Sambungan dari bagian 2
Oleh: Jannerson Girsang
Suatu hari,
pagi-pagi sekali, ibunya pergi ke tiga.Semasa
ayahnya hidup, ibunya membawa gula aren.
Kini, ibunya hanya membawa
hasil pungutan ubi atau sayur dari ladang tempatnya bekerja atau sedikit beras
untuk ditukar dengan ikan atau kebutuhan pokok lainnya.
Sepulang dari tiga,ibunya membawa beberapa ekor ikan
mujahir serta bumbu jeruk asam, cabe, kemiri, kunyit dan garam.Demikian juga
buah-buahan.Pisang Ambon adalah makanan kesukaan Sarioto.
Air liur Sarioto
meleleh membayangkan malam itu dia akan menikmati ikan mujahir yang enak luar
biasa.
Sebelum memasak, ibunya
memberinya beberapa buah pisang Ambon yang membuat pipinya seperti bengkak
karena kepenuhan.
Biasanya Sarito
tidak merasa cukup dari pemberian ibunya.Sambil mengunyah-ngunyah pisang yang
satu sudah mau habis, dia merengek minta lagi, sampai ibunya marah.
Jangan
Lebih Sepotong Ikan
Sore itu Sarioto dengan
setia mendampingi ibunya yang baru pulang dari tiga mempersiapkan lauk untuk memasak ikan mujahir.
Dia memperhatikan
ibunya memotong jeruk nipis.Sesekali dia disuruh ibunya mengambil air ke
pancuran yang tidak jauh dari rumahnya.Pulangnya, ikannya belum masak.
Sarioto tidak sabar
menunggu.Sekali-sekali dia meninggalkan ibunya dan bermain dengan
teman-temannya di halaman rumahnya.
Capek bermain, dia
kembali lagi ke rumah karena diciumnya bau masakan yang mengundang air liurnya.
Sore itu dia memang
sudah lapar, karena sejak siang tidak makan.Ditambah lagi, sejak sehari sebelum
tiga, mereka hanya memakan nasi dan
sayur rebus, tanpa ikan. Pasalnya,
ibunya hanya berbelanja sekali seminggu.Lauk ikan selama seminggu dimasak hanya
satu kali di dalam periuk tanah.Itulah lauk mereka hingga tiga berikutnya
Setelah lelah
bermain di luar, Sarioto kembali masuk ke rumah.
“Sudah masak ikannya
Bu?,”ujarnya, sambil menyeka keringatnya.
“Sebentar lagi Nak,
main dulu dengan teman-temanmu, nanti Ibu panggil kalau sudah masak,” bujuk
ibunya dengan sabar anak semata wayangnya itu. Ibunya merasa kasihan melihat
anaknya yang sudah kelaparan, namun apa boleh
buat, bahan bakar kayu api tidak bisa memasak dengan cepat.
Setelah bermain
beberapa lama, Sarioto dipanggil ibunya.
“Sarioto….Sarioto…..!.
Mari Nak ikannya sudah masak.Mari makan……,” terdengar suara ibunya memanggil dari
dalam rumah.
“Jalotup, aku
permisi dulu ya.Kami mau makan,”pintanya kepada teman-temannya dan pamit
meninggalkan mereka sedang margala.
(main petak umpat yang diberi garis segi empat sebanyak empat petak)
Mendengar panggilan
ibunya, Sarioto langsung memikirkan lezatnya makanan dan tanpa pikir panjang
langsung meninggalkan teman-temannya. Permainanpun bubar.
“Uuuu…h,”gerutu
teman-temannya yang ingin terus bermain dengan Sarito.Merekapun bubar karena
satu anggotanya sudah pergi.
Sarioto berlari
cepat menuju rumahnya, tanpa menghiraukan ocehan teman-temannya. Hampir saja
dia menabrak pintu karena cepatnya berlari. Dari depan pintu dia sudah mencium
bau sambal dari dapur rumahnya. Dibukanya pintu rumah yang sudah hampir rubuh
itu, lalu masuk dan disambut ibunya dengan hangat.
”Mari Nak, ibu sudah
siapkan makan malam,”ujar ibunya, sambil menuangkan kuah ikan mujahir ke
piringnya.
Meski dibawah sinar
lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, mata Sarioto begitu tajam memilih
daging ikan, tanpa kena durinya. Pertunya yang sudah lapar segera dipenuhi oleh
makanan lezat di depannya.
Sayangnya, seenak
apapun ikan yang dimasak ibunya, Sarioto hanya boleh memakan sepotong saja.
Aturan keras dari ibunya, karena ibunya hanya mampu menyediakan sepotong ikan
bagi anak dan dirinya setiap kali makan.
Tetapi malam itu,
Sarioto tidak mau turut aturan.“Bu, aku tidak cukup satu potong ikan
malamini.Dua potong ya Bu,”ujarnya.
Dengan berat hati,
ibunya meluluskan permohonan anaknya.
“Ya, boleh.TapI
hanya malam ini.Besok harus sepotong sekali makan,”perintah ibunya.
Malam itu, Sarioto
makan dengan lahapnya. Tiga piring nasi
dan dua potong ikan mujahir yang cukup besar.Mulutnya penuh dan sebelah pipinya
terlihat bengkak.
Tapi, setelah
selesai makan dan dua potong ikan sudah habis, Sarioto masih meminta tambah.
Kali ini Sarioto
harus mengigit jari.Ibunya melarangnya sambil marah.Dia tidak diizinkan lagi
memakan ikan tambahan.
“Ini ikan kita
seminggu Nak. Kalau dimakan lebih dari satu potong, ikan kita tidak cukup,”ujar
ibunya geram, karena dengan memberinya dua potong malam itu, berarti malam
sebelum tiga berikutnya dia akan makan tanpa ikan lagi.
Ibunya kemudian
menyimpan semua ikan yang dimasaknya dalam periuk tanah dan menyimpannya di
atas para-para.
Tamak:
Awal Menipu
Malam itu Sarioto tidur
gelisah. Dia memikirkan enaknya ikan
mujahir yang disimpan ibunya di dalam
periuk tanah. Sementara ibunya hanya mengizinkannya satu potong setiap
kali makan.Matanya tidak bisa terpejam walau tengah malam sudah menjelang.
“Ah…bagaimana
caranya agar saya bisa makan ikan-ikan itu?,” pikirnya, sambil melirik ibunya
yang sudah mulai lelap disertai dengkuran yang memecah kesunyian di rumah itu.
Keinginan Sarioto
untuk melahap ikan yang tersisa untuk persiapan seminggu itu diurungkannya
untuk sementara.Diapun tertidur di atas tikar beralas tanah di samping ibunya.
Pagi-pagi sekali
Sarioto sudah bangun. Tidak seperti biasanya, dia membangunkan ibunya waktunya
tiba untuk memasak makanan mereka hari itu.
“Bu…Bu. Bangun Bu…masak!,”katanya
sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya.
Ibunya terbangun dan
heran biasanya dia yang membangunkan anaknya, justru sebaliknya. Tetapi dia
senang karena anaknya memberi perhatian padanya.
“Kamu makin besar
anakku, makin pintar,”ujarnya sambil mencubit pipi Sarioto. Sarioto tersipu dan
menunduk malu. Dia sebenarnya berpura-pura baik. Padahal dalam hatinya
tersimpan sebuah rencana jahat.
Ibunya tidak
mengetahui niat jahat anaknya.Saat itu Sarioto sedang mencari alasan tidak ikut
ibunya ke ladang.Sarioto sudah mengatur alasannya semalaman.
“Bu, saya hari ini
tidak ikut ke ladang ya.Badan saya tidak enak, karena kena hujan semalam,”katanya.
Sarioto juga menceritakan
mengapa dia tidak bisa tidur malam sebelumnya.