My 500 Words

Senin, 16 Maret 2009

MELONGOK PENGUSAHA KEMENYAN ERA 30-AN

Oleh : Jannerson Girsang

Julius Nainggolan, pengusaha kemenyan di era 1930-an sampai 1950-an, tidaklah banyak diketahui masyarakat luas di Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, desa kecil Huta Julu, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, barangkali tak pernah tersebut, bahkan di peta umum propinsi yang dipublikasi luas, desanya tidak tercantum. Sama seperti wilayah Humbang yang selama ini dikenal dengan “Si Jama Polang” (Petani Kemenyan), kurang begitu dikenal kalangan generasi muda maupun masyarakat Sumatera Utara sebagai wilayah wisata agro.

Sama seperti kami sebelum mengunjungi wilayah ini, kebanyakan masyarakat Sumatera Utara di luar Humbang, tidak begitu mengenal akan tanaman khas daerah ini, Haminjon Toba (Styrax paralleloneurum) dan Haminjon Durame (Styrax benzoin)!.Apa lagi kisah sukses mereka yang pernah mengelola komoditi ini, seperti Julius Nainggolan dan puluhan pengusaha lainnya. Padahal, aktor-aktor pengelola kemenyan sebenarnya adalah pengusaha kelas-kelas dunia, karena wilayah itu merupakan penghasil kemenyan terbesar di dunia!. Tidak ada daerah lain yang menawarkan wisata seperti ini di Indonesia. Bagi pencinta wisata agro ada baiknya melongok wilayah ini sebagai satu alternatif tempat berlibur sekaligus tempat belajar bagi para remaja dan anak-anak muda. (Pelajar dan Mahasiswa).

Selain kemenyan, kota penghasil komoditi dunia lainnya sebenarnya tidak begitu jauh dari sini, yakni Barus. Jaraknya dari Onan Ganjang ibu kota kecamatan Onan Ganjang hanya 52 kilometer. Tidak jauh dari sana, Bakkara, terdapat istana Sang Raja Sisingamangaraja XII. Sebenarnya potensial untuk sebuah paket wisata.

***

Wisata agro dan kisah sukses pengusaha kemenyan terdapat di banyak tempat di Humbang. Salah satu diantaranya adalah Huta Batuara. Siang itu, Jumat 15 Februari 2008, suasana kampung begitu senyap. Rumah-rumah kosong. Di pekarangan terlihat beberapa wanita tua sedang berbincang-bincang. Di sudut lain dua atau tiga orang siswa Sekolah Dasar sedang bermain. Sekolah Dasar adalah satu-satunya fasilitas pendidikan satu-satunya di desa itu. Dua kompleks makam berdiri megah, diam membisu di antara 13 rumah di kampung itu. “Ibu-ibu bekerja di sawah dan para bapak-bapak ke tombak,”ujar seorang pria berusia 60-an. Begitulah desa itu dari masa ke masa, tanpa perkembangan yang berarti.

Di tengah-tengah suasana hening seperti itu, pandangan mata tertuju pada sebuah rumah. Dari luar, tampak ukurannya relatif besar dan tinggi menjulang dengan arsitektur campuran Batak, Melayu dan Barat, dibangun sekitar pertengahan 1930-an. Sungguh berbeda dari rumah-rumah lainnya. Proses pelapukan ternyata tak terhindarkan, sehingga bentuk asli bangunan tersebut sudah mengalami sedikit perubahan akibat renovasi. Untungnya, bangunan asli seperti bagian atap, desain ruangan masih dapat terlihat dengan jelas. Pemilik rumah pasti adalah seorang yang istimewa dari umumnya penduduk kampung itu. Muncul rasa kagum, mengingat arsitektur dan ukuran rumah seperti itu dibangun pertengahan dekade 30-an!.

Melongok ke dalam rumah, pertama kekaguman muncul saat melihat ruang tamu. Ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang “kongko-kongko” atau tempat pertemuan, yang bisa menampung sekitar 100 orang. Selain itu, terdapat 7 buah kamar tidur dan kamar mandi berjajar di seputar ruang tamu dan bagian belakang rumah. Sebuah pertanda bahwa pemiliknya menerima tamu-tamu dari luar, tidak hanya petani-petani atau pedagang kemenyan di sekitar Huta Julu. Konon semasa pendudukan Belanda sampai 1942 di wilayah ini, para petinggi pemerintahan kerap mengunjungi rumah itu. Ini menggambarkan, pemiliknya adalah orang yang memiliki wibawa, tidak hanya dengan sesama pengusaha tetapi juga diantara para penguasa ketika itu. ”Orang-orang Belanda dulu sering bertamu dan menginap di rumah itu,”ujar Jakin Nainggolan (77), yang dulu pernah menjadi ”sijama bajut” (bendahara) si pemilik rumah.

Menurut Jakin Nainggolan, di sisi kanan rumah dulu terdapat garasi. Sang pemilik rumah rupanya sudah memiliki mobil di era 1930-an. Mobil KOPE, demikian penduduk kampung menyebut merk mobil milik Julius di era 30-an. Memiliki sebuah mobil pada masa itu adalah sebuah sukses besar ditengah-tengah masyarakat yang ketika itu masih terbiasa berjalan kaki dari desa itu sampai ke Dolok Sanggul yang berjarak sekitar 25 kilometer. Di sebelah kiri, terpisah dari rumah itu terdapat sebuah rumah kayu yang berkolong. Dulunya bangunan itu gudang kemenyan. Disinilah kemenyan dikeringkan, disortir menurut kualitasnya, dan dikemas dalam kotak sebelum dikirim ke luar Huta Julu.

Pemilik rumah itu adalah Julius Nainggolan, seorang pengusaha kemenyan besar di era 1930-an. Dia adalah seorang petani kemenyan yang ulet dan menikah dengan Binaron Br Silaban, seorang “partiga-tiga” (pedagang). Julius ditinggal ayahnya semasa masih anak-anak. Meski tidak mampu membaca dan menulis, keuletannya dan kelihaiannya bertani dan berdagang, membuat dirinya menjadi seorang pengusaha kemenyan ternama di Humbang sampai dengan akhir 1950-an. Bahkan sekitar 1954, dia mendirikan NV Dolok Pinapan, berbasis di Dolok Sanggul. Di masa Jayanya, NV Dolok Pinapan adalah sebuah perusahaan perdagangan kemenyan yang menjual kemenyan ke Jawa dan bahkan ke luar negeri. Perusahaan itu bangkrut, hanya beberapa tahun setelah dia meninggal dunia pada 26 Januari 1960 (terlihat di nisan makamnya di Batuara).

Konon, di masa jayanya, dua minggu sekali, Julius mampu mengirim 1 truk kemenyan ke Pematangsiantar atau ke Sibolga. ”Kakek sudah berdagang sampai ke Singapura, walau desanya kecil,”ujar John Pieter Nainggolan salah seorang cucunya. Dia mengumpulkan kemenyan dari para petani di sekitar Huta Julu.

Selain sebagai pengumpul kemenyan, Julius juga memiliki lebih dari 10 hektar tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Bahkan ladang dan sawah. Julius sebenarnya bukan penduduk asli kampung Huta Julu, dia berasal dari Bonan Dolok tidak jauh dari desa Huta Julu. Konon setelah Julius menapaki sukses, dia bisa memiliki sebidang tanah di Batuara dan kemudian memiliki tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Julius kemudian mengajak saudara-saudaranya pindah dari desa lain ke huta Julu bahkan membentuk huta Batuara. ”Ketika itu amanguda, amangboru, adikku, anak amangtua, amangtua membantu dia untuk mengerjakan tombaknya” ujar Jakin Nainggolan, salah seorang bekas sijama bajut (bendahara Julius) menggambarkan kiat Julius untuk membesarkan usahanya, sekaligus membantu keluarganya. Semua keluarga Julius bekerja di tombak atau sawahnya. Julius memperoleh kemenyan (si jama polang) dari lahan miliknya sendiri. Dia juga pemilik sawah yang dikerjakan penduduk desa. Setiap tahun Julius mengumpulkan hasil kemenyan dan hasil-hasil ladang lainnya yang hasilnya dibagi dua dengan para pekerjanya.

Kalau dihitung-hitung, dari tombaknya saja Julius menghasilkan setidaknya 2.5 ton per tahun getah kemenyan. Kalikan saja kalau harga satu kilogram kemenyan di Dolok Sanggul bulan Pebruari 2008 lalu, katakan Rp 75,000 per kilogram (Kami menghitungnya, ketika melihat harga kemenyan di Dolok Sanggul saat mengunjungi pekan di kota itu Jumat 16 Pebruari 2008). Dari tombaknya saja, bisa dikalikan berapa penghasilan Julius. ”Paramak na so habalunon, tikar yang tak pernah digulung”, ”partataring na so ra mintop, tungku yang tak pernah padam” Demikian ungkapan orang desa itu atas kebesaran Julius.

Kebesaran Julius Naingolan, juga masih bisa disaksikan dari makam yang ada di sekitar kampung Batuara. Ada tugu Ompu Solam Nainggolan dengan keturunannya. Dia mampu mengumpulkan saudara-saudaranya di desa itu dari desa lain. Makam yang ada di sana menunjukkan bahwa Julius keturunan Ompu Solam Nainggolan, yang tulang belulangnya diangkut dari Bonan Dolok, desa yang berjarak beberapa kilometer dari kampung itu pada 1981. Puluhan jasad keluarga besar mereka dimakamkan di sana. Ini juga sebuah pemandangan akan sebuah kesatuan keluarga mereka di masa lalu, dan bertahan hingga sekarang ini, walau sebagian besar mereka ada di rantau.
 
***
Huta Batuara jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari Medan ibu kota propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Muara kemudian ke Dolok Sanggul, atau kalau mau melihat lapangan Terbang Silangit dan Pacuan Kuda bisa melalui Siborongborong. Kami memilih alternatif terakhir karena ingin melihat lapangan terbang Silangit dan Pacuan Kuda terbesar di Sumatera Utara itu. Setelah mengendarai mobil selama 75 menit dari Siborongborong, kita akan tiba di sebuah kota kecil Onan Ganjang. Sebuah pertigaan sesudah pasar Onan Ganjang, membeloka ke kiri dari jalan Raya Dolok Sanggul-Pakkat, belok ke kiri menjadi titik putar menuju desa Huta Julu. Dari sana dibutuhkan 20-30 menit untuk sampai di Huta Batuara.

Sepanjang perjalanan dari Dolok Sanggul beberapa pohon kemenyan berdiri tegak di pinggir jalan. Lobang-lobang bekas panenan terlihat jelas dengan kasat mata. Melihat orang memanen kemenyan merupakan pemandangan tersendiri. Karena pohonnya tinggi, maka panen dilakukan dengan memanjat dengan menggunakan alat khusus. Para pemanjat pohon kemenyan menggunakan tali yang terbuat dari ijuk dan “riman”—seperti ijuk tetapi lebih kuat daya tahannya. Tali itulah digunakan sebagai pengganti “tangga”. Mereka menyebutnya Polang. Itulah sebabnya mereka disebut Sijama Polang. Para pemanjat bergerak dan memindahkan tali ke arah puncak, kemudian bergerak lagi dan demikian seterusnya. Mereka bisa mencapai ketinggian 30 meter, kadang terlihat bergoyang-goyang. Ngeri juga!

Melalui jalan aspal yang sempit, dengan pemandangan sawah dan tanaman kemenyan di kiri kanan jalan, kampung itu dapat dicapai dalam waktu hanya 20-30 menit. Pada penggalan jalan tertentu, di kiri atau kanan jalan mata akan menyaksikan lembah-lembah dalam dan suara gemericik air jernih yang mengalir mengikuti alur lembah tersebut. Suara gemercik air dari sungai-sungai jernih yang mengalir deras, suara-suara burung dari tengah hutan bercampur baur menerpa telinga, alam hijau nan indah memberi pemendangan segar bagi mata. Kadang disebelah kanan kita bukit yang terjal seolah mengancam muntahan onggokan tanah di atasnya yang dapat menerpa siapa saja yang lewat, seolah menawarkan sebuah petulangan

Hutan-hutan alam di lembah dan kaki bukit, memberikan berkah bagi penduduk berupa pohon-pohon kemenyan dan kayu api. Dari sebuah bukit saat istirahat, tampak pemandangan menonjol. Pepohonan yang memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20-30 cm, tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Batangnya lurus dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Terlihat daunnya tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung daun meruncing. Inilah pohon kemenyan, sebuah komoditi yang mengangkat nama Huta Julu ke permukaan pada era 30-an. Kalau kita mendekat ke pohon, terlihat lobang-lobang disepanjang batang dari bawah ke atas. Ini menunjukkan aktivitas penduduk menyadap kemenyan masih aktif. Buahnya berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan keras.

Di beberapa tempat dipinggir jalan, terlihat kayu api yang sudah mulai kering, tersusun rapi. Sebuah pertanda bahwa kebiasaan di masa lampau sampai sekarang masih dilakukan sebagian penduduk. Hutan masih merupakan sumber kayu untuk kebutuhan bahan bakar.

Di penggalan jalan lainnya sawah menghijau terhampar di kiri kanan jalan. Sebuah kehidupan kampung yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu dan tidak banyak mengalami perubahan. Sawah dibajak dengan kerbau, pematang dibentuk dengan cangkul dan tangan.

Di kiri kanan jalan juga terlihat tanaman baru yang terlihat adalah kopi sigarar utang. Menurut Sekretaris Camat (Sekcam) Kecamatan Onan Ganjang, Leiker Nainggolan, tanaman baru ini sudah mulai merubah kebiasaan masyarakat di sana. Sebelumnya, mereka hanya tergantung pada tanaman hutan kemenyan atau hasil sawah. “Kehadiran kopi sigarar utang banyak membantu ekonomi kami,”ujar P.Sihombing, seorang pensiunan guru SMP di Onan Ganjang.

Setelah meliuk-liuk mengikuti tikungan, kemudian mendaki dan menuruni bukit-bukit, sebuah pertigaan muncul di depan. Bagi orang baru, kondisi persimpangan seperti ini bisa memilih jalan yang keliru karena tidak ada tanda-tanda penunjuk arah. Tapi jangan takut, penduduk di sana ramah dan perhatian kepada tamu. ”Ke kiri adalah Bonan Dolok, ke kanan adalah Huta Julu”, demikian penduduk kampung memberi petunjuk. Sebuah pengalaman perjalanan yang menarik! Ramah dan polosnya penduduk desa. Kemudian kita mencapai Batuara, Huta Julu.

***
Setelah mengunjungi rumah dan tombaknya Julius, kami kembali ke Siborong-borong. Tour berikutnya adalah memutar balik melalui Onan Ganjang ke pekan Dolok Sanggul, yang jaraknya 25 kilometer. Hari Jumat adalah pekan mingguan di kota itu. Dolok Sanggul adalah transaksi kemenyan terbesar di dunia!. Menurut JN Nainggolan, tidak kurang dari 15 pengusaha kemenyan mengumpulkan kemenyan dari petani-petani kemenyan, baik dari wilayah Humbang maupun Pangaribuan dan Sipahutar.

Usai transaksi, beberapa petani kemenyan masuk ke rumah makan yang menyediakan daging kuda!. Sebuah ciri khas Dolok Sanggul. Daging kuda cukup enak. Di Dolok Sanggul setiap hari tersedia daging kuda. Kalau di kampung saya di Saribu Dolok, daging kuda hanya tersedia saat Perayaan Ulang Tahun Republik Indonesia atau Tahun Baru.

Mengunjungi gudang-gudang proses pengolahan kemenyan sampai siap untuk dikirim, memberikan kesan baru. Dari bahan yang disadap petani, kemudian dikeringkan, dipisahkan sesuai dengan kualitasnya, semua dilakukan di puluhan gudang yang terdapat di Dolok Sanggul. Menurut seorang penjaga gudang di Dolok Sanggul, tingkat kualitas kemenyan bisa sampai 8 jenis. Mulai dari jenis lak-lak yang terendah sampai kasar I yang paling mahal. Diantara jenis tertinggi dan terendah itu ada ukuran yang diberi nama menurut jenis tanaman. Misalnya kacangan, ukurannnya sebesar kacang, jagungan, berasan dan jenis lainnya.

Suasana di gudang kemenyan menyemburkan semerbak aroma yang sangat khas dan mengesankan. Wewangian yang berbeda dari yang pernah kami cium. Sebuah weangian kemenyan yang khas. “Kalau anda berada di gudang kemenyan anda akan merasa dunia luar itu bau,”ujar seorang petugas gudang milik TN Nainggolan di Dolok Sanggul.

Beberapa keluarga saudara satu ompung Julius, yang pernah dibinanya di masa kejayaannya, seperti Jakin Nainggolan dan TN Nainggolan kini melanjutkan usaha pedagang pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul. Keduanya kini menjadi pengumpul kemenyaan terbesar di Dolok Sanggul dan menjualnya ke Magelang, Purwokerto dan Semarang di Jawa Tengah.

***

Di perjalanan kami merenung sejenak. Batuara, kini hanya sebuah kenangan kejayaan masa lalu seorang pengusaha kemenyan ternama. Bangunan rumah hampir tidak bertambah, penduduknya sebagian besar adalah orang-orang tua. Bahkan tidak ada satu orangpun anak cucu Julius Nainggolan yang melanjutkan usaha kemenyannya. Rumah besar itu tidak dihuni. Anak-anak dan cucu Julius kini sudah berdiam di kota. Tombaknya di Adian Bolak, dulunya menghasilkan ratusan juta rupiah per tahun, kini dibiarkan menjadi hutan “abadi”, hanya mengawetkan lahan dari kerusakan erosi.

Padahal, kemenyan daerah ini sangat digemari nun jauh di seberang di luar Batuara, Huta Julu. Kemenyan tidak hanya digunakan untuk ritual seperti di Bali dan para penganut kepercayaan di Jawa. Lebih dari itu, kemenyan juga sering digunakan sebagai pengharum rokok kretek, bahan baku kosmetika dan bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang serta bahan pengawet dan bahan baku farmasi/obat-obatan, bahan campuran dalam pembuatan keramik agar lebih kuat dan tidak mudah pecah. Bahkan di negara-negara Eropa kemenyan digunakan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan.

Penduduk Huta Batuara sendiri hanyalah petani-petani kemenyan kecil-kecilan. Belum ada terlihat tanda-tanda pengembangan bibit dan teknologi penanaman dan pemenenan masih belum banyak berubah dari masa ke masa. Tampaknya, merekapun sudah mulai tertarik menanam kopi sigarar utang. Kalau itu lebih menguntungkan, barangkali mereka akan meninggalkan kemenyan. Tidakkah bangsa ini perlu memikirkan sistem pertanian yang bisa membangkitkan lagi kejayaan masa lalu hingga bisa berlanjut sampai selama mungkin?. Tidak mustahil suatu saat kemenyan akan lenyap dari Huta Batuara, bahkan dari Humbang. Butuh rasa cinta, pemahaman dan kreativitas anak-anak muda. Jangan biarkan Haminjon Toba dan Haminjon Durame punah!

Dimuat di Harian Analisa, 14 Maret 2008

Jumat, 13 Maret 2009

S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi “Kurator Museum”


S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi Kurator Museum

Oleh Jannerson Girsang

Meski rambutnya mulai memutih, dan sudah pensiun sejak enam tahun lalu, namun pria bertubuh tegap ini, masih setia menunaikan tugasnya sebagai kurator museum. Dengan sikap ramah dia menyapa kami saat mengunjungi museum yang dipimpinnya baru-baru ini. Layaknya seperti seorang ilmuwan, dengan suara bariton dan tutur bahasa sederhana, pria ini piawai menjelaskan secara detil barang pusaka serta situs-situs yang terdapat di kompleks museum itu. Dialah S.Andreas Lingga yang selama 26 tahun melakoni “kurator museum”, demikian pria itu menyebut pekerjaannya. Dengan bangga pria kelahiran desa Saribujandi, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, 13 Juni 1942 ini, mengisahkan pekerjaannya yang langka itu.

Sebelum menjadi “kurator museum”, kiprahnya berawal dari pegawai rendah di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud), Kecamatan Purba pada 1976. Sambil bekerja sebagai pegawai, Andreas bekerja sampingan sebagai pemusik dan menciptakan pakaian-pakaian adat. “Dulu, saya adalah pemain musik tradisional dari kampung ke kampung,”ujarnya. Tak heran, kalau Andreas menguasai musik tradisional seperti sarune, husapi, sordam, tulida dan satu alat musik yang unik yakni saligung. Saligung adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan ditiup dengan hidung.
  Sebagai pencipta pakaian adat, salah satu diantara ciptaannya adalah gotong yang diberi nama “Gotong Habonaron do Bona”, yang kemudian digunakan bagi 1000 orang kontingen Simalungun pada Pesta Danau Toba di era -70an. Menurut Andreas, karyanya ini, ternyata memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh yang peduli kepada pelestarian adat dan budaya di Kabupaten Simalungun.
  Beberapa tahun kemudian, dia diminta Lettu (Purn) Musa Sinaga, yang saat itu memimpin Yayasan Museum Simalungun untuk mengelola museum Simalungun menggantikan Gajim Purba yang ketika itu sudah memasuki usia tua. “Saya diminta untuk mengelola musem ini,”ujar Andreas mengenang awal kariernya sebagai “kurator museum”. Dia hijrah dari desanya ke Pematangsiantar, persisnya 1 Maret 1982.
  Selama menggeluti kariernya mengelola museum, Andreas Lingga mengaku memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi kelangsungan pelestarian budaya dan sejarah masa lalu.
  Selama kiprahnya sebagai “kurator museum”, pria yang hobby membaca buku sejarah itu sudah mengunjungi berbagai museum di dalam maupun luar negeri. Pada 1993, dia ikut rombongan dari Indonesia melakukan rangkaian kunjungan ke berbagai museum di luar negeri yakni ke Art of Culture di Singapura, Tropen di Amsterdam, Flan Kunde di Swiss, Arts of Sclupture di Berlin, Jerman. Demikian juga, dalam waktu terpisah, dia mengunjungi beberapa museum di dalam negeri seperti Museum Bahari, Museum Negeri Sumatera Utara dan lain-lain.
  Baginya mengelola museum bukan hanya sekedar pekerjaan rutin, tetapi merupakan sumber inspirasi, sehingga dia tidak pernah merasa pensiun. “Kalau pengunjung lagi sepi, saya membaca dan menulis buku,”ujar pria yang pensiun dari Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Simalungun pada 2002.
  Tak heran, kalau lulusan SMA Taman Siswa ini telah menulis beberapa buku tentang budaya Simalungun diantaranya Ornamen Simalungun (1979), Mengenal Peralatan dan Musik Tradisional dan Olah Raga Sumatera (1985), Peralatan Musik Tradisional Simalungun (1987), Kumpulan Cerita Rakyat Simalungun (2002), Transliterasi Pustaha Laklak dalam bahasa Indonesia, Inggeris (2003). Selain itu, Karya-karya “Ornamen Simalungun” yang dikerjakannya juga menghiasi beberapa bangunan di kota Pematangsiantar seperti Pajak Horas, Bank Rakyat Indonesia, Rumah Dinas Bupati, Kantor Perusahaan Listrik negara, Kantor Kejaksaan Negeri Simalungun, Anjungan Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan lain-lain. “Dari hasil penjualan buku-buku dan pekerjaan sampingan inilah sedikit menunjang ekonomi keluarga,” katanya.
  Pengalaman yang berkesan bagi Andreas adalah ketika sebuah konsulat asing di Medan pada 1985 mensponsori pameran budaya Simalungun di kantor LIA atau sekarang Pusat Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA) di Medan selama beberapa hari. Ketika itu, menurutnya, semua situs dan barang-barang kuno diangkut ke Medan dan dipamerkan kepada pengunjung. “Saya merasa sangat terhormat, ketika barang-barang di museum kami bisa dipamerkan sehingga dapat dilihat dan dipelajari masyarakat luas,”ujarnya. Menurutnya, usaha-usaha seperti ini seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat lainnya.
  Andreas merasa bangga bahwa Museum Simalungun telah menjadi laboratorium bagi beberapa peneliti asing. Diantaranya adalah peneliti Jepang Haruki Yamamoto, seorang guru besar Univeritas Nara, Jepang pada 1985, mulai melakukan penelitian tentang aksara Simalungun. “Yamamoto bahkan sudah mampu menulis dan membaca aksara Simalungun,”ujar Andreas. Yamamoto masih melakukan kunjungan terakhir pada 1990. Kemudian dia menyebut beberapa peneliti asing lainnya yang menggunakan museum itu sebagai sumber referensi penelitiannya.
  Namun di sisi lain, Andreas cukup prihatin pada masa depan museum yang kini dikelolanya, khususnya setelah krisis ekonomi dan kondisi keamanan yang berdampak pada menurunnya jumlah pengunjung museum yang dikelolanya. Jumlah wisatawan asing menurun drastis sejak krisis berlangsung. “Padahal merekalah dulunya mayoritas pengunjung museum ini”ujarnya. Implikasinya tentu pendapatan jelas menurun secara drastis.
  Jangankan untuk mewujudkan pengelolaan museum yang ideal, untuk memelihara kondisi sekarang saja, menurut Andreas dirinya sudah “megap-megap”. Gedung Tari yang di era 80-an merupakan sebuah kelengkapan museum ini, terlihat seolah terlantar dan ditumbuhi rumput dan semak. Situs-situs yang berada di pekarangan museum, terancam rusak oleh terpaan hujan dan terik matahari. “Kalau mau mengelola museum ideal, kita masih jauh,”ujarnya.
  Dari pengalamannya berkunjung ke berbagai museum di luar negeri, Andreas mengakui bahwa pengelolaan museum yang dikelolanya sekarang sangat jauh ketinggalan. “Museum di Tropen Belanda memiliki gedung teater, fakultas permuseuman, bahkan hotel penginapan yang dikelola museum,” ujarnya. Pengelolaan museum menurut Andreas harus mampu memberi kenyamanan dan kebutuhan para pengunjung, khususnya mereka yang melakukan riset.
  Dalam kondisi seperti ini, menurut Andreas, pemerintah seharusnya memberikan fasilitasi dan dukungan usaha-usaha menarik minat masyarakat di dalam maupun di luar negeri untuk membantu pengelolaan dan pengembangan museum. Pasalnya, di dalam museum tersimpan bukti-bukti sejarah dan kejayaan bangsa ini di masa lalu. Beberapa diantaranya masih perlu pembuktian dan perlunya pembahasan yang lebih mendalam secara ilmiah. “Kalau barang-barang seperti ini hancur atau hilang, maka di masa depan hanya orang-orang luar yang lebih tau soal kejayaan budaya masa lalu kita,”ujarnya. Pernyataan ini cukup beralasan karena justru penelitian tentang museum dari pengalaman Andreas, dilakukan peneliti asing.
  Kepada generasi muda Andreas berharap agar lebih serius menghargai sekaligus mempelajari barang-barang peninggalan nenek moyang yang tersimpan di museum. Bagi Andreas Lingga, mengelola museum adalah pekerjaan langka yang tidak begitu banyak diminati para generasi muda sekarang ini. “Masa depan museum ini terletak pada sumberdaya yang mengelolanya,” ujar Andreas
  Sampai sekarang, Andreas mengaku masih mencari pengganti dari kalangan generasi muda, tetapi belum ketemu. Bahkan saat ini dia merangkap sebagai penerima tamu, guide untuk para tamu dan hanya dibantu tiga orang tenaga, yakni tukang kebun, tukang sapu dan jaga malam. Beberapa tahun yang lalu dia sudah mendidik penggantinya yang membantu mengelola museum itu selama beberapa tahun, tetapi setelah diterima bekerja sebagai pegawai negeri, dia bekerja di tempat lain. “Sulit mencari generasi muda yang mau mengelola museum secara serius,”ujar suami Sentina br Purba ini.
  Setelah merenungkan pekerjaannya sebagai kurator museum selama 26 tahun, Andreas merasa bersyukur. Meski pekerjaan yang diminatinya hanya memberi upah seadanya saja, namun tiga diantara tujuh anaknya, berhasil menyelesaikan sekolahnya sampai S1, dua D3 dan kini sudah bekerja dengan beragam bidang pekerjaan yang mereka tekuni. Enam diantaranya sudah berkeluarga dan memberinya 11 cucu. “Sayangnya belum ada yang berminat jadi kurator museum,”ujarnya berkelakar.
Penulis beberapa biografi dan profil, tinggal di Medan. Direktur WEB. Dimuat dengan dua gambar di Harian Analisa, 14 Mei 2008. Rubrik Aneka Halaman 32



SELAMAT JALAN JP SILITONGA



 ”Mengabdi Sampai Akhir Hayat

Oleh : Jannerson Girsang

“Bapak JP Silitonga meninggal dunia di Rumah Sakit Permata Bunda sekitar pukul 21.00”, demikian pesan singkat (sms) yang kami terima dari Pendeta Dr Armencius Munthe—sahabat dekat JP Silitonga dan mantan Ephorus GKPS itu, pada pukul 21.30 Kamis 20 September 2007. Setelah konfirmasi dengan Magdalena Silitonga, anak tertua beliau, kami juga mengirimkan beberapa pesan singkat ke teman-teman menginformasikan berita duka itu. Sumatera Utara kehilangan seorang tokoh yang gigih dan berani, peduli sesama dan berkarya hingga akhir hayatnya. Sampai akhir khayatnya beliau masih meluangkan waktu mengajar Kewiraan di USU Medan.

Kematian, tak seorangpun tau kapan datangnya. Sama halnya dengan yang berlaku pada pak JP Silitonga. Sembilan bulan berselang, Januari 2007 lalu, kami bertemu dalam sebuah pesta perkawinan saudara Huger Saragih—dirigen Paduan suara Sola Gratia di Kaban Jahe. Saat itu, beliau masih segar dan senantiasa mengeluarkan lelucon-lelucon yang membuat gelak tawa.
Kami teringat peristiwa dua tahun lalu. Entah sudah mengetahui ”harinya” sudah dekat, saat itu beliau meminta kami membantu menulis otobiografinya. Buku otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan Hambamu Mendengarkan”, diluncurkan 2 Januari 2006, di Medan Club dalam merayakan Ulang Tahunnya ke 80. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga dan teman-teman beliau. Dari tamu-tamu yang hadir ketika itu, menunjukkan bahwa JP Silitonga memiliki pergaulan yang sangat luas dari segala lapisan. Kehangatan dan kepedulian. Itulah yang mungkin akan selalu dikenang oleh siapa saja yang dekat dengannya. Sebagai seorang anak guru zending, mengenyam pendidikan di pertanian dan militer, kemudian berkarier di militer, pemerintahan, dosen dan aktif di organisasi kemasyarakatan, JP Silitonga memiliki sejumlah prestasi yang pantas kita kenang.

Anak Seorang Guru Zending

Johan Pandapotan Silitonga dilahirkan di Desa Tigabolon, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada 2 Januari 1926, dari pasangan GM Kalvin Silitonga dan Doriana boru Simanjuntak. GM Kalvin Silitonga adalah seorang guru zending di sebuah sekolah di Sidamanik. Di saat usianya masih balita, ayahnya pindah tugas ke Sipahutar, Tapanuli Utara, sekitar 40 kilometer dari kota Tarutung atau kira-kira 100 kilometer lebih dari Tigabolon.. Oleh ayahnya, beliau disekolahkan ke HIS Sigompulan—sebuah sekolah untuk para orang tua kelas atas saat itu.

Usai menyelesaikan sekolahnya di HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, beliau berangkat ke Jawa, dan sekolah di Cultuur School (Sekolah Perkebunan) di Malang, Jawa Timur. Hanya beberapa bulan setelah beliau memasuki sekolah itu, Jepang masuk dan menguasai sekolah itu bahkan menangkapi guru-guru mereka, orang-orang Belanda. Kemudian Jepang mengganti nama sekolah itu menjadi Noogokai dan JP bersama teman-temannya bisa melanjutkan sekolahnya sampai selesai. Beliau bahkan sempat menikmati kehidupan sebagai pegawai perkebunan seperti apa yang dibayangkannya ketika beliau memilih sekolah itu.

Memasuki Militer

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian mengubah jalan hidupnya. Perkebunan ditinggalkan dan masuk menjadi lasykar di Surabaya. Beliau menjadi tentara. Pengetahuan yang masih minim tentang kemiliteran, membuat beliau tertarik untuk mengikuti pendidikan militer di Gombong selama empat bulan. Kemudian memasuki Cadet Malang (1945-1948). Di sela-sela waktu belajar, mereka ikut bertempur dalam penugasan-penugasan khusus. Kemudian beliau ditugaskan Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, untuk melakukan tugas khusus di Sumatera, sampai penyerahan kedaulatan. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, merupakan akhir masa tugas khusus tersebut. “Itulah sebabnya, di kalangan angkatan 45 di Sumatera Utara saya tidak begitu banyak dikenal,”. katanya.

Kariernya di militer tergolong sukses. Beliau pernah menjadi perwira seksi I (intelijen) di Tentara Teritorial I Sumatera Utara (T & T 1 S.U), terlibat tugas-tugas operasi seperti Penumpasan Gerombolan di sekitar Tanah Karo pada periode 1951-1953 (beliau menikah dengan Ida Pola br Pasaribu pada 1951).

Tugas lainnya adalah penumpasan Gerombolan DI Daud Beureuh di Aceh (1953-1954), Komandan Kodim di Sampit (saat almarhum Raja Inal Siregar, mantan Gubsu menjadi perwira pertama), wakil komandan Rindam II, di Pematangsiantar, ASS-2 KAS KODAM II Bukit Barisan (1970-1973), lalu terakhir menjadi DAN RINIF DAM II Bukit Barisan (1973-1980). Saat menjadi Dan Rindam II, JP Silitonga berkesempatan melakukan perjalanan ke desa-desa di Simalungun dan beliau mengenal wilayah ini lebih mendalam. Beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel.

Ayah tujuh putri dan satu putri ini memperoleh beberapa penghargaan diantaranya : Bintang Gerilya : Penugasan dalam Aksi Belanda I dan Kedua (1945-1950), Medali Sewindu : Kesetiaan kepada Republik Indonesia (1945-1954), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer I : Melawan Belanda waktu Aksi I (1945-1947), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer II : Melawan Belanda waktu Aksi II (1948-1950), Satya Lencana GOM VII : Operasi Melawan DI di Aceh Tengah : (1953-1954), Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun : Kesetiaan 16 tahun kepada Republik Indonesia (1945-1961), Satya Lencana Guru : Melaksanakan tugas guru di Koplat (1964-1968), Satya Lencana Sapta Marga : Melawan PRRI (1958-1959), Satya Lencana Penegak : Membersihkan G-30-S/PKI (1965-1968), Bintang Oranye van Massau : Menjaga keselamatan Pangeran Bernard (Belanda) ketika kunjungan di Sumatera Utara.

Menjadi Bupati Simalungun (1980-1990)

Selama menjadi bupati Simalungun, usai menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai militer, beliau ingin mewujudkan Simalungun sebagai daerah penghasil (lumbung) beras. Untuk itu, salah satu yang harus dibenahi adalah pembangunan saluran irigasi. ”Tanpa irigasi yang baik, pembangunan pertanian di Simalungun tidak mungkin bisa digenjot produktivitasnya,” ujar JP. Proyek pembangunan irigasi tersebut dikenal dengan PIS (Proyek Irigasi Simalungun), mendapat sokongan dana dari Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 173 milyar. Perjuangan mewujudkan bantuan yang ditandatangani pada 1984 itu, tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa saat kemudian, penebangan hutan Sibatuloting berlanjut oleh sebuah perusahaan swasta. ”Padahal Sibatuloting merupakan kawasan hutan lindung yang menjadi sumber penyimpanan air. ADB juga mensyaratkan bahwa proyek tersebut hanya bisa berjalan jika ada jaminan bahwa hutan di hulu sungai tidak boleh ditebang karena sumber air untuk irigasi akan terganggu. ADB sempat mengancam menghentikan bantuannya kalau hutan di sana tidak dipertahankan,”ujar JP.

Selain itu, beliau mengembangkan Simalungun sebagai wilayah Pariwisata. Dengan menata Prapat sebagai kota tujuan wisata. Saat itu, kawasan pingiran pantai dibebaskan dari perumahan penduduk yang sering membuang limbah rumah tangganya ke pantai agar air Danau Toba bersih dari buangan samah dan limbah. Proses pemindahan penduduk berhasil dilakukan secara damai dengan menyadarkan masyarakat Sosor Pasir agar mau berpindah ke Sosor Saba.

Prioritas pembangunan yang lain adalah pengembangan kota kecamatan dengan membangun kantor Camat dan rumah untuk para camat. ”Ketika itu sebagian besar camat tinggal di Pematangsiantar dan tidak mau tinggal di ibu kota kecamatan karena sarana perumahannya memang belum ada. Akibatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat menjadi agak tersendat,” ujar JP. Selain itu, dengan kondisi seperti di atas, ”Camat juga menjadi kurang mengenal daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itu agar camat dekat rakyat, saya bangunkan mereka rumah camat”.

Pembangunan pendidikan dan kesehatan di tiap kecamatan adalah prioritas lain yang beliau kembangkan. Beliau meminta kepada para camat agar menyediakan tanah untuk pendirian sekolah tingkat lanjutan atas (SMA), minimal sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) dan SD. Dengan begitu setiap ada jatah anggaran dari pusat untuk pembangunan sekolah, Simalungun selalu mengusulkan untuk diberi jatah. Pernah ada sebuah kabupaten yang berhak memperoleh jatah pembangunan sekolah, namun karena pemda tidak siap dengan lahan sekolahnya, akhirnya jatah tersebut dioper ke Simalungun. Selain itu untuk menunjang kesehatan masyarakat, di setiap kecamatan beliau juga memprioritaskan untuk membangun Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).

Kepedulian beliau terhadap korpsnya sangat besar. Semasa menjabat Bupati Simalungun, para penghuni perumahan Rindam di Kelapa Dua Pematangsiantar, tentu tidak akan melupakan inisiatif JP Silitonga dalam menyediakan perumahan itu untuk mereka. Beliau prihatin melihat nasib para prajurit dan perwira yang pensiun dari Rindam. “Kalau sudah pensiun sebagian besar mereka tidak memiliki rumah, padahal mereka harus keluar dari asrama,”, ujarnya . Karena prajurit atau perwira-perwira yang baru akan menggantikan mereka. Sekitar 100 prajurit dan perwira bisa memiliki perumahan sendiri di Jalan Sisingamangaraja, di kota itu ke arah jalan ke Prapat.

Mengembangkan Universitas Simalungun

Untuk mendukung prioritas pembangunan pendidikan, salah satu obsesinya adalah menjadikan Universitas Simalungun menjadi perguruan tinggi swasta yang besar dan terbuka. Obsesi itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak semua lulusan SMA dari wilayah ini yang mampu melanjutkan kuliahnya di Medan.

Dalam pandangannya saat itu, yang perlu dilakukan USI adalah meningkatkan kualitasnya baik dari segi fisik, kurikulum maupun tenaga pengajarnya. Konsepnya ketika itu adalah agar USI mampu seperti Universitas Satyawacana Salatiga dalam sepuluh tahun ke depan. Tenaga-tenaga pengajar dikirimkan belajar di sana dan studi banding juga dilaksanakan. Dalam masa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum Yayasan Universitas Simalungun (1982-1990, pembangunan fisik adalah prestasinya yang luar biasa. Belum pernah pembangunan fisik sebesar itu dilakukan sepanjang sejarah USI, hingga sekarang ini. Dengan berbagai usaha, beliau mewujudkan pembangunan sarana fisik seperti Biro Rektor, Fakultas Hukum, Aula Rajamin Purba SH (beberapa tahun lalu terbakar, dan kini belum selesai pembangunannya), FKIP, Fakultas Pertanian, Perpustakaan, Mess untuk para dosen yang berasal dari luar kota dan beberapa rehabilitasi sarana pendukung lainnya, seperti jalan di lokasi kampus, dibangun secara bertahap dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Menurut kami, kalau Brigjen Rajamin Purba adalah pendiri Universitas Simalungun, JP Silitonga adalah membangun sarana fisik untuk mewujudkan cita-cita beliau.

Disamping mengembangkan Universitas Simalungun, beliau juga melihat potensi pariwisata di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar cukup besar. Sehingga dibutuhkan tenaga-tenaga trampil di bidang itu, sementara sekolah pariwisata belum ada. Untuk itu, sekitar 1989, Yayasan USI bersama-sama dengan Rektor USI (ketika itu kami jabat) dan Direktur SMA Y-USI menghadap Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara agar diberi izin untuk membangun Sekolah Industri Pariwisata (SMIP) di kompleks Universitas Simalungun. Hingga saat ini sekolah tersebut masih berjalan dan jumlah muridnya sudah cukup lumayan dan menjadi salah satu tulang punggung keuangan Yayasan Universitas Simalungun.

Memasuki Usia Tua

Usai menyelesaikan tugasnya sebagai bupati, beliau memutuskan pindah ke Medan. Alasannya, ”istri saya masih menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara dan saya sendiri masih ingin menyumbangkan tenaga yang saya miliki,” ujarnya pada Buku Otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan, Hambamu Mendengarkan”. Setelah istrinya Ida Pola Pasaribu meninggal pada 1985, JP Silitonga menikah dengan Dr Datten Bangun—seorang staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang mendampingi beliau sampai akhir khayatnya .

Di samping aktif sebagai dosen Kewiraan di USU, JP Silitongan juga aktif di SOKSI. Beliau terpilih menjadi Ketua Depidar Soksi selama satu periode. Beliau juga aktif sebagai Pengurus Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (PGIW SU).

JP Silitonga telah mendengar Tuhannya untuk menghadap. Meninggalkan istri tercinta Dr Datten Bangun yang dinikahinya pada 1988 dan tujuh putrinya, satu putra, 23 cucu dan 3 cicit, serta karya-karyanya selama ini. Perjalanan Johan Pandapotan Silitonga mengajarkan kita akan kebijakan dan campur tangan Tuhan dalam kemelut hidup yang dialaminya. Peduli kepada teman-teman seperjuangan dan berbakti terus tidak mengenal usia untuk memajukan bangsa.

Selamat Jalan Pak JP Silitonga. Semoga karya-karya anda menjadi bukti nilai bakti anda bagi kami generasi muda!.

Dimuat di Harian Analisa, Halaman 29 Rubrik Opini, 27 September 2007.

http//www.analisadaily.com