Oleh: Jannerson Girsang
Kisah dua wisatawan asing Annette Horchmann (Samosir, Danau Toba) dan Janet de Nefee (Bali) menarik perhatian saya ketika melakukan browsing di internet beberapa hari ini. Kisah yang memunculkan inspirasi sejauh mana saya telah mencintai budaya, serta kepedulian pada lingkungan di sekitar daerah wisata.
Annette dan Janet mengundang pertanyaan dalam hati: “mereka melakukan jauh lebih banyak dari saya sebagai penduduk asli negeri ini”. Saya yakin pertanyaan inipun akan muncul di hati banyak pembaca artikel ini, khususnya penduduk di sekitar Danau Toba atau berasal dari sana dan sudah bertempat tinggal di daerah lain.
Pada mulanya, mereka adalah wisatawan biasa. Berkunjung ke daerah wisata Indonesia, kagum akan keindahannya, bahkan berkarya dan tinggal di Indonesia, menjadi duta-duta wisata yang potensial. Mereka mempromosikan bahwa Indonesia itu indah dan nyaman.
Annette Horchmann memilih tinggal di Samosir setelah jatuh cinta akan keindahan Danau Toba pada kunjungan pertamanya 1993, bahkan tinggal dan menikah dengan orang Samosir. Jauh sebelumya, Janet de Nefee sudah mencintai Bali sejak 1974.
Annette Horschmann boru Siagian
Sumber Foto: batakworld.blogspot.com
Mengunjungi mediaonline berbahasa Inggeris: http://tobacafe.com/2011/12/13/annette-horschmann-i-want-to-stay-here-forever/ mengisahkan perjalanan hidup Annette serta kiprahnya di pulau Samosir.
Awalnya, Annette Horschmann—orang Jerman yang sebelum mengunjuingi Danau Toba sudah berkelana ke berbagai Negara, saat berada di Thailand, 1993, dia mendengar Danau Toba dari turis yang lain. Informasi itu mendorong dirinya mengunjungi Indonesia dan pergi ke Danau terbesar di Asia Tenggara itu.
Annette kagum keindahan Danau Toba. Sayangnya, pemandangan yang indah itu bercampur dengan sampah yang ditemukan di Danau. Sebagai warga Jerman, dia peduli lingkungan, dia memutuskan aksi, membantu mengeluarkan sampah-sampah itu dari danau.
Dia mengajak teman-teman turis dari Jerman bekerja sama membersihkan Danau Toba dari sampah dan enceng gondok (tumbuhan air yang banyak menutupi permukaan air danau).
Muncul tekad Annette membersihkan danau dan tinggal di sana dan mengajak pemuda-pemuda lokal membantunya membersihkan danau itu.
Annette, yang kini pengelola Toba Cottage ini belajar bahasa daerah Batak, sehingga bisa berinteraksi lebih dekat dengan penduduk lokal dan memuluskan missinya membersihkan danau. Dia berpendapat bahwa bila dirinya menggunakan bahasa lokal, maka penduduk akan lebih memahami dan lebih sopan melakukan komunikasi.
Anette Horchmann, dalam beberapa pemberitaan media turut serta dalam kegiatan pemberisahan Danau Toba. Misalnya pemberisahan Danau Toba awal tahun lalu yang dimotori Radio Samosir Green (RSG). Ia mengajak sejumlah turis asing bergabung dalam gerakan cinta Danau Toba itu, sekaligus menyesalkan sikap warga sekitar yang hanya menjadi penonton dalam aksi kebersihan itu (Medan Bisnis, 21 Januari 2011).
Tertarik dengan keindahan Danau Toba, Annette mengabdikan hidupnya untuk tinggal di dekat Danau Toba selamanya. Dia bertemu belahan jiwanya di sana, seorang pemuda bernama Anthony Silalahi dan kemudian mereka menikah.
Annette dan suaminya Anthony Silalahi dikaruniai tiga anak. Annette sendiri mendapat marga baru di sana. Menjadi orang Batak. boru Siallagan. Nama lengkapnya saat ini adalah Annette boru Siallagan Horschmann.
Menonton penampilan Annette Korchman di Kick Andy Metro TV beberapa waktu lalu, sungguh-sungguh mengesankan. “Saya mau seumur hidup di Danau Toba, Pak”ujarnya dan disambut tepuk tangan ratusan penonton televise berita Indonesia itu. Peristiwa itu puncak seluruh kecintaannya akan danau terbesar di Asia Tenggara itu, setelah hampir 20 tahun sejak kunjungan pertamanya.
Saya menangkap pesan yang disampaikan Annette bahwa Danau Toba adalah kawasan yang indah, tapi perlu dibersihkan. Tempat ini aman bagi wisatawan asing. Bangsa Indonesia, mari kita bersihkan Danau ini, wisatawan asing mari berkunjung ke sini!. .
Janet de Neefe
Sumber foto: goodbooksguide.blogspot.com
Janet de Neefe adalah penulis Australia, yang sudah lama bermukim di Bali. "Pertama kali menginjakkan kaki di Bali tahun 1974, dan langsung jatuh cinta. Bukunya “Fragrant Rice” (2003) merupakan memoir Janet tentang kisah cintanya pada Bali,”.tulis www.balicreativefestival.com/2011/speaker/janet-de-neefe.html.
Sebagai pebisnis restoran di Ubud, Janet merasakan efek kolaps akibat bom Bali 2002. Dia ingin menarik orang datang lagi ke Bali dengan cara yang berbeda, dan menggelar Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) pada tahun 2004. Dari niat yang sederhana, UWRF menjadi festival yang serius dan bergengsi dan menambah predikat Ubud tidak hanya sumber inspirasi bagi artis, juga penulis".
Selain menulis, De Neefe adalah pendukung buku, dan juga memiliki warisan sekolah seni, pemilik restoran, sekolah memasak di Ubud, Bali, dan mengajar ratusan orang setahun cara memasak.
Tahun 2011 lalu, http://www.webwombat.com.au--mediaonline berbasis di Australia mempublikasikan bahwa Janet de Neefe meluncurkan sebuah buku baru berjudul: Bali: The Food of My Island Home.
Tahun 2011 lalu, http://www.webwombat.com.au--mediaonline berbasis di Australia mempublikasikan bahwa Janet de Neefe meluncurkan sebuah buku baru berjudul: Bali: The Food of My Island Home.
Tinjauan bukunya ditulis oleh Marjie Courtis. yang diposting di mediaonline itu. Tinjauan tersebut menyebutkan bahwa buku Janet de Nefee merupakan manifestasi kelezatan makanan, menulis seni, dan tempat.
Buku ini ditulis dalam Bahasa Inggeris. Jelas pasar buku diarahkan bagi kebanyakan orang asing di Indonesia dan di luar negeri. Melalui buku Janet de Nefee bercerita tentang makanan, dengan pengisahaan yang menarik bagi wisatawan yang datang ke Bali. .
Marji Courtis dalam tinjauannya menggambarkan buku itu bukan hanya rincian persiapan makanan yang rumit, tetapi kecenderungan umum atas keakuratan dan kerumitan Bali. Foto-foto daun pisang yang ditenun dengan halus, atau bawang merah yang dicincang halus, daun jeruk, serai dan bunga obor jahe, diselingi dengan foto besar (close-up) pintu halus yang diukir dan dicat dan dipersembahkan bagi para dewa.
Marji Courtis mengatakan “Saya menganggap “Bali: the Food of my Island Home”, akan menjadi presentasi otentik Bali dan makanannya. Ya, itu melalui mata orang Barat, tapi jelas bahwa Janet de Neefe, yang mencintai dan tinggal di Bali, telah bergaul intim dengan makanan tersebut. Pada setiap halaman, anda dapat membayangkan dirinya melewati proses belanja, bereksperimen, memasak, mencicipi dan mencocokkan rasa. Jika Anda tidak pernah mempersiapkan resep tunggal dari halaman buku, anda masih akan menyerap banyak rasa Bali”. .
Janet de Nefee turut mempromosikan Bali sebagai inspirasi bagi para seniman dan penulis untuk berkarya. Para seniman dan penulis yang berkunjung ke Bali, selain menikmati keindahan alam Bali, makanan dan budayanya menginspirasi mereka menghasilkan tulisan. Bali adalah sumber inspirasi bagi para seniman dan penulis. Tempatnya aman dan nyaman. .
Duta-duta Wisata
Kisah Janet de Nefee dan Annette Horchmann dari lapangan yang dikisahkan di atas hanya mewakili bagian kecil dari banyak kisah lain yang terjadi di wilayah wisata lainnya di Indonesia.
Keduanya adalah wisatawan asing yang merupakan sumber inspirasi bagi pengembangan wisata Indonesia. Mereka berbicara dari lapangan tentang pengalaman mereka sendiri. Kisah mereka terpublikasi di berbagai media asing yang dapat diakses di seluruh dunia.
Pengalaman mereka setidaknya setidaknya menyadarkan saya dan pembaca bahwa mereka telah berbuat banyak untuk kemajuan di daerah wisata. Mereka menginspirasi kita mencintai wilayah wisata!