Oleh: Jannerson Girsang.
Proses
menulis sebuah artikel yang dimuat di media cetak tidaklah semudah
mengatakan "menulis itu mudah".Mulai dari munculnya ide, hingga penulis
mampu menuangkan artikel yang menarik bagi pembaca.
Penulis yang berhasil menulis di media cetak telah melintasi
perjalanan yang cukup panjang dan pantas diberi penghargaan. Bagi
kebanyakan mereka, menulis adalah memenuhi tanggung jawab sosial dan
rasa syukur ketimbang mencari popularitas atau mendapat penghasilan.
Memang sangat mudah menulis, kalau seorang penulis hanya melakukan
copy paste dari karya orang lain. Penulis seperti ini bisa malu seumur
hidup, karena akan dituduh sebagai plagiat!
Penulis memiliki pengalaman menulis yang berbeda-beda di media
cetak.Inilah salah satunya yang mungkin mampu memberi inspirasi bagi
pembaca.
**
Menulis di media cetak, semua berawal dari sebuah ide yang
dikembangkan menjadi sebuah tulisan: aktual, relevan dan bermanfaat bagi
pembaca. Enak dibaca dan perlu, seperti semboyan Tempo.
Ide bisa datang dari mana saja (pengamatan dari lingkungan sekitar,
membaca, mendengar, merasa dan lainnya) dan bisa muncul tanpa melihat
waktu (pagi, siang, sore, malam, dinihari).
Misalnya, sore hari, dua tahun yang lalu saya mengunjungi
Bawomataluo. Memandang kebelakang dari tangga terakhir ke arah pantai
Sorake, saya menyaksikan keindahan. Menatap kedepan muncul rasa ingin
tau atas sebuah misteri. Maklum, saya belum pernah mengunjungi kompleks
perumahan era megalitik itu sebelumnya.
Perjalanan itu memunculkan ide menulis dan mengembangkan ide tentang
pengalaman dan kekaguman dari orang yang baru pertama kali mengunjungi
Bawomataluo.
Dengan proses yang panjang, akhirnya, saya menghasilkan artikel
berjudul: Bawomataluo: Keindahan dan Misteri yang dimuat di mediaonline
Nias Bangkit, dan kemudian dimuat pula oleh media lokal Jarak Pantau,
detiktravel.com. Selain terhibur, artikel ini juga mengharapkan
pembacanya mendapatkan informasi tentang keindahan sebuah desa di Nias.
Suatu malam saya menonton televisi saat berlangsungnya kompetisi
artis-artis ASEAN Idol. Saya kagum melihat sportivitas para peserta saat
pengumuman juara digelar. Para bintang menerima kemenangan dengan
rendah hati, dan peserta yang kalah menerima kekalahannya dengan ikhlas.
Dari aktivitas ini muncul ide menulis perbandingan antara pemenang
ASEAN Idol dan Pemilu di Indonesia yang sering ricuh saat kalah dari
pesaingnya. Ide itu menghasilkan artikel berjudul: ASEAN Idol dan
Pemilu. Artikel ini berguna bagi pembaca agar meniru sebuah kompetisi
yang baik dan benar.
**
Ide-ide awal yang belum diperkaya dengan informasi tambahan, dan
tidak ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar biasanya masih
kering dan kurang menarik.
Setelah memperoleh ide, saya mencoba mengolahnya, mengaitkannya
dengan informasi yang sudah saya miliki dan merenungkannya
berkali-kali.Lantas, merasa ide itu cukup menarik dan mampu menulisnya,
saya merumuskan topiknya, temanya.
Misalnya, topik tentang perjalanan saya ke Desa Bawomataluo dan
temanya adalah kekaguman seorang yang pertama kali mengunjungi desa yang
memiliki 260 lebih rumah yang dibangun di era megalitik itu.
Setelah melakukan semuanya itu, saya mencoba meringkasnya dengan
paragraf yang menarik, membuat pembaca memiliki rasa ingin tau dan
mendapat penjelasan dari artikel itu.
"Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa Bawömataluo, Kecamatan
Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik suku Nias.Desa yang
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias Selatan ini memberi
rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan kawasan wisata budaya
lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata budaya lainnya di
Indonesia yang pernah saya kunjungi".
Ingat, menulis adalah menjelaskan sesuatu kepada pembaca, bukan untuk
dinikmati penulisnya sendiri.Jadi Anda menulis adalah memberi jawaban
kepada pembaca.Saya berharap pembacanya akan bertanya: macam manapula
Bawomataluo ini, katanya asing, dikaitkan pula dengan Borobudur. Coba
kubacaya!.
Lantas, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyan yang mungkin muncul
di benak pembaca dengan dan memetakannya dalam sebuah outline agar
uraian-uraian pertanyaan mereka dalam artikel tidak terlalu meluas.
Saya harus membatasi isi artikel dengan pokok-pokok yang menarik.
Membagi ide menjadi beberapa bagian. Misalnya, kesan memasuki wilayah
itu, perasaan saya ketika berhasil mencapai tangga terakhir dari 86
tangga yang sudah saya lalui, dan rasa ingin tau tentang desa
Bawomataluo ketika memasuki desa itu.
Saya menarik perhatian pembaca dan mengajak pembaca seolah bersama
sama melakukan perjalanan itu. Kata "misteri" saya pilih untuk menarik
perhatian pembaca. Saya menyadari dibatasi oleh jumlah kata yang harus
ditulis dan mampu menarik perhatian pembaca.(Media cetak, seperti
Analisa misalnya: hanya memerlukan artikel sepanjang 6000-7000
karakater.
Beberapa kali editor mengembalikan tulisan saya untuk diperpendek
karena terlalu panjang. Harap maklum, media juga memiliki visi bisnis
dan juga menjaga kebosanan pembaca!).
Pekerjaan saya kemudian adalah secara tahap demi tahap,
perlahan-lahan menuangkan dan memperkaya ide menjadi tulisan melalui
tuts ke layar komputer. Pembaca yang belum pernah menulis di media cetak
mungkin berfikir: menulis itu sekali jalan langsung jadi.
**
Pengalaman saya, berkali-kali menulis, berkali-kali pula muncul
kesalahan dan rasa ingin agar artikel lebih baik, kadang tak mengenal
waktu . Berkali-kali harus melakukan pengayaan informasi dan koreksi.
Mulai dari kalimat-kalimat yang masih kosong, bahkan saya sendiri
awalnya membaca artikel sambil tertawa.
Di awal penulisan sering muncul susunan kalimat yang tidak logis,
pemakaian kata-kata yang tidak tepat menggambarkan sesuatu (suasana,
gambaran tempat yang kurang lengkap), kesalahan penulisan kata (kurang
huruf, huruf yang ganda, misalnya pagi jadi paggi).
Saya hampir selalu mengalami salah ejaan (didalam,ke dalam—seharusnya
di dalam dan ke dalam), salah nama tempat atau orang, salah tanggal dan
banyak lagi yang harus dikoreksi.
Membaca kembali, membaca kembali, kemudian mengedit!. Itulah pekerjaan selanjutnya.
Sepintar apapun Anda menulis, memperkaya isi tulisan, editing menjadi sebuah proses penting.
Setelah menulis ratusan artikel dan beberapa buah buku,saya hampir
tidak pernah mampu menulis dengan sempurna. Bahkan setelah artikel
dimuat di media cetakpun masih mungkin terjadi kesalahan.
Filter terakhir seharusnya kita sendiri, karena banyak media tidak
memiliki editor bahasa. Pedoman paling baik adalah jadikan tulisan Anda
"enak dibaca dan perlu", seperti semboyan Majalah Tempo.
Ingat, menulis adalah mendokumentasikan peradaban yang akan dibaca
puluhan tahun kedepan, menawarkan seseorang menikmati informasi baru dan
sebisa mungkin mengajak pembaca bertindak kearah yang positif.
Kesalahan sekecil apapun akan membuat malu diri sendiri. Saya merasa
menyesal dan malu ketika membaca artikel saya dimuat di media cetak,
tetapi masih terdapat salah penulisan. Sudah begitu, tak jera-jera juga
membuat kesalahan!.
Tapi saya menghibur diri dengan kata-kata Einstein "Orang yang tak
pernah membuat kesalahan, tidak pernah menghasilkan sesuatu yang
baru".Tentu bukan berarti harus salah karena kemalasan membaca atau
tidak mengikuti aturan.
Wah, ternyata cukup panjang juga proses menulis artikel dimedia
cetak. Cukup panjang dan melelahkan bukan?.Sudah capek, seorang penulis
pernah menggerutu dan berkata: "Saya sudah menghabiskan waktu
berhari-hari menulis, tetapi tidak juga dimuat". Bayangkan!
Jadi, berilah penghargaan kepada mereka yang karya-karyanya sudah
dimuat di media cetak. Mereka sudah lulus melintasi berbagai proses yang
melelahkan.
Bacalah tulisan mereka dan berilah komentar dan tuliskan kesan Anda
melalui sms atau facebook. Atau setidaknya singgunglah artikel mereka
ketika Anda bertemu! ***
Penulis adalah kolomnis, berdomisili di Medan.
Artikel ini bisa juga diakses ke: http://www.analisadaily.com/news/17146/dari-ide-ke-artikel-di-media-cetak/