Oleh: Jannerson Girsang
Sumber foto: www.antaranews.com
Bincang-bincang kami makin hangat dan menarik. Tak terasa gelas kopi pesanan pertama sudah kosong. “Tambah kopinya bang,”pintanya kepada lelaki pemilik kedai setengah umur itu. Sedikit membuat heran pelanggan yang duduk di samping kami.
Idris kembali menarik asap rokoknya dalam-dalam, seolah memikirkan sesuatu. Lantas, pria yang masih punya segudang mimpi di usia enampuluhan itu berkisah keadaan masa lalu sastra dan musik di Sumatera Utara.
“Sebelum Indonesia merdeka hingga tahun enampuluhan, Medan adalah ibu kota sastra Indonesia,”ujarnya mantap!. Memang, sastrawan-sastrawan asal Medan di masa lalu cukup punya nama di negeri ini. Sebut saja misalnya Khairil Anwar, Sanusi Pane, Armyn Pane dll!.
(Bahkan jauh sebelumnya, pada dekade 1920-an, atau jauh sebelum Indonesia Merdeka buku sastra dari sudah banyak menerbitkan sarta baik yang berbahasa Melayu maupun Batak. Tak usah jauh jauh, baca buku William Iskandar, sastrawan dari bangsa Mandailing itu, Sutan Hasundutan Pane, atau riwayat penerbitan buku yang kontroversial, Tuanku Rao. Jejak-jejak kejayaan sastra di Sumatera Utara masih bisa terlihat. Misalnya Penerbit Sastra Leo, warisan sangat berharga dari penyair Aldian Arifin).
Di mata Idris novel-novel Matu Mona merupakan karya sastra yang sangat bermutu yang dipublikasikan di era 50-an. “Hanya novel karya Pramoedya saja yang bisa menyaingi novel itu,”ujar sastrawan Sumut yang seangkatan dengan Eddy D Iskandar Pipit Senja, Mazza Yudha, Foeza Hutabarat, Iwan Lubis, Ishari Munir, As Atmadi ini.
Idris merindukan terbukanya mata para masyarakat dan pejabat daerah ini kepada seni dan budaya. “Para pejabat buta seni, buta budaya. Negara yang menghargai sastra umumnya kehidupan dan kemajuan negaranya lebih bagus. Lihat misalnya Eropa dan Malaysia. Sastrawan sangat dihormati di sana” ujarnya.
Kenapa kita perlu sastra?. ”Sastra adalah penyeimbang perilaku dan pikiran, pikiran dan hati (logika dan non-logika). Bisa berbicara apa saja. Spesialisasi sastrawan adalah generalis. Sidney Seldon, seorang sarjana filsafat. Dia bisa berbicara tentang pesawat Concord, jenis senjata dan lain-lain. Sastra adalah areanya semua disiplin ilmu”.
Idris menaikkan nada suaranya dan sedikit lebih bersemangat. “Jurnalis bisa dibungkam tetapi karya sastra tidak bisa dihambat, karena dia fiksi. Saya bermimpi jadi presiden, tidak bisa dituntut,”ujarnya.
.
Kejayaan masa lalu sastra di Medan, membuat dirinya optimis bisa terwujud. “Saya bermimpi, ibu kota sastra harus kembali lagi ke Medan”ujar Idris.
Tapi tentunya tidak mudah. Bahkan Idris sendiri menyebut hambatan-hambatan berkembangnya sastra di daerah ini.
Perhatian para sponsor memang sangat sedikit ke dunia seni. ”Di Medan belum ada sponsor sastra yang mau, karena kembalinya modal cukup lama,sementara kebanyakan masih berpandangan pragmatis” katanya.
Sambil meletakkan gelasnya ke meja setelah menghirup kopi hitamnya, bang Idris beralih ke perbincangan soal seni.
Sambil matanya menerawang ke atas, Idris bercerita tentang Tapian Daya dan Studio Film di Sunggal, serta kejayaan musik Sumut masa lalu..
“Itu studio film terbaik di Sumut. Dibangun oleh Marah Halim, diberdayakan oleh EWP Tambunan. Gubernur-gubernur sesudahnya hampir tidak memperdulikannya lagi,”ujarnya dengan rasa pesimis. . .
Menerawang ke masa lalu, Idris menyebut Sumut kaya grup-grup musik dan ensamble. Misalnya ensamble Bukit Barisan, Orkes Studio Medan, RTM Orkes. Juga banyak Band yang populer dan sangat dikagumi. The Rithm Kings, The Mercys, Destroyer, Bayangkara, Nias Nada Band, Para Nada Band (milik PTP II.
”Kalau orang Sumut show di Jawa mendapat sambutan yang luar biasa. Kini kita bangga menonton Band dari luar Sumatra,”ujarnya
Semua itu harus dikembalikan. ”Medan juga harus menjadi ibu kota musik,”ujarnya.
Satu lagi keprihatinan Idris adalah penulisan budaya yang dikaitkan dengan keindahan alam dan budaya provinsi ini. Dia sangat gerah melihat miskinnya eksplorasi alam dan budaya kita yang kaya untuk promosi wisata daerah ini.
Dia membandingkan dengan Bali. Setelah bom Bali 1 dan 2, pemerintah mendukung SCTV membuat film TV. Para seniman digerakkan untuk menulis tentang Bali. Di sana ada Ubud Writers. Padahal, Sumatera Utara sangat potensial dan banyak keindahan alam dan budayanya.
Hardy seorang pelukis terkenal dari Yogya, mengatakan: ”Dari manapun Danau Toba Indah. Sambil buang air, memandang kemanapun Danau Toba Indah. Kenapa tidak ditata. Kalau alam seperti ini ada di Yogya, wah pasti sudah luar biasa. Dari pesawat terlihat indah, tiba di darat suasananya indah dan menyejukkan”.
“Saya akan menggagasi adanya Toba Literary Festival yang dilaksanakan setiap tahun. Rencananya dilaksanakan Juni 2012,” ujarnya. Selain mengangkat budaya, menurut Idris, festival seperti ini juga mengangkat wisata di wilayah Toba dan daerah wisata lainnya..
Menggali potensi keindahan alam dan budaya dengan melibatkan para penulis, seniman di Bali cukup berhasil untuk promosi wisata, memperbaiki citra wisatanya. Citra Bali yang sempat mundur setelah bom Bali 1 dan 2 kini pulih. Mengapa pula Sumut tidak bisa?
Mimpi-mimpi dan harapan-harapan ini tentunya bukan hanya milik Idris, tetapi milik masyarakat Sumatera Utara. Mari, membuka mata!.