Oleh: Jannerson Girsang
http://seputarnusantara.com/?p=4621
Catatan
tercecer ini saya share untuk para pembaca.Catatan ini saya tulis, 27 Januari 2012, malam hari. Sudah lama tersimpan di
komputer saya. Dulunya ingin dikirim ke media, tetapi tidak jadi-jadi.
Anggaplah ini sebagai pandangan mata. Namanya pandangan mata, bisa salah
lihat, bisa salah dengar. Tapi setidaknya, ini bisa menggugah ingatan
kita hampir lima tahun lalu, saat-saat penting ketika beliau meninggal.
Belajar dari kesalahan, itulah yang bisa saya sampaikan dalam artikel
ini. Semoga bermanfaat.
****
”Presiden Suharto menghembuskan
nafasnya yang terakhir pada pukul 13.10, karena seluruh sistem organnya tidak
berfungsi”, demikian pengumuman mengejutkan kami di sore hari Minggu 27 Januari
2008, melalui siaran televisi, selepas acara Kebaktian Minggu.
Ayah enam anak, kelahiran desa Kemusuk, Jawa Tengah, 8 Juni 1921 itu, menghembusan nafasnya yang terakhir 27 Januari 2008, setelah 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.
Terus terang, saya pribadi tak begitu banyak kepentingan dengan Suharto. Karena saya bukan penguasa, pengusaha atau tokoh politik. Saya hanya rakyat biasa dan lebih objektif tentunya. Sok kali ya.
Jujur saja, sosoknya memberi rasa kagum saya atas beberapa hal. Walau sebagaimana banyak orang, saya juga melihat kelemahannya.
Didorong rasa kagum dan keingintahuan besar, beberapa hari sebelum beliau meninggal, saya sempat menaruh perhatian khusus ketika ”Bapak Pembangunan Nasional” di masa Orde Baru itu dilaporkan kritis, 9 Januari 2008.
Saat itu, saya mengikuti berita televisi sampai sekitar jam 02 dini hari. Begadang, hanya untuk memenuhi keingintahuan bagaimana perjalanan akhir seorang Suharto yang begitu banyak mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi Indonesia.
Tak salah saya kira kalau saya kagum melihat Soeharto, manakala saya melihat presiden-presiden di belakangnya, yang membuat saya kecewa. Mereka seolah malaikat yang tak punya salah, padahal tak berbuat banyak seperti Soeharto. Mereka takut bertindak, dan lebih ingin populer, supaya seolah tidak salah.
****
Sore hingga malam, saya dan jutaan penduduk Indonesia menyaksikan secara langsung berita kematiannya di rumah sakit, kemudian disusul pemberangkatan dari rumah sakit dan setibanya di rumahnya di Jalan Cendana Jakarta.
Melalui kecanggihan teknologi komunikasi yang turut diprakarsainya dulu, seluruh jaringan televisi berhasil menghantarkan detik-detik perjalanannya sesudah menjadi mayat, menembus dinding-dinding rumah-rumah jutaan penduduk mulai dari desa-desa terpencil sampai ke kota-kota besar.
Sebuah peristiwa yang secara transparan dan langsung disiarkan dari ibu kota Jakarta. Melalui televisi, kami melihat dengan jelas situasi rumahnya di Jalan Cendana—yang mungkin bagi orang Medan selama ini hanya dapat dibayangkan melalui cerita dan berita di koran-koran.
Dalam peristiwa biasa, tentu televisi atau media lainnya tidak akan diperbolehkan menyorot rumah itu sedemikian bebasnya. Apalagi di masa Orde Baru.
Televisi kadang menayangkan Astana Giri Bangun—tempat pemakaman Suharto, menyusul istrinya yang sudah mendahuluinya 12 tahun sebelumnya.
Ada pemandangan unik. Rumah tempat kelahirannya di desa Kemusuk, ternyata hanya tinggal puing-puing. Makam keluarga orang tuanya, serta rumah kelahirannya sendiri terkesan tidak menarik perhatiannya, dibanding dia memperhatikan nasib sejarah keluarga istrinya. Menyaksikan siaran televisi, saya terkesan bahwa Soeharto jauh lebih memperhatikan peninggalan keluarga istrinya Tien Soeharto, ketimbang sejarah orang tua yang melahirkannya. Suharto lupa kacang akan kulitnya, entahlah!.
Saya dan jutaan pemirsa televisi secara langsung melihat betapa sedih seorang Probo Sutejo, yang harus minta ijin dari penjara Penjara Sukamiskin untuk melihat abang tirinya untuk terakhir kali.
Terlihat di televisi, bagaimana Probosutejo keluar dari penjara Sukamiskin dengan kawalan petugas tidak berseragam naik ke atas mobil. Tragis, nasib seorang Probo yang selama pemerintahan Soeharto dikenal pengusaha besar dan orang kuat. Sedih juga!. Hanya diizinkan keluar penjara untuk sementara, hanya dengan alasan yang sangat kuat : melayat ”abangnya”, seorang mantan Presiden.
Sesudah itu, dia harus kembali lagi ke penjara walau masih dalam dukacita.
Rakyat secara langsung bisa melihat putra-putri Suharto. Tidak selengkap ketika pak Harto dan ibu Tien masih hidup. Bisa melihat siapa yang hadir dan siapa yang tidak hadir di malam pertama kematiannya. Tampak jelas tingkah laku dan ekspresi wajah-wajah mereka. Pasangan mana yang tidak menampakkan batang hidungnya.
Pendek kata, selama beberapa jam itu, semua yang terjadi pada diri Suharto, bisa terlihat secara langsung dan transparan.
Sikap para pemimpin juga terlihat jelas. Saya bisa mendengar dan melihat pengumuman resmi pemerintah atas meninggalnya Suharto yang disampaikan Mensesneg Hatta Rajasa, beberapa saat setelah tim dokter kepresidenan dan Mbak Tutut mewakili keluarga menggelar jumpa pers.
Begitu cepatnya penjelasan rinci, sehingga meninggalnya Suharto tidak mengundang misteri, dan tidak ada berita yang dualisme dan membingungkan rakyat.
Hanya ada pertanyaan wartawan yang agak menggelikan saat Menseskab Sudi Silalahi memberi penjelasan. Seorang wartawan bertanya: ”Apakah ini ditanggung negara pak!”.
Pertanyaan konyol dan tidak prinsipil saat orang-orang sedang terfokus pada rasa simpati atas meninggalnya seorang kepala Negara.
****
Andaikata transparansi, kualitas pemberitaan dan etika pers kita ditampilkan saat meninggalnya Soeharto, sama seperti ini selama tigapuluh dua tahun berkuasa sebagai RI 1 di negara yang kita cintai ini, barangkali negeri ini tidak begitu sulit menerima Suharto sebagaimana Suharto adanya.
Sebaliknya, begitu banyak kontroversi yang terjadi, karena kegagalan kita mewujudkan ketiga hal di atas. Informasi yang tidak konvergen sesuai dengan kepentingan bangsa secara utuh telah menimbulkan begitu banyak awan-awan yang saling menyelimuti satu informasi dengan informasi lain.
Ada banyak hal yang masih ”misterius” dan mungkin akan lenyap dengan kematiannya pada sore hari Minggu itu.
Transparansi pemberitaan terjadi, justru hanya soal kematian Soeharto dan penghormatan terakhir melalui layar kaca. Saat dia tidak punya perasaan lagi, tidak punya ambisi dan kepentingan.
Berani terbuka, saat dia tidak takut dihukum atau masuk penjara. Soeharto saat itu sudah memiliki tempat yang tidak dapat dijangkau dunia lagi. Surga atau neraka, yang hanya bisa diketahui dan ditentukan oleh Tuhan, sang PenciptaNya.
Peristiwa meninggalnya Suharto memberikan pelajaran bagi kita pentingnya transparansi, kualitas dan etika pemberitaan. Rakyat menerima informasi yang tidak membingungkan.
****
Jalan hidup Suharto memang sesuatu
yang misterius dan tidak pernah bisa diprediksi orang. Tidak pernah ada orang
yang menyangka, kalau proses akhir kejatuhannya justru terjadi saat
kunjungannya ke Mesir pada bulan Mei 1998.
Situasi di Tanah Air memaksanya memperpendek kunjungan resmi terakhirnya sebagai Kepala Negara, setelah 32 tahun berkuasa. Saya ketika itu masih berfikiran Soeharto kembali dari Mesir--tempat berkuasanya Raja Firaun yang sangat kejam itu, masih mampu mengamankan negeri ini. Dugaan itu ternyata terlalu berharap. Itulah detik-detik akhir kejayaan dari seorang Suharto.
Setibanya di Indonesia, dia berhadapan dengan kerusuhan hampir menyebar di seluruh Indonesia. Jakarta, ibu kota dilanda pembakaran dan penjarahan.
Tidak ada angka yang pasti : Yang jelas banyak manusia tak berdosa tewas, luka-luka dan bahkan hilang tak kembali ke rumah dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Perubahan luar biasa cepat terjadi di Indonesia dan melucuti kekuatan Suharto. Hampir tak percaya, beberapa hari sebelum kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di pintu Sudako yang saya tumpangi sepulang kantor di Medan terpampang tulisan-tulisan “Turunkan Soeharto”.
"Beraninya mereka ya," demikian pendapat saya dan tak menyangka sama sekali, kejatuhan Soeharto hanya beberapa hari sesudahnya.
Informasi dan pemaknaan informasi memang dituntut bagi seorang pemimpin. Dalam pandangan saya, Soeharto tidak dengan seksama mengikuti langkah-langkah anak buahnya. Akbar Tanjung dan Ginanjar Kartasasmita justru mensponsori 12 menteri untuk menolak duduk dalam kabinet bentukannya atas tuntutan reformasi yang akhirnya gagal dibentuknya.
Harmoko, sebagai Ketua MPR ketika itu, secara terbuka melalui konferensi pers meminta pak Harto mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Walaupun kemudian pembelaan dari Jenderal Wiranto, yang ketika itu menjabat Panglima ABRI muncul kemudian. Bahkan dia menyelenggarakan konperensi pers tandingan. Wiranto mengumumkan melalui media elektonik dan cetak bahwa pernyataan Ketua MPR itu sifatnya individual, walaupun disampaikan secara kolektif. Sayapun tidak mengerti apa maksudnya.
****
Di sini, Suharto harus diacungi jempol. Melihat dirinya sudah tak memiliki kekuatan lagi mengendalikan situasi, sebuah keputusan yang luar biasa kami saksikan di televisi.
Dengan langkah pasti dan perhitungan matang, Kamis, 21 Mei 1998 pagi sekitar jam 10.00, melalui media cetak dan elektronik, Suharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden.
Ketika itu kami sedang berada di sebuah desa kira-kira 100 kilometer di sebelah Selatan kota Medan. Habibie yang saat itu menjadi Wakil Presiden kemudian secara otomatis menggantikannya menjadi Presiden Republik Indonesia. Rasanya ketika itu tak yakin Indonesia akan lebih baik. Entahlah!.
Pelajaran ke depan, seorang pemimpin perlu berfikir realistis, jangan terus menganggap dirinya besar padahal sudah tidak ada apa-apanya. Tak punya persiapan pengganti, lalu lengser tanpa persiapan. Kepemimpinan ke depan akan rapuh.
****
Langkah misterius Suharto ini, dan salah satu tuntutan reformasi: adili Soeharto dan kroni-kroninya, tak bisa direspons dengan baik oleh empat presiden selama 10 tahun terakhir ini, hingga saat meninggalnya.
Selama itu pula takaran atas sisi gelap dan terang Suharto kabur, atau mungkin berhasil dikaburkannya. Sebuah strategi yang mantap telah dipersiapkan Suharto untuk menghempang usaha pemimpin sesudahnya mengadili dirinya dan kroni-kroninya, yang ternyata jauh ”dibawah kualitas kepemimpinannya”.
Tak mengherankan sebenarnya. Bagi yang masih ingat strategi Suharto di awal kepemimpinannya, dia sudah teruji dengan baik. Bagaimana hebatnya Suharto pada saat awal kepemimpinannya. Dia bukan presiden, tetapi mampu bertindak sebagai presiden.
Pelan tapi pasti, selama dua tahun dualisme kepemimpinannya dengan Sukarno yang ketika itu masih dicintai rakyatnya, Suharto dapat mengubahnya dengan strategi yang luar biasa jitunya, hingga terbit Supersemar dan dirinya akhirnya menjadi Presiden.
Jangan-jangan presiden-presiden sesudahnya hanya jabatannya saja presiden tetapi pola pikirnya masih pola pikir prajurit. Mentok dan tak mampu melakukan terobosan-terobosan strategis, dan banyak menutupi kelemahannya dengan pencitraan-pencitraan, bukan menuntaskan persoalan bangsa yang mendasar.
Empat presiden penggantinya hanya mampu mengutak atik Yayasan yang dipimpinnya dengan hasil yang masih misterius.
Belakangan, malah pemerintah berhasil dipermalukan oleh strategi Suharto yang sungguh-sungguh mempertontonkan betapa tololnya pemerintah sesudah beliau.
Secara hukum, ketika beliau masih sehat walafiat, Suharto dengan sukarela menghadiri pemeriksaan oleh Kejaksaan. Tapi, akhirnya, kesehatan Pak Harto, kemudian menjadi alasan persidangan tidak bisa dilanjutkan dan kemudian dikeluarkan SP-3. Artinya secara pidana hal tersebut sudah selesai.
Merespons keinginan berbagai pihak untuk menggugatnya secara perdata, pihak kejaksaan kemudian menjeratnya dengan hukum-hukum perdata.
Langkah inipun, mentok, karena kemudian beliau meninggal.
****
Memang, sama seperti manusia lainnya, Soeharto juga manusia, memiliki sisi terang dan gelap semasa hidupnya.
Sampai sekarang kita tidak bisa memperkirakan korban jiwa maupun kerugian materi akibat kebijakan politik pasca 1965 yang menyebabkan ratusan ribu tewas dan jutaan orang menderita. Korban di Papua, Aceh, Kasus Tanjung Priok dan lain-lain. Kebijakan politiknya membesarkan Golongan Karya sebagai mayoritas tunggal dengan segala fasilitasnya, berbeda dengan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang terkesan di "kebiri". Kebebasan Pers yang dikebiri dengan UU Kode Etik Pers No 12 Tahun 1982. Kasus korupsinya sendiri masih misteri dan tak seorangpun mampu mengungkapnya, apalagi mengadilinya sampai tuntas.
Tentu, sisi terangnyapun patut diapresiasi. Dunia mengakui Suharto telah mampu mengangkat negara ini secara ekonomi. Dari pengimpor beras terbesar, Suharto pernah mengangkat bangsa ini menjadi swasembada pangan, yang mendapat penghargaan dari FAO. Kalau di awal pemerintahannya, investasi sangat langka, beliau mendatangkan investor dari luar negeri untuk turut berpartisipasi membangun ekonomi negeri ini. Ketimbang sekarang ini, untuk mendatangkan investasi saja tidak mampu. Lihat saja, laju pertumbuhan investasi kita. Suharto menyediakan jutaan tenaga kerja setiap tahunnya yang mampu menahan laju pengangguran dan kemiskinan di negeri ini.
Penutup
Baiklah kita komit dalam pemberitaan sesuatu yang baik dan buruk, salah dan benar secara transparan. Barangkali pak Harto menyesal dalam hal kekurang terbukaannya selama ini. Mari kita tidak mengulangi, agar kita jangan menyesal di kemudian hari. Inilah pelajaran yang bisa dipetik dari kematian Suharto.
Seperti kata Suryo Paloh di Metro TV, beberapa jam sesudah Suharto tutup usia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.
”Tidak ada manusia yang sempurna, semua memiliki kesalahan,” ujar Suryo Paloh seraya menghimbau seluruh bangsa ini belajar semua kelebihan dan kekurangan para pendahulu kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
”We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby). Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan, lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi keburukan atau kejahatan kita sendiri?.