My 500 Words

Jumat, 13 Januari 2012

Belajar dari Petani Kentang (Batak Pos, 13 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.bisnis-jabar.com
 
Memutar memoriku di era 1970an, sangat tidak nyaman memandang sebuah areal pertanian kalau tanaman kentang di dalamnya tumbuh tidak merata. Di tengah-tengahnya terdapat tanaman yang krempeng, kuning, sementara yang lainnya tumbuh subur dan menyejukkan mata.

Sama dengan pembangunan ekonomi di suatu negeri. Sangat tidak nyaman, kalau di suatu daerah maju pesat, sementara di tempat lain—orang dengan mudah melintasi jalan raya yang mulus, sarana pendidikan modern, bisnis maju, sementara di daerah lain orang masih memikul hasil bumi karena tidak tersedia sarana jalan, gedunmg sekolah seperti kandang sapi, tengkulak menguasai pasar.   

Bedanya, kalau kondisi ketidakmerataan ini terjadi pada manusia, bukan hanya tidak enak dipandang, tetapi mereka bisa bereaksi, menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua. Mereka akan merespon ketidakadilan dengan berbagai cara. Pasalnya, mereka memiliki pikiran, mampu menilai yang terbaik bagi dirinya, mampu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Rakyat butuh pengaturan melalui sebuah sistem pemerintahan yang berniat baik bagi mereka, sehingga mampu maju secara bersama-sama, berkeadilan.

Belajar dari Petani Kentang

Memori anak-anak di kampung di daerah Simalungun di era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kadang muncul di benak kami kala melihat ketimpangan pembangunan di berbagai daerah di provinsi ini, saat melakukan berbagai perjalanan—Nias, Batubara, Labuhan Batu, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli dan lain-lain.

Petani kentang di kampng kami mengusahakan tanaman kentang agar semua tanaman mendapatkan perlakuan yang sama: mulai dari pemupukan, pembrantasan hama, penyiangan, penyiraman dan lain-lain.

Pada kenyataannya, meski perlakuan sama, saya memperhatikan pertumbuhan tanaman kentang tidak selalu sama. Beberapa minggu setelah ditanam, dari hamparan seluas satu hektar tanaman kentang sebanyak 10 ribu batang, sebagian pertumbuhannya lambat.

Setiap pagi petani memperhatikan pertumbuhan tanaman. Mereka seolah berbicara kepada tanaman-tanaman itu. “Apa yang kurang, mengapa pertumbuhanmu tidak seperti tanaman-tanaman lainnya?”.  

Bahkan ada kalanya mereka melakukan perlakuan khusus atas kentang yang tidak tumbuh sama dengan tanaman lainnya.  Ada yang karena dimakan ulat, kekurangan unsur hara seperti warna daunnya kuning karena memang kondisi tanahnya yang tidak subur.

Para petani di sana dengan pengalaman puluhan tahun menanam kentang memahami cara bertanam untuk membuat pertumbuhan bisa merata. Lalu, mereka memberi pupuk dengan takaran yang lebih bagi kentang yang kurang subur, memberikan perlakuan yang khusus bagi tanaman yang terserang hama dan membuat pertumbuhannya lebih lambat dari yang lain.

Walau tanaman itu tidak berbicara satu sama lain, seperti manusia, tetapi para petani bangga kalau dia berhasil membuat setiap tanamannya tumbuh merata. Tidak ada yang kerempeng.

Ada niat di hatinya, memperlakukan 10 ribu tanaman kentangnya sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa tumbuh bersama. Walau pada kenyataannya selalu saja ada hambatan, sehingga tidak pernah 100% bisa merata. 

Memimpin Rakyat: Pengalaman Petani Kentang

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin seyogianya memiliki niat seperti para petani memperlakukan tanamannya. Ada keinginan memperlakukan rakyatnya agar maju bersama, memahami dengan benar mengapa rakyat di sebuah daerah tidak bisa maju sama dengan rakyat lainnya, atau daerah yang satu tidak maju bersama dengan daerah lainnnya.   

Dalam kenyataan, setiap daerah tidak sama potensinya. Beberapa daerah bertumbuh dengan pesat karena potensi alam dan sumber daya manusianya tersedia. Anehnya, kadang daerah dengan potensi besar mendapat perlakuan khusus pula.  Berangsung secara alami”Dimana ada gula, di situ ada semut”. Pembangunan akhirnya bertumpu di sana.

Issu kesenjangan Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi ini adalah bukti bahwa masih banyak daerah yang perlu penanganan khusus untuk bertumbuh bersama. Sebagai contoh, di pedalaman di Pulau Nias masih banyak daerah yang tidak bisa dijangkau dengan kenderaan bermotor, 40% belum mendapat aliran listrik dari PLN, serta berbagai keterbatasan yang dihadapinya.

Tentu, daerah seperti ini tidak akan mampu bertumbuh bersama dengan daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang maju. Daerah dengan potensi yang kurang, sama dengan tanaman tadi,  mereka akan tumbuh kerempeng kalau dibiarkan bertumbuh dengan kemampuannya sendiri. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus.

Seorang pemimpin harus mampu dalam levelnya masing-masing—mulai dari gubernur, bupati, walikota, camat dan kepala desa/lurah memahami kondisi dan memperlakukan kebijakan-kebijakan khusus untuk masing-masing daerahnya. Pemimpin harus memahami, menyadari sepenuhnya daerah-daerah yang tidak mampu, dan yang perlu mendapat perlakuan khusus. Tanaman yang jauh dari gubukpun harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipinggir ladang.

Para pemimpin hendaknya menghindarkan diri megambil kebijakan hanya pertimbangan kedekatan masyarakat atau daerahnya, apalagi pada kepentingan pribadi dan golongan. Sama seperti petani memperlakukan tanaman kentangnya, demikian juga pemimpin memperlakukan rakyatnya.

12 juta lebih penduduk di Sumatera Utara terdiri dari beragam suku, agama, dengan potensi yang berbeda-beda hendaknya dipahami dengan filosofi petani kentang ini.

Mereka kini mengalami kemajuan yang berbeda-beda, bisa karena memiliki potensi alam yang melimpah sudah diolah, kemampuan sumberdaya manusianya yang sudah baik, atau hal-hal unggul lainnya.

Berbagai daerah masih tertinggal, bisa karena sumberdaya alam yang belum diolah, sumber daya manusianya yang rendah. Berbagai daerah memiliki potensi tambang emas, timah hitam, lahan kosong yang masih terhampar luas. Rakyat menunggu perlakuan-perlakuan khusus yang kreatif, sehingga mereka mampu bangkit, maju bersama dengan daerah lain.  

Gunawan Sumodinngrat dan Riat Nugroho T (2005), dalam bukunya ” Membangun Indonesia Emas” mengingatkan kita semua, ”Keadilan sosial adalah amanat bangsa. Keadilan sosial bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Keadilan sosial adalah sebuah ’rasa’ yang diciptakan dari keadaan kondusif bagi pengembangan hidup bersama yang diwarnai dengan  saling percaya dan saling gotong royong.”

Semoga di 2012 dan masa mendatang niat, sekali lagi niat  para pemimpin bersama masyarakat daerah ini terinspirasi dengan filosofi ini. Mewujudkan “Rakyat tidak miskin, tidak sakit dan tidak lapar”, dengan niat yang dilandasi semangat maju bersama. .   


[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Senin, 09 Januari 2012

In Memoriam Ed Zoelverdi 1943-2012: "Mat Kodak" Sudah Pergi (Analisa Cetak, 9 Januari 2012)

Oleh : Jannerson Girsang.

sumber: antarafoto.com

Indonesia kehilangan seorang juru foto yang tidak kenal lelah belajar dan mengajarkan pengalamannya kepada masyarakat jurnalis di tanah air. Tokoh yang mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk jurnalis foto itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, di Jakarta, dini hari 4 Januari 2012.

Salah seorang yang pernah bekerja dengan beliau semasa di Majalah Tempo, Bersihar Lubis, kini Pemred Medan Bisnis, mengungkapkan kesannya melalui telepon genggam. "Kita kehilangan seorang fotografer besar, seorang guru yang humoris,"ujarnya.

Lulusan SLTA, Menabur Ilmu Jurnalistik

Nama Ed Zoelverdi bukan nama asing lagi di dunia jurnalisme foto Indonesia. "Dia mulai memotret sejak tahun 1960-an. Ia konon bisa menghabiskan 2-3 roll film isi 36 per hari. Kemanapun ia pergi, tustel selalu menemani. Buang airpun, ia menteng tustel," ungkap buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses melukiskan Ed Zoelverdi

Pria kelahiran Kutaraja (Banda Aceh), 12 Maret 1943 adalah anak pasangan berbahagia yang berasal dari Kotagadang, Bukit Tinggi. Dia hanya menyelesaikan pendidikan formalnya sampai tingkat SLTA. Selebihnya ia belajar secara otodidak-termasuk dalam pemotretan dan jurnalistik. Pria yang menunaikan ibadah haji di Makkah 1988 itu, pernah mengikuti kursus melukis di Balai Budaya Jakarta bimbingan pelukis Nazar dan Oesman Efendi (alm).

Karier jurnalistiknya diawali dari reporter lepas di Radio Republik Indonesia untuk acara Kebudayaan asuhan Wiratmo Soekto pada 1964, setelah sebelumnya sempat menjadi pegawai sekretariat perusahaan pelayaran Samudera Djakarta Lloyd, Jakarta.

Sebelum bergabung dengan majalah Tempo pada 1971, Ed Zoelverdi melakoni berbagai pekerjaan, diantaranya pembantu lepas (free lance) untuk gambar pena di koran harian Duta Revolusi, dan mingguan Abad Muslimin, Jakarta, karikaturis majalah KAMI, asisten Director of Photography pembuatan film Dunia Belum Kiamat disutradarai Nya Abbas Akup.

Pria yang menikah dengan Farida pada 1973 ini, bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Tempo 1971 sebagai Staf Editor, hingga majalah ini dibredel pada 1994, lantas bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Gatra pada 1995 sebagai Staf Redaktur dan Redaktur Pelaksana.

Dalam tugasnya sebagai jurnalis, Ed Zoelverdi melakukan perjalanan jurnalistik seantero wilayah Indonesia, perjalanan ke Asia meliputi Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Hong Kong, dan Macau, lawatan Eropa: Holland, Belgia, Austria, Jerman, Inggris,Prancis, Swiss, dan Swedia, juga ke Russia. Kawasan Afrika, ke Mesir dan Mauritius, di tenggara benua itu. 1993 Ed Zoleverdi melawat ke Amerika Serikat, dan keliling negara ASEAN.

Sejak 1971, Ed Zoelverdi terlibat dalam juri di berbagai aneka lomba foto baik sebagai anggota maupun ketua. Misalnya anggota juri kontes foto se Asia yang diselenggarakan Asia Cultural Center for UNESCO (ACCU) di Tokyo Jepang (1989), Lomba Internasional Foto dan Gambar Remaja Abad Elektronika VI, diselenggarakan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional di Jenewa Swiss (1991), serta berbagai lomba di tingkat Asia dan nasional. Pada 1985, Ed pernah menjadi anggota juri lomba foto majalah Asiaweek di Hong Kong. Ed juga banyak terlibat dalam merancang lomba foto di tanah air, diantaranya Lomba Foto "50 Tahun RI", kerja sama Majalah Garta dengan Hailai, Jakarta.

Jurnalis: "Belajar Terus dari Ayunan Sampai Liang Lahat" 

Memasuki usia senjanya, Ed Zoelverdi terus belajar dan mengajarkan hal-hal yang dipelajarinya. "Belajar terus dari ayunan sampai liang lahat" demikian buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses (Surasono I. Soebar, 2008) menggambarkan motivasi belajar Ed Zoelverdi.

Berhenti sebagai fotografer "resmi", kegiatannya semakin banyak. Dia tercatat sebagai Instruktur bidang Fotografi Jurnalistik pada Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI Pusat, Dosen Tamu di Universitas Negeri Jakarta, untuk Jurnalisme Fotografi; Senior Editor berkala bulanan Lionmag— the inflight magazine of Lion Air, Dosen Luar Biasa FISIP Universitas Indo-nesia, Depok, untuk Jurnalisme Foto & Tulis, Dosen Tamu di Universitas Hamka,Jakarta, untuk Fotografi Jurnalistik, Instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta (LPDS), bidang Jurnalistik Foto.

Selain mengabdikan peristiwa-peristiwa penting di lapangan ke dalam foto, Ed Zoelverdi juga aktif menuangkan pengalamannya ke dalam buku. Bebeberapa karyanya adalah Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata, terbit tahun 1985. Buku tentang seluk-beluk kerja foto di dapur orang pers ini kini terbagi menjadi tiga seri. Seri pertama adalah Kita Menulis Dengan Cahaya, ikhtisar fotografi umum.Seri kedua, Mat Kodak Melihat Untuk Berjuta Mata, ikhtisar fotografi jurnalistik. Seri ketiga, Dari Foto Kita Menulis , latihan menulis menggunakan modul karya fotografi. Satu lagi buku yang sudah berupa dummy adalah kisah lawatan jurnalistik yaitu Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya.

Atas pengabdiannya semasa hidupnya, Ed Zoelverdi mendapat penghargaan dan namanya diabadikan dalam berbagai ensiklopedia dan buku tokoh lainnya. Dia menerima Kartu Pers Nomor Satu dari Masyarakat Pers Indonesia pada Hari Pers Nasional,9 Februari 2010, Penghargaan Gatra sebagai "Proklamator" majalah berita itu (1994), masuk Ensiklopedi Pers Indonesia, terbitan PWI Pusat (2008), masuk buku Who’s Who in Australasia & Far East, IBC Cambridge, Inggris (1991), masuk buku 235 Tokoh Bicara Tentang Buku, terbitan Yayasan Data Group, Bandung (1988), menerima "Adam Malik Award" (Anugerah AdamMalik) untuk pengabdian di bidang fotografi (1987), masuk buku Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia,Pustaka Grafiti, Jakarta, Masuk Ensiklopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru - vanHoeve, Jakarta (1986), masuk buku, A Who’s Who for Asian Cultural Center for Unesco (ACCU), Tokyo (1981).

Ed Zoelverdi adalah seorang teladan dalam mengikuti perkembangan dalam profesinya. Munculnya sistem digital dalam teknologi fotografi, beliau pelajari dengan serius. Bahkan, pengalamannya bergaul dengan fotografi digital ini pun sedang dituangkan dalam buku kecil berjudul Sensasi Fotografi Digitamania.

Mat Kodak

Sebagai seorang fotografer, Ed Zoelverdi menulis artikel di berbagai media cetak di Indonesia.

Ketua Departemen Jurnalistik Foto PWI Pusat (2003-2008) ini mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk menyebut juru foto, dalam tulisan di Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1973. Berkat tulisannya, Indonesia pun memiliki sejarah tersendiri atas produk kamera merk Kodak yang merajai pasar kamera di era 70-an.

Ed Zoelverdi begitu getol menyebut "Mat Kodak" di dalam artikelnya menyebut juru foto. Lihat misalnya artikel yang ditulisnya pada 1978. "Jangan merasa jemu, dalam kaitan sajian foto maka Mat Kodak dituntut untuk senantiasa bermata awas. Misalnya, ketika menyaksikan sebuah batu atau bukit yang dibabat habis, segeralah potret". (Foto Liputan Ekologi Sebuah Spesialis Jurnalistik, Lokakarya Liputan Lingkungan Hidup untuk Media Cetak, Muko-muko Jambi,1978).

Demikian juga dalam bukunya "Mat Kodak Melihat untuk Berjuta Mata". "Kegiatan itu bernama:Fotografi Jurnalistik. Mau disebut masuk Cabang Profesional, ya pasti! Sebab produk sang Mat Kodak di bidang ini me-mang disajikan sebagai konsumsi nonfisik buatmasyarakat luas. Dari sini lahirnya ungkapan be-ken: "Mat Kodak melihat untuk berjuta mata"

Ed Zoelverdi: Guru Fotografi yang Kocak

Ed Zoelverdi tidak hanya dikenal di kalangan wartawan Jakarta, tetapi juga oleh beberapa wartawan senior dan masyarakat jurnalistik di Sumatera Utara. Murid-muridnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa wartawan senior di Sumatera Utara mengutarakan kesan mereka tentang Ed Zoelverdi.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, bang Ed saya kenal sejak saya bekerja di majalah Tempo. Saya masih ingat kritikannya terhadp foto-foto yang pernah saya kirim. Selamat jalan Bang Ed," demikian komentar Nian Poloan, wartawan Republika biro Medan, dan pernah menjadi wartawan Tempo di Medan di FB pribadi saya, sesat membaca postingan berita tentang berpulangnya Ed Zoelverdi. .

Bersihar Lubis, Pemred Medan Bisnis mengatakan Ed Zoelverdi adalah seorang guru fotografer. "Dia pernah mengajar kami cara-cara mencetak film, teknik memotret masa Pak Zakaria Pase menjadi Kepala Biro Tempo di Medan, di era 80-an."ujar Bersihar. Di mata bersihar, selain seorang guru yang baik, Ed Zoelverdi juga seorang humoris.

Generasi muda Sumut yang pernah mengikuti training fotografi di LPDS Jakarta mengungkapkan kesannya. "Bang Ed ini juga dikenal kocak. Kalau ngajar di LPDS suasananya cair, jauh dari ketegangan. Selalu ada celetukan-celetukan penuh tawa,"ujar Lindung Budaya, peserta training Jurnalistik di LPDS 2002.

Clara Girsang, lulusan FISIP UI Jurusan Komunikasi 2008 yang kami hubungi melalui telepon genggam mengungkapkan: "Dia nyentrik, nggak monoton. Kalau ngajar nggak harus di kelas. Jalan-jalan hunting foto. Habis kuliah masih mau nongkrong di Takor (kantin FISIP UI). Buat makan bareng sama mahasiswanya, sambil diskusi apa aja, politik, teknik foto atau apapun," ujarnya melalui sms.

Ed Zoelverdi sudah beristirahat di TPU Kemiri Rawamangun, Jakarta. Kita kehilangan seorang fotografer besar, seperti dikatakan wartawan senior Bersihar Lubis. Namun, karya-karyanya tidak akan pernah mati. Keteladanan, warisan buku-buku dan tulisannya akan terus hidup di hari para jurnalis Indonesia. Menulis dan menularkan pengetahuan jurnalistik. Itu pelajaran kami darimu. Selamat jalan bung Ed Zoelverdi!

(Diolah dari Berbagai Sumber)***

Penulis Biografi, tinggal di Medan

Sabtu, 07 Januari 2012

2012: Keluar Dari Terowongan Gelap (Batak Pos, 7 Januari 2012 Hal 1)

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: nasional.news.viva.co.id

Memasuki 2012, negeri ini membutuhkan pemimpin di segala level yang mampu memahami situasi, merumuskan persoalan serta memutuskan langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk keluar dari persoalan.

Pasalnya, kita sudah sesak rasanya menyaksikan kasus Century, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Gubernur Muda Bank Indonesia, dan belakangan ini soal Mesuji, persoalan Lapindo, masalah Tambang di Bima, kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kecelakaan di darat, serta berbagai kasus yang tidak tuntas-tuntas di tanah air. Terlalu lama kita berputar-putar di terowongan gelap, banyak aksi mubajir tanpa arah yang jelas untuk mewujudkan negeri yang aman, sejahtera dan harmonis.

Untuk sekedar menyegarkan pemikiran di awal tahun ini, kami menyajikan kisah sederhana menyelesaikan persoalan, dan menghimbau para pemimpin untuk belajar dari cara yang sederhana ini.

Pengalaman Seorang Pegawai Kereta Api

Tahun lalu, saya membantu penulisan buku”Bagaikan Rel Kereta Api”, otobiografi Osmar Simatupang, kelahiran Pardede Onan Tarahudi, 10 Februari 1936. Dia adalah seorang pegawai biasa di Perusahaan Jawatan Kereta Api (Sekarang PT Kereta Api Indonesia).

Jabatan tertingginya adalah Kepala Urusan Perencanaan Kereta Api Indonesia di Kantor Pusat Bandung. Sekolahnyapun tidak tinggi-tinggi amat. Dia hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah dan mendapat beberapa training atau pelatihan-pelatihan seputar perkeretaapian di dalam negeri. Namun, dia menyimpan pengalamannya yang menarik.

Alkisah, suatu sore di era 1980-an, Osmar mengakat telepon yang berdering di kantornya. Dia menerima pesan yang cukup singkat: Gerbong KA Surabaya-Blitar terjepit tanah longsor, persis  di ujung terowongan Karangkates ke arah Blitar, sepanjang 1000 meter”. Wilayah itu memang dikenal dengan tanahnya yang labil dan sering terjadi longsir

Sebagai Kepala Inspeksi X Jawa Tengah ketika itu, dia bertanggungjawab menggeser gerbong, sehingga tidak mengganggu arus kereta api lainnya yang melintas.

Dia bergerak ke lapangan dan ketika tiba di lokasi, jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dia berdiri di ujung terowongan yang berbeda dari tempat terjebaknya kereta api oleh longsoran tanah itu. Dia punya dua pilihan, kalau mengikuti jalan raya, maka dia harus menempuh jarak sekitar 6 kilometer, sementara kalau melintasi terowongan dia hanya menempuh terowongan sepanjang 1 kilometer.

Sebagai catatan, di erah 80-an belum ada telepon genggam dan Osmar hanya bisa berkomunikasi dengan anak buahnya kalau bertatap muka. Dalam kesendirian di tengah kegelapan, dia harus mengambil keputusan yang terbaik agar gerbong yang terjebak bisa digeser. Dia memilih menembus terowongan meski dalam keadaan gelap.

Memasuki terowongan gelap dia butuh penerangan. Padahal, ”Saya tidak perokok, dan tidak memiliki alat apapun untuk penerangan. Benar-benar gelap. Di tangan saya hanya ada batang ubi kayu!” katanya.

Tongkat ubi kayu!. Itulah satu-satunya alat yang akan digunakan untuk menuntunnya menyeberangi terowongan. Osmar yang sudah bertahun-tahun bekerja di daerah itu, paham benar keadaan di dalam terowongan.

Meski pandangan matanya tidak memungkinkan melihat benda-benda di sekitarnya, pengalamannya melintasi rel itu hari-hari sebelumnya memberinya gambaran besar terowongan itu. Ditambah dorongan rasa tanggungjawabnya, dia berani menembus terowongan gelap.

Berbekal tongkat ubi kayu, dia berjalan merangkak menembus kegelapan. Tongkat ubi kayu itu digunakannya untuk menyentuh rel di sekitarnya sebagai petunjuk arah, mengidentifikasi dirinya berada pada posisi yang tepat.

”Kalau tongkat masih menyentuh rel, maka saya berada pada arah yang seharusnya,”ujarnya.

Singkat cerita, dia berhasil menuju lokasi terjebaknya kereta api dan bersama anak buahnya mampu menggeser gerbong yang terjebak itu.

Osmar memahami tujuan, permasalahan, merumuskan tindakan dan analisa sumber daya yang tersedia, untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, dia memiliki rasa tangungjawab yang besar untuk mewujudkan tujuan. Persyaratan yang harus melekat pada setiap pemimpin.

Keluar Dari Terowongan Gelap

Memaknai pengalaman Osmar di atas, saya teringat sebuah buku yang sungguh-sungguh menginspirasi. The Seat of Soul yang ditulis Gary Zukav membahas tentang perubahan (tantangan) dan jalan menuju tujuan.

Zukav mengatakan: ”Kita sedang berada di tengah perubahan yang mendalam. Kita akan bergerak melewati perubahan dengan lebih mudah jika kita mampu melihat jalan yang akan kita lewati menuju tujuan kita, kita mencermati apa yang sesungguhnya sedang berlangsung”.

Banyak gambaran suram tentang negeri ini diungkapkan di awal tahun ini. 2011 misalnya, ada yang menyebutnya tahun kebohongan, atau julukan lainnya. Entahlah!. Tentunya, hal-hal seperti ini bukan datang dari seorang pemimpin, pasti itu datang sari pengamat yang hanya melihat kulit luarnya. Pemimpin yang benar tidak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Mereka mampu berbicara terang di kegelapan.

Sudah terlalu sering kita mendengar para tokoh di negeri ini membuat seolah-olah bangsa ini sudah kiamat. Padahal, kenyataannya tidak. Persiapan Wisma atlet yang digambarkan gagal, tapi berakhir dengan baik. Pemilu yang digambarkan chaos, tetapi ujung-ujungnya tidak terjadi apa-apa, Pemilu berjalan lancar.

Banyak orang seolah ahli menggambarkan situasi seperti tujuh orang buta menggambarkan seekor gajah. Hanya melihat persoalan secara sepotong-sepotong.  Padahal, dia tidak memiliki pemahaman apa yang diungkapkannya sedalam Osmar memahami terowongan gelap, serta mengambil tindakan untuk keluar dari terowongan itu.

"Mendengar gemuruh sudah menganggapnya  guntur, melihat asap sudah mengatakan itu api". Lantas mengambil keputusan hanya berdasarkan ”tampak seperti”, bukan kenyataan masalah yang sebenarnya.

Untuk keluar dari kegelapan, para pemimpin harus benar-benar mengambil keputusan bukan berdasarkan dari apa yang "tampak seperti", tetapi keputusan yang benar-benar didasarkan atas gambaran situasi yang sesungguhnya.

Kita membutuhkan orang yang bisa membuat terang di kegelapan. Bukan menyalakan api sembarang api, tetapi butuh penyala lilin, lampu untuk menerangi jalan. Bukan hanya membakar-bakar api, sehingga persoalan tidak selesai, bahkan malah menimbulkan kerugian yang lebih besar. Pembakaran-pembakaran berbagai fasilitas pemerintahan di akhir tahun lalu adalah contoh. 

Permasalahan negeri ini tentu tidak sesederhana kisah di atas. Namun prinsipnya sama, memahami tujuan yang akan dicapai secara benar, masalah atau tantangan, tau jalan keluar dari persoalan dengan keputusan yang terbaik,  tepat dan cepat.

Semoga memasuki 2012, pemahaman para pemimpin di segala level tentang persoalan yang dihadapi pada levelnya sedalam pemahaman Osmar soal terowongan. Para pemimpin belajarlah dari kisah sederhana ini. Kita merindukan suasana di luar terowongan gelap. Sudah sesak rasanya berada di ruang yang terus menerus dililit persoalan korupsi, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum.


Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Kamis, 05 Januari 2012

Artikel dan Buku yang Saya Tulis 2011

Oleh: Jannerson Girsang

 

Menulis dan menularkan pengetahuan menulis mendapat porsi besar dalam kegiatan saya pada 2011. Selain menulis artikel dan buku, saya berkesempatan sharing pengalaman menulis dengan wartawan-wartawan pemula di Nias dan Pematangsiantar.

Sepanjang 2011 saya menulis 50 artikel yang dipublikasikan di berbagai media, serta meluncurkan 2 buku otobiografi. Saya merangkumnya dalam artikel ini, sehingga memudahkan saya dan pembaca yang ingin mencarinya kalau diperlukan. Sebagian besar artikel-artikel ini masih bisa diakses di media-media online.

Saya ingin berbagi dengan pembaca soal pendokumentasian karya-karya tulis, sebagai salah satu hal penting dalam kegiatan menulis. Pasalnya, topik yang pernah kita tulis sebelumnya bisa muncul kemudian. Selain itu, dengan artikel seperti ini, maka saya dan Anda akan termotivasi untuk mengatakan: "Akh gitu aja!. Bisa juga akh luar biasa, saya harus menulis sekarang". Itu pengalaman saya dahulu ketika seorang penulis memaparkan hasil karya yang ditulisnya.

"Do not tell but show", itu salah satu prinsip untuk mengajak seseorang melakukan sesuatu. Banyak orang berteori menulis itu mudah, menulis itu gampang. Gampang kalau hanya menulis satu artikel dalam satu tahun, atau satu buku dalam lima tahun. Tetapi kalau merujuk seorang teman yang bisa menulis 3 artikel setiap hari di koran bergengsi di Amerika, bukan hal mudah.

Buat Anda tahu, produksi tulisan terbanyak yang pernah saya hasilkan adalah di 2011. Saya mencapainya setelah menjalani  proses yang tidak mudah. Proses yang memberi kepuasan tersendiri, meski  bagi yang lain itu hanya biasa-biasa saja.Alasan ini pula yang  mendorong saya menceritakan proses itu. Terus terang, saya belum bisa bercerita seperti penulis lain, soal uang yang diperoleh atau ketenaran. Mungkin suatu ketika!

Setiap tahun, sejak 2007, saya membuat daftar artikel per tahun. Lalu saya hitung. Saya sedih dan jengkel sekali, ketika  2007 saya hanya bisa menulis 6 artikel per tahun. Kemudian merangkak, merangkak dan merangkak. Bukan saya tidak tau menulis, bukan karena tidak ada masalah yang bisa dibahas. Tetapi kadang saya anggap enteng, sehingga artikel yang sudah dimulai, dibiarkan tidak selesai dan akhirnya malas menulisnya lagi. Artinya tidak dikirim ke media.

Sama dengan proses menulis biografi dan otobiografi. Saya memulainya sejak 2002,dan sampai 2009 sudah menulis sekitar 12 buku otobiografi dan biografi. 2010 kosong. Syukur, tahun 2011i saya mampu membantu penulisan  dua buku otobiografi dan selesai, artinya diluncurkan.

Dengan Misi: "Menulis Fakta Memberi Makna" atas keresahan hati selalu membakar semangat saya untuk terus menulis, meski honor menulis belum memadai. Menulis adalah merekam peradaban. Barangkali ini belum begitu berharga saat ini. Sepuluh, dua puluh atau bahkan ketika saya sudah tiada, goresan-goresan yang masih jauh dari sempurna ini mungkin bisa bermanfaat.

Jumlah atau kualitas tulisan yang saya hasilkan setahun ini masih jauh dari apa yang dihasilkan para penulis handal. Kalau saya membaca buku Albertiene Endah tentang otobiografinya Titik Puspa misalnya. Jauhlah. Rasa ketinggalan itu, akhirnya menghasilkan sebuah artikel di 2011:Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” . Saya memang berbeda dari dirinya, baik dalam kemampuan dan pengalaman, namun tidak perlu merasa iri atau rendah diri. Kalau saya bekerja seperti dia, pasti juga bisa. Tapi memerlukan proses. Membaca artikel ini semoga  rekan-rekan saya sesama penulis yang mulai down, termotivasi lagi melanjutkan karya-karyanya untuk dinikmati masyarakat kita di daerah ini.

Selain mengejar jumlah dan kualitas, niat kami untuk mendorong yang lain terus menulis barangkali merupakan hal yang tidak kalah penting. Pengalaman memberikan training jurnalistik bagi 8  orang wartawan mediaonline http://www.nias-bangkit.com dan 10 orang wartawan pemula Harian Sinar Indonesia Baru, merupakan hal yang menarik bagi saya.

Kegiatan ini  memberi semangat baru bagi saya sebagai seorang penulis, karena berkesempatan melakukan sharing dan menebar pengetahuan menulis. Saya senang melihat munculnya bibit-bibit penulis yang baru. Mereka bukan tidak tau menulis, tetapi belum memperoleh pembekalan yang baik.  Saya berharap semakin banyak warga Sumut yang menulis.

Sumbangan ini barangkali masih kecil untuk saat ini, tetapi saya yakin lima atau enam tahun ke depan, mereka akan menjadi penulis yang baik. Sekecil apapun itu kiranya tentu ada manfaatnya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para pembaca artikel-artikel saya. Respon dan kritikan anda adalah energi baru, "penjaga roh"  bagi saya untuk terus melakukan pembelajaran dan koreksi terus menerus.

Ejaan, sekali lagi ejaan, memang menjadi masalah karena saya adalah lulusan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Saya butuh editor, butuh kritikan soal ejaan. Tapi, keterbatasan bukan alasan. Saya harus memperbaikinya sedikit demi sedikit. Saya yakin kesempurnaan hanya diperoleh dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan. Dan tak seorangpun mencapai kesempurnaan selama dia hidup, tetapi kita terus berusaha bergerak ke sana.

Mari belajar mengejar keunggulan, mendorong karya-karya unggul, tidak merendahkan atau meremehkan sekecil apapun yang dilakukan teman.

Setiap perjalanan karier selalu memerlukan dukungan. Tanpa dukungan media, tentu kegiatan penulisan tidak mungkin berlangsung. Saya mengucapkan terima kasih kepada media atau orang yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk berkarya, diantaranya Analisa, Jurnal Medan, Sinar Indonesia Baru, http://www.nias-bangkit.com serta media lainnya.  Demikian pula beberapa mediaonline diantaranya http://www.kompas.com, http://www.detik.com, serta berbagai mediaonline lainnya yang memuat kembali artikel-artikel saya (tentu dengan menyebut sumber media dimana saya  menulis).

Sepanjang hayat, saya tidak akan pernah lupa rekan-rekan, J.Anto dan Bersihar Lubis, yang memberi  bekal dan semangat untuk menulis. Semoga kalian berdua tetap semangat, dan hari-hari ke depan mendapat berkat kesehatan yang prima. Demikian juga sesama rekan penulis yang meluangkan waktu  sharing untuk memperkaya ide dan menumbuhkan semangat menulis.

Seraya berdoa agar Tuhan menguatkan saya terus menulis, merekam peradaban di daerah ini, serta memotivasi yang lain untuk menulis,  saya berharap pada 2012 masih diberi berkat kesehatan dan kejernihan berfikir untuk terus menghasilkan artikel, buku untuk dinikmati. .

Berenanglah, jangan hanya belajar teori berenang!

Harian Analisa

  1. Pelajaran dari Kekalahan Timnas Indonesia Melawan Malaysia: ”Sepakbola, Persatuan dan Kesatuan” (Analisa 4 Januari 2011)
  2. Kampanye Minat Baca : Meneladani Pengalaman Membaca Para Tokoh (Analisa, 21 Januari 2011)
  3. Menggantung Lonceng di Leher Kucing (Analisa, 22 Februari 2011)
  4. In Memoriam Rosihan Anwar: Penulis Orbituari Handal (Analisa, 16 April 2011)
  5. Christine Lagarde: Perempuan Pertama Direktur IMF (Analisa, 5 Juli 2011)
  6. Amanda Hocking, Sukses Penulis Self Publishing:  Dua Tahun Meraup Jutaan Dollar (Analisa, 13 Juli 2011)     
  7. PM Perempuan Pertama di Thailand Yingluck Shinawatra (Analisa, 18 Juli 2011)
  8. Pemicu Ide Menulis (Analisa, 29 Juli 2011)
  9. Menyambut e-Procurement 2012 (Analisa, 9 Agustus 2011)
  10. In Memoriam: Charles Breijer (1915-2011) (Analisa, 3 September 2011)
  11. Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)
  12. Belajar dari Kesalahan (Analisa, 12 September 2011)
  13. Bila Kamera Tersembunyi KPK Bicara (Analisa, 26 September 2011)
  14. Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)
  15. 83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Analisa, 28 Oktober 2011
  16. In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)
  17. Google Book dan Demokrasi Pengetahuan (Analisa, 7 Nopember 2011)
  18. Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa, 18 Nopember 2011)
  19. Medan! Kapan Punya KA Seperti Jakarta (?) (Analisa, 30 Nopember 2011 Hal 25)

Harian Jurnal Medan

  1. Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut (Jurnal Medan, 30 Juli 2011)
  2. Di Era Internet: Say No, to Plagiat! (Jurnal Medan, 3 Agustus 2011).
  3. Kemajuan Pembangunan dan Stress di Jalan Raya (Jurnal Medan, 08 September 2011)
  4. Memaknai 106 Tahun PDAM Tirtanadi (Jurnal Medan, 10 September 2011)
  5. Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan, 29 September 2011)
  6. Penegakan Hukum Sepakbola dan Korupsi       ( Jurnal Medan, 8 Oktober 2011)
  7. Belajar dari Kisah Tiger Woods Lilin Itu Meleleh. Lalu......! (Jurnal Medan, 13 Oktober 2011)
  8. Sisi Lain dari Sumpah Pemuda ke 83: Tegakah Anda Tidak Menghafal Indonesia Raya? (Jurnal Medan, 26 Oktober 2011)
  9. Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)
  10. Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” (Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011)
  11. Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)
  12. Juara Umum, Tanpa Emas Sepakbola (Harian Jurnal Medan, 24 Nopember 2011)

http://www.nias-bangkit.com

  1. Merasa Asing di Negeri Sendiri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 25 Nopember 2010.
  2. Hadiah Tahun Baru dari Delasiga, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 24 Januari 2011.   
  3. Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan Terbengkalai, Kolom. www.nias-bangkit.com. Posting 26 Maret 2011.
  4. Laporan dari Nias Selatan (2): Antara Teluk Dalam dan Hilizo’ayamböwö,Kolom,  www.nias-bankit.com. Posting 26 Maret 2011.
  5. Apolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan Kamus Li Niha, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting, 26 Maret 2011.
  6. Ria Telaumbanua: Hotel Itu Ambruk, Sahabat Saya Meninggal, Figure: www.nias-bangkit.com. Posting 2 April 2011
  7. Pelesir ke Nias Barat (1): Gunungsitoli-Sirombu Mulus, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting: 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  8. Pelesir ke Nias Barat (2): Desir Rupiah di Pantai Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  9. Pelesir ke Nias Barat (3): Gerakkan Ekonomi Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting, 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  10. Nirwan Zendratö: Kembali Jadi Sopir Rental, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting: 29 April 2011
  11. Bawomataluo: Keindahan dan Misteri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 3 Mei 2011. Selain www.nias-bangkit.com, kemudian juga dimuat di www.detiktravel.com dan Jarak Pantau, Nias..
  12. Regenerasi Hombo Batu, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 17 Mei 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  13. Fafiri, Permainan Tradisional Nias yang Terlupakan (ditulis bersama Nitema Mendrofa), Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 19 Mei 2011.Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  14. Junisan Ndraha, Penyiar Muda Berbakat di RRI Gunungsitoli, Figure, www.nias-bangkit.com, 19 Mei 2011.
  15. Hikayat Manao: Beban Moral Menurunkan Nilai Budaya, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting 1 Juni 2011. Artikel oni dimuat juga di http://www.kompas.com.

Harian Sinar Indonesia Baru

  1. Kampung Silau Marawan: Rakyatnya Kreatif, Tapi Sarana Jalan Memprihatinkan (Sinar Indonesia Baru, 22 Juni 2011)
  2. 80 Tahun Floriana Tobing: Siswa Sekolah Diakonia Pertama ke Jerman (Sinar Indonesia Baru, 18 September 2011)

Harian Simantap News

  1. Malam ini 2 Tahun Lalu: Pdt Dr Armencius Munthe Pergi untuk Selama-lamanya (Harian Simantap News, 29 Juli 2011)

http://www.ponijanliaw.com.

1. Mengenal Ponijan Liaw di Dunia Maya (posting 2011)

http://termanis.com/interview-dengan-jannerson-girsang

1. Mengenal Lucya Chriz. Penulis Novel Amang Parsinuan (2011). Artikel ini juga diposting di http://www.harangan-sitora.blogspot.com, http://www.blogindonesia.com,  www.yasni.com.

Buku-buku

1. Tuhan Pemimpin Hidupku (Otobiografi, 2011)
2. Bagaikan Rel Kereta Api (Otobiografi, 2011)

(Catatan: Tahun ini saya dengan dibantu beberapa teman menulis buku biografi dan otobiografi ke 13 dan 14 sejak 2002)

Training Jurnalistik

Maret-Juni 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan http://www.nias-bangkit.com.
Agustus 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan Harian Sinar Indonesia Baru Biro II Pematangsiantar.

Senin, 26 Desember 2011

Peringatan 7 Tahun Tsunami

Pengantar: 

Mengenang tujuh tahun Tsunami Aceh Nias. Tujuh tahun lalu, sekitar pukul 08.00 pagi, kami menghadiri acara memasuki rumah seorang warga di Jalan Nyiur, Perumnas Simalingkar, Medan. Acara tertunda beberapa menit, karena semua orang keluar rumah. Gempa besar!. Tiang listrik, kayu kapuk bergoyang-goyang, kepala rasanya pening. Kejadian berlangsung beberapa menit. Kemudian acar dimulai dan tidak ada berita sampai acara usai. Ternyata, di belahan bumi lain, Aceh dan Nias, lebih dari 200 ribu tewas, 500.000 kehilangan tempat tinggal, dan sebagian besar infrastruktur dan pelayanan publik provinsi paling ujung Barat Indonesia itu rusak berat. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini.


Kami sendiri akhirnya bertugas di daerah Gempa/Tsunami Aceh selama dua tahun. Untuk mengenang awal-awal penanganan peristiwa itu kami memposting artikel yang menggambarkan situasi di sebuah desa di daerah Pidie, setelah 10 bulan peristiwa itu berlangsung. Artikel yang kami tulis Nopember 2005,  masih bisa diakses pada mediaonline dimana kami pernah bekerja sebagai Information Officer: http://www.act-intl.org. 

 

Ten months after the tsunami, people yearn to go back home

By Jannerson Girsang, ACT International

Pidie, Aceh, Indonesia, November 2, 2005--After ten months of living in barracks and tents, internally displaced persons (IDPs) yearn to leave these temporary living quarters and to return to their original villages. These desires are more intense for Indonesians during these times of Muslim and Christian religious celebrations (Idul Fitri and Christmas) because of the custom of gathering in one’s hometown.

The desire to return home had been previously constrained by the lack of shelter, water and sanitation, earnings and other reasons. Now, some of these constraints have decreased.

Among the people who want to return to their homes are residents of one small village in Indonesia’s Aceh province that was hit by the Dec. 26 earthquake last year, measuring 8.7 on the Richter scale, and the ensuing tsunami.

“I get fish enough for our daily needs and installment payments,” said 30-year-old Ramli with sparkling eyes on a day in late October. Three days earlier, the resident of Lampoh Kawat in Pidie district had moved into a new, 36-square-meter house after he and his family had lived in a settlement of barracks and tents for several months.

Ramli explained that he lost his house and boat in the tsunami, but he has been able to resume his job as a fisherman.

“We are very happy. We have our own house now. Compared to former days, now we have our private water and sanitation facilities,” said the father of a 3-year-old son. Ramli is a beneficiary of the shelter and livelihood-recovery program of Church World Service (CWS), one of three members of the global alliance Action by Churches Together (ACT) International responding to the tsunami in Indonesia.

Another fisherman, Zakaria, 45, is also involved in CWS-ACT’s shelter and livelihood-recovery program, which has provided him with a boat to return to work. “If we went to the sea for several hours, we can catch fish, and in the afternoon we could go to the field or conduct other activities for additional income,” said Zakaria, whose house and all his possessions were swept away in the tsunami.

“I am thankful to CWS. The boat helps my family. I have now more choices to earn money,” he said. Zakaria’s other activities include transporting people to the market on his motorcycle and volunteering for the ACT member in its house-construction program.

Zakaria said he has participated in all the phases of house construction with CWS-ACT, from planning to implementation. “I myself participated in interior design and also the supervision of the construction. I am satisfied with my house-to-be,” the father of three school-aged children explained.

Ramli and Zakaria are two of the many people who have expressed out grateful they are to be going home.

Everybody is busy earning an income in various ways while they wait for their new houses to be built. Some have even provided carpentry services themselves to hurry the construction along.


Ummiah Abbah and Ainsyah Amin are two examples of women who are actively supporting their families economically while waiting for their new houses to be completed.

While harvesting oysters in the river beside Lampoh Kawat sub-village, Ummiah, 45, said she does not feel comfortable in the temporary barracks where she has been living since the tsunami struck.


“My house was destroyed by the tsunami, but I miss this place to live and to work again,” she said, referring to the river near her original home. “It is too far from the barracks to work here. No place can replace the harmony in this village. When can I occupy my house, sir?” she asked with slight impatience.

Ainsyah, a 60-year-widow, slashed sike (a plant used as a raw material for woven products) next to her house, which is under construction. Ainsyah can make three mats from sike in ten days and sells them at the local markets. She is living in a temporary shelter built from the ruins of her house, like many other families in this village.

“I prefer to stay here because I can do my routine job and socialize with people. I miss the harmony of life,” said Ainsyah, whose husband died several years ago. Some of her five adult children are married, some of whom also live in this village.

The village where Ummiah and Ainsyah live is 200 kilometers southwest of Banda Aceh, the capital of Aceh province. The village is two kilometers off the main road. When the earthquake and tsunami struck here ten months ago, houses and property - boats, cattle, shrimp ponds and personal belongings – were damaged or destroyed. One woman was killed, and many people were injured. Before the tsunami, Lampoh Kawat was rich in resources. It is located near the coast of Malacca Straits, where people catch fish in abundance, raise shrimp in ponds, raise animals and grow coconuts. Plenty of pandanus trees, used as a craft material, also grow naturally in this tiny village of 34 households.

CWS, with the support of partners and ACT members around the world, began working here in April and has contributed to a significant change of the lives of the village’s residents.

Beginning with health services provided through mobile clinics, CWS started a livelihood program and has distributed 26 boats to fisherman to replace their boats that were swept away by the tsunami. In its livelihood program, CWS-ACT cooperates with PASKA, a local foundation. Fisherman who receive a boat also participate in a community-based revolving loan system as a token of social accountability to the community.

“Every time when the earnings of the fisherman is more than Rp 50,000 [US$5], they should contribute 15 percent of the excess earnings to this community-based revolving fund system, compiled by chosen members of the community,” explained Evy Kaban, CWS-ACT’s livelihood-recovery program coordinator in Banda Aceh. “The money collected from all fishermen will be used as a revolving fund to the 16 people who haven’t had earnings yet. They can use the money as seed capital for small enterprises.”

Since August, CWS-ACT has completed some of the 34 houses in the shelter program for the families of Lampoh Kawat whose houses were destroyed. CWS-ACT plans to build 300 houses across Aceh, but is finding it difficult to locate the right land for new houses. A lack of coordination and persistent claims from other donor agencies over land ownership has led to confusion among the local authorities and community members.

Constructing houses in Aceh is not a simple task. Indra, CWS-ACT’s technical shelter officer stationed in Banda Aceh, said he faces constraints in providing materials for the housing construction. “We have to take legal logging material from Medan. It takes time to deal with administration of things,” he said.

In order to increase the local income, CWS-ACT also outsources the work of windows and doors to local carpenters and the construction to the local people and the owners of the houses. “It is easy to build houses if not considering the local participation. We just let contractors build, but I worry if we do so, the continuation and sense of belonging will be different,” said Indra.

One factor in the success of the CWS-ACT housing program, according to Indra, is that the small sub-village is easy to manage and monitor. “They are very cooperative and contribute their talents that make this construction take place well,” said Indra.

Indra said the government and local people are working together to preparing land and when it comes to construction.

In the village, the French Red Cross is taking care of the drinking water supply with water trucks and a tank. However, the long-term supply of drinking water for the village is uncertain. CWS-ACT is ready to take on this responsibility, but has to consider many other players and factors, such as other agencies competing and the fact that the government’s rehabilitation and reconstruction program began late.
Source: http://www.act-intl.org.

Rabu, 14 Desember 2011

”Asa Diboto Hamu, Ise Na Mate On, Ise Ahu” (Supaya Kamu Tau Siapa yang Meninggal ini dan Siapa Saya)

Oleh: Jannerson Girsang

Di tengah panas terik menjelang tengah hari, ratusan orang sedang berkumpul di sebuah rumah di perumahan murah di sebelah Selatan Medan. Dua hari sebelumnya salah seorang penghuni rumah tipe 36 yang sudah dikembangkan itu meninggal dalam usia 70 tahun.

Orang Batak menyebutnya mate saur matua. Selain meninggal dalam usia lanjut, dua putri dan satu anak laki-lakinya sudah menikah dan masing-masing sudah memberinya cucu.

Orang tua yang meninggal seperti ini akan mendapat penghormatan terakhir baik secara keagamaan dan secara adat sebelum diantar ke pemakaman. Terdengar lagu-lagu gereja serta suara gendang Batak melalui pengeras suara yang dipasang di dua sudut halaman, persis di ujung enam taratak untuk melindungi tamu dari panas dan hujan. Para undangan duduk di kursi yang disediakan.


Sementara jenazah yang sudah berada dalam peti mati diletakkan rumah  dan dikelilingi anak-anak dan cucunya. Posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Laki-laki memakai jas dengan ulos Batak di bahunya, wanita memakai kebaya. Semuanya serba hitam. Warna berkabung. Wajah mereka mengguratkan kesedihan.

Pagi harinya sudah berlangsung acara memasukkan jenazah ke dalam peti dan diikuti dengan kebaktian singkat dari pihak gereja.  Lantas acara manortor yang diawali dongan tubu, hula-hula, boru, dongan sahuta serta kolega-kolega alamarhum.

Seorang pria bertubuh tegap, rambut putih disisir rapi, dengan jas necis warna biru mendekati mikrofon, setelah beberapa saat sebelumnya,  protokol sudah memberi aba-aba giliran ucapan duka dari kolega almarhum. Dia berbicara mewakili kolega almarhum.


Sambil merapikan dasi berwarna merah  buatan Prancis itu, dia mulai berkicau. Matanya memandang datar ke depan, sedikit mendongakkan kepalanya ke atas. Dia tidak menunjukkan perasaan sedih, sebagaimana wajah-wajah para keluarga di depannya.

“Keluarga almarhum dan saudara-saudara yang sedang berduka,” ujarnya mengawali pidatonya, sambil melirik seorang pria di sebelahnya, teman satu kelasnya di SMA.

Tak seperti orang yang mengucapkan ungkapan duka, dia layaknya seperti seorang yang sedang berkampanye, seperti Caleg mencitrakan dirinya seorang yang luar biasa.

“Kalian pasti belum tau bagaimana hubunganku selama ini dengan almarhum. Saya satu sekolah dengan beliau mulai dari SD hingga ke SMA”ujarnya. Suaranya ditahan sejenak, seraya berfikir sebentar dan mengancingkan jasnya yang terbuka,

“Di SD, saya juara I kelas dan almarhum juara III”, sambungnya dengan sedikit menoleh ke samping sambil tersenyum kepada seorang perempuan tua. Perempuan itu memandangnya lirih dan kurang simpatik.

Pria ini terus bersemangat dan menceritakan kisah mereka ketika duduk satu bangku di SMP.Padahal orang-orang di sekitarnya sudah gelisah atas kata-katanya yang bertendensi melecehkan almarhum.

“Ketika kami di SMP, tiga tahun saya Juara Umum dan almarhum, paling-paling Juara 1-atau Juara III Kelas,”ujarnya tak peduli sikap seorang pria beruban di depannya yang dari tadi sudah garuk-garuk kepala.

Kisahnya berlanjut dengan kebersamaan mereka di SMA. Dengan bersemangat tak memperdulikan cibiran orang sekelilingnya, pria itu melanjutkan pidato pencitraan dirinya.

“Di SMA, kami sudah berbeda jurusan walau masih satu sekolah. Dia masuk Jurusan Bahasa, saya masuk Jurusan IPA, jurusannya Habibie,”katanya membusungkan dada dan menatap tajam pemain musik yang sejak dari tadi membunyikan gitar elektroniknya.

”Setelah tamat SMA, kami berpisah. Saya masuk ke ITB jurusan Pertambangan, almarhum masuk ke Universitas Swasta, di Jawa Tengah, jurusan Sastra,”ujarnya dan disambut gemuruh celotehan para keluarga yang sedang berduka.

”Bah, naboha  do amanta on? (Bagaimana Bapak ini?)”ujar seorang pria setengah baya.

Tanpa peduli sekelilingnya, pria yang datang dengan berpenampilan parlente itu tetap melanjutkan kisahnya.

”Setelah lulus dari Perguruan Tinggi, kami kemudian bekerja.Saya menjadi Konsultan Pertambangan Asing di Jakarta, almarhum menjadi penulis cerpen yang hanya dimuat sekali seminggu,”ujarnya sambil memandang ke sebelah kiri kemudian memutar kepalanya hingga dia bisa memandang seluruh undangan yang hadapan matanya.

Para undangan merasa gelisah dan nyeletuk.Pemain musikpun terus menggangunya dengan petikan gitar supaya pidato jangan berlanjut.

”Orang sudah mati kok masih diremehkan. Gila ini orang,”ujar seorang ibu bekulit sawo matang, berwajah cantik yang berdiri di belakangnya.

Sambil memperhatikan sikap orang di sekitarnya, pria tadi berhenti berbicara. Seolah meraih tenaga baru. Lantas, kembali  berbicara lantang. “Kalian tau mengapa ini saya ceritakan?,”ujarnya beretorika kepada para undangan.

“Biar kalian tau siapa saya, siapa yang meninggal ini!. Sekian dan Terima Kasih,” katanya.

Dasar hanya ingin mencitrakan diri, usai berkicau, tanpa menyalami keluarga dia langsung beranjak menuju sedan mewah yang diparkir di pinggir jalan sempit menuju rumah duka.

Apakah Anda geram membacanya?. Jangan tiru perilaku pria ini. Barangkali kita tidak sadar sering melakukannya dalam bentuk yang lain. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Versinya sedikit berbeda dengan di atas. Kejam sekali, orang meninggalpun sering dijadikan sebagai ajang pencitraan diri.

Artikel ini belum dimuat di media manapun. Bagi yang ingin mempublikasi harus seizin penulis.