Oleh Jannerson Girsang
Peraih Emas, Kini Penarik Becak dan Penjaga Kapal. “Habis manis sepah dibuang”. Itulah luapan perasaan yang muncul dalam benak kami saat mengetahui nasib dua orang peraih medali emas SEA Games di masa lalu melalui media cetak dan televise.
Suharto,mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979 menjadi tukang becak, dan Jumain, mantan peraih emas nomor perahu naga SEA Games 1986 menjadi penjaga kapal. Keduanya kini berdomisili masing-masing di Surabaya dan Semarang. Sungguh memprihatinkan perhatian negeri ini pada atlitnya yang berprestasi.
Hiruk pikuk menjelang SEA Games 2011 ini hendaknya tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Para atlet berprestasi tidak terlantar setelah mereka menyumbangkan prestasi terbaiknya bagi negeri ini. Jangan kecolongan lagi!
Suharto, Jumain: Dipuja, Dihargai, Lalu Dilupakan!
Di tengah gegap gempita, puja-puji dan semangat melaksanakan SEA Games 2011, mari sejenak menjenguk kehidupan dua atlet peraih SEA Games di masa lalu yang kini hidupnya terlantar, tak sebanding dengan prestasinya yang mereka sumbangkan bagi negeri ini.
Harian Republika (31 Agustus 2011) mengungkap kehidupan Suharto. Mantan pembalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Lalu bagaimana kehidupannya sekarang? Sangat miris membacanya. Republika mengungkap nasib atlet kebanggaan bangsa ini dengan judul: ”Duh...Peraih Emas Balap Sepeda Sea Games Itu, Kini Jadi Penarik Becak”.
Gemerlapnya peristiwa kejayaan Suharto tiga puluh tahun lalu, kini menerima nasib sebagai penarik beca untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya. "Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Tiga puluh tahun kehidupan mantan atlet berprestasi ini, cukup berpuas diri dengan mengayuh becak dan menciumi medali dan piagam penghargaan yang pernah diperolehnya dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional yang tersimpan rapi di rumah kontrakannya.
Nasib Jumain tidak berbeda dengan Suharto. Awal bulan ini SCTV menyiarkan kehidupan Jumain, peraih Medali emas SEA Games 15 di Nomor Perahu Naga tahun 1986 di Malaysia. Selain itu, dia juga meraih berbagai medali dalam berbagai kejuaraaan internasional di Hong Kong dan Cina. Kini Jumain, jadi penjaga kapal wisata di Pantai Tanjung Emas Semarang.
Suharto dan Jumain hanya contoh dari dua atlet yang di masa tuanya menderita. Tentu banyak lagi yang lain, sebut saja misalnya Elias Pical (tinju), Tati Sumirah (bulu tangkis), Budi Setiawan (Taekwondo), Gurnam Singh (lari), Surya Lesmana (sepakbola). Tentu ruang ini tidak cukup untuk menyebut mereka satu persatu.
Gurnam Singh: Atlet Lari Sumut
Bagi penduduk Sumatera Utara, kita pernah memiliki Gurnam Singh. Sebuah mediaonline mengisahkan bahwa “Gurnam Singh adalah seorang peraih tiga medali emas pada cabang olahraga lari di perhelatan Asian Sea Games pada tahun 1962. Atas prestasinya tersebut pelari tercepat se-Asia ini diundang sebagai tamu kehormatan Presiden Soekarno dan diganjar hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Tetapi kesuksesannya tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1972 rumahnya digusur oleh pemerintah daerah karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal tersebut menambah kepedihan dalam hidupnya setelah sebelumnya istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Setelah itu hidupnya semakin tidak menentu. Ia tinggal berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lainnya, bahkan pada tahun 2003 Ia sempat menumpang tinggal di sebuah Kuil di Polonia, Medan. Medali-medali yang pernah didapatnya dari berbagai kejuaraan internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia telah dijualnya untuk menyambung hidup. Dengan menggunakan satu-satunya sepeda tua yang Ia miliki sebagai kendaraan, pria berusia 80 tahun ini kini hidup dengan mengandalkan belas kasihan dan bantuan dari kerabat maupun orang-orang yang mengenalnya”. (http://www.uniknya.com/2011/11/5-olahragawan-yang-terlupakan/). .
Tentu tidak tertutup kemungkinan para atlit-atlit yang lain yang memerlukan perhatian dan tidak dapat kami sebut satu persatu.
Kabar Menggembirakan
Pengalaman adalah guru sejati. Kita berharap pengalaman ini menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Belajar dari kesalahan masa lalu, sebuah sikap yang diperlukan pemerintah kalau ingin memajukan olah raga di negeri ini.
Kisah Jumain dan Suharto di atas menunjukkan betapa negeri ini alpa menghargai para atlitnya yang berprestasi. "Seorang atlet hanya dikenang ketika meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Setelah masa kejayaannya berlalu, nasib sang pahlawan negara tersebut tak mendapat perhatian lagi, bahkan disia-siakan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi para olahragawan meskipun seharusnya pantas mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya tersebut" (Kompas.com, 1 Juni 2011).
Tentunya, merubah sikap tidak semudah membalik telapak tangan. Kita butuh proses! Dalam pengamatan Tommy Firman, peraih dua medali emas di cabang karate SEA Games XIX Jakarta 1997 penghargaan negeri ini kepada para atlit memang memerlukan perbaikan, setidaknya meniru negara lain. .
Dia membandingkannya dengan negeri jiran kita. “Sebut saja pemerintah Malaysia, Thailand, dan China. Mereka sangat perhatian terhadap atlet yang berhasil menyumbang medali emas bagi negaranya. Kelangsungan hidup serta anak istrinya ditanggung pemerintah,”ujarnya, seperti dikutip Harian Sinar Harapan (09 September 2011). . .
Walau belum berharap banyak, tetapi langkah-langkah dari berbagai pihak untuk memerhatikan kesejahteraan atlet perlu disambut baik. Dari berbagai berita di media, kegiatan Yayasan Olah Raga Indonesia (YOI) beberapa tahun terakhir tampak telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan apresiasi bagi para atlet berprestasi di negeri ini. YOI berencana memberi asuransi kepada mantan-mantan atlet Tanah Air yang pernah berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional, seperti diungkapkan Dewan Pengawas YOI, Rudy Hartono, di Jakarta, pertengahan tahun ini..
Awal September 2011 lalu, Tommy Firman, mantan karateka nasional yang kini bisa hidup mapan sebagai pengusaha, bersama YOI menunjukkan kepedulian dengan memberikan santunan kepada Wempi Wungau dari cabang binaraga dan Hasan Lobubun mantan petinju nasional.
Setiap daerah harus ikut memperjuangkan atlet-atlet daerahnya yang berkiprah di SEA Games agar ada jaminan kehidupan mereka di masa depan. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang membuka peluang lebar bagi atlet berprestasi yang ingin menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tahun 2011 ini, Pemkot akan mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyetujui itu.(Harian Suryaonline, 15 April 2011).
Hal-hal yang baik, tindakan yang ditujukan memperbaiki kesejahteraan atlet-atlet kita, tentu tidak hanya yang kami sebutkan di atas. Banyak perusahaan, individu atau organisasi lain yang melakukannya.
Semoga artikel kecil ini menggugah pemerintah dan masyarakat agar SEA GAMES 2011 ini tidak mengulangi sikap yang tidak peduli atas atlet terbaiknya. Sudah barang tentu kita juga menghimbau agar para atlet yang terlantar dijenguk dan diberi bantuan secukupnya