Minat orang tua di desa untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi menurun. Kualitas pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi dan manfaat yang diperoleh kurang signifikan bagi sebagian orang tua. Benarkah?
Simaklah buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” (Salwa Press, Yogyakarta, Maret 2002) yang ditulis Darmaningtyias seorang ahli pendidikan. Buku itu mengungkapkan kecenderungan umum di tengah masyarakat Gunung Kidul, terutama di pedesaan yang tidak lagi mempercayai sistem pendidikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai awal dekade 1990-an, semangat masyarakat untuk menyekolahkan anak hingga SMTA cukup tinggi. Banyak orang tua yang memegang prinsip, ”semua harta benda dijual tidak apa-apa, asal anak bisa bersekolah”.
Tapi prinsip serupa sudah mulai pudar, bahkan banyak ditinggalkan Sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada kesaktian pendidikan formal, sehingga banyak yang memilih tidak melanjutkan sekolah setamat dari SD. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat desa terhadap pendidikan itu terjadi sebagai akibat dari buruknya produk pendidikan nasional.
Buku itu dengan vulgar mengatakan: ”Kehidupan orang-orang yang bersekolah hingga pendidikan tinggi ternyata tidak lebih baik , setidaknya terjadi ketimpangan antara output yang dikeluarkan dengan input yang diterima. Sebaliknya orang yang berpendidikan itu justru menjadi malas bertani, malas kerja kasar, sementara harta bendanya sudah banyak yang terjual untuk bersekolah”.
Semangat Menyekolahkan Anak
Membaca buku itu, saya kemudian mengenang masa-masa saya ketika sekolah SD-SMA di era 1973-1980. Kala itu, dari pengamatan saya orang kampung memandang tinggi nilai pendidikan. Kalau saya kembali ke desa, orang masih dengan semangat mengatakan: ”Kalau kawan ini pasti hebatlah nanti, soalnya dia sekolah,” kata salah seorang orang tua, ketika pulang libur sekolah di kota.
Pengalaman orang tua saya yang hanya seorang guru SD, pernah menanggung tiga orang anak di perguruan tinggi. Mereka yakin benar bahwa segalanya dikorbankan demi sekolah anak-anaknya. ”Kalau sudah tamat nanti, mereka akan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari kami,”ujar ayah saya suatu ketika kepada tempat peminjaman uangnya.
Penghasilan kecil tidak melemahkan semangat mereka menyekolahkan anak. Orang tua saya acapkali meminjam uang di kala memenuhi permintaan tiba-tiba dan kadang tidak direncanakan, atau kalau hasil panen mereka meleset. Konon, bagi orang tua saya lebih mudah meminjam untuk biaya pendidikan anak lebih mudah dari pada dia meminjam untuk usaha.
Selain itu mudah ditemukan kerja sama keluarga yang tinggal di kampung dan keluarga yang tinggal di kota. Saya menyaksikan sendiri, beberapa anggota keluarga yang saya kenal dibantu secara bergotong royong di kalangan keluarga besar untuk membantu anak keluarga yang tidak mampu. Baik berupa sumbangan langsung, maupun tumpangan tanpa bayar makan tinggal di rumahnya.
Melongok ke masa lalu tokoh-tokoh yang dulunya dari desa kemudian memperoleh pendidikan yang lebih tinggi misalnya. Produk-produk pendidikan dari desa sangat signifikan melahirkan para pemimpin negeri ini.
Sebagai penulis biografi, saya mengamati para tokoh yang sukses (kebanyakan dari desa), hampir bisa dikatakan, pendidikan merupakan awal dari segala karier mereka di kemudian hari. Dari seorang anak petani, setelah menempuh pendidikan mereka memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dari orang tuanya di kampung.
Kisah Pendeta Armencius Munthe, Prof Dr Sutan Hutagalung, Kol JP Silitonga dan bebeberapa biografi tokoh-tokoh yang saya tulis (kebetulan kebanyakan orang Batak), lahir di desa di era 20-an dan 30-an, mendapat pendidikan Belanda di sekitar desanya, dan sekolah lanjutan di kota, bahkan pada era 50-an ada yang sekolah di luar negeri-seperti Jerman, Amerika Serikat atau ke luar Sumatera seperti JP Silitonga.
Pendeta Armencius Munthe, mantan Ephorus GKPS, anak seorang janda petani miskin yang di usia 13 tahun sudah ditinggal suaminya, dengan kemampuan yang terbatas mampu menyelesaikan sekolah Teologia, dan kemudian karena prestasinya mendapat beasiswa kuliah Master Theologia di Universitas Hamburg Jerman di era 1960an.
Bahkan yang lebih kontroversial lagi, Sutan Hutagalung—mantan Sekjen GKPI. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai pegawai penjara di Klaten, dirinya meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan perkuliahan di STT Jakarta. Lulus dari sana, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di Amerka Serikat.
Contoh-contoh di atas adalah yang saya tau persis karena menulis biografinya, tetapi tentu kolom ini tidak cukup menyebut ribuan contoh lainnya.
Ironi di Era Globalisasi.
Di abad ke duapuluh satu, dimana pendidikan seseorang penduduk desa diharapkan lebih baik (tingkat pendidikannya dari sebelumnya), justru banyak yang drop out. Kini, tidak sulit lagi bagi saya menemukan anak-anak SMP yang sudah drop out dan mengikuti ayahnya ke ladang.
Berbeda saat saya sekolah SMP di era 1970-an. Hampir tidak ada anak sekolah yang drop out. Paling tidak mereka tamat SMP dan sebagian besar melanjut ke SPG atau SMA, dan kemudian ke Perguruan Tinggi.
Selain itu tingginya biaya pendidikan cenderung melemahkan semangat para orang tua mengirim anak-anaknya ke sekolah atau perkuliahan. Ditambah lagi budaya sogok yang marak dimana-mana ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan yang diidamkan, yakni PNS, atau pegawai swasta. Karena hampir sebagian besar penduduk masih memimpikan anaknya bekerja, belm banyak orang tua yang menginginkan anaknya sebagai pengusaha.
Bagi kelompok seperti ini, mengirimkan anak ke sekolah tidak lagi dianggap sebagai sebuah cara untuk meningkatkan status. Pengetahuan ayahnya sebagai petani sudah cukup untuk mencari makan dan menyesuaikan statusnya dengan anak-anak di desanya.
”Masuk sekolah harus membayar uang pembangunan, uang sogok. Padahal nanti sarjanapun menganggurnya. Mencari pekerjaan harus menyogok, lebih baik langsung bekerja di ladang. Menanam kentang, dapat hasil”ujar seorang penduduk yang anaknya drop out SMP, ketika saya berkunjung ke suatu desa. .
Dampak Negatif
Buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” mengungkapkan minat yang semakin menurun meningkatkan pendidikan menyebabkan tingginya perkawinan dini. Mereka yang drop out dari SD, SMP atau SMA akan kawin lebih cepat. Tentu ini tidak hanya menjadi tantangan bagi keluarga berencana, tetapi sekaligus menyebabkan tingginya perceraian.
Mereka yang drop out mudah terkena pengaruh lingkungan yang masuk ke desa berupa perkembangan teknologi informasi (TV, DVD, Internet) telah menyeret mereka ke pergaulan bebas dan hubungan di luar nikah, remaja terlibat narkoba, mengunjungi situs-situs porno di internet, bahkan bermain judi melalui teknologi canggih itu. Dampak yang lebih parah lagi mereka menjadi manusia pemimpi, menjadi pemakai narkoba, pengunjung diskotik, bahkan sebagian menjadi PSK.
Coba sekali-sekali berjalan di malam hari, atau singgah berbagai diskotik atau tempat-tempat terlarang bagi para remaja di kota-kota besar di provinsi ini. Medan, Pematangsiantar, Sibolga, dll. Gadis-gadis berusia belasan tahun menjadi pemuas nafsu para om-om yang kelebihan duit.
Anakhon Hi do Hamoraon Di Ahu
Sebelum zaman semaju sekarang ini, semangat menyekolahkan anak di kalangan masyarakat di Sumatera Utara terangkum dalam lagu : Anakkon Hi do Hamoraon di Ahu, karya komponis besar Nahum Situmorang.
Sebagian penggalan syairnya berbunyi sebagai berikut: ”Hugogo pe mansari, arian nang bodari, lao pasingkolahon gelleng hi. Ndang so tarihuthon, au pe angka dongan, ndada pola marsak au di si. Alai anakhon hi da, ndang jadi hatinggalan sian dongan magodang na i”.
Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: ”Saya bekerja keras mencari uang, siang dan malam, untuk membiayai sekolah anakku. Meski tidak bisa mengikuti orang lain, saya tidak sedih. Asalkan anakku tidak ketinggalan dari teman-temannya”.
Syair lagu berirama pop dan sekali-sekali dibuat cha-cha ini, menggambarkan pandangan penulisnya tentang semangat masyarakat desa ketika itu dimana pendidikan adalah cara meningkatkan harkat dan martabat mereka. Pendidikan adalah pra-syarat agar mampu mengikuti perkembangan zaman, tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain, dan tidak terlindas oleh kemajuan. Karena itu, seluruh jiwa, raga dan harta dikorbankan demi biaya pendidikan anak-anak.
Hanya satu harapan: pengorbanan itu akan lunas, bila anak-anaknya bisa berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan keyakinan dengan modal pendidikan anak itu bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka mengejar achieved statusnya—status sosial yang diperoleh melalui kerja keras, usaha dan keyakinan dengan menyelesaikan pendidikan yang baik.
Masih dalam pengamatan yang memerlukan pembuktian, dari perubahan yang ada, minat menyekolahkan anak termasuk di daerah kita sudah menurun, demikian juga semangat anak didik menggunakan sekolah sebagai batu loncatan tidaklagi seperti semangatnya Prof Dr Sutan Hutagalung, Dr Armencius Munthe maupun JP Silitonga. Bagaimana mengembalikan semangat orang tua menyekolahkan anak-anaknya seperti sediakala menjadi tantangan bagi kita semua. Mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas produk pendidikan kita menjadi tantangan besar di era globaliasi ini.