Oleh : Jannerson Girsang
Sumber foto: http://www.facebook.com/ANGGA.ERDIAN.SINAGA
Sabtu 18 Pebruari 2012 melalui layar kaca saya menyaksikan pertandingan PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya) melawan Bontang FC, Kalimantan Timur. PSMS kalah 2-0. Sungguh menyedihkan bagi saya sebagai pencinta kesebelasan yang dulunya sangat disegani di Indonesia itu.
Bebeberapa tahun terakhir ini saya jarang menonton PSMS. Saya menilai tajinya sudah jauh menumpul dibanding pada penampilannya di era 1980-an. Salah satunya adalah Pertandingan Final Final Kejuaraan PSSI 1983. Untuk mengenang kejayaan PSMS kala itu, saya mengisahkan pertandingan yang disaksikan 100 ribu lebih penonton di Stadion Senayan Jakarta itu.
PSMS tampil luar biasa. Ketingalan 2-0 hinga 5 menit babak kedua melawan Persib Bandung, akhirnya bisa tetapi tampil sebagai Juara Kejuaraan PSSI 1983. Tidak seperti pertandingan Sabtu itu yang begitu mengecewakan!.
Kalah 2-0 Hingga 5 Menit Terakhir
PSMS masa 80-an adalah kesebelasan yang disegani di Indonesia. Permainannya yang dikenal dengan type bermain rap-rap (berkarakter cepat, keras dan ngotot, namun tetap bermain bersih dan menjunjung sportivitas).
Ketika itu saya tinggal di Bogor dan masih kuliah di IPB. Kami dijuluki Ayam Kinantan oleh teman suatu ketika, kala kami praktek lapangan di Kebun Percobaan Kampus Darmaga, IPB. Kami sangat bangga dengan julukan itu!. Memiliki PSMS rasanya memiliki Indonesia. PSMS menang, rasanya kita ikut menangan. bangga sebagai warga Sumut.
Penduduk Bogor di sekitar tempat kontrakan bila sama-sama menontonpun, langsung mengatakan, ”Wah Medan nih pasti menang”. Yang sangat membanggakan, ketika 17 Agustus-an di desa Suka Maju, Kecamatan Jasinga, Jawa Barat tempat kami KKN, anak-anak di sana begitu bangganya mengenakan baju warna hijau PSMS. Entah mereka beli dari mana saya tida begitu mengerti. Mereka pikir kami semua pintar main bola. “PSMS hebat,”kata mereka.
Mencari selingan di luar penatnya perkuliahan, kami sesekali meluangkan waktu menonton pertandingan ke Stadion Senayan di Jakarta.
Singkat cerita, dalam pertandingan final 1983 itu, saya berada di bangku penonton tiket paling murah. Tapi tidak mengurangi semangat mendukung PSMS. Pertandingan Final hampir 30 tahun yang lalu itu sungguh mendebarkan, dan sekaligus mencemaskan. Tidak bisa saya lupakan sepanjang hidup saya.
Sejak awal pertandingan, kesebelasan yang berdiri di Medan 21 April 1950 itu, sudah didikte pemain-pemain Persib Bandung. Hingga menit ke-40 babak kedua, PSMS membuat kami sangat kesal dan kecewa. Permainan dikuasai sepenuhnya oleh Persib Bandung.
Sempat kecewa berat!. Betapa tidak, hingga lima menit pertandingan babak kedua berakhir, skor 2-0 untuk kesebelasan Persib Bandung.
Bahkan karena merasa malu, setelah posisi itu pendukung PSMS secara berangsur-angsur keluar dari stadion, menyusul saya dan teman rombongan dari Bogor. Prediksi kami PSMS akan kalah.
Kesal, lapar dan emosi berbaur saat itu. Kami sudah jauh-jauh datang dari Bogor, membayar ongkos bus, tiket masuk, makan dan meninggalkan kuliah. Hanya satu harapan, PSMS menang!. Ternyata......!
Saat berjalan menuju pintu keluar Stadion, saya mendengar beberapa pendukung PSMS mengeluarkan kata-kata. “Bambang..keluar, Ponirin pulang saja kau?”. Sebagian pendukung PSMS duduk melongo sambil berpangku tangan di tempat. Pasti berharap ada mujizat.
Sebaliknya, pendukung ”Maung Bandung” duduk tertib dan bersemangat. Mereka berjingkrak-jingkrak, satu suara: Persib menang, PSMS keok!. Seolah mengejek kami pendukung Ayam Kinantan.
Saya dan teman-teman jalan loyo dengan baju lusuh, diam membisu, dengan kepala menunduk, tubuh banjiri keringat karena sebelumnya berteriak-teriak mendukung PSMS yang tak boleh kalah.
2 Gol dalam 5 Menit
Sesuatu terjadi di luar dugaan!. Beberapa meter setelah keluar dari pintu stadion, kami dikagetkan suara gemuruh dari dalam. “Go...ol,” demikian suara riuh dari dalam stadion diiringi yel-yel PSMS yang panjang....!. “Hayo Ayam Kinantan, hayo Ayam Kinantan”.
Sebagian pendukung PSMS yang sudah berada di luar stadion bergerak berubah arah, kembali ke dalam stadion.
Tapi, saya tidak berniat masuk kembali ke Stadion, terus melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian bus melintasi Parkir Timur Senayan. Ingin cepat-cepat kembali ke Bogor, kesal dengan PSMS!.. Tidak mungkin PSMS mencetak gol lagi, karena waktu tersisa hanya dua atau tiga menit.
Bukan Ayam Kinantan namanya kalau menyerah begitu saja. Beberapa langkah beranjak dari pintu gerbang, terdengar teriakan kedua!.
Hingga stadion Senayan menggelegar untuk kedua kalinya!. ”Gooooooool!”, suara pendukung PSMS menggelegar dari dalam stasion. Kontan kami semua pendukung PSMS yang sudah berada di luar, berlari sekencang-kencangnya, kadang menubruk penonton lainnya, kembali masuk stadion.
”PSMS Menang..PSMS menang...” teriak seorang lelaki yang mendahului saya berlari secepat-cepatnya. Ribuan pendukung PSMS menyerbu masuk. Seolah pertandingan baru dimulai. Pendukung-pendukung Medan sambl berlari meneriakkan:”Hidup PSMS, Hidup PSMS. Tajamkan Tajimu Ayam Kinantan”.
PSMS luar biasa!. Saat kami kembali di dalam stadion, beberapa detik lagi wasit meniup peluit tanda perpanjangan pertandingan 2 kali lima belas menit. Posisi 2-2. Tapi saya dan teman-teman yakin benar PSMS akan menang.
Sebaliknya, saya menyaksikan para pendukung Persib lemas. Seolah tidak percaya apa yang terjadi, sebagian duduk lesu dan menunduk. Wajar saja, posisi kemenangan 2-0 di lima menit terakhir seharusnya sudah ditangan. Tapi, itulah PSMS di era 1980-an!.
Menahan Perpanjangan Waktu Tanpa Gol
Kami kembali mengambil tempat duduk, dengan perasaan kagum atas perjuangan pemain-pemain kesebelasan favorit kami: PSMS. Dari sudut sebelah Timur Stadion Senayan, kami berteriak-teriak bersama puluhan ribu pendukung PSMS lainnya. ”PSMS, Ayam Kinantan”. “Hidup Ayam Kinantan”. Teriakan yang mendominasi Senayan.
Sejak awal pertandingan perpanjangan waktu, PSMS bermain dengan strategi bertahan. Sangat mendebarkan dan kami harap-harap cemas. Kadang terdengar teriakan ”Hei Ponirin, jaga gawangmu, jangan sampai bobol”. Akhirnya PSMS yang dikenal "The Killer" di era 50-an ini, berhasil menahan Persib Bandung, tanpa gol.
Sesuai peraturan PSSI waktu itu, adu penalti dengan lima tendangan penentuan kesebelasan yang menang. Kiper Ponirin serta lima penendang jitu (saya sudah lupa nama-namanya) menjadi penentu kemenangan.
Dalam adu penalti, PSMS menang!. Ponirin dan lima penendang jitu jadi pahlawan malam itu. Penonton SMS yang terkenal agressif namun sprotif itu menyambut kemenangan dengan suara gemuruh memecah stadion Senayan. Beberapa penonton menintikkan air mata haru. Ada yang berjingkrak-jingkrak sambil membawa-bawa spanduk: ”PSMS, Ayam Kintantan” berkeliling stadion. Para pemain saling berpelukan puas akan kemenangan yang baru saja diraihnya.
Menanti hingga pertandingan berakhir menjelang pukul 23.00 malam, tubuh lelah, semosi mudah terbakar emosi. Kadang beberapa pendukung PSMS lepas kontrol, mengejek pendukung Maung Bandung menyambut kemenangan tim kesayangannya.
Tapi, pihak yang diejek justru menyambutnya dengan acungan jempol, tanpa emosi, betul-betul saling bersahabat. ”Yah tahun depan Bandung mesti juara,”ujar seorang pendukung Persib Bandung dalam bahasa Sunda berharap. Meski wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa kecewa, tetapi mereka tetap ramah. Sangat berbeda dengan pertandingan sepakbola akhir-akir ini yang sudah banyak ternoda. Lihat misalnya pertandingan antara Persipura dengan FC Sriwijaya (2009), Pertandingan Final Piala Indonesia di Stadion Manahan (2010).
Kiranya catatan kecil dari Pertandingan PSMS vs Persib 1983 ini, mampu membangkitkan kembali semangat para pencinta
PSMS, dan para pengelolanya. Penggemar PSMS merindukan Prestasi gemilang PSMS layaknya di era delapanpuluhan!. Tidak keok lagi seperti pertandingan hari Sabtu itu dipukul 2-0 oleh Bontang FC!.
Catatan ini sekaligus contoh bagi para pendukung sepakbola di tanah air. Kemenangan dan kekalahan diterima sebagai hasil proses yang jujur. Suasana Stadion Senayan tetap memancarkan kedamaian.
[1] Pendukung Fanatik PSMS Medan