My 500 Words

Jumat, 10 Februari 2012

Jalan Silalahi-Tongging “Menikmati 14 Kilometer Pinggir Pantai” (Batak Pos, 10 Februari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang

”Kalau mau kembali ke Medan, melintas dari jalan Silalahi-Tongging aja. Jalan bagus kok,” ujar pemilik penginapan Morina setibanya kami di Silalahi Sabtu 21 Januari 2012.  

Silalahi-Tongging jalannya bagus?. Tak percaya pada awalnya. Pasalnya, beberpa tahun yang lalu saya ke Tongging jalur ini belum bisa dilewati kenderaan roda empat.

Pernyataan pemilik penginapan itulah yang meyakinkan rombongan kami, Minggu 22 Januari 2012 sekitar pukul 14.00 memilih jalur itu menuju Medan. Tentunya setelah sejak pagi menikmati beberapa acara seperti kebaktian Minggu di sebuah di tepi pantai, berenang, serta mengunjungi PLTA Renun.

Jalur Silalahi Tongging berbeda dari jalur yang kami tempuh saat memasuki Silalahi.

Sebelum rombongan berangkat menuju Medan, saya teringat pengalaman tahun lalu. Ketika itu saya pulang dari Nias terbang di wilayah ini dari ketinggian sekitar 15.000 kaki (5 kilometer).

Dalam penerbangan pagi hari dari Gunungsitoli, melalui jendela sempit pesawat Wings Air saya memandang ke sebelah kanan, menyaksikan wilayah Silalahi, Paropo, serta Taman Simalem di bagian puncak di atas lokasi itu. Luar biasa, kata seorang penumpang di sebelah saya ketika itu. Memang, setiap sudut Danau Toba memiliki pemandangan indah luar biasa!.

Tentunya, dari pesawat setinggi itu, saya hanya melihat secara sepintas dan menikmatinya hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Dari udara, terlihat lekukan-lekukan perbukitan di atas pantai Silalahi, danau yang berkilau oleh pantulan sinar matahari, serta gunung-gunung yang mengitari danau.

Perkampungan-perkampungan di sepanjang pantai serta lekukan teluk Silalahi yang aduhai.  

Pemandangan yang hanya saya lihat dari udara, untuk pertama kali akan saya nikmati dari dekat. Perjalanan beberapa detik dengan pesawat, saya lewati dengan jalan darat. Sensasi yang luar biasa bagi saya!.   

****

Dari tempat penginapan, kami melintasi jalan mulus membelah desa Silalahi I dan III. Di sebelah kanan perumahan yang membatasi pantai Tao Silalahi, dan di sebelah kiri rumah-rumah yang memnatasi areal persawahan dan pertanian penduduk.

Pemekaran memang telah menampakkan pembangunan fisik yang lebih baik bagi desa ini. Jalan mulus membelah desa Silalahi I, II dan III.. Menurut beberapa penduduk desa, konon jalan itu baru diperbaiki sebulan sebelum kami berkunjung. Aspalnya memang masih terlihat relatif baru. Di sebelah kiri, saya melintasi kantor Camat Silahi Sabungan, serta Puskesmas dan beberapa kantor setingkat kecamatan.

Pembangunan yang memberi warna baru desa tempat pengungsian para penduduk sekitar desa itu di masa Perang Kemerdekaan akhir 1940-an.

Satu hal menarik dari perjalanan ke Silalahi adalah melintas jalan Silalahi-Tongging sejauh 14 kilometer, merupakan perjalanan antar dua Kabupaten. Silalahi sendiri masuk ke Kabupaten Dairi dan Tongging masuk dalam wilayah adminsitratif Kabupaten Karo.

Di ujung desa Silalahi, kami berhenti sejenak dan mengamati Tugu Raja Silalahi Sabungan yang diresmikan 27 Nopember 1981. Itulah bangunan paling menonjol di kecamatan Silalahi Sabungan.  .

Selain keluarga bermarga Silalahi, boru dan bere, para pengunjung juga banyak yang tertarik mengunjungi tugu ini. Sore itu, saya menyaksikan mobil-mobil parkir di sekitar halaman tugu yang sangat luas itu.

Sayangnya kami tidak berkunjung pada acara Pesta Bona Taon. Pada pesta seperti ini kata penduduk setempat bisa dihadiri puluhan ribu pomparan Silahi Sabungan. Tentu sebuah peristiwa yang menarik!.   

****

Sepanjang perjalanan, suasana hari Minggu memang terasa di desa Silalahi. Sore hari itu terlihat penduduk berdiam di rumah dan sebagian menjemur padi atau hasil ladang lainnya di tepi jalan, sepulang dari gereja. .

Di desa Paropo misalnya, kami menyaksikan beberapa anak membawa rantang keluar dari HKBP Paropo. Wanita berpakaian kebaya dan selendang ulos Batak, berdampingan dengan para pria dengan stelan jas berjalan menuju jalan. Mereka baru saja mengadakan pesta bona taon (pesta awal tahun).
 
Saat melintasi desa Desa Paropo dan Paropo I, saya teringat lokasi di atas bukit. Wisata Taman Simalem yang kini sudah dipoles menjadi daerah wisata baru. Dalam hati, saya bertanya: “Kapan wisata penelusuran pantai ini dipoles?”. Mudah-mudahan ada investor yang berminat!

Melintasi pinggiran pantai Silalahi-Tongging merupakan perjalanan melewati perbukitan gundul di sebelah kiri dan bibir pantai Danau Toba di sebelah kanan. Supir harus ektra hati-hati, karena bisa tergoda melihat pemandangan yang indah di  sebelah kanan dan lupa arah kenderaan yang dikemudikannya. Salah-salah di tikungan yang tajam bisa kecebur ke danau!.

Di sebuah lokasi di desa Paropo, kami melintasi jalan sempit dan tikungan tajam. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah penduduk. Kecepatan harus dikurangi!.

Beberapa badan jalan yang terlintas limpahan air dari persawahan atau pertanian sedikit mengalami kerusakan. Aspal memang tidak suka air. Itu sebabnya got harus selalu terawat. Hal yang sering dilupakan, termasuk di daerah ini.   

Di beberapa tempat masih terdapat jalan jalan berlobang. Tapi tidaklah sampai mengurangi nikmatnya pemandangan yang luar biasa dari indahnya alam dan sensasi-sensasi alam yang timbul.

Kami berpapasan dengan beberapa bus seperti BTN, Sutra, Sinabung Jaya serta puluhan mobil pribadi. Bukti bahwa jalur ini kini menjadi alternatif baru para penduduk. Misalnya dari Tongging ke Sidikalang. Kalau selama ini penduduk Tongging harus melalui Merek, maka kini mereka bisa memotong jalur yang lebih pendek melalui Silalahi. Penduduk Silalahi dari Medan juga banyak menggunakan jalur ini, ketimbang mereka harus memutar ke Lao Pondom—jalan Medan-Sidikalang.

****

Setelah menjelajah pinggir pantai sejauh 14 kilometer, kami tiba di Tongging. Dari jalan lintas terlihat Wisma Sibayak, Wisma parultop, dan Roman Sinasi Bungalows. Desa ini ternyata menyediakan tempat menginap, sama dengan di Silalahi.

Di sana rombongan berhenti dan membeli mangga di pekan Tongging, sebuah bangunan yang beratap seng dan tidak memiliki dinding maupun sekat. Para penjual mangga tampaknya senang sekali dengan kedatangan rombongan sekitar 10 mobil itu.

Pada umumnya penduduk Desa Tongging berjumlah 250 Kepala Keluarga (KK) ini berpenghasilan dari bertani bawang merah, sebagian juga padi, dan mereka juga memelihara Ikan Mas dan Mujair dengan memanfaatakn kawasan sebelah utara Danau Toba dengan membuat karamba.

Daerah ini termasuk penghasil buah Mangga Udang yang rasanya khas. Bagi rombongan kami, ada kerinduan tersendiri memakan mangga yang ditanam di sekitar Danau Toba. Buahnya baik dari ukuran dan rasanya berbeda dengan mangga golek yang sudah merajai Sumatera Utara. Ukurannya lebih kecil dan memliki rasa asam, tidak semanis mangga golek.

Sambil menunggu para ibu-ibu belanja beberapa lelaki mampir di kedai-kedai kopi yang berjajar sejajar pekan. Minum kopi sambil beristirahat mennggu ibu-ibu belanja mangga dan memandang ke arah Danau, sungguh nikmat. Bagi yang ingin buang air kecil.besar tersedia  jasa toilet dengan tarif Rp 1000 per kepala.

Dari pengamatan kami dengan terbukanya lintas Silalahi_Tongging, desa ini akan makin menjadi daerah lintasan yang semakin ramai. Selain itu, menurut seorang penduduk di pekan Tongging, sebagian turis yang mengunjungi Air Terjun Sipiso-piso yang berjarak 7 kilometer biasanya mampir di desa ini. Bahkan penginapan yang sudah tersedia di sana juga menarik minat bagi turis itu, karena di Ari Terjun Sipisopiso belum tersedia tempat penginapan.  

Tongging, sebuah desa di pinggir pantai Danau Toba yang sangat indah dipandang dari Air Terjun Sipiso-piso, menawarkan beberapa lokasi wisata, seperti pemandian, pemancingan serta wisata alam Danau Toba yang indah.

****

Sepanjang perjalanan, kesan lain yang tak kalah adalah pertumbuhan karamba. Di beberapa tempat kami menyaksikan karamba yang sudah tumbuh di pantai atau jauh agak ke tengah pantai. Tapi jumlahnya belum begitu banyak, tidak seperti di Haranggaol. Tapi, mungkin beberapa tahun lagi, kalau pertumbuhannya tidak diatur, bisa-bisa para investor juga akan memuali bisnis yang cukup menggiurkan itu. .  

Memandang ke sebelah kanan, bibir pantai Silalahi, bisnis karamba yang cukup menggiurkan itu mulai tumbuh. Puluhan pemilik keramba sudah beroperasi di sana. Drum-drum besar penopang bangunan karamba di atasnya bergoyang-goyang dihempas gelombang. Di sanalah mereka beternak ikan dengan membangun jaring-jaring sedalam enam meter tempat ikan bertumbuh. Memberi makanannya dengan pelet.

Bisnis ini memang menggiurkan tetapi juga memilii resiko yang tinggi. Masih segar dalam memori kita ketika penyakit ikan menyerang ikanikan di Danau Toba beberapa tahun lalu. 

Tapi, itulah hidup manusia. Mereka berperang antara memanfaatkan peluang mencari uang dan menjaga kebersihan dan kelestarian daerah wisata. Tentu ini adalah urusan pemerintah bagaimana mengatur penduduknya supaya bisa harmonis dengan alam.

Bangunan baru masih terlihat, berarti penduduk semakin menggemari bisnis baru ini. Ada yang jauh dari pantai, dan di pinggir pantai. Menjelang Tongging bisnis karamba memang mulai tumbuh di bibir pantai.

Bagi kami, yang tidak berenang di sana itu karamba adalah objek yang mengasyikkan bagi para pemancing. Mereka terlihat asyik memancing di atas karamba menggunakan waktu libur mereka, setelah sehari-harinya letih bekerja di ladang. .

Pengaturan pantai adalah tugas pemerintah. Masih banyak pantai yang belum dijamah para investor karamba yang tentunya perlu mendapat perlindungan dan pengaturan dari pemerintah. .

Bagi penduduk Indonesia, manfaatkan masa liburan Anda menikmati keindahan alam Danau Toba di sekitar Silalahi Tongging. Jalan sudah terbuka, sarana penginapan sudah tersedia. Memang, pengaturan pantai perlu, tetapi niat berkunjung jangan surut!.


Kamis, 09 Februari 2012

Menyambut Hari Pers Nasional 2012 Merenungkan Perjuangan SK Trimurti (Jurnal Medan, 9 Pebruari 2012)


Oleh: Jannerson Girsang

Sumber foto:  pustakacombat.blogspot.com

Membaca kisah Tawakkol Karman, seorang jurnalis perempuan Yaman yang memenangkan Hadiah Nobel 2011, muncul rasa iri. Tawakkol adalah aktivis pro demokrasi yang memahami nasib bangsanya dan berjuang melepaskan mereka dengan cara-cara damai.  

Selain Tawakkol, tahun lalu dua perempuan Nigeria, Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowe juga mendapat Hadiah Nobel untuk aktivitas mereka. Ketiga perempuan pemenang Nobel 2011 ini merupakan bukti bahwa perempuan kini mampu berada di barisan depan membawa suara bangsanya.  

Usaha perempuan menyuarakan suara bangsanya melalui gerakan dan tulisan, ternyata bukan isapan jempol belaka. Untuk itu, memeringati Hari Pers Nasional yang jatuh Hari ini 9 Februari 2012, perlu peran yang lebih besar bagi kaum perempuan terlibat dalam dunia jurnalis dan penulisan. Mari kita sejenak merenungkan sejenak perjuangan seorang jurnalis perempuan Surastri Karma Trimurti atau lebih popular dengan SK Trimurti. Beliau meninggal pada 20 Mei 2008.

Kisah istri pengetik nasakah Proklamasi Republik Indonesia itu tertuang dalam Buku “Jagad Wartawan Indonesia”, karya Soebagio IN (hal 397-402). Mungkin bukunya sudah tidak banyak lagi dimiliki para jurnalis kita. Semoga artikel ini bisa membantu mengingatkan kembali semangat juangnya serta visinya sebagai jurnalis..

Bung Karno: “Menulislah Tri…..”

Melongok sejarah masa lalu, peran kaum perempuan di dalam dunia jurnalis memang sangat sedikit. Di masa 1920-an sampai pergerakan kemerdekaan, dunia jurnalis kita hampir sepenuhnya dikuasai oleh kaum laki-laki.

Bung Karno mengajaknya menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,”ujar Bung Karno kepada SK Trimurti—seorang tokoh perempuan jurnalistik Indonesia, pada suatu pertemuan mereka di era 1920-an.

Sebuah ajakan yang tentu bukan sesuatu tanpa dasar. Suara perempuan penting bagi keberlanjutan suatu media. Bukan hanya bagi keberlanjutan media, juga keberlanjutan suatu bangsa juga tidak terlepas dari peran perempuan. Bung Karno ketika itu adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung..

Trimurti yang hanya lulusan Sekolah Guru itu tertantang sekaligus bingung. Tentu banyak kita temukan hingga sekarang ini, banyak yang enggan kalau disuruh menulis. Tetapi, semangat juang yang membara di dada Tri, mendorong dirinya menuliskan isi hati, kondisi ril bangsanya ketika itu.
,
Singkat cerita, akhirnya Trimurti mengirim tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda. Fikiran Rakyat kemudian ditutup.

Setelah Pikiran Rakyat ditutup, perempuan kelahiran Boyolali, 11 Mei 1912 ini, pulang ke kampungnya di Klaten. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung dia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.

Atas ajakan rekan-rekannya, kemudian Trimurti memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa.. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena bahasa yang digunakan pembacanya terbatas. Lantas, nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.

Di kemudian hari Tri bergabung dengan Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya pendidikan-pendidikan yang ditujukan  kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri adalah : Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka.

Selain sebagai seorang penulis, dia juga aktif dalam pergerakan. Terpilih menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia dan pindah ke Semarang. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, dia dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. Selepas dari penjara, Trimurti .justru memperoleh uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.

Uang tersebut digunakan untuk mendirikan majalah Suluh Kita, bukan untuk berfoya-foya atau beli mobil mewah, layaknya trend kebanyakan kita saat ini. Dengan memberikan pengelolaan Majalah Suluh Kita kepada orang lain, Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang Jepang.

Ketika menjadi redaktris di Sinar Selatan, dia menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang patut diambil bangsa Indonesia terhadap pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab  Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”.

Penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara. Trimurti meloloskan tulisan yang menyatakan sikap bangsa yang seharusnya ditempuh dan mempengaruhi sikap para pemimpin.

Tri tidak menulis novel-novel picisan yang penuh romatika, tetapi nasib bangsanya dan sikap yang seharusnya ditempuh para pemimpin bangsa.

Menjadi Pejabat Penting

Dalam pentas politik di Indonesia di kemudian hari, SK Trimurti mendapat kedudukan terhormat di negeri ini. Pada zaman kemerdekaan dia menjadi anggota KNI Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama, anggota Dewan Nasional Angkata 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa.  

Kita belajar bahwa perempuan mengambil peran penting dalam dunia jurnalis sebagai jalan masuk berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam tulisan-tulisannya, SK Trimurti memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas, dapat dimengerti orang lain serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.

Sesudah merdeka, SK Trimurti dibutuhkan negeri ini dalam berbagai jabatan penting, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!.

Menulislah

Ajakan Bung Karno kepada SK Trimurti rasanya masih relevan bagi perempuan kita saat ini. Fakta menunjukkan bahwa dewasa ini jumlah dan kualitas kaum perempuan di dunia jurnalistik memang masih jauh dibawah kaum laki-laki.

Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih di tangan kaum lelaki. Komposisi berita di media akhirnya didominasi berita prestasi laki-laki. Perempuan kebanyakan muncul, kalau mendampingi suaminya yang pejabat, manajer perusahaan atau pemimpin partai. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim.

Dampaknya, popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Ini tentu berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau di masa datang dengan kondisi media kita seperti ini, laki-laki akan terus menguasai pentas politik kita. Padahal UU sudah mengisyaratkan agar 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat..

Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik  Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.

SK Trimurti menyadarkan kita bahwa suaranya, gagasan-gagasannya akan diketahui publik bila disampaikan melalui media. Belajar dari pengalaman SK Trimurti,  menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Akses perempuan ke media sangat penting, apalagi di zaman globalisasi ini.

Tidak cukup berbicara hanya di dalam ruangan, di ruang kantor-kantor LSM Peduli Perempuan, di dapur, di pekarangan rumah atau di ruang-ruang pertemuan-pertemuan di hotel-hotel berbintang.

Kartini sendiri tidak bisa menjangkau dunia luar hanya dengan berteriak-teriak dari dalam kamarnya yang sempit di Jepara. Dia menuliskannya dalam bentuk surat-surat yang benar-benar mencerminkan “jeritan” yang sesungguhnya. Dia mengirimkannya keluar dari kamarnya. Tawakkol Harman tidak hanya berteriak di jalan, tetapi menulis di The New Yorks Times atau media asing lainnya. Jeritan hatinya dibaca dunia, orang-orang di luar kamarnya bertindak untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya.  

Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”, mungkin dapat membuat para pemimpin kita—yang kebanyakan kaum laki-laki, lebih mengerti dan menghayatinya. Bukankah Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi laki-laki untuk berbuat “kebaikan”.

Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya

Suara penulis dan jurnalis perempuan yang mampu dan berani seperti SK Trimurti kini ditunggu-tunggu. Polesan kalimat yang menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang semakin melebar, harga-harga kebutuhan yang terus meroket, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.

Korban paling besar dari situasi ini sebenarnya adalah perempuan dan anak-anak. Dibutuhkan ratusan bahkan ribuan perempuan yang mampu menyentuh perasaan para pengambil keputusan melalui tulisan. Tidak cukup hanya demonstrasi di jalan-jalan atau berkoar-koar di bundaran-bundaran pusat kota. Tulislah apa yang kamu lihat,rasakan dan lakukan, serta maknailah!

Tri (kaum perempuan Indonesia--penulis), kirimkanlah tulisanmu ke media, supaya dimuat”. Ajakan Bung Karno kepada SK Trimurti ini rasanya masih relevan ditawarkan kepada perempuan Indonesia dewasa ini.

Para pemilik suratkabar atau media lainnya, : “Berikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan berikan kesempatan mereka menciptakan dan menilai  berita yang layak bagi bangsa ini,” 

Semoga!. Dirgahayu Hari Pers Nasional 2012. .



[1] Jurnal Medan, 9 Pebruari 2012

Rabu, 08 Februari 2012

Meningkatkan Minat Tulis dan Baca Guru (Jurnal Medan, 8 Februari 2012)

Oleh : Jannerson Girsang

Sumber foto:  berbagiterbaru.blogspot.com

Duduk di ruang rapat guru dan seorang kepala sekolah dengan senyum bertanya kepada guru bantunya. Dia baru saja mendapat pujian dari pejabat pendidikan karena seorang guru bantunya mendapat penghargaan sebagai seorang pembaca dan penulis yang produktif.

Dia bertanya kepada guru-gurunya yang lain ingin mengetahui sejauh mana guru-gurunya sudah memiliki minat baca dan minat tulis.
 .
“Berapa buku yang kamu baca tahun ini?”

“Berapa buku atau artikel yang kamu tulis tahun ini?”.

”Berapa yang diterbitkan di media atau blog anda?”

”Kamu mendapat penghargaan dari sekolah dan dari pemerintah, karena kamu menjadi guru paling banyak membaca dan menulis”

”Rekan-rekan guru sekalian, silakan mengusulkan biaya yang Anda butuhkan untuk menghasilkan karya, serta buku-buku yang diperlukan dalam program minat baca dan tulis. Guru yang baik adalah kalau mereka memiliki minat baca dan tulis, karena akan memberikan nilai tambah kualitas pengajaran di sekolah kita”.

Arahan seorang Kepala Sekolah seperti di atas adalah ”mimpi” kita dalam ruang rapat guru di sekolah-sekolah di seantero negeri ini. Ruang rapat tidak melulu terdengar suara mendiskusikan kurikulum, kegiatan rutin, kenaikan pangkat, tanpa ada arahan seperti di atas.

Menulis Mudah, Tapi?

Dua tahun lalu, saya menjadi moderator untuk makalah Prof Dr Dian Armanto, PhD dalam acara Job Matching 2010 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Medan di sebuah hotel berbintang di Medan.

Acara tersebut dimaksudkan untuk memberi kemampuan menulis bagi para guru yang pesertanya berasal dari  dari berbagai Sekolah Kejuruan di Medan sekitarnya. Sungguh sebuah langkah tepat untuk mendorong agar para guru mau menulis.

Saya terkesan dengan penjelasan professor muda itu tentang menulis bagi para guru-guru peserta diskusi ini. ”Menulis adalah  menyusun gagasan pokok--bisa merupakan hal yang bertentangan atau hal yang belum tuntas, merumuskannya dalam sebuah kalimat lengkap.

Contohnya:  Partisipasi masyarakat merupakan unsur yang paling penting sekali bagi keberhasilan program pendidikan.

Tugasnya kemudian adalah mencari hal-hal yang mendukung gagasan pokok tersebut. Untuk itu, tentu guru harus mencari informasi, salah satunya dengan membaca. ”Mudah kan,” kata Prof  yang disambut peserta yang terdiri dari guru-guru SMK di kota Medan itu. .

Sayangnya, menurut guru besar Unimed itu, di kalangan guru telah tercipta sebuah persepsi bahwa menulis itu susah, apalagi menulis karya ilmiah. Hingga mereka tidak mau menulis.

Padahal, menurut Prof Dr Dian Armanto, “Menulis karya ilmiah jangan dibayangkan susahnya. Tetapi mulailah dari persoalan yang mudah di sekitar kita. Masalah-masalah yang kita hadapi di lapangan”

Penyajiannya yang begitu sederhana dan contoh-contoh yang sederhana, hingga di akhir acara, beberapa guru mengatakan. ”Wah kalau begitu mudah dong pak, tapi kami nanti bisa menghubungi bapak kalau ada masalah ya,” katanya.

Tapi, menurut Prof Dian, “semuanya akan terjadi, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu memulainya”

Menulis karya ilmiah atau menulis artikel di media, dalam ruangan diskusi seperti itu memang mudah. Semoga Dinas Pendidikan Kota Medan membuat evaluasi sejauh mana produktivitas menulis para guru yang ikut dalam pembekalan yang sangat baik itu.

Kegiatan seperti itu tentunya tidak boleh berhenti di situ saja. Ada tindaklanjut berupa fasilitasi kebutuhan mereka, penghargaan kepada mereka yang berprestasi menulis dan membaca para guru, sampai suatu ketika di ruang rapat guru terjadi diskusi seperti di awal tulisan ini.  

Eko Wurianto: Profil Guru Pembaca dan Penulis

Dengan berkembangnya teknologi dan informasi dewasa ini, muncul para guru yang menulis dengan inisiatifnya sendiri. Tidak sedikit guru yang peduli kepada usaha meningkatkan minat baca dan tulis, di luar tugas utamanya sebagai guru.

Eko Wurianto, salah satu contohnya. Beberapa hari yang lalu, saya terkesima melihat sebuah blog milik Eko Wurianto, seorang guru SMP 2 Kebonagung, Pacitan, Jawa Timar.

Nama situsnya http://guruindo.blogspot.com/2008/04/minat-baca-guru-dan-siswa.html. Selain dalam bahasa Indonesia, blog ini dilengkapi juga dengan Bahasa Inggeris. Pengunjung blognya sudah mencapai 90 ribu lebih.

Saya terkesan dengan kepeduliannya atas pendidikan, minat baca tulis para guru. Dia memiliki rasa resah atas kondisi pendidikan—yang dituangkannya dalam tulisan yang bersambung, sejak 2008. Tulisan pertamanya pada Kamis 24 April 2008, saat memulai posting di blognya  berjudul : STOP REKAYASA NILAI!.

”Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang ‘hitam’ sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya ‘merah’, orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh”.

Itu hanyalah salah satu keresahan hatinya yang dituangkannya dalam bentuk tertulis yang bisa dibaca ribuan orang, termasuk para pejabat dan rekannya sesama guru.

Eko Wurianto dalam blognya lebih memikat dalam tulisannya yang lain soal baca tulis dengan mengutip Emerson. “If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads.” Terjemahan bebasnya ; jika kita menjumpai seseorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, kita mestinya bertanya kira-kira buku apa yang dibacanya.

Menurut Eko, ucapan Emerson itu pastilah bukan omong kosong yang tanpa makna. Dimanapun tempat dan waktu, orang-orang yang memiliki intelektual tinggi selalu bergaul rapat dengan buku-buku.

Buku yang dibaca seorang guru menentukan kualitas pengetahuannya yang akan ditularkan kepada siswa-siswanya. Kalau guru hanya membaca buku minimal (buku-buku pelajaran yang diwajibkan) maka itulah yang bisa ditularkannya kepada murid-muridnya.

Dengan pengetahuan guru yang minim maka seperti kata pepatah: “Kalau guru kencing berdiri, maka muridnya kencing berlari”. Artinya, perilaku guru begitu kuat mempengaruhi anak didiknya.

Ternyata, membiasakan murid membaca atau menulis banyak tergantung kepada seorang guru. Bayangkan kalau lebih dari 2.7 juta guru di Indonesia bisa menjadi fasilitator menulis bagi siswa sejak di Sekolah Dasar, maka tidak mustahil 10 tahun ke depan, budaya membaca dan menulis kita akan meningkat drastis.

Profil guru seperti Eko Wurianto--peduli dan memiliki kemampuan menulis tentang masalah-masalah di lingkungannya, bisa dijadikan inspirasi menulis para guru, sekaligus gambaran naik turunnya minat menulis.

Eko Wurianto adalah seorang guru yang memiliki minat baca dan budaya tulis--memberi manfaat ganda: meningkatkan kualitas mengajarnya, dan menjadi teladan menulis baca bagi anak-anak didiknya maupun rekan sejawatnya sesama guru.

Mengurai Penghambat Menulis

Menelusuri blog Eko, saya menemukan minatnya menulis naik turun. Seorang guru memerlukan stimulus agar mau terus menulis.

 ”Nampaknya baru kali ini saya benar - benar malas menulis. Beberapa lama yang lalu saya begitu bersemangat dalam menulis di blog saya ini. Hingga setiap hari saya selalu menulis satu postingan.  Namun seperti mungkin anda lihat, blog saya terlantar saat ini. Saya benar - benar tidak tahu apa yang membuat saya begitu malas menulis. Padahal masih ada banyak hal yang bisa ditulis. Seperti Amelia, tokoh dalam buku Marissa Moss,” ujarnya.

“Saya sangat tidak ingin berhenti menulis. Tapi selalu saya merasa tidak memiliki cukup waktu untuk duduk di depan komputer untuk menulis. Kemalasan saya yang menciptakannya bukan karena saya benar - benar tidak memiliki waktu. Mungkin Amelia bisa membantu saya”:

Sejak Mei 2011, blognya tidak diupdate lagi. Mengapa?. Pengalaman berharga Eko mungkin bisa mengurai masalah mengapa guru tidak menulis.

Adakah orang, instansi yang ingin mengetahui dan mencari jalan keluarnya berhentinya Eko Wurianto mengupdate blognya?.

Berhentinya Eko menulis, barangkali bisa menjadi masukan bagaimana mengembangkan minat baca dan tulis di kalangan guru. Selain itu, tentunya pertanyaan mendasar adalah, apakah pemerintah memiliki kebijakan yang dilaksanakan secara konsisten sehingga mimpi di atas bisa tercapai? Semoga!.

Selasa, 07 Februari 2012

Suatu Sore di Pantai Silalahi (Batak Pos 7, 8 Februari 2012, bersambung)

Oleh: Jannerson Girsang


Mengunjungi lokasi pantai untuk pertama kalinya memberi kesan yang menarik dan semua yang dilihat sangat mengesankan. Itulah pengalaman saya ketika berkunjung ke Silalahi, pantai Danau Toba Silalahi, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara.

21 Januari 2012 sore hari. Saya duduk di sebuah panggung di tepi pantai milik Sopo Morina tempat kami menginap. Saat itu baru sekitar satu jam setelah kami tiba sana. Saya ikut rombongan Sektor III GKPS Simalingkar sebanyak 10 mobil pribadi (berpenumpang 6-7 orang) yang mengadakan kunjungan ke sana.

Saya memilih duduk sambil memandang ke danau, melepas penat, setelah menyetir selama 4 jam dari Medan. Teman-teman lainnya ada yang menyanyi diiringi musik, bermain atau tidur siang.

Dari panggung beratap seng yang terletak persis di pinggir Danau itu, saya memandang ke depan. Silalahi, desa berkat yang terletak di sebuah teluk, dan di depannya menjulang perbukitan-perbukitan pulau Sumatera, dibatasi danau,  dan pulau Samosir.

Perbukitan di depan mata menghalangi pandangan saya ke danau lepas di balik perbukitan itu. Dari tempat saya duduk,terlihat  seolah Danau Toba hanya sebatas Tao Silalahi. Mungkin itu sebabnya ada istilah Tao Silalahi. Itu hanya dugaan saya saja.

Setelah memesan segelas kopi, saya mengalihkan pandangan ke danau yang membiru dikejauhan. Suasana yang membuat perasaan segar kembali.  Biru…biru..biru, warna yang dominan saya rasakan sore itu.

Angin sepoi-sepoi sore menerpa wajah dan memberi rasa sejuk, dan menimbulkan riak kecil ombak danau terbesar di Asia Tenggara itu. Ditambah lagi suguhan kopi Sidikalang yang panas dan manis oleh seorang petugas penginapan, membuat tubuh terasa hangat dan segar. Tak ada kesan menyeramkan atas Danau yang sering kudengar di sore itu.

Memandang ke sebelah kanan, terlihat semenanjung yang merupakan bukit tandus berbatu menjulang tinggi. Semenanjung ini berujung ke tepi danau. Mata saya tertuju pada sebuah  bangunan yang kokoh, seolah menempel di kaki bukit.

Mengalihkan pandangan ke kanan sambil memutar kepala, saya mengamati sepanjang pantai ini. Selain bangunan kokoh itu, tampak bangunan-bangunan kecil di tepi pantai berpasir yang indah. Orang menyebutnya Pantai Mutiara, tapi kadang mereka sebut Proyek, mungkin muncul ketika pembangunan Proyek PLTA Renun dulu. Entahlah!.

Dari jauh,pantai ini terlihat putih bersih. Sepanjang pantai berderet bangunan untuk istirahat, tukar pakaian dan bernaung menghindari panas. Tak tampak satu karambapun di sepanjang pantai di sebelah Selatan desa ini.

Berbeda ketika saya mengalihkan pandangan ke sebelah kiri. Saya menyaksikan beberapa baris karamba. Karamba adalah tempat beternak ikan yang terapung di atas drum-drum besar.  Memang belum separah Haranggaol, tempat yang sering saya kunjungi. Beberapa laki-laki tampak sedang memberi makan ikan. Mereka mencapainya dengan sebuah rakit dan bergantung pada sebuah tali, seperti yang biasa saya lihat di berbagai penyeberangan sungai di berbagai tempat di Jakarta, di masa lalu. Pintar juga mereka.

Memandang ke kejauhan di sebelah kiri, saya menyaksikan pemandangan di sekitar Sipisopiso dan Baluhut.

Di belakang desa Silalahi lterdapat persawahan dan pertanian dan dibatasi perbukitan yang menjulang kearah jalan Medan Sidikalang.

Lukisan alam yang diciptakan Sang Maha Pencipta. Betapa agung Engkau ya Tuhan!.


***

Tiba-tiba saya mengamati sebuah kapal penumpang bermuatan sekitar 200 orang sandar, tidak jauh dari tempat saya duduk.

“Ayo-ayo, satu orang 10 ribu. Keliling Tugu Silalahi, proyek dan kembali ke sini lagi,”katanya dalam bahasa Batak Silalahi yang khas. Suara itu menggugah lamunan saya, dan tertarik ikut dengan perjalanan itu.

Satonga jam do, Hanya sekitar setengah jam,”ujar kernet kapal, yang kemudian saya kenal namanya Herkules Girsang, satu marga dengan saya.  Tawaran ini menggugah beberapa orang dari rombongan kami. .

Sekitar 40-an penumpang naik ke kapal. Setelah bergerak beberapa puluh meter, melaju lebih cepat. Angin danau mulai terasa dingin. Untung saya memakai jaket.

Dari kapal—yang menurut Herkules baru beroperasi sekitar dua minggu sebelumnya, bergerak pelan-pelan ke sebelah kiri dari tempat saya duduk semula. Kapal kini berada agak ke tengah Danau dan bergerak ke sebelah Utara menyusur pantai.

Saya menikmati pemandangan yang sungguh-sungguh berkesan. Gunung Sipiso-piso—lokasi air terjun yang terkenal itu saya saksikan dari posisi yang berbeda dari sebelum ini. Selama ini Gunung itu saya lihat dari desa saya di Silima Kuta atau dari arah Lae Pondom, jalan Medan Sidikalang. Sungguh-sungguh luar biasa!.

Kemudian saya fokus memandang ke arah pantai desa Silalahi yang sejak 2004 lalu sudah dimekarkan menjadi kecamatan Silahi Sabungan dan Silalahi kini jadi ib kota kecamatan itu. “Desa Silalahi kini terdiri dari tiga desa yakni Desa Silalahi 1, Silalahi II, Silalahi III,”ujar Herkules menjelaskan sambil menunjuk arah desa yang dimaksudnya.

(Menurut data BPS Kabupaten Dairi, kecamatan Silalahi Sabungan terdiri dari lima Desa yakni Desa Silalahi I, Silalahi II, Silalahi III, Paropo dan Paropo 1 dan berpenduduk lebih dari 5000 jiwa).

Saya menyaksikan bibir pantai sebagian sudah di isi karamba. Tapi syukur masih belum sepadat seperti karamba di Haranggaol.

Kapal terus bergerak dan kemudian Herkules memberi tahu saya, kalau kami sedang menuju Tugu Silalahi. Dari kejauhan saya melihat sebuah bukit menjulang tinggi. Di kaki bukit terdapat titik putih. “Itu tugu Silalahi” kata Hercules Girsang.

Kapal semakin mendekat dan kami tiba di depan tugu besar dan menjulang tinggi. Bangunan paling menonjol di wilayah pantai Silalahi. Sayang, sore itu kami hanya bisa memandang dari jarak beberapa ratus meter, karena tidak merapat ke pantai. Sejenak  saya mengamati tugu yang megah itu. Disebelah tugu terapat bangunan rumah adat besar.

Kapal makin melambat, kemudian berputar kanan 180 derajat.

“Kita mau menuju Proyek PLN Renun,” ujar Hekules.

Perjalanan menuju Proyek Renun memakan waktu sekitar 15 menit. Saya memanfaatkan kesempatan untuk melihat sebanyak-banyaknya keindahan Danau dan Perbukitan di sekitarnya.

Dari Danau di tengah kapal yang sedang bergerak, saya memandang ke sebelah pantai Silalahi. Kali ini pandangan saya arahkan  pada perbukitan di kejauhan yang berwarna kebiruan. Di puncak perbukitan itu berdiri beberapa tower. Tower-tower itu terletak di pinggiran jalan Medan-Sidikalang.

Saya teringat beberapa jam sebelumnya!. Ternyata  dari perbukitan itulah kami berbelok ke arah Silalahi. Turun dari jalan Sidikalang, menempuh jarak 17 kilometer, melewati jalan hotmik yang berkelok-kelok bagai  ular melata. Tidak seperti jalan ke Haranggaol atau Tongging, jalannya jauh lebih mulus dan lebih lebar. Sehingga jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 30 menit.

Beberapa kilometer sebelum tiba, saya sempat memandang ke arah Silalahi. Mengingatkan saya atas kota Sibolga yang saya pandang dari Bonan Dolok. Silalahi, terletak disebuah teluk dan didepannya terdapat pulau Samosir.

Sejuknya memandang Danau Toba, dan indahnya perbukitan yang mengelilingi desa ini memacu saya mengendari mobil, memacu kenderaan meski di kelokan dan sekali-sekali hampir kepergok dengan sepeda motor yang melaju kencang dan kadang mencuri jalan. 

Ah, saya melamun lagi!. Lamunan saya terhenti tatkala mata saya alihkan kembali kearah pantai di sebelah kanan. Perkampungan Silalahi memanjang beberapa kilometer. Beberapa bangunan gereja begitu menonjol dan khas dan di belakang perkampungan terhampar sawah-sawah penduduk.

Kapal mulai mendekat ke arah Pantai lokasi PLN Renun.  Dari atas kapal, dengan jarak sekitar 20-30 meter. Bangunan yang selama ini hanya bisa saya amati dari Air Terjun Sipisopiso, kini sudah  di depan mata. PLTA Renun dengan kapasitas 2 x 41 MW. Konon, bangunan yang dibangun sejak 1993 itu, menggunakan teknologi canggih, dan menelan biaya 26,6 miliar yen. http://www.djlpe.esdm.go.id--website.

Bangunannya sendiri terletak persis di bibir pantai. Dari atas kapal saya menyaksikan bangunan modern itu seperti sebuah hotel bertingkat. Di sebelahnya berdiri gardu-gardu setinggi puluhan meter. Di belakangnya adalah bukit setinggi hampir lima ratus meter.  Beberapa meter dari bawah terdiri dari ibangunan beton yang terlihat kokoh untuk menghindari menghindari longsoran. Ternyata Silalahi juga memiliki objek wisata teknologi yang bagus dikunjungi anak-anak sekolah.

Kapal terus bergerak menuju tempat kami menginap. Memandang ke sebelah  kiri saya menyaksikan lebih dekat pemandangan pantai pasir yang saya lihat sebelumnya dari panggung tempat saya duduk.

Panggung-panggung tempat istirahat, tukar pakaian, kedai-kedai kopi, serta dua buah bangunan penginapan (hotel kecil) berdiri di sepanjang pantai  yang terkesan bersih. Beberapa orang sedang berenang di tepi pantai. Mereka memandang kami dan melambaikan tangan persahabatan. Horas....!.

***

Kami kembali ke panggung tempat duduk semula. Duduk sebentar mengenang keindahan yang baru saja saya saksikan. Wah, sungguh beruntung saya ke Silalahi hari itu. Seumur-umur, dalam usia 51 tahun, baru pertama kali ke Silalahi.

Sore itu, saya berenang bersama teman-teman di pantai pasir yang saya sebut sebelumnya. Bebas karamba. Menurut petugas di sana, lokasi itu baru dikembangkan sekitar dua tahun yang lalu. Saya kagum melihat bangunannya yang asri meski sederhana.

Memasuki wilayah itu kami dipungut biaya masuk Rp 3000, sepertinya biaya parkir mobil. Sayangnya hujan turun begitu lebatnya, sehingga saya tidak bisa puas menikmati renang, olah raga yang sangat saya senangi.

Teman saya Sy Edi Sahman Purba berkata: ”Saya akan kembali ke sini. Hanya bawa anak dan istri. Ini tempat yang bagus untuk wisata keluarga,”ujar, Ketua seksi Bapa GKPS Simalingkar itu.

****

Lantas, saya dan beberapa orang yang ikut berenang kembali ke Sopo Morina—kurang dari satu kilometer jaraknya dari lokasi berenang itu.

Morina terletak pada sebuah perbukitan menghadap danau, tidak jauh dari kantor Kepala Desa Silalahi 1, sebelah kiri jalan mulus yang menghubungkan Silalahi-Tongging. Rombongan kami mengetahui penginapan itu dari teman-teman gereja yang sebelumnya sudah pernah ke sana.

Penginapan ini terdiri dari satu kamar utama: enam kamar dan satu ruang besar, serta dua kamar mandi. Selain itu Morina juga menyediakan penginapan 5 kamar (2 orang), serta selebihnya beberapa kamar dengan jumlah penginap 4 sampai 5 orang). Tarifnya, itu tentu rahasia!. Yang jelas, menurut saya  murah.

Karena saya dalam rombongan sebanyak 70-an orang, maka menyewa kamar utama lebih murah dan nyaman. Hanya perempuan yang tidur di kamar dan laki-laki tidur di atas tikar di ruang pertemuan/tamu yang cukup luas. Semua urusan makan dan penginapan diserahkan kepada pemilik penginapan, sehingga kami bisa melaksanakan acara kebaktian malam dan pagi harinya dan plesiran sekaligus.

Penginapan ini juga memiliki pantai yang dapat digunakan untuk berenang, pertemuan-pertemuan terbuka. Lokasi ini menyeberang jalan Silalahi-Tingging dan jaraknya hanya beberapa meter berjalan kaki.

Selain Morina, terdapat dua penginapan yang layak untuk pengunjung, terletak di Pantai Pasir. Bangunannya masih baru dan di depannya pantai bebas karamba.

Tertarik?. Silakan rencanakan kunjungan ke Silalahi.

Sabtu, 04 Februari 2012

PERPUSTAKAAN DAERAH: “Harapan Pengguna Perpustakaan” Presentasi 2007

Oleh : Ir Jannerson Girsang[2]
Pengantar
Memenuhi permintaan bapak Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah No 041/5939/BPAD/07 tanggal 6 Nopemer 2007, perihal Permohonan Menjadi Pembicara dalam rangka Koordinasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang No 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dengan topik seputar masalah di atas, maka dengan segala keterbatasan baik dari segi kemampuan maupun data yang dimiliki, kami mencoba mempersiapkan tulisan ini.
Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah pengantar diskusi kita ke arah perkembangan kebutuhan seorang ”pengguna” perpustakaan ke depan, serta pengembangan perpustakaan itu sendiri, khususnya peran Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Bapresda) memenuhi kebutuhan tersebut. Tulisan singkat ini tidak menawarkan konsep, namun hanya mengungkapkan keluhan serta harapan-harapan baru bagaimana seharusnya Perpustakaan dapat menjangkau kebutuhan para ”pengguna”nya.  Sebagai penulis dan memahami seputar penerbitan, maka kami mewakili kecenderungan sebagian kebutuhan pengguna  yang berkaitan dengan tugas-tugas perpustakaan.  

Perpustakaan dan Perubahan  Yang Cepat  
Di awal 1990-an, ketika Perpustakaan Daerah Propinsi Sumatera Utara masih berada di Jalan Iskandar Muda, kami memanfaatkan perpustakaan ini sebagai alternatif utama untuk mencari rujukan dan informasi yang diperlukan. Saat itu kami bekerja sebagai wartawan. Kami memiliki kartu anggota dan menggunakannya untuk meminjam buku.
Namun, setelah pindah ke lokasi yang sekarang—depan Istana Maimun, kami makin jarang mengunjunginya. Disamping jaraknya yang makin jauh dari lokasi tempat tinggal kami, hal  lain adalah tersedianya perpustakaan lain yang lebih baik, bertumbuhnya toko-toko buku besar di Medan--selain membeli buku, kami juga  manfaatkan toko buku sebagai tempat membaca buku-buku baru, turut menjadi pendorong menjadikan perpustakaan tersebut jadi alternatif ke sekian dari sumber informasi yang tersedia.   
Bagi kami, saat itu Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Utara menjadi semakin menurun fungsinya sebagai alternatif sumber informasi, seiring dengan masuknya teknologi internet sekitar pertengahan 1990-an. Kemudian dengan masuknya internet dan kami mulai mengenal Yahoo, kemudian menyusul Google, kami memasuki era baru dan cara baru memanfaatkan perpustakaan.
Internet kemudian memungkinkan kami mengakses ”Perpustakaan Raksasa” yang menawarkan jasa layanan ”informasi apa saja”, “dimana saja” dan “kapan saja”. Kartu anggota tidak dubutuhkan lagi. Kami hanya perlu komputer yang dilengkapi dengan modem dan tersambung dengan kabel telepon.
Hanya dalam hitungan tahun, pola pelayanan yang kami butuhkan sudah berubah dengan cepat. Sebagai pelanggan perpustakaan di awal 1990-an, kami harus menempuh jarak ke perpustakaan, mencari buku dengan menjelajahi lorong-lorong rak buku yang masih dengan direktori ”tradisonal”, berubah menjadi hanya ”duduk di depan komputer”, tanpa jarak dan hanya melakukan pencarian (search) dengan menekan kata-kata kunci yang kita perlukan. Informasi muncul dan tinggal memilih informasi yang diperlukan.   
Umumnya, kami mengunjungi Gedung Perpustakaan untuk  melihat koleksi buku-buku lama—yang belum masuk ke ”perpustakaan raksasa” tadi,  atau mencari buku-buku baru yang secara ekonomi tidak terjangkau dan kalau buku-buku tersebut sangat mendukung bagi penulisan yang kami lakukan. Jadi perpustakaan yang hanya mengandalkan ”Gedung”nya, sudah berkurang peminatnya.  
Para pengguna internet, bisa mengakses  bermiliar website di ”perpustakaan raksasa” tanpa terbatas oleh jarak, waktu--selama komputer kami dapat dihubungkan dengan pesawat telepon.
Selain itu, perkembangan mesin pencari seperti Google, Yahoo dan lain-lain telah memungkinkan kami secara individu dengan mudah mengakses dan mencari informasi yang diperlukan.
Selain memperoleh akses yang lebih besar, internet telah membawa kami masuk dalam mailing list-mailing list sebagai wadah tukar menukar informasi dengan ribuan orang di seluruh dunia. Selain tukar menukar pengetahuan, bahkan sudah masuk ke dalam transaksi ekonomi, seperti membeli buku misalnya. Ada interaksi diantara penguna ”perpustakaan raksasa” itu.
Orang seperti kami, awalnya hanya sedikit. Namun, pertumbuhannya sungguh mengesankan. Menurut data APJII (Assosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia)  hingga akhir 2007, diperkirakan sekitar 25 juta dari 220 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 8% sudah menjadi pengguna internet. Pertumbuhan ini cukup besar dibanding dengan 2004 yang masih sekitar 12 juta pemakai. 
Ada hal yang perlu disimak dalam hubungan dengan kecenderungan di atas. Fakta di Sumatera Utara menunjukkan bahwa perpustakaan-perpustakaan (provinsi dan tingkat II) yang ada saat ini sebagian besar berada pada wilayah yang dapat dijangkau internet. Di Medan sendiri terdapat lebih kurang 25% dari sekitar 160 lebih perpustakaan. Dan sebagian besar perpustakaan yang ada, berlokasi di ibu kota kabupaten/kota yang sebagian besar sudah dapat diakses dengan internet.
Itulah sekilas, perubahan perilaku seorang pengguna sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi. Kami  bisa membayangkan, kira-kira seperti inilah nantinya profil para pengguna perpustakaan ke depan.

Manfaat Perpustakaan
Perpustakaan, apakah itu ”raksasa” atau kecil senantiasa menawarkan dokumen yang penting bagi pembaca. Pengalaman kami, ”perpustakaan raksasa” tadi menawarkan berbagai jenis informasi, baik dalam bentuk cetak maupun rekam. Mulai dari sekedar informasi umum sampai kepada bahan riset untuk membuat karya-karya yang dipublikasi untuk umum.
”Perpustakaan raksasa” tadi menjadi alternatif lain untuk memperoleh pemahaman dasar atas perkembangan ilmu dan teknologi untuk membekali seseorang menguasai dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 
 Pemahaman tentang sesuatu melalui membaca, memampukan kami untuk menganalisa dan menawarkan jalan keluar atas sesuatu masalah yang terjadi di sekitar kami. Melalui ”Perpustakaan Raksasa” tadi, pengetahuan diupdate secara reguler.
 Sebagai contoh. Kami memperbaharui pengetahuan jurnalistik, public relation, dan pengetahuan lainnya melalui beberapa website di ”perpustakaan raksasa” tadi. Perkembangan jusnalistik misalnya, bisa langsung diakses ke website tertentu di Amerika Serikat, Eropa, atau website para pakar-pakar di dalam negeri.
Sehingga  meski kita berada di ruang belajar di rumah, perkembangan yang ada di di luar maupun di dalam negeri dapat kami ikuti sesuai kebutuhan. Kemampuanpun dapat diukur, dengam membandingkan capaian mereka yang ada di dalam maupun di luar negeri. Publikasi-publikasi  penelitian penting yang diposting hari ini, langsung bisa dibaca dan kemudian diprint dan bisa disharing dengan teman-teman.
Hasil bacaan, kemudian dibahas/analisa diproduksi dalam bentuk tulisan. Kemudian hasilnya dikirimkan melalui internet ke redaksi atau kepada mereka yang membutuhkan. Kami mengangkat karya-karya bangsa melalui berbagai tulisan untuk diketahui pembaca.
”Perpustakaan raksasa” itu justru sudah berkembang menjadi sebuah kegiatan menghasilkan uang. Kami mengembangkan pengetahuan, persahabatan dan mencari uang dengan pertolongan ”perpustakaan raksasa” tadi. Seorang otodidak seperti kami memperoleh pelajaran ilmu jurnalistik, pengetahuan tentang penulisan biografi, pengembangan pengetahuan telekomunikasi, bahkan belajar bahasa Inggeris (khususnya youtube). Luar biasa!. Semua ini belum pernah kami alami saat menjadi mahasiswa pada era 1980-an. Pengetahuan yang kami peroleh, diilhami oleh perkembangan di sekitar,  lantas kami refleksikan dalam bentuk tulisan-tulisan yang bisa dinikmati orang, atau juga kami praktekkan dalam pekerjaan kami di kantor tempat bekerja.
Salah satu hal yang perlu dicatat, perpustakaan adalah salah satu alternatif yang murah bagi warga negara untuk memperoleh pengetahuan di luar sekolah atau pendidikan formal lainnya. Apalagi ada kecenderungan biaya pendidikan cenderung meningkat dan makin melampaui kemampuan warga. 
Dalam pemahaman kami, perpustakaan dalam arti luas, adalah implikasi dari fasilitasi “pendidikan” seumur hidup bagi warga negara. Dia tidak terbatas. “Siapa saja”, dalam waktu yang tidak terbatas “kapan saja”, dan lokasi yang tidak berbatas “dimana saja”.
Dengan demikian, perpustakaan seharusnya menjadi lingkungan keseharian bagi warga. Bagi kami, perpustakaan harus bisa dijangkau dengan cepat, murah dan memberikan informasi yang dibutuhkan. Pengertian Perpustakaan dalam pemahaman kami adalah sebuah ”wujud” kualitas dan kuantitas layanan informasi yang ditawarkan. Bukan sekedar “Gedung Perpustakaan”—tempat penyimpanan dan koleksi dokumen, yang ditempatkan pada satu lokasi “terisolasi”, tanpa terhubung ke dunia luar. Gedungnya Perpustakaan sendiri harus mampu memberikan fungsi sebagai tempat hiburan, interaksi sesama pengguna baik untuk  diskusi maupun menghasilkan sesuatu karya sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pelayanan kebutuhan pengguna adalah unsur utama konsep pengembangan sebuah perpustakaan. Pemahaman pengelolaan perpustakaan tradisional, akan ditinggalkan oleh pelanggan perpustakaan.

Perpustakaan Online
Salah satu harapan pengguna perpustakaan masa depan adalah perpustakaan yang terkomunikasi melalui  internet, selain mengetahui informasi awal tentang layanan yang tersedia sebelum mengunjungi perpustakaan, agar lebih efisien dan efektif. Beberapa tahun belakangan ini terdapat kecenderungan munculnya perpustakaan otomatisasi, perpustakaan elektronik dan perpustakaan virtual yang berkembang pesat. Sebagai salah satu contoh  di Sumatera Utara adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara atau perpustakaan-perpustakaan yang lebih kecil. 
Perpustakaan masa depan diharapkan mampu mengkomunikasikan dirinya atau dapat diakses melalui Website dengan berbagai tampilan menarik seperti Audo visual, file dan lain-lain. Komunikasi Audio & Video memiliki nilai tambah, karena banyak orang lebih mudah memahami sesuatu melalui audio dan visual. Komunikasi File  dimana koleksi produk/jasa, atau Profile perpustakaan sendiri, buku, atau Majalah atau file lainnya, dengan mudah bisa dikomunikasikan melalui internet. Karena semua file tersebut, dapat di download oleh siapa saja yang memiliki akses ke perpustakaan melalui internet. Dengan demikian, Perpustakaan akan mampu melakukan komunikasi interkatif dengan penguna karena pengiriman dan penerimaan informasi dapat dilakukan dengan cara yang sangat mudah, otomatis, dan dengan biaya yang sangat minim atau boleh dikata tidak ada biaya.
Website Pepustakaan diharapkan dapat menjadi perpustakaan online dengan konten Sumatera Utara atau daerah kabupaten dan kota yang menjangkau warga dan peminat Sumatera Utara yang terakses ke internet, dimanapun mereka berada. Penghambat bahasa yang selalu dikeluhkan, saat ini sebenarnya tidak masalah lagi. Berbagai alat untuk membantu terjemahan atau ”transtool” sudah banyak tersedia dan bisa di download di internet. Sehingga, baik pengguna yang berbahasa Inggeris maupun di pihak pengguna bahasa Indonesia dapat saling memahami makna sebuah informasi dalam bahasa masing-masing.      
Masalahnya, adalah penyediaan dan updating isi (content) sebuah website, yang masih kurang mendapat perhatian. Kebanyakan website tidak memberikan perhatian atas hal-hal tersebut di atas. Tidak didesain untuk membuat orang ”tertarik” untuk terus mengikuti perubahan yang teratur. Inilah tantangan kita ke depan.
Memenuhi harapan tersebut, dan mengamati beberapa website perpustakaan yang ada saat ini, keluhan pengguna yang utama adalah banyaknya website perpustakaan hanya dibuat sebagai pajangan. Belum melakukan penyajian informasi yang up to date, bahkan ada yang sama sekali tidak berubah dari hari ke hari atau bulan ke bulan. Memang, peranan pustakawan akan menjadi sangat vital di masa depan. 
Untuk melaksanakan harapan di atas, tentunya para pustakawan-pustakawan masa depan harus memiliki paradigma baru. Secara eksplisit dijelaskan oleh Zaslina Zainuddin(2005)[3]  berikut ini. ”Peran pustakawan juga ikut berubah yaitu dari pustakawan yang hanya mengerjakan  tugas-tugas tradisionil namun mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi. Pustakawan profesional pada abad informasi ini dituntut menjadi manajer informasi yang mampu menganalisis, mengorganisasikan, mendesain sistem informasi dan juga mengemas paket informasi untuk kebutuhan pengguna; bukan sekedar hanya mampu mengakses dan menelusur informasi. Mengamati situasi yang ada, pustakawan professional sebagai tenaga manajerial sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan perpustakaan  masa mendatang yang cenderung terus berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Kalau selama ini buku-buku baru belum dibuat resensi, mungkin sudah waktunya Perpustakaan bekerja sama dengan media mempublikasikan resensi buku. Bahkan kalau perlu, diadakan perlombaan-perlombaan meresensi buku. Hal-hal lain yang masih bersifat data mentah dapat disajikan dengan lebih komunikatif kepada masyarakat.     

Peranan Bapresda Sumut : Harapan Pengguna
Sebagai sebuah badan, secara formal, Bapresda Sumut kami inginkan berfungsi sebagai : Pusat Informasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan budaya daerah, Pusat deposit daerah: pengemban UU Nomor 4 tahun 1990 tentang Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Karya Cipta di daerah, Pusat pengembangan sistem perpustakaan dalam rangka sebagai pembina semua jenis perpustakaan daerah, Pusat pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia di bidang perpustakaan, serta pusat hubungan dan kerja sama antar perpustakaan di daerah. 
Sebagai pusat informasi dan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya daerah  Bapresda diharapkan lebih memantapkan identitas Sumatera Utara, dengan memfasilitasi berkembangnya pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, adat dan budayanya. Hal itu dapat terwujud apabila perpustakaan turut  memberdayakan masyarakat menyediakan hasil karya, rekam sehingga dapat dibaca oleh seluruh kelompok suku, melalui perpustakaan..
Untuk meningkatkan karya cetak dan rekam warga, tentunya perpustakaan tidak hanya berhenti pada memberdayakan pengguna untuk membaca. Diharapkan Bapresda bisa mengembangkan perpustakaan sebagai tempat diskusi, penelitian dan penulisan. Beberapa perpustakaan yang sudah maju, bisa dijadikan sebagai tempat belajar atau ”pilot project”, yang nantinya menjadi acuan bagi perpustakaan-perpustakaan yang masih terbelakang.
Dalam fungsinya sebagai pembina semua perpustakaan di daerah ini, Bapresda diharapkan mampu memberdayakan pustakawan dan perpustakaan yang tersebar di kabupaten/kota. Baik mereka yang tidak terjangkau oleh internet maupun yang sudah terjangkau internet. Kegiatan koordinasi memberdayakan melalui jaringan dengan seluruh universitas, sekolah,  perlu digalakkan sehingga masing-masing dapat saling memberi manfaat. Sehingga perpustakaan di satu lokasi bisa saling melengkapi.
Bekaitan dengan pelaksanaan Undang-undang No 4 tahun 1990 dan pemberlakuan otonomi daerah, salah satu komunikasi aktif dari Bapresda ke sebagian pengguna (penulis dan penerbit) adalah dari sisi karya cipta dan rekam. Harapan kami kiranya Perpustakaan Daerah dapat semakin meningkatkan perannya, khususnya dalam pelaksanaan UU No 4/1990. 
Dari pengalaman selama ini, dalam melengkapi persyaratan sebuah penerbitan buku, kami hanya berhubungan dengan Perpustakaan Nasional. Di dalam persyaratan penerbitan buku, Perpustakaan Nasional memberikan kewajiban bagi penerbit saat mendapatkan ISBN. Permohonan ISBN dilakukan ke Perpustakaan Nasional dan kemudian Wajib Serah Simpan yakni mengirimkan dua eksemplar buku juga ke Perpustakaan Nasional, setelah buku diterbitkan dalam selang waktu yang sudah ditetapkan.
Dalam fungsinya sebagai pusat deposit daerah, maka kerja sama dengan penerbit untuk mendorong mereka mengirimkan dua eks ke Bapresda. Sampai saat ini kami belum pernah melakukan Serah Simpan ke Perpustakaan Daerah. Kita berterima kasih kepada rekan-rekan penerbit surat kabar di daerah ini yang dengan setia menyerahkan terbitannya, sehingga pengguna bisa memaca berita aktual daerah ini.
Dengan adanya otonomi daerah, maka sepengetahuan kami Perpustakaan Daerah telah menjadi unit kerja di lingkungan Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten, sehingga sudah tidak dalam hubungan struktural terhadap Perpustakaan Nasional. Artinya, karya cipta dan rekam warga Sumatera Utara belum sepenuhnya disimpan di Perpustakaan Daerah. Tapi ada hal yang perlu dipertimbangkan juga. Andaikata semua karya cipta diserahkan, apakah ruang yang dimiliki cukup untuk menampung dan memeliharanya?. Kalau itu dilaksanakan, tentunya kapasitas gedung dan pengelola juga harus ditambah.  
Dari sisi pengguna, kami mengharapkan agar penyempurnaan atau revisi terhadap UU No.4 tahun 1990 dan pemberdayaan Tim Koordinasi Pemantauan dan Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang ini. UU No.4 tahun 1990 dapat dilakukan segera. Sehingga  fungsi menghimpun, menyimpan, melestarikan dan mendayagunakan semua karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah ini dapat berjalan dengan semestinya. Para penerbit buku, surat kabar serta pihak-pihak lainnya dapat segera menerahkan hasil karya cipta dan rekamnya, sehingga Perpustakaan Daerah ini menjadi sebuah deposit yang dapat diandalkan.
Melihat harapan-harapan di atas, tentunya keberadaannya Bapresda saat ini perlu mendapat perhatian.  Saat ini, koleksi buku yang dimiliki sekitar 120 ribu eksemplar buku yang terdiri dari 12 ribu judul dari berbagai bidang ilmu seperti ekonomi, bahasa, agama, kedokteran, teknik, sastra, sejarah, hukum, politik dan budaya. Angka ini jauh lebih kecil dari koleksi yang ada di Universitas-universitas. Universitas Sumatera Utara misalnya, jumlah buku dan koleksinya jauh lebih besar dari yang dimiliki Bapresda.
Bapresda baru membina sekitar 13 perpustakaan di kabupaten/kota, 15 perpustakaan kampus, 90 SMA, 127 SMP, 15 MTS, dan 30 taman bacaan masyarakat. Tentu peran ini masih sangat kecil dibandingkan dengan 26 kabupaten/kota, 252 perguruan tinggi, 1369 SMU dan SMK. (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2006).  
Dari 12 juta jiwa penduduk propinsi ini, sampai saat  ini, baru dapat menarik perhatian 600 pengunjung setiap hari. Anggota perpustakaan baru mencapai 3000 orang. Disamping melayani para pengunjung, Bapresda juga melakukan pelayanan keliling ke luar kota Medan seperti Deli Serdang, Labuhan Deli, Sunggal, Namorambe, Deli Tua, Selayang dan Medan Labuhan, serta wilayah lainnya. Dari sini terlihat bahwa peran Bapresda harus didukung oleh seluruh perpustakaan yang ada di propinsi ini.

Penutup
Demikianlah sajian yang sangat jauh dari sempurna ini kami sampaikan ke hadapan para hadirin, semoga bermanfaat menjadi sebuah bahan diskusi dalam mendorong perpustakaan di Sumatera Utara menjadi sebuah pusat ilmu pengetahuan, teknologi, budaya yang handal.



[1] Disajikan Pada Koordinasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang No 4 Tahun 1990 pada Kamis, 8 Nopember 2007, di Hotel Dharma Deli
[2] Pengguna Perpustakaan, Penulis. Tinggal di  Medan
 
[3] Zainuddin, Zaslina, 2005, Kebutuhan Pustakawan Profesional di Propinsi Sumatera Utara. Pustaha : Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi Vol 1. No 1. Juni 2006