My 500 Words

Rabu, 08 Mei 2013

Semoga Ibu Lucy Montolalu Cepat Sembuh!



Oleh: Jannerson Girsang

Tadi malam (7 Mei 2013), saya membaca statusnya pak Alexander Lolowang. Ibu Dr Lucy Montolalu sakit. Saya mengamati foto yang diposting pak Alex. Hanya pak Alex yang saya kenal di foto itu. Inilah salah satu keuntungan memiliki Facebook. Bisa mengetahui kabar teman-teman dengan cepat. 

Memutar kembali memori ke belakang sekitar 2005-2006. Begitu banyak hal yang harus saya ingat dan ingin saya ungkapkan di sini.

Saat itu saya berkenalan dengan ibu Lucy Montolalu yang ketika itu menjadi Direktur Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) yang memiliki program distribusi bantuan untuk Program Tsunami dan Gempa di Nias dan Aceh. Selain itu beliau aktif sebagai dosen Bahasa Indonesia di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. 

Sementara saya bekerja sebagai Information Officer Action by Churches Together (ACT-International)—sebuah lembaga donor yang berkedudukan di Geneva, Swiss. Tugas saya adalah menulis situation report dari program yang dilaksanakan Implementation Partners—YTBI, YEU dan CWS ke mediaonline http://www.act-intl.org.   

Pergaulan selama setahun tersebut, mengenalkan saya kepada ibu Dr Lucy Montolalu dan kemudian mempercayakan saya menjadi Program Manager YTBI, setelah tidak memperpanjang kontrak saya di ACT-international.  Saya menjalani jabatan Program Manager YTBI selama setahun.

Satu hal yang saya sangat hargai adalah sikapnya yang terus bersahabat bahkan dengan sebuah hubungan keluarga yang akrab. Memberi sebuah buku, menanyakan keluarga dan kesulitan di lapangan saat kami rapat atau bertemu secara informal.  

Suatu ketika sepulang dari Gunungsitoli, Nias, pesawat kami terjebak udara hampa di sekitar Gunung Sibayak dan rasanya pesawat jatuh tiba-tiba.Kami semua sangat kaget dan ketakutan tentunya. Setelah tiba di Bandara Polonia beberapa menit kemudian, beliau bilang. "Perut saya sakit. Gila itu pesawat," katanya. Salah satu pengalaman tak terlupakan bersama ibu Lucy.

Ketika saya memutuskan tidak melanjutkan jabatan sebagai Program Manager, beliau memang sedikit kecewa. Tetapi dalam pertemuan kami di kantor YTBI Jakarta, sekitar Desember 2006, beliau masih sempat-sempatnya bertanya. “Pak Girsang, apa yang bisa saya bantu untuk bapak?”.

Waktu itu saya meminta 50 buah Alkitab untuk gereja saya. Bantuan itu direalisasikannya tak berapa lama. Saya mengambil sendiri ke kantor Yayasan Tanggul Bencana di Medan. 

Ibu Lucy memang seorang “bos” yang sangat “care” kepada semua stafnya, kadang tidak memperhatikan struktur. Saya acapkali menyaksikan beliau memberi bantuan kepada staf yang memerlukan.Suatu ketika usai memberi ceramah di Unsyiah Banda Aceh, beliau memberi separuh dari honornya kepada seorang staf yang memerlukan. 

Dengan hanya memiliki  putri tunggal, rasanya beliau mengabdikan dirinya sepenuhnya menolong sesama.

Beberapa kali kami komunikasi melalui telepon atau berkunjung ke bekas kantor YTBI di depan Tugu Proklamasi Jakarta. 2011, saya bertemu beliau di kantor itu bersama beberapa staf seperti pak Marlon, Linda, dll.

Meski saya sudah lima tahun tidak bersama mereka, tetapi rasa rindu bertemu terus dipupuk. Bahkan saya ketika itu berbicara agak lama dengan ibu Lucy Montolalu, dan sempat wawancara menulis Profilnya. Tapi sampai sekarang saya belum publikasikan.

Terakhir kami berkomunikasi ketika anak saya Clara menikah Desember 2012 lalu. Beliau berjanji akan hadir dalam pesta itu. SMSnya mengatakan beliau tidak hadir karena ada halangan.

Beberapa hari setelah perkawinan putri saya, melalui sms beliau mengundang saya. Katanya kita bertemu dengan pak Girsang dan berkumpul dengan teman-teman dari YTBI. Tapi itu belum pernah terwujud.

Tadi siang saya kembali menerima kabar dari ibu Joyce Manarisip (mantan Project Manager YTBI di Nias) yang mengingatkan saya bahwa Ibu Lucy sakit di RS Cikini.  


Ibu Lucy yang baik, saya berdoa semoga ibu cepat sembuh! Kita bisa bergabung dan bercanda bersama teman-teman di YTBI.

Saya pengen melihat ibu di lantai VI Gedung LAI Jakarta, karena waktu itu saya tidak bertemu. Andaikan saya saat ini berada di Jakarta!. Ibu Lucy masih punya janji dengan saya untuk bertemu. Tetapi biarlah Tuhan yang menentukan semuanya.

Dari Jannerson Girsang 


Photo: Dgn Sektor IV...Ny.DR.Lucy Montolalu,lekas Sembuh,YBU Family
Foto: Alex Lolowang. (Thanks pak Alex). Ibu Lucy terbaring sakit di RS Cikini, Jakarta (7 Mei 2013).

 
Teman-teman mantan Staf YTBI mendoakan Ibu Dr Lucy, mantan Direktur YTBI. Saya melihat ada Joice, Victor, Tatang, Amelia Oleng, Elizabeth Mesdiana dll. Semoga beliau sembuh! (7 Mei 2013)

 
Victor Nahusona (membelakangi lensa), Joice (samping kanan ibu Lucy sedang memberi semangat buat Ibu Lucy (7 Mei 2013).  Sumber Foto: FB Joice Manarisip.

Note: Sekitar pukul 20.19, tanggal 21 Juni 2013, saya menerima sms dari teman dekat saya Tagor Marpaung, suaminya Trenny Gerung dan masih keluarga Dr Lucy Montolalu. "Tante LUCY Montolalu sdh dipanggil Tuhan hari ini, disemayamkan di Cikini". Sedih dan makin sedih lagi, karena saya tidak bisa melayatnya ke Jakarta.

Rabu, 01 Mei 2013

Artikel Paling Banyak Dibuka Pengunjung

Oleh: Jannerson Girsang

Hingga hari ini, 30 April 2013, pengunjung blog ini menyukai sepuluh teratas dari 227 artikel yang diposting.  Semoga pembacanya mendapat pelajaran dan inspirasi. Terima kasih untuk para pengunjung blog ini dan memberi semangat bagi saya untuk terus berkarya.    
  1. Menyimak Prestasi Andrea Hirata (Posting, 26 Nov 2010), 1799 pageviews.
  2. Selamat Jalan SK Trimurti (Posting, 17 Mar 2009), 1775 pageviews
  3. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia (Posting, 18 Jan 2010),1269 pageviews
  4. Kisah Menulis Buku Biografi (Posting, 26 Apr 2009, 732 pageviews
  5. We Are the World (Posting, 5 Jan 2010), 718 pageviews
  6. Anda Ingin Membuat Otobiografi Sendiri! (Posting, 13 Okt 2009), 686 pageviews
  7. TOKOH WARTAWAN DI INDONESIA (Posting, 3 Jul 2009), 534 pageviews
  8. Buku Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko (Posting, 13 Des 2011), 532 pageviews
  9. Buku Favorit 10 Pemimpin Terkenal yang Inspiratif (Posting, 23 Nov 2010), 436 pageviews
  10. The Local Singer at a Glance TRIO Assisi: New Group (Posting, 12 Sep 2012), 426 pageviews
               

Senin, 22 April 2013

Indonesia: Situation report update Aug 2005 - Nias earthquake

Menulis membuat peristiwa abadi. Peristiwa gempa di Nias sudah berlangsung delapan tahun yang lalu. Artikel ini saya tulis bulan Agustus 2005, lima bulan setelah gempa. Suasana yang masih menyedihkan bagi korban gempa. Kisah tentang bencana itu sudah lama dan mungkin sudah terlupakan.  Tetapi karena tertulis, saya masih bisa menemukannya di website www.relief.web.org--salah satu website bencana terbesar di dunia. Artikel ini pernah dimuat di website www.act-intl.org, serta berbagai website internasional lainnya.   Verba Volen Scripta Manen (Yang terucap lenyap, yang tertulis tetap).


from Presbyterian Disaster Assistance
Published on 25 Aug 2005

More than five months after the March 28, 2005 earthquake laid waste to much of the island of Nias's urban areas, many residents of Gunung Sitoli, Manrehe and Sirombu are still living in tents in front of their homes, or in fields or mountainsides in cities and towns. People are still afraid, as aftershocks measuring up to 6.4 on the Richter scale continue to occur.

When staff of the Action by Churches Together (ACT) Internataional coordination office in Medan recently visited the island (July 14), two small earthquakes rocked Sirombu, 76 kilometers south of the capital Gunung Sitoli.

"Every time an earthquake like this happens, people imagine that there will be a larger earthquake and a tsunami. At night our whole family flees to the mountains with all the other families and sleeps in a tent because we are scared another earthquake will happen such as the last one," said A. Rizka Harefa, a resident and small business entrepreneur of Gunung Sitoli.

Presbyterian Disaster Assistance and ACT members in Indonesia, Yayasan Emergency Unit (YEU) and Yayasan Tanggul Bencana di Indonesia (YTBI), have continued to assist the residents of Nias since the island was struck by the tsunami in December 2004. Funds for this support were taken from the generous response by Presbyterians to the tsunami disaster.

Photos and text are by Jannerson Girsang, ACT International (Medan)

Four months after an earthquake with a magnitude of 8.7 (Richter Scale) struck Nias Island, cleanup operations in Gunung Sitoli city are almost complete. However, debris and ruins can still be seen in many places. Even though economic activity has resumed, fears of aftershocks still affect many of the 900,000 residents on the island. The event still haunts many. Gunung Sitoli, the capital of Nias District, with 27,000 inhabitants, was the worst hit, with 400 people killed and 400 others injured.

In some places, the clearing of debris is being done manually, using sledgehammers. The government announced the end of emergency status in Nias at the end of May. Many people are waiting for the government's "Master Plan" to rebuild the island, which is scheduled for release at the end of August, according to Willy Syahbandar, Rehabilitation and Reconstruction Agency Branch Office in Nias.
The gasoline crisis currently experienced throughout Indonesia has also had an impact on Nias the past few weeks. The only gas station in Gunung Sitoli is swamped with long lines of vehicles every day. "The price of gas now has reached 8,000 to 10,000 Rupiah (80 cents to $1.10 US) per liter and even then it is not always available," says Buyung Gulo, a bus driver on the Gunung Sitoli to Sirombu route. Normally, the price of gas is 2,400 Rupiah (20 cents US).

Small stores selling essential goods and offering services (car repairs for instance) have started popping up all over. The food market is once again operating normally, with all the basic foodstuffs available. Ali Hia (20), a fishmonger at one of the markets in Gunung Sitoli, sells fish caught by local fishermen. "Finally we are able to run businesses and support our family's economic situation," said Ali.

The town of Sirombu, located on a beautiful shoreline along the western coast of Nias, now lies deserted. Hundreds of towns and shops that once constituted economic centers of Nias have been abandoned by residents after the March earthquake. Many people have fled to Tetesua, a town that is some three kilometers from Sirombu. Tetesua now has hundreds of new residents living in tents or in temporary shelters along the side of the road. Others have built dwellings in places farther inland from Sirombu.

What do people do and need for recovery?

The earthquake that brought about the destruction of people's houses, in an ironic twist, has provided alternative forms of employment for people who lost their jobs as a result of the quake. For Ahmad Zebua (40), gathering iron scraps from the rubble provides a good source of income to support his family. "We need work, not just handouts," said Mr. Zebua. ACT member YEU is currently assisting Mr. Zebua and his family by providing them free health services. "In these conditions, there is no way we could pay the costs of a hospital," Mr. Zebua explained.

Mrs. Zebua (50) and her two daughters carry loads of sweet potato leaves they use as fodder for their pigs. The walk to the sweet potato field is about two kilometers from their home. "There is fear of more earthquakes, but we have to continue being active in order to survive," says Mrs. Zebua.
Nurmina Zebua (45), a resident of Mandula (a sub-district of Gunung Sitoli), said that she and her family have been receiving assistance in the form of rice, canned fish, cooking oil and cooking utensils from ACT member Church World Service (CWS). Nurmina used to run a small business, employing three seam-stresses. "Presently, there are no orders being placed for tailor-made clothing, because people are focusing on filling their needs for food," she said. Now Mrs. Zebua hopes to develop a livestock project she has started with her pigs, in an effort to support her family by meeting daily needs and paying school fees for her two children who are still in elementary school.

On the road between Gunung Sitoli and Sirombu, Waty Waruwu (14) and his friends walk home from school after their first day at public middle school in the district of Hilidaho. "We hope there won't be any more earthquakes so that we can study well," he said. Waty and his friends are lucky, as their school suffered only minor damage during the earthquake. Many schools were destroyed, however, and many young people on the island now go to school in tents or outside, if no tents are available.
The congregation of the Nias Protestant Christian Church (Banua Niha Keriso Protestant) of Vabaliwa in the district of Sirombu is an example of people's need to restore their community.

"Building a church where we can have services has become a high priority after several months of having services first in tents and then in a very small building," explained Yaveti Waruwu, one of the elders of the congregation. The church has 720 members who have all, in their own way, helped build their new temporary building that will allow members of the congregation to join in the services. "Together, the congregation collected funds and materials to build this church, so that we could have a service," said Mr. Waruwu, adding that lack of funds means that the roof will be made from sago palm leaves that can be gathered in the immediate area. The construction work is happening because of community participation. "We are only paying five carpenters. All the remaining work is done by volunteers," he said.

Alina Hia (far left) has already built a new house near Baru Village in Sirombu. The house is made of wood and sago palm leaves. Along with other beneficiaries, Mrs. Hia received a blanket and kitchen equipment from CWS, through the support of ACT members around the world. "My husband got the building materials from around this area, and we did the construction with the help of other families in the area," Mrs. Hia said. The house does not have electricity or running water yet, and the family bathes in a creek behind the house. She has started a small tailoring business in her modest home.
Kudusin Lase is a fisherman who received money from the revolving fund of ACT member YEU.

With an small interest-free loan, Mr. Lase was able to buy four nets for his small fishing business. From the proceeds of his fishing , he is sure he will be able to repay the loan, while at the same time helping his parents and two younger sisters. "I give thanks to God that YEU provided the interest-free loan so that I can work and help with my family's expenses," said Mr. Lase, who survived both the tsunami and the recent earthquake, although it meant abandoning their old home and building a temporary shelter in another area. He still hopes that at some point he and his family will be able to return to Sirombu, the town where he was born and raised. "But now we still are afraid to go back because there the people are still traumatized by the tsunami and earthquake," he said.

Dr. Lieke Koes Handayani, a doctor working with YEU in Gunung Sitoli, explained that the YEU medical clinic continues to provide health services to the survivors in the city. One of the patients, Nurmawati Zebua, said she was grateful for the clinic's services. "All of our family has received free medical services from YEU," said Mrs. Zebua, whose house was damaged by the earthquake. Two of her children's homes were also destroyed. Dr. Tuti Andriani, the coordinator of the YEU health post in Sirombu, said that YEU offers health services to tsunami and earthquake survivors, both at the post and through their mobile clinic. YEU has also started a revolving fund for fishermen and farmers in the Sirombu area. Child nutrition monitoring and water and sanitation projects also form part of YEU's response.

CWS has already built 100 bathrooms in Nias. They plan to build 1,000 more bathrooms in other towns in the area. The bathrooms already constructed serve some 2,000 people's bathing and drinking water needs. CWS is implementing the water and sanitation program with ACT member Norwegian Church Aid (NCA), which does the water purification testing for drinking water along with with the British agency, Oxfam. Previously, people bathed in a nearby stream or walked a long way to collect water from other organizations that were providing water in the area. CWS has plans for an integrated program to "Build a New Village" at the site of Mandula village in the district of Gunung Sitoli.

Three quarters of the homes in this village at the edge of the city of Gunung Sitoli were destroyed as a result of the earthquake. Leo Sambo, CWS Team Leader in Nias, described the plan. "CWS will assist in the repair of 134 homes that were destroyed, while also helping economic activity through the provision of small pigs for the residents to raise."

YTB, along with its local implementing partners, BPB Nias and Yayasan Handal Mahardika, continue to distribute non-food items in several villages, as well as run a health clinic in Sirombu. "For the next phase, we will offer economic improvement programs and housing construction to those who suffered from the disaster," said Octhavianus, YTB's program officer in Nias. During the emergency phase, YTB, through its implementing partners, distributed rice and tents to seven towns in Nias. Many people, when asked about their chances of recovery, responded with optimism, saying even if it takes a long time, they will recover. Aty Harefa (22), a tailor from Hiliduo Village said, "We still have good hopes for the future and now the economy is moving again."

Source:  http://reliefweb.int/report/indonesia/indonesia-situation-report-update-aug-2005-nias-earthquake.

Keluarga Besar Girsang Berpesta di Jakarta


Jannerson Girsang (ketiga dari kiri) bersama istri berbahagia sambil menari tortor saat resepsi dan upacara adat pernikahan anaknya, Clara Mariana Girsang, dengan Anja Novalianto Simarmata, Sabtu (1/12/2012).

JAKARTA, NBC — Bertempat di Gedung Pertemuan Sasana Pakarti Jl. Duren Tiga/12 Jakarta Selatan, keluarga besar St. Ir. Jannerson Girsang, kontributor NBC, mengadakan resepsi dan upacara adat pernikahan anak pertamanya dengan Erlina Sari br. Sipayung, B.Ac, Clara Mariana boru Girsang, dengan Anja Novalianto Simarmata, Sabtu (1/12/2012). Acara tersebut dihadiri oleh komedian nasional Tukul “Arwana”.

Sebelumnya, acara pemberkatan pernikahan dilangsungkan di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Depok Jalan Kedongdong II No.114, Kemiri Muka, Depok.

Acara resepsi dan upacara adat berlangsung meriah dan diwarnai dengan manortor (menari tarian khas suku Batak) bersama para hadirin. Lagu-lagu pop Batak pun terus dialunkan oleh musisi Batak yang khusus didatangkan pada acara tersebut. Sukses acara ini juga didukung oleh Humpulan Girsang/Boru/Panogolan se-Jabodetabek; Humpulan Par-Nagasaribu Jakarta; Punguan Silahi Sabungan Simalingkar, Medan; Humpulan Sipayung pakon Boruna Kota Medan; dan STM Sauhur Simalungun.

Tukul Bernyanyi

Tukul Arwana, komedian dan host acara bincang-bincang “Bukan Empat Mata” di Trans7,  yang turut hadir pada acara itu, semakin melengkapi sukacita keluarga besar Jannerson Girsang. Clara adalah tim kreatif acara bincang-bincang “Bukan Empat Mata” yang diakui Tukul sangat berperan besar membuat acara itu berkibar seperti sekarang.

“Saya ucapkan selamat berbahagia kepada Clara dan Saut (panggilan  Anja Novalianto Simarmata). Semoga keluarga yang baru dibentuk ini bisa awet hingga kakek-nenek. Amin,” ujar Tukul saat didaulat untuk menyampaikan sepatah kata sambil terus melayani hadirin berfoto bersama. Tukul datang bersama Jhon, juga pelawak, yang pada saat itu menyumbangkan suara dengan menyanyikan beberapa lagu Batak.

Melihat Tukul datang, para undangan sontak berkerumun dan mengerumuni komedian yang terkenal dengan panggilan Tukul Arwana tersebut. Ibu-ibu terlihat merangsek dan meminta berfoto bersama Tukul.

Setelah menyampaikan sambutan dan menyumbangkan lagu, Tukul pun meninggalkan tempat acara pergi sambil terus melayani permintaan berfoto dan bersalaman dari hadirin yang ia lewati. “Kembalikan laptopnya dong Mas Tukul,” teriak salah satu hadirin kepada Tukul yang berjalan menuju mobilnya.

Sementara itu, Jannerson Girsang terlihat sangat bahagia saat menyambut kedatangan Pemimpin Perusahaan majalah online Nias-Bangkit.com Tony Fransiscus Jans bersama Pemimpin Redaksi Donny Iswandono. “Terima kasih sudah datang memenuhi undangan kami. Kami sekeluarga senang,” kata Jannerson saat menerima ucapan selamat dari NBC dengan senyum bahagia.

Jannerson Girsang adalah wartawan dan aktif menulis biografi tokoh-tokoh di Sumatera Utara hingga kini. Ia juga aktif memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik kepada sejumlah media, termasuk di NBC. Tulisan-tulisannya yang menginspirasi  juga banyak menghiasi surat kabar-surat kabar terbitan Medan.

Segenap kru redaksi NBC dan reporter se-kepulauan Nias, Medan, dan Jakarta, menyampaikan selamat kepada Bapak Jannerson Girsang atas pernikahan anak pertama, Clara Mariana Girsang, dengan Anja Novalianto Simarmata. Semoga berbahagia selalu. [DI/STL]

Sumber: http://www.nias-bangkit.com. 

Terima kasih untuk mediaonline http://www.nias-bangkit.com yang memuat berita pesta  perkawinan putri saya Clara Girsang. I love Nias Bangkit!. Terima kasih pak Tony J Frans, Apolonoius Lase dan Mas Donny Iswandono.   

Regenerasi Hombo Batu







Foto: Nitema Mendrofa

NBC—Methodius Zagoto (11), siswa sebuah sekolah dasar, sedang berlatih melompati tumpukan kayu di halaman  Omo Sebua (rumah raja) di Desa Bawomatuluo. Dua orang bocah kemudian menyusul mengikutinya. Itulah tahapan awal yang mesti dipenuhi oleh anak-anak sebelum benar-benar terampil melompat batu . Inilah bukti regenerasi Hombo Batu (lompat batu) di Bawomataluo masih terus berlangsung.

Awalnya, bocah yang kini memiliki tinggi badan sekitar 120 sentimeter ini melompat dengan tinggi lompatan setengah meter. Tinggi lompatan secara bertahap meningkat dengan berlatih. “Sekarang saya sudah bisa melompat setinggi satu meter,”katanya saat berbincang dengan NBC, di gerbang sebelah Timur desa Bawomataluo, 13 Mei 2011.

Ternyata Hombo Batu tidak sekedar olah raga biasa. Bagi generasi muda Nias, Hombo Batu adalah sebuah identitas. “Kalau kami sudah bisa melompat batu, kami merasa menjadi pemuda Nias sejati.” Kata bocah bernama Methodius Zagoto itu.


Generasi baru pelompat batu, Methodius Zagoto.

Methodius bersama dua puluh temannya secara rutin berlatih melompat di Omo Sebua atau lokasi lain. Mereka mendapat bimbingan oleh seorang pelatih pada sore hari.

Selain berlatih Hombo Batu, Metodius juga lancar bercerita tentang kisah nenek moyangnya. Sebuah kemampuan yang membanggakan untuk bocah seusianya. Methodius dengn seksama berkisah tentang raja pertama Bawomataluo lengkap dengan cerita-cerita ringan sekitar kebesaran desanya.
“Raja pertama adalah Lehe Luwo. Sebelumnya penduduk desa ini berasal dari desa Orahili. Salah seorang anaknya membangun rumah disini. Kemudian, setelah Orahili terbakar banyak yang pindah ke sini,”katanya lugas.

Pemahaman seperti ini diperoleh Methodius melalui proses bertutur yang berlangsung di rumahnya atau dari para tetua kampung. Methodius mewarisi cerita  itu  dari orang tuanya, kerabat dan tetua adat.

Methodius juga mampu bercerita tentang kampungnya. Dia menceritakan bahwa penduduk desa ini berburu ke hutan Lawu-Lawu di sebelah timur desa ini. Mereka berangkat jam 18.00 dan kembali pada pukul 22.00. Mereka berburu babi hutan. Sebagian ada yang berburu kelelawar untuk obat.
Festival Budaya Bawomataluo 2011 yang berlangsung 13-15 Mei lalu, memberi semangat kepada generasi muda seperti Methodius. “Kami ingin menjadi pelompat batu seperti abang-bang kami yang tampil di sana,”ujarnya.

Anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Simara Zagoto (Ama Selviana) dan Veronika Fau ini adalah bukti dari regenerasi yang masih berlangsung di desa Bawomataluo. .

Menurut Teruna Wau, seorang Fahombo Batu (pelompat batu) senior, Hombo Batu dilakukan untuk melatih prajurit supaya handal di medan perang. Sebab pada zaman dahulu  antara desa selalu terjadi peperang.

Melompat Demi Kebanggaan


Minggu sore 15 Mei 2011, dalam rangkaian acara hari terakhir Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011, delapan pemuda Desa Bawomataluo berhasil melintasi batu setinggi 2.1 meter. Kemudian mereka melanjutkannya dengan Faroro yakni melompat secara berurutan tanpa jeda.

Seorang pemuda yang bertinggi badan lebih dari 170 sentimeter dengan tubuh atletis menarik perhatian pengunjung ketika melakukan atraksi lompat batu. Dia adalah Darius Bulolo, selain pelompat batu yang tangguh, Darius juga seorang atlet yang berhasil menjadi Juara Lompat Tinggi tingkat Kecamatan Telukdalam pada tahun 2010 silam.


Darius Bulolo, pelompat batu Desa Bawomataluo.

NBC mengajaknya berbincang di salah satu stand di Lorong Raya, Desa Bawomataluo sebelah Timur. “Saya puas sekali bisa tampil sebagai pelompat batu pada acara pesta  budaya kali ini. Sudah lama tidak ada pesta budaya yang besar seperti ini,”ujarnya, sambil menyeka keringat setelah beberapa menit lalu berhasil melompati batu sebanyak dua kali berturut-turut.
Lompat Batu telah membawa pemuda lajang kelahiran Bawomataluo 4 Okotber 1986 ini menjelajah di berbagai tempat di Indonesia,seperti di Taman Mini, Jakarta, 6 kali ke PRSU Medan, Padangsidempuan, Tarutung, Gunungsitoli dan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika  acara Natal 2005 di Gunungsitoli beberapa saat setelah gempa memporak-porandakan Kepulauan Nias.

Menjadi pelompat batu yang tangguh seperti Darius bukanlah hal yang gampang. Darius harus berlatih lompat batu sejak kelas VI Sekolah Dasar. “Ketika itu kami berlatih di halaman rumah menggunakan tali dan tiang bambu,”ujarnya.

Sesudah usianya menginjak 16 tahun, Darius mulai berlatih Hombo Batu di depan Omo Sebua. Hanya mencoba-coba, belum melompat yang sesunguhnya. “Kami baru pemanasan, dan terus mencoba sampai pelatih kami memperkirakan bisa melewati batu itu,”ujarnya.

Pada usia 18 tahun, akhirnya Darius berhasil melompati batu yang disusun dengan ukuran lebar 90 sentimeter dan tinggi sekitar 2.1 meter. Di bawah batu terdapat batu berukuran kecil yang berfungsi sebagai tumpuan kaki sebelum melompat.  Sebagaimana kebiasaan masyarakat desa Bawomataluo, Darius mendapat selamatan berupa pemotongan seekor ayam, suatu kebanggaan bagi orang tua.
Lulusan SMK Darma Bakti Desa Bageheno itu mengungkapkan bahwa menjadi pelompat batu adalah semata-mata kebanggaan mewariskan budaya nenek moyang. Tak terlihat sedikit pun motivasi sebagai atlit olah raga. ‘Kami cukup bangga kalau bisa melintasi batu itu. Kami berlatih terus, agar budaya ini tetap dapat kami warisi,”ujar pegawai honor di Satpol PP Telukdalam itu.

Darius berharap, pemerintah memperhatikan masa depan mereka khususnya para pelompat batu yang telah berjasa dalam melestarikan budaya daerah.

Pada hari penutupan Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011, delapan pelompat batu Bawomataluo, Imron Manao, Elias Nehe, Ajas Bulolo, Imran Bulele, Abe Zagoto, Falo,o Bulolo, Sony Bali, serta empat pelompat batu dari desa Hiligohe, kecamatan Telukdalam turut berpartisipasi, mereka berusia antara 16-25 tahun.

Sebuah harapan yang realistis dan perlu perhatikan dari pembina olah raga setempat, agar para pelompat batu dapat dibina menjadi atlet lompat tinggi. “Saya bisa melompat lebih dari dua meter ketika lomba di Telukdalam,” kata Darius.

Satu hal yang menggembirakan, bungsu dari empat bersaudara ini adalah para pengganti mereka yang masih terus bertumbuh di Bawomataluo. “Ada sekitar 20 orang remaja yang kini terus berlatih. Saya berharap mereka dapat mengikuti jejak kami,”ujar Darius menutup pembicaraan. [Jannerson Girsang]

Sumber: http://www.nias-bangkit.com

Minggu, 21 April 2013

Bawömataluo, Keindahan dan Misteri










Saya berdiri di dekat hombo batu di Bawömataluo, akhir Maret 2011.

NBC — Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik suku Nias. Desa yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias Selatan ini memberi rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan kawasan wisata budaya lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata budaya lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi.

Great! Itulah kata dalam bahasa Inggris penilaian saya bagi Desa yang terletak di atas perbukitan dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut itu.  Tentu pengamatan sepintas ini tidak akan membahas banyak tentang sejarah dan kisah masa lalu lokasi ini.

Masuk dari Sorake

Kami memasuki Bawömataluo setelah sebelumnya mengunjungi Pantai Sorake dan Lagundri—dua lokasi yang membawa Nias sampai ke seluruh penjuru dunia, bahkan sebelum tsunami terjadi. (Baca juga artikel saya: Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan Terbengkalai)
Dari Sorake, dengan mobil carteran L-300 dari Gunungsitoli, kami menuju Bawömatoluo melintasi jalan hotmix ke arah Teluk Dalam. Tiba di sebuah petigaan, kami menemukan plang petunjuk arah, lurus ke Teluk Dalam dan belok kiri ke Bawömataluo.

Setelah sekitar 20 menit, kami pun sampai. Kami memarkir mobil di sebuah lokasi di sana, persis di samping sebuah tembok tinggi, di sebelah tangga menuju Desa Bawömataluo. Begitu turun dari mobil, beberapa laki-laki yang masih berusia remaja mendatangi  kami menawarkan jasanya. Salah seorang laki-laki menegor dengan ramah. “Pak, mari saya tuntun ke atas,” ujarnya, meski saya didampingi teman yang paham lokasi itu dan suaminya berasal dari Bawömataluo.

Kami menerima dengan baik bantuan mereka. Saya kagum atas semangat anak-anak ini. Mereka bangga menjelaskan keagungan desanya, meski tidak jelas berapa kami harus membayar mereka. “TST saja, tau sama tau,” mungkin demikianlah di benak mereka.

Sebuah Misteri

Sebelum mendaki tangga, kami membeli minuman atau makanan ringan yang tersedia di sebuah kios di Bawagöli untuk bekal.  Saat menuju kios itu, Ketjel Zagötö berujar, “Kita harus mendaki ke atas,” sambil menunjuk ke arah tangga berkemiringan 45 derajat.

Mencapai Desa Bawömataluo, dari dasar perbukitan Desa Bawagöli kami harus berjalan kaki menaiki 86 anak tangga yang terbuat dari batu. Saya tidak tau persis berapa ketinggian tangga itu, tetapi saya perkirakan lebih dari 15 meter.


Masyarakat sedang antre mengambil air di salah satu Sudut Desa Bawömataluo.

Lantas, kami memulai pendakian ke puncak tangga. Sebuah keasyikan tersendiri! Serasa olahraga menyegarkan setelah penat naik mobil sejak pagi hari dari Gunungsitoli dan berputar-putar di sekitar Teluk Dalam, Sorake, dan Lagundri.

Saya bergurau kepada teman saya, Ketjel, ”Mendaki tangga ini layaknya menikmati keindahan alam dan mengungkap misteri!” Sang teman itu pun tertawa. “Ada-ada saja Abang ini,” katanya.
Saya sebenarnya bukan bergurau. Dalam pendakian itu, beberapa kali saya berhenti sambil melihat ke belakang. Di belakangku terbentang pemandangan desa di bawah tangga dan pemandangan Pantai Sorake dan kehijauan pepohonan yang menakjubkan, sementara di depanku sebuah misteri. Rasa ingin tahu yang besar seperti apa gerangan perkampungan Bawömataluo yang kesohor itu!

Kembali ke Alam Megalitik



Setelah mencapai tangga ke-86 atau tangga terakhir, saya berdiri sejenak. Meski beberapa penjaja suvenir yang ramah yang mendekati kami, perhatian saya tetap pada misteri yang ada di hati. Menikmati indahnya pemandangan yang terhampar di depan mata ratusan meter ke depan.


Pemandangan Desa Bawömataluo

Memasuki perkampungan Bawömataluo, yang dalam bahasa Nias berarti Bukit Matahari, adalah berada di sebuah wilayah masa megalitik yang masih terpelihara hingga saat ini.
Tampak di atas hamparan lahan yang luas dan rata berdiri rumah-rumah penduduk yang saling berhadapan. Bawömataluo, yang menurut Hikayat Manaö, pemuka adat setempat, berpenduduk sekitar 1.200 kepala keluarga itu berdiri megah di atas lahan seluas 5 hektar dan berada di perbukitan dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.

Saya menyaksikan di sebelah kiri deretan rumah penduduk dan sebuah rumah raja (Omo Sebua) yang atapnya terlihat menjulang tinggi. Sementara di sebelah kanan, berjejer rumah adat penduduk desa (Omo Hada) dan sebuah balai desa, tempat musyawarah bagi warga Desa Bawömataluo.
Beberapa referensi mengatakan jumlah rumah-rumah itu sekitar 250-300 buah. Jalan yang membatasi deretan rumah tersusun rapi oleh bebatuan, berbeda dengan kampung yang biasanya tertutup dengan tanah.

Melangkahkan kaki beberapa meter ke depan, di sebelah kanan tampak sebuah meriam yang dibuat pada zaman Belanda, letaknya di depan balai musyawarah warga Desa Bawömataluo. Di sebelah meriam tersebut terletak beberapa batu berwarna hitam dengan panjang masing-masing kurang lebih 10 meter.

Ratusan rumah adat yang masih terpelihara keasliannya berjejer rapi, layaknya sebuah kota kecil di atas bukit. Bedanya, di kampung ini tidak ada mobil atau kenderaan bermotor, karena mencapai desa itu harus melalui tangga.

Jalan kaki sambil melirik keunikan di kiri kanan, rasa senang tak terlukiskan saat saya mendekati sebuah batu dengan ukuran panjang sekitar 90 sentimeter, lebar 60 sentimeter, dan tinggi mencapai 2 meter. Sebuah arena lompat batu atau oleh masyarakat setempat disebut Hombo Batu—olahraga yang sudah berusia ratusan tahun.

Bagi saya, orang yang berada di luar Nias, Hombo Batu inilah wisata populer dari Desa Bawömatoluo, di samping rumah-rumah adat dan peninggalan megalitik yang lain.

Hombo Batu menunjukkan betapa Nias memiliki seleksi yang luar biasa untuk meloloskan para prajurit perangnya. “Siapa yang mampu melompat dan melewati batu, boleh menjadi prajurit, ikut perang,” ujar Hikayat Manaö, pria berusia 52 tahun dan salah seorang pelompat batu di masa mudanya. Menurut dia, bagi masyarakat Desa Bawömataluo, suatu kebanggaan dan kehormatan jika berhasil melompati batu tersebut.

Sayangnya, saat itu tidak ada acara lompat batu. Sehingga tidak menyaksikan bagaimana laki-laki perkasa kampung Bawömataulo beraksi. Khusus di Desa Bawömataluo, pelancong bisa menikmati sajian Tari Perang (Baluse) dan lompat batu (hombo batu), dua tradisi Nias yang amat terkenal itu.

Dua tradisi ini sekarang kerap diperagakan khusus untuk menjamu para pelancong.”Diperlukan biaya jutaan rupiah untuk memperagakan tarian yang melibatkan para pemain yang jumlahnya mencapai 50 orang,” kata Hikayat Manaö kepada NBC sore itu di rumahnya.

Kini, meski masih berusaha mempertahankan keaslian bangunan, beberapa rumah di Bawömataluo sudah merubah atap rumah aslinya dari pohon rumbia menjadi atap seng. Kampung itu kini sudah dimasuki modernisasi dan penduduk sudah menikmati kemajuan teknologi.

Menjelang mentari terbenam di ufuk barat, kami pun bergegas meninggalkan Bawömataluo untuk kembali ke Gunungsitoli. Remaja laki-laki yang membawa kami menaiki tangga sudah berdiri di samping mobil. Setelah memberikan tip, tanpa tau berapa isinya, saya memasukkan ke kantongnya. “Saohagölö”, begitu ujar anak itu berterima kasih tanpa bertanya berapa uang yang saya masukkan.

“Ya’ahowu”, kami mengangkat tangan dan mereka senang!

Dalam hati, terbersit kapan-kapan saya pasti kembali lagi ke Bawömataluo, bagaimana dengan Anda! Mungkin, menyaksikan pesta budaya yang akan digelar 13-15 Mei 2011 ini adalah sebuah kesempatan besar bagi Anda dengan hanya membayar tiket yang relatif murah. [JANNERSON GIRSANG]. 

Artikel ini masih bisa diakses di http://www.nias-bangkit.com dan  http://travel.detik.com.

Sabtu, 13 April 2013

Aku Ingat Dokter Go


Oleh: Jannerson Girsang

Keramahan dan ketulusan melayani bisa membuat perubahan besar bagi sekelilingnya bahkan tanpa dirasakan orang yang melakukannya.

Di era 60-an sampai 70an, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, seorang dokter bekerja di Rumah Sakit Bethesda Saribudolok, 112 km di sebelah Selatan kota Medan. Beliau  sangat berkesan dalam kehidupan saya, keluarga besar kami,  dan tentunya penduduk Desa Nagasaribu, salah satu dari 33 desa yang dilayani rumah sakit itu. Kami tidak akan pernah melupakan Dr Go.

Saat itu, setiap Senin pagi beliau sudah berdiri di samping mobil Rumah Sakit Bethesda--milik Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), berwarna putih,dan berbincang dengan penduduk di depan rumah pangulu (almarhum Pa Polir Girsang). Jaraknya  hanya beberapa meter dari rumah kami. Bersama dengan beberapa suster (Suster orang Belanda, saya lupa namanya. Ada juga suster Samianna Purba), beliau siap melakukan pelayanan kesehatan bagi penduduk desa. 

Beberapa menit kemudian, dia sudah mendapat pasien. Dengan steteskop di tangan, diselingi ucapan-ucapan dan sapaan yang ramah, beliau  memeriksa, menasehati dan memberi obat yang diperlukan.   
Meski beliau seorang dokter  suku Tionghoa, tetapi sangat lancar berbahasa Simalungun dan Karo.

Artikel ini saya tulis karena melihat fotonya di Facebook almarhum Sita Damanik, saya memperoleh foto terakhirnya. Saya ingat: Verba Volen Scripta Manen. (yang terucap akan lenyap, yang tertulis tetap).    

Inilah salah satu fotonya yang saya peroleh dari Facebook bapa almarhum Sita Damanik. Foto ini begitu menggugah saya. Pasangan ini tampak berbahagia. Saya kira usia mereka sudah di atas 75 tahunan, tetapi masih segar dan energik. Setelah selesai bertugas di RS Bethesda, beliau ternyata sekolah di Jerman dan kemudian bekerja di sana. 

 Photo

Selamat berbahagia Dr Go, semoga suatu ketika kita bisa bertemu. Kita rindu dokter yang melayani dengan hati, dan mendidik masyarakat hidup sehat.

Saya masih ingat ketika suatu ketika beliau dengan lembut memegang perut saya. Menekan dan bertanya  Maborit. Ija deba maborit, (sakit, dimana lagi yang sakit)”ujarnya menyapa, saat saya suatu ketika menderita sakit perut. “Lang pala mahua, malum do holi in (nggak apa-apa, nanti juga sembuh ,”katanya meyakinkan.

Kemampuan Dr Go berbahasa Simalungun sangat penting bagi kami penduduk desa, yang hanya mampu berbahasa Simalungun. Saya sendiri, baru meninggalkan desa itu saat berusia 16 tahun, dan baru menggunakan bahasa Indonesia sehari-sehari, ketika memasuki SMA kelas 1 di SMA Negeri 2 Pematangsiantar.

Keramahannya, kehangatannya turut menumbuhkan semangat,dan membantu menyembuhkan penyakit.

Beliau tidak hanya mengobati, tetapi juga menasehatkan kami menjaga kebersihan dan rajin sekolah. Dokter Go mengajarkan saya tidak takut disuntik. Waktu itu semua anak-anak takut disuntik.

Dia mengajarkan cara  mencuci tangan yang baik sebelum makan.  Waktu itu, di luar sekolah, semua anak-anak bekerja di ladang. Tangan kami hamper setiap hari memegang pupuk organik (kotoran ternak). Katanya di dalam kotoran seperti itu banyak kuman yang bisa menyebabkan perut sakit, cacingan.

Saat itu anak-anak banyak yang cacingan. Saya mengalami sendiri. Pagi-pagi dari lubang dubur kita keluar cacing. Aduh..geli dan jijik!.

Kami juga diberi susu gratis. Saat itu minum susu dianggab sebagai penyebab penyakit perut. Sehingga banyak anak-anak tidak mau minum susu meski dikasi gratis.

Empat sehat dan lima sempurna. Itulah pelajaran penting.. Ketika itu, kami hanya makan nasi, ikan dan sayur. Buah jarang, hanya waktu hari pekan Saribudolok saja (Rabu). Atau kalau ada pisang yang matang di ladang. Sebelum dokter Go datang, kami kebanyakan belum mengenal susu.

Saya ingat susunya berupa tepung dan harus diaduk di dalam air panas. Kadang tepungnya yang menggumpal mengambang di permukaan gelas karena tidak larut. Tidak seperti susu tepung sekarang, bisa dimasak tanpa ada gumpalan yang mengambang.  

Kebaikan kecil yang telah dibuatnya banyak merubah pandangan penduduk desa NAGASARIBU tentang kesehatan, pendidikan yang membuka mata mereka melihat dunia yang lebih indah.

Terima kasih Dr Go.  Saya tetap akan mengingat jasamu.