Oleh: Jannerson Girsang
Sumber foto: nasional.news.viva.co.id
Memasuki 2012, negeri ini membutuhkan pemimpin di segala level yang mampu memahami situasi, merumuskan persoalan serta memutuskan langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk keluar dari persoalan.
Pasalnya, kita sudah sesak rasanya menyaksikan kasus Century, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Gubernur Muda Bank Indonesia, dan belakangan ini soal Mesuji, persoalan Lapindo, masalah Tambang di Bima, kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kecelakaan di darat, serta berbagai kasus yang tidak tuntas-tuntas di tanah air. Terlalu lama kita berputar-putar di terowongan gelap, banyak aksi mubajir tanpa arah yang jelas untuk mewujudkan negeri yang aman, sejahtera dan harmonis.
Untuk sekedar menyegarkan pemikiran di awal tahun ini, kami menyajikan kisah sederhana menyelesaikan persoalan, dan menghimbau para pemimpin untuk belajar dari cara yang sederhana ini.
Pengalaman Seorang Pegawai Kereta Api
Tahun lalu, saya membantu penulisan buku”Bagaikan Rel Kereta Api”, otobiografi Osmar Simatupang, kelahiran Pardede Onan Tarahudi, 10 Februari 1936. Dia adalah seorang pegawai biasa di Perusahaan Jawatan Kereta Api (Sekarang PT Kereta Api Indonesia).
Jabatan tertingginya adalah Kepala Urusan Perencanaan Kereta Api Indonesia di Kantor Pusat Bandung. Sekolahnyapun tidak tinggi-tinggi amat. Dia hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah dan mendapat beberapa training atau pelatihan-pelatihan seputar perkeretaapian di dalam negeri. Namun, dia menyimpan pengalamannya yang menarik.
Alkisah, suatu sore di era 1980-an, Osmar mengakat telepon yang berdering di kantornya. Dia menerima pesan yang cukup singkat: Gerbong KA Surabaya-Blitar terjepit tanah longsor, persis di ujung terowongan Karangkates ke arah Blitar, sepanjang 1000 meter”. Wilayah itu memang dikenal dengan tanahnya yang labil dan sering terjadi longsir
Sebagai Kepala Inspeksi X Jawa Tengah ketika itu, dia bertanggungjawab menggeser gerbong, sehingga tidak mengganggu arus kereta api lainnya yang melintas.
Dia bergerak ke lapangan dan ketika tiba di lokasi, jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dia berdiri di ujung terowongan yang berbeda dari tempat terjebaknya kereta api oleh longsoran tanah itu. Dia punya dua pilihan, kalau mengikuti jalan raya, maka dia harus menempuh jarak sekitar 6 kilometer, sementara kalau melintasi terowongan dia hanya menempuh terowongan sepanjang 1 kilometer.
Sebagai catatan, di erah 80-an belum ada telepon genggam dan Osmar hanya bisa berkomunikasi dengan anak buahnya kalau bertatap muka. Dalam kesendirian di tengah kegelapan, dia harus mengambil keputusan yang terbaik agar gerbong yang terjebak bisa digeser. Dia memilih menembus terowongan meski dalam keadaan gelap.
Memasuki terowongan gelap dia butuh penerangan. Padahal, ”Saya tidak perokok, dan tidak memiliki alat apapun untuk penerangan. Benar-benar gelap. Di tangan saya hanya ada batang ubi kayu!” katanya.
Tongkat ubi kayu!. Itulah satu-satunya alat yang akan digunakan untuk menuntunnya menyeberangi terowongan. Osmar yang sudah bertahun-tahun bekerja di daerah itu, paham benar keadaan di dalam terowongan.
Meski pandangan matanya tidak memungkinkan melihat benda-benda di sekitarnya, pengalamannya melintasi rel itu hari-hari sebelumnya memberinya gambaran besar terowongan itu. Ditambah dorongan rasa tanggungjawabnya, dia berani menembus terowongan gelap.
Berbekal tongkat ubi kayu, dia berjalan merangkak menembus kegelapan. Tongkat ubi kayu itu digunakannya untuk menyentuh rel di sekitarnya sebagai petunjuk arah, mengidentifikasi dirinya berada pada posisi yang tepat.
”Kalau tongkat masih menyentuh rel, maka saya berada pada arah yang seharusnya,”ujarnya.
Singkat cerita, dia berhasil menuju lokasi terjebaknya kereta api dan bersama anak buahnya mampu menggeser gerbong yang terjebak itu.
Osmar memahami tujuan, permasalahan, merumuskan tindakan dan analisa sumber daya yang tersedia, untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, dia memiliki rasa tangungjawab yang besar untuk mewujudkan tujuan. Persyaratan yang harus melekat pada setiap pemimpin.
Keluar Dari Terowongan Gelap
Memaknai pengalaman Osmar di atas, saya teringat sebuah buku yang sungguh-sungguh menginspirasi. The Seat of Soul yang ditulis Gary Zukav membahas tentang perubahan (tantangan) dan jalan menuju tujuan.
Zukav mengatakan: ”Kita sedang berada di tengah perubahan yang mendalam. Kita akan bergerak melewati perubahan dengan lebih mudah jika kita mampu melihat jalan yang akan kita lewati menuju tujuan kita, kita mencermati apa yang sesungguhnya sedang berlangsung”.
Banyak gambaran suram tentang negeri ini diungkapkan di awal tahun ini. 2011 misalnya, ada yang menyebutnya tahun kebohongan, atau julukan lainnya. Entahlah!. Tentunya, hal-hal seperti ini bukan datang dari seorang pemimpin, pasti itu datang sari pengamat yang hanya melihat kulit luarnya. Pemimpin yang benar tidak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Mereka mampu berbicara terang di kegelapan.
Sudah terlalu sering kita mendengar para tokoh di negeri ini membuat seolah-olah bangsa ini sudah kiamat. Padahal, kenyataannya tidak. Persiapan Wisma atlet yang digambarkan gagal, tapi berakhir dengan baik. Pemilu yang digambarkan chaos, tetapi ujung-ujungnya tidak terjadi apa-apa, Pemilu berjalan lancar.
Banyak orang seolah ahli menggambarkan situasi seperti tujuh orang buta menggambarkan seekor gajah. Hanya melihat persoalan secara sepotong-sepotong. Padahal, dia tidak memiliki pemahaman apa yang diungkapkannya sedalam Osmar memahami terowongan gelap, serta mengambil tindakan untuk keluar dari terowongan itu.
"Mendengar gemuruh sudah menganggapnya guntur, melihat asap sudah mengatakan itu api". Lantas mengambil keputusan hanya berdasarkan ”tampak seperti”, bukan kenyataan masalah yang sebenarnya.
Untuk keluar dari kegelapan, para pemimpin harus benar-benar mengambil keputusan bukan berdasarkan dari apa yang "tampak seperti", tetapi keputusan yang benar-benar didasarkan atas gambaran situasi yang sesungguhnya.
Kita membutuhkan orang yang bisa membuat terang di kegelapan. Bukan menyalakan api sembarang api, tetapi butuh penyala lilin, lampu untuk menerangi jalan. Bukan hanya membakar-bakar api, sehingga persoalan tidak selesai, bahkan malah menimbulkan kerugian yang lebih besar. Pembakaran-pembakaran berbagai fasilitas pemerintahan di akhir tahun lalu adalah contoh.
Permasalahan negeri ini tentu tidak sesederhana kisah di atas. Namun prinsipnya sama, memahami tujuan yang akan dicapai secara benar, masalah atau tantangan, tau jalan keluar dari persoalan dengan keputusan yang terbaik, tepat dan cepat.
Semoga memasuki 2012, pemahaman para pemimpin di segala level tentang persoalan yang dihadapi pada levelnya sedalam pemahaman Osmar soal terowongan. Para pemimpin belajarlah dari kisah sederhana ini. Kita merindukan suasana di luar terowongan gelap. Sudah sesak rasanya berada di ruang yang terus menerus dililit persoalan korupsi, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum.
Penulis Biografi, Tinggal di Medan