Oleh: Jannerson Girsang
”Kalau mau kembali ke Medan, melintas dari jalan Silalahi-Tongging aja. Jalan bagus kok,” ujar pemilik penginapan Morina setibanya kami di Silalahi Sabtu 21 Januari 2012.
Silalahi-Tongging jalannya bagus?. Tak percaya pada awalnya. Pasalnya, beberpa tahun yang lalu saya ke Tongging jalur ini belum bisa dilewati kenderaan roda empat.
Pernyataan pemilik penginapan itulah yang meyakinkan rombongan kami, Minggu 22 Januari 2012 sekitar pukul 14.00 memilih jalur itu menuju Medan. Tentunya setelah sejak pagi menikmati beberapa acara seperti kebaktian Minggu di sebuah di tepi pantai, berenang, serta mengunjungi PLTA Renun.
Jalur Silalahi Tongging berbeda dari jalur yang kami tempuh saat memasuki Silalahi.
Sebelum rombongan berangkat menuju Medan, saya teringat pengalaman tahun lalu. Ketika itu saya pulang dari Nias terbang di wilayah ini dari ketinggian sekitar 15.000 kaki (5 kilometer).
Dalam penerbangan pagi hari dari Gunungsitoli, melalui jendela sempit pesawat Wings Air saya memandang ke sebelah kanan, menyaksikan wilayah Silalahi, Paropo, serta Taman Simalem di bagian puncak di atas lokasi itu. Luar biasa, kata seorang penumpang di sebelah saya ketika itu. Memang, setiap sudut Danau Toba memiliki pemandangan indah luar biasa!.
Tentunya, dari pesawat setinggi itu, saya hanya melihat secara sepintas dan menikmatinya hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Dari udara, terlihat lekukan-lekukan perbukitan di atas pantai Silalahi, danau yang berkilau oleh pantulan sinar matahari, serta gunung-gunung yang mengitari danau.
Perkampungan-perkampungan di sepanjang pantai serta lekukan teluk Silalahi yang aduhai.
Pemandangan yang hanya saya lihat dari udara, untuk pertama kali akan saya nikmati dari dekat. Perjalanan beberapa detik dengan pesawat, saya lewati dengan jalan darat. Sensasi yang luar biasa bagi saya!.
****
Dari tempat penginapan, kami melintasi jalan mulus membelah desa Silalahi I dan III. Di sebelah kanan perumahan yang membatasi pantai Tao Silalahi, dan di sebelah kiri rumah-rumah yang memnatasi areal persawahan dan pertanian penduduk.
Pemekaran memang telah menampakkan pembangunan fisik yang lebih baik bagi desa ini. Jalan mulus membelah desa Silalahi I, II dan III.. Menurut beberapa penduduk desa, konon jalan itu baru diperbaiki sebulan sebelum kami berkunjung. Aspalnya memang masih terlihat relatif baru. Di sebelah kiri, saya melintasi kantor Camat Silahi Sabungan, serta Puskesmas dan beberapa kantor setingkat kecamatan.
Pembangunan yang memberi warna baru desa tempat pengungsian para penduduk sekitar desa itu di masa Perang Kemerdekaan akhir 1940-an.
Satu hal menarik dari perjalanan ke Silalahi adalah melintas jalan Silalahi-Tongging sejauh 14 kilometer, merupakan perjalanan antar dua Kabupaten. Silalahi sendiri masuk ke Kabupaten Dairi dan Tongging masuk dalam wilayah adminsitratif Kabupaten Karo.
Di ujung desa Silalahi, kami berhenti sejenak dan mengamati Tugu Raja Silalahi Sabungan yang diresmikan 27 Nopember 1981. Itulah bangunan paling menonjol di kecamatan Silalahi Sabungan. .
Selain keluarga bermarga Silalahi, boru dan bere, para pengunjung juga banyak yang tertarik mengunjungi tugu ini. Sore itu, saya menyaksikan mobil-mobil parkir di sekitar halaman tugu yang sangat luas itu.
Sayangnya kami tidak berkunjung pada acara Pesta Bona Taon. Pada pesta seperti ini kata penduduk setempat bisa dihadiri puluhan ribu pomparan Silahi Sabungan. Tentu sebuah peristiwa yang menarik!.
****
Sepanjang perjalanan, suasana hari Minggu memang terasa di desa Silalahi. Sore hari itu terlihat penduduk berdiam di rumah dan sebagian menjemur padi atau hasil ladang lainnya di tepi jalan, sepulang dari gereja. .
Di desa Paropo misalnya, kami menyaksikan beberapa anak membawa rantang keluar dari HKBP Paropo. Wanita berpakaian kebaya dan selendang ulos Batak, berdampingan dengan para pria dengan stelan jas berjalan menuju jalan. Mereka baru saja mengadakan pesta bona taon (pesta awal tahun).
Saat melintasi desa Desa Paropo dan Paropo I, saya teringat lokasi di atas bukit. Wisata Taman Simalem yang kini sudah dipoles menjadi daerah wisata baru. Dalam hati, saya bertanya: “Kapan wisata penelusuran pantai ini dipoles?”. Mudah-mudahan ada investor yang berminat!
Melintasi pinggiran pantai Silalahi-Tongging merupakan perjalanan melewati perbukitan gundul di sebelah kiri dan bibir pantai Danau Toba di sebelah kanan. Supir harus ektra hati-hati, karena bisa tergoda melihat pemandangan yang indah di sebelah kanan dan lupa arah kenderaan yang dikemudikannya. Salah-salah di tikungan yang tajam bisa kecebur ke danau!.
Di sebuah lokasi di desa Paropo, kami melintasi jalan sempit dan tikungan tajam. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah penduduk. Kecepatan harus dikurangi!.
Beberapa badan jalan yang terlintas limpahan air dari persawahan atau pertanian sedikit mengalami kerusakan. Aspal memang tidak suka air. Itu sebabnya got harus selalu terawat. Hal yang sering dilupakan, termasuk di daerah ini.
Di beberapa tempat masih terdapat jalan jalan berlobang. Tapi tidaklah sampai mengurangi nikmatnya pemandangan yang luar biasa dari indahnya alam dan sensasi-sensasi alam yang timbul.
Kami berpapasan dengan beberapa bus seperti BTN, Sutra, Sinabung Jaya serta puluhan mobil pribadi. Bukti bahwa jalur ini kini menjadi alternatif baru para penduduk. Misalnya dari Tongging ke Sidikalang. Kalau selama ini penduduk Tongging harus melalui Merek, maka kini mereka bisa memotong jalur yang lebih pendek melalui Silalahi. Penduduk Silalahi dari Medan juga banyak menggunakan jalur ini, ketimbang mereka harus memutar ke Lao Pondom—jalan Medan-Sidikalang.
****
Setelah menjelajah pinggir pantai sejauh 14 kilometer, kami tiba di Tongging. Dari jalan lintas terlihat Wisma Sibayak, Wisma parultop, dan Roman Sinasi Bungalows. Desa ini ternyata menyediakan tempat menginap, sama dengan di Silalahi.
Di sana rombongan berhenti dan membeli mangga di pekan Tongging, sebuah bangunan yang beratap seng dan tidak memiliki dinding maupun sekat. Para penjual mangga tampaknya senang sekali dengan kedatangan rombongan sekitar 10 mobil itu.
Pada umumnya penduduk Desa Tongging berjumlah 250 Kepala Keluarga (KK) ini berpenghasilan dari bertani bawang merah, sebagian juga padi, dan mereka juga memelihara Ikan Mas dan Mujair dengan memanfaatakn kawasan sebelah utara Danau Toba dengan membuat karamba.
Daerah ini termasuk penghasil buah Mangga Udang yang rasanya khas. Bagi rombongan kami, ada kerinduan tersendiri memakan mangga yang ditanam di sekitar Danau Toba. Buahnya baik dari ukuran dan rasanya berbeda dengan mangga golek yang sudah merajai Sumatera Utara. Ukurannya lebih kecil dan memliki rasa asam, tidak semanis mangga golek.
Sambil menunggu para ibu-ibu belanja beberapa lelaki mampir di kedai-kedai kopi yang berjajar sejajar pekan. Minum kopi sambil beristirahat mennggu ibu-ibu belanja mangga dan memandang ke arah Danau, sungguh nikmat. Bagi yang ingin buang air kecil.besar tersedia jasa toilet dengan tarif Rp 1000 per kepala.
Dari pengamatan kami dengan terbukanya lintas Silalahi_Tongging, desa ini akan makin menjadi daerah lintasan yang semakin ramai. Selain itu, menurut seorang penduduk di pekan Tongging, sebagian turis yang mengunjungi Air Terjun Sipiso-piso yang berjarak 7 kilometer biasanya mampir di desa ini. Bahkan penginapan yang sudah tersedia di sana juga menarik minat bagi turis itu, karena di Ari Terjun Sipisopiso belum tersedia tempat penginapan.
Tongging, sebuah desa di pinggir pantai Danau Toba yang sangat indah dipandang dari Air Terjun Sipiso-piso, menawarkan beberapa lokasi wisata, seperti pemandian, pemancingan serta wisata alam Danau Toba yang indah.
****
Sepanjang perjalanan, kesan lain yang tak kalah adalah pertumbuhan karamba. Di beberapa tempat kami menyaksikan karamba yang sudah tumbuh di pantai atau jauh agak ke tengah pantai. Tapi jumlahnya belum begitu banyak, tidak seperti di Haranggaol. Tapi, mungkin beberapa tahun lagi, kalau pertumbuhannya tidak diatur, bisa-bisa para investor juga akan memuali bisnis yang cukup menggiurkan itu. .
Memandang ke sebelah kanan, bibir pantai Silalahi, bisnis karamba yang cukup menggiurkan itu mulai tumbuh. Puluhan pemilik keramba sudah beroperasi di sana. Drum-drum besar penopang bangunan karamba di atasnya bergoyang-goyang dihempas gelombang. Di sanalah mereka beternak ikan dengan membangun jaring-jaring sedalam enam meter tempat ikan bertumbuh. Memberi makanannya dengan pelet.
Bisnis ini memang menggiurkan tetapi juga memilii resiko yang tinggi. Masih segar dalam memori kita ketika penyakit ikan menyerang ikanikan di Danau Toba beberapa tahun lalu.
Tapi, itulah hidup manusia. Mereka berperang antara memanfaatkan peluang mencari uang dan menjaga kebersihan dan kelestarian daerah wisata. Tentu ini adalah urusan pemerintah bagaimana mengatur penduduknya supaya bisa harmonis dengan alam.
Bangunan baru masih terlihat, berarti penduduk semakin menggemari bisnis baru ini. Ada yang jauh dari pantai, dan di pinggir pantai. Menjelang Tongging bisnis karamba memang mulai tumbuh di bibir pantai.
Bagi kami, yang tidak berenang di sana itu karamba adalah objek yang mengasyikkan bagi para pemancing. Mereka terlihat asyik memancing di atas karamba menggunakan waktu libur mereka, setelah sehari-harinya letih bekerja di ladang. .
Pengaturan pantai adalah tugas pemerintah. Masih banyak pantai yang belum dijamah para investor karamba yang tentunya perlu mendapat perlindungan dan pengaturan dari pemerintah. .
Bagi penduduk Indonesia, manfaatkan masa liburan Anda menikmati keindahan alam Danau Toba di sekitar Silalahi Tongging. Jalan sudah terbuka, sarana penginapan sudah tersedia. Memang, pengaturan pantai perlu, tetapi niat berkunjung jangan surut!.