberapa keluarga saudara satu ompung Julius, yang pernah dibinanya di masa kejayaannya, seperti Jakin Nainggolan dan TN Nainggolan kini melanjutkan usaha pedagang pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul. Keduanya kini menjadi pengumpul kemenyaan terbesar di Dolok Sanggul dan menjualnya ke Magelang, Purwokerto dan Semarang di Jawa Tengah.
***
Di perjalanan kami merenung sejenak. Batuara, kini hanya sebuah kenangan kejayaan masa lalu seorang pengusaha kemenyan ternama. Bangunan rumah hampir tidak bertambah, penduduknya sebagian besar adalah orang-orang tua. Bahkan tidak ada satu orangpun anak cucu Julius Nainggolan yang melanjutkan usaha kemenyannya. Rumah besar itu tidak dihuni. Anak-anak dan cucu Julius kini sudah berdiam di kota. Tombaknya di Adian Bolak, dulunya menghasilkan ratusan juta rupiah per tahun, kini dibiarkan menjadi hutan “abadi”, hanya mengawetkan lahan dari kerusakan erosi.
Padahal, kemenyan daerah ini sangat digemari nun jauh di seberang di luar Batuara, Huta Julu. Kemenyan tidak hanya digunakan untuk ritual seperti di Bali dan para penganut kepercayaan di Jawa. Lebih dari itu, kemenyan juga sering digunakan sebagai pengharum rokok kretek, bahan baku kosmetika dan bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang serta bahan pengawet dan bahan baku farmasi/obat-obatan, bahan campuran dalam pembuatan keramik agar lebih kuat dan tidak mudah pecah. Bahkan di negara-negara Eropa kemenyan digunakan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan.
Penduduk Huta Batuara sendiri hanyalah petani-petani kemenyan kecil-kecilan. Belum ada terlihat tanda-tanda pengembangan bibit dan teknologi penanaman dan pemenenan masih belum banyak berubah dari masa ke masa. Tampaknya, merekapun sudah mulai tertarik menanam kopi sigarar utang. Kalau itu lebih menguntungkan, barangkali mereka akan meninggalkan kemenyan. Tidakkah bangsa ini perlu memikirkan sistem pertanian yang bisa membangkitkan lagi kejayaan masa lalu hingga bisa berlanjut sampai selama mungkin?. Tidak mustahil suatu saat kemenyan akan lenyap dari Huta Batuara, bahkan dari Humbang. Butuh rasa cinta, pemahaman dan kreativitas anak-anak muda. Jangan biarkan Haminjon Toba dan Haminjon Durame punah!
Dimuat di Harian Analisa, 14 Maret 2008