Oleh: Jannerson Girsang
Renungan akhir tahun 2012 adalah isu
mencari pemimpin yang memiliki integritas dan bersih, untuk mengakhiri
munculnya pemimpin yang hanya mengandalkan uang dan koneksi. Kemenangan Jokowi
dan Ahok menjadi Gubernur DKI, dipandang sebagai sebuah fenomena masyarakat
sedang mencari pemimpin politik generasi baru, punya figur kuat dan
berintegritas
Masyarakat sudah punya bosan
menyaksikan dampak "money politics" dan koneksi-koneksian yang
memunculkan korupsi sudah mencapai titik jenuh. Demikian pendapat beberapa
pengamat.
Sejujurnya, bangsa ini merindukan pemimpin bebas money politics dan ingin mengembalikannya pada kelahiran para pemimpin bangsa masa lalu. Mencari pemimpin yang merasakan dan mampu menyuarakan jeritan kesengsaraan rakyatnya terjajah oleh para koruptor bangsanya sendiri.
Meminjam slogan Andrewongso: "Bosan Kita Menderita Saatnya Bangun Indonesia", setidaknya menginspirasi bangsa ini dalam tiga hal yakni visi kesatuan, semangat anak muda dan komitmen mencapai visi.
2012: Korupsi Meluas dan Membesar
Sejujurnya, bangsa ini merindukan pemimpin bebas money politics dan ingin mengembalikannya pada kelahiran para pemimpin bangsa masa lalu. Mencari pemimpin yang merasakan dan mampu menyuarakan jeritan kesengsaraan rakyatnya terjajah oleh para koruptor bangsanya sendiri.
Meminjam slogan Andrewongso: "Bosan Kita Menderita Saatnya Bangun Indonesia", setidaknya menginspirasi bangsa ini dalam tiga hal yakni visi kesatuan, semangat anak muda dan komitmen mencapai visi.
2012: Korupsi Meluas dan Membesar
Masyarakat adil dan makmur, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, ternyata masih jauh panggang dari api. Pemimpin yang tidak berintegritas telah menjerumuskan bangsa dengan korupsinya yang kian membesar.
Masih segar dalam ingatan kita pidato Presiden SBY di sidang bersama DPR dan DPD RI di gedung DPR Senayan, 16 Agustus 2012. "Harus kita akui pula, dominasi tindak pidana korupsi cenderung meluas dan membesar ke daerah-daerah, mulai dari rekrutmen pegawai di kalangan birokrasi, proses pengadaan barang dan jasa, hingga di sejumlah pelayanan publik. Modusnya pun beragam, mulai dari yang sederhana berupa suap dan gratifikasi, hingga yang paling kompleks dan mengarah pada tindak pidana pencucian uang".
Bahkan, semakin parahnya korupsi, menurut Yudhoyono, sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan. Artinya, kecenderungan meluasnya korupsi, sebagaimana dipaparkan SBY, akan cenderung menambah para elit kita terjerumus dalam korupsi.
Secara kasat mata, kita bisa saksikan seorang pejabat yang korup, baru saja terpilih, namun sebelum jabatannya berakhir, sudah mendekam di penjara. Ada kisah pejabat yang korup dan masih di penjara, masih berani mencalonkan istrinya menggantikan dirinya. Kekuasaan menjadi dewa penyelamat, mempengaruhi semua sendi pemerintahan dan perekonomian dengan tujuan mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Memimpin bangsa seolah tidak lagi memerlukan integritas dan bersih dari korupsi. Baru-baru ini sebuah media menampilkan di headline seorang tokoh sambil nyanyi menyelipkan uang ke tangan para penonton (padahal sebelum naik panggung dirinya menyebut anti korupsi), sementara calon pemimpin lain ada yang membagi sembako, meski tidak ada bencana atau kelaparan. Mereka seolah mencuri pekerjaan Dinas Sosial.
Bahkan yang diperbesar adalah keyakinan bahwa tidak ada uang tidak didukung partai besar, tidak mungkin menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota, bahkan anggota perlemen sekalipun. Kalau itu terus berlanjut, maka kita setiap periode hanya akan menyaksikan pemerintahan yang mengabaikan jalan-jalan yang dibiarkan rusak, harga-harga produk pertanian yang dikuasai para mafia dan tengkulak.
Para elit sibuk mengumpul uang, tak peduli legal atau illegal. Fokusnya hanya melanggengkan kekuasaan. Negeri ini akan bertabur gambar pejabat, meski tidak musim kampanye. Kepala-kepala dinas, pejabat pemerintah memasang gambar-gambar mereka di setiap sudut jalan untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat-meski programnya berjalan tak menyentuh rakyat. Sesudah jadi gubernur, mungkin bisa mencalon jadi anggota DPR, atau presiden, layaknya Pangeran Sihanouk yang berkuasa lebih dari 60 tahun.
Generasi Baru Politikus
Seorang pemimpin bangsa ini adalah mereka yang lahir dari pengalaman buruk bangsa yang terpecah-pecah dan akhirnya mudah dikuasai penjajah. Kelahirannya dibakar semangat untuk merdeka dan mendirikan sebuah negara yang rakyatnya berdaulat, adil dan makmur.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam mediaonline www.vivanews.com (20 Oktober 2012) mengatakan, tokoh-tokoh politik yang selama ini hanya mengandalkan uang dan koneksi, akan segera berakhir masanya. "Karena kucinya bukan pada adu duit, tapi pada faktor figur dan integritas," kata Ridwan di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 20 Oktober 2012.
Situs The New York Times menulis : "Di negara di mana politikus sering kali berasal dari elite yang terkait atau memiliki hubungan dengan mendiang Presiden Soeharto dan militer, Joko, dikenal dengan julukan Jokowi, muncul mewakili generasi baru politikus." Saatnya Sumpah Pemuda menggaungkan bahwa generasi baru politikus Indonesia mampu melahirkan pemimpin yang memiliki integritas dan bersih dan hanya pemimpin seperti itulah yang bisa mengemban semangat Sumpah Pemuda 1928.
Fenomena Jokowi dan Ahok membuktikan bahwa pemimpin yang memiliki integritas dan bersih memang sedang dicari. Jokowi, seorang eksportir furnitur yang masuk politik untuk pertama kali tahun 2005, yang secara luas dianggap bersih dan mampu memimpin ibu kota di negeri yang kental aroma korupsinya dan keberhasilannya menata Solo.
Pengalaman 2012 kiranya mendorong semangat generasi muda, generasi politik baru sudah lahir dan perlu dikembang biakkan. Saatnya mengakhiri pemimpin yang mengandalkan uang dan koneksi dan menggantikannya dengan pemimpin yang memiliki integritas dan bersih.
Penulis adalah seorang kolumnis
Dimuat di Rubrik Wacana, Harian
Medan Bisnis, Sabtu, 22 Des 2012