Sambungan dari Bagian 3
“Tadi malam juga
saya susah tidur,”katanya berbohong.
Ibunya percaya saja
kepada kisah bohong anaknya.Dia masih yakin anaknya tidak akan melanggar
aturannya. “Tidak boleh makan ikan lebih dari satu potong”.
Selesai memasak, ibunya menyiapkan makanan siang untuk Sarioto.
Nasi, sayur dan sepotong ikan mujahir.
Pagi itu, mereka
berdua tetap sarapan dengan ubi jalar yang direbus.Minumnya air putih yang
dimasak sendiri oleh ibunya.
Ibu Sarioto berangkat
menuju ladang tempatnya memburuh berjalan kaki selama setengah jam.
Ia bekerja seharian
untuk mempertahankan hidupnya dan anaknya semata wayang itu dan meninggalkan Sarioto
sendirian di rumah.
Melanggar
Aturan Ibu, Jadi Kera
Sepeninggal ibunya,
Sarioto berpikir keras cara melaksanakan niat jahatnya melanggar aturan ibunya
demi memenuhi nafsunya: makan sepuasnya ikan yang di dalam periuk tanah.
Dengan wajah lemas,
dia mengamati piring berisi nasi, sayur dan ikan sepotong.Dia teringat ketika
ayahnya masih hidup.
“Waktu ayahku hidup,
saya pernah memakan daging hingga berhari-hari, kini ibu hanya mampu
menyediakan sepotong ikan setiap kali makan,” keluhnya dalam hati.
Jam demi jam
berlalu. Angin berhembus menerpa pohon beringin di atas rumahnya membuat
hatinya bukannya tambah lembut melainkan makin gusar.Pikirannya hanya tertuju
pada nafsunya melahap ikan simpanan ibunya.
Dia mondar mandir di
rumah kecil itu, sesekali melihat tempat ikan dimana ibunya menyimpanya dengan
rapi.Para-para itu cukup jauh dari jangkauannya.
Tengah hari
menjelang waktu makan siang tiba, Sarioto baru mendapatkan ilham bagaimana caranya mengambil
periuk tanah yang berisi penuh ikan
mujahir itu.
Dia mencuri sebuah
tangga bambu milik tetangganya.Tidak terlalu panjang, sehingga bisa memasukkannya
dari pintu rumahnya dan tidak sampai menyentuh langit-langit yang kurang dari
empat meter itu.
Syarat lainnya, tidak
boleh ada orang lain yang tau. Sarioto menunggu hingga anak-anak tidak ada yang
bermain di pekarangannya.
Saat anak-anak yang
lain diam di rumahya makan siang, perlahan-lahan Sarioto menyeret tangga dan
memasukkannya ke rumah. Dia berhasil meletakkan tangga ke salah satu kayu penahan
para-para.Tangga sudah siap!
Kemudian Sarioto
menaiki tangga hingga mencapai para-para dan mengambil periuk itu dengan susah
payah. Maklum masih anak kecil.
Hampir saja dia
terjatuh.Karena kakinya tiba-tiba menginjak penahan yang tangga sudah lapuk.
Setelah semua aman
dia mengembalikan tangga tetangganya dengan cara mengendap endap.Setelah
berhasil mengembalikan tangga, dia kembali ke rumah dengan senyum-senyum seperti
orang gila.Tanggannya gemetar, jantungnya berdegup cepat.Sarioto bersiap-siap
melanggar aturan ibunya.
Satu gangguan lagi,
seekor kucing tiba-tiba masuk dan ingin mencicipi ikan itu, sesaat setelah
Sarioto meletakkannya di lantai. Dia buru-buru mengusirnya dan menutup pintu
rapat-rapat.
Kembali Sarioto ke
tempat makanan siang yang disediakan ibunya. Dia mulai melahapnya. Sepotong
ikan mujahir tidak cukup untuk menghabiskan nasi dan sayur dan membuka periuk
tanah yang berisi ikan mujahir yang bagi Sarioto sangat lezat rasanya.
Saqrioto mengambil
satu potong. Ternyata tidak cukup. Potongan yang kedua dilahap, nafsunya makin
bertambah. Tiga sampai empat potong, ternyata membuat dirinya makin merasa
ketagihan meski ada rasa takut dimarahi ibunya.
Hingga sore hari,
Sarioto sendirian di rumah dan terus melahap ikan-ikan di dalam periuk itu,
hingga kosong.
Bahkan sisa berupa
kuahpun masih ingin dicicipinya. Hingga kepalanya dimasukkannya ke lobang
periuk untuk menjilatinya hingga tidak bersisa lagi.
Saat kepalanya masih
dalam periuk tanah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu sambil memanggilnya.
“Sarioto…Sarioto….buka
Nak. Ibu sudah pulang,”dengan teriakan
lemah ibunya menyapanya dari luar rumahdengan beban kayu api di
kepalanya.
Dia kenal betul
suara itu suara ibunya.Mendengar suara ibunya, Sarioto terkejut dan ketakutan.
Sarioto tidak tau
berbuat apa-apa.Dia mencoba mengeluarkan kepalanya, tetapi tidak bisa.Dia hanya
mampu memasukkan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kepalanya.Dia menyerah.Hanya
berdiam diri di tepi tungku di bawah para-para rumahnya.
“Sarioto…Sarioto…..buka
pintunya Nak!. Ibu sudah capek,”kembali ibunya yang sudah lelah seharian
bekerja di ladang memanggil Sarioto.
Sarioto kemudian
membalas dari dalam dengan suara yang agak aneh.“Uuuuuuuum,”suara Sarioto dari
dalam periuk tanah.
Ibunya memanggil
Sarioto beberapa kali, tetapi balasan suara yang aneh itu membuat dirinya
merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.
Dia menurunkan beban
kayu api dikepalanya, cangkul yang berada di pundaknya serta sayur mayur hasil
petikannya dari ladang dan berada dalam gendongannya.
Tanpa pikir panjang
ibunya mendobrak pintu.Alangkah terkejut ibu Sarioto melihat kepala anaknya
dibungkus periuk tanah itu.
Lantas rasa geram
dan marah yang memuncak menghinggapi perasaannya mengingat ikan yang disimpannya
dengan rapi untuk persiapan seminggu itu,
ludes dimakan anaknya.
Ibunya kemudian lari
ke samping tunggu. Melihat sendok nasi yang terbuat dari bambu dan memungutnya.Dia
memegang ujungnya yang runcing dan memukul kepala anaknya dengan pangkal sendok
yang tumpul itu.
Setelah memukul
kepala anaknya yang terbungkus periuk tanah itu, ibunya Sarioto kaget bukan main!. Kepala anaknya berubah jadi
kepala kera.
Tapi bukan
menghentikan aksinya, malah karena geramnya dia menusukkan ujung sendok yang
tajam ke pantat anaknya.Anehnya, ujung sendok itupun berubah berubah menjadi
ekor kera.
Sarioto yang telah
menjadi kera itu meloncat melalui jendela rumahnya yang sempit ke luar rumah.
Ibunya tersadar dan mengejar
Sarioto yang sudah jadi kera dan menyaksikannya memanjat dengan lincahnya
diantara cabang pohon beringin di samping rumahya.
Sarioto terus
memanjat hingga ke puncak pohon dan berpindah ke pohon yang lain, lantas
menghilang.
Menyaksikan apa yang
terjadi, ibu Sarioto menangis terisak-isak. Badannya terasa lemas, kelelahan karena seharian bekerja di ladang.
Lapar dan tak memiliki lauk untuk seminggu ke depan.
Dia sadarkan diri dan
kemudian menyesali perbuatannya.
Ibu Sarioto tinggal sebatang
kara. Dia ditinggal suami dan anak semata
wayangnya yang sudah menjadi kera.
Sejak itu, para anak
di desa itu mematuhi perintah orang tua dan orang tua dilarang memukul kepala
anaknya. (Habis)
(Artikel ini adalah
asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel
ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya
melalui email: girsangjannerson@gmail.com.
Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut).