"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Rabu, 16 Oktober 2013
Sabtu, 12 Oktober 2013
Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (4)
Sambungan dari Bagian 3
“Tadi malam juga
saya susah tidur,”katanya berbohong.
Ibunya percaya saja
kepada kisah bohong anaknya.Dia masih yakin anaknya tidak akan melanggar
aturannya. “Tidak boleh makan ikan lebih dari satu potong”.
Selesai memasak, ibunya menyiapkan makanan siang untuk Sarioto.
Nasi, sayur dan sepotong ikan mujahir.
Pagi itu, mereka
berdua tetap sarapan dengan ubi jalar yang direbus.Minumnya air putih yang
dimasak sendiri oleh ibunya.
Ibu Sarioto berangkat
menuju ladang tempatnya memburuh berjalan kaki selama setengah jam.
Ia bekerja seharian
untuk mempertahankan hidupnya dan anaknya semata wayang itu dan meninggalkan Sarioto
sendirian di rumah.
Melanggar
Aturan Ibu, Jadi Kera
Sepeninggal ibunya,
Sarioto berpikir keras cara melaksanakan niat jahatnya melanggar aturan ibunya
demi memenuhi nafsunya: makan sepuasnya ikan yang di dalam periuk tanah.
Dengan wajah lemas,
dia mengamati piring berisi nasi, sayur dan ikan sepotong.Dia teringat ketika
ayahnya masih hidup.
“Waktu ayahku hidup,
saya pernah memakan daging hingga berhari-hari, kini ibu hanya mampu
menyediakan sepotong ikan setiap kali makan,” keluhnya dalam hati.
Jam demi jam
berlalu. Angin berhembus menerpa pohon beringin di atas rumahnya membuat
hatinya bukannya tambah lembut melainkan makin gusar.Pikirannya hanya tertuju
pada nafsunya melahap ikan simpanan ibunya.
Dia mondar mandir di
rumah kecil itu, sesekali melihat tempat ikan dimana ibunya menyimpanya dengan
rapi.Para-para itu cukup jauh dari jangkauannya.
Tengah hari
menjelang waktu makan siang tiba, Sarioto baru mendapatkan ilham bagaimana caranya mengambil
periuk tanah yang berisi penuh ikan
mujahir itu.
Dia mencuri sebuah
tangga bambu milik tetangganya.Tidak terlalu panjang, sehingga bisa memasukkannya
dari pintu rumahnya dan tidak sampai menyentuh langit-langit yang kurang dari
empat meter itu.
Syarat lainnya, tidak
boleh ada orang lain yang tau. Sarioto menunggu hingga anak-anak tidak ada yang
bermain di pekarangannya.
Saat anak-anak yang
lain diam di rumahya makan siang, perlahan-lahan Sarioto menyeret tangga dan
memasukkannya ke rumah. Dia berhasil meletakkan tangga ke salah satu kayu penahan
para-para.Tangga sudah siap!
Kemudian Sarioto
menaiki tangga hingga mencapai para-para dan mengambil periuk itu dengan susah
payah. Maklum masih anak kecil.
Hampir saja dia
terjatuh.Karena kakinya tiba-tiba menginjak penahan yang tangga sudah lapuk.
Setelah semua aman
dia mengembalikan tangga tetangganya dengan cara mengendap endap.Setelah
berhasil mengembalikan tangga, dia kembali ke rumah dengan senyum-senyum seperti
orang gila.Tanggannya gemetar, jantungnya berdegup cepat.Sarioto bersiap-siap
melanggar aturan ibunya.
Satu gangguan lagi,
seekor kucing tiba-tiba masuk dan ingin mencicipi ikan itu, sesaat setelah
Sarioto meletakkannya di lantai. Dia buru-buru mengusirnya dan menutup pintu
rapat-rapat.
Kembali Sarioto ke
tempat makanan siang yang disediakan ibunya. Dia mulai melahapnya. Sepotong
ikan mujahir tidak cukup untuk menghabiskan nasi dan sayur dan membuka periuk
tanah yang berisi ikan mujahir yang bagi Sarioto sangat lezat rasanya.
Saqrioto mengambil
satu potong. Ternyata tidak cukup. Potongan yang kedua dilahap, nafsunya makin
bertambah. Tiga sampai empat potong, ternyata membuat dirinya makin merasa
ketagihan meski ada rasa takut dimarahi ibunya.
Hingga sore hari,
Sarioto sendirian di rumah dan terus melahap ikan-ikan di dalam periuk itu,
hingga kosong.
Bahkan sisa berupa
kuahpun masih ingin dicicipinya. Hingga kepalanya dimasukkannya ke lobang
periuk untuk menjilatinya hingga tidak bersisa lagi.
Saat kepalanya masih
dalam periuk tanah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu sambil memanggilnya.
“Sarioto…Sarioto….buka
Nak. Ibu sudah pulang,”dengan teriakan
lemah ibunya menyapanya dari luar rumahdengan beban kayu api di
kepalanya.
Dia kenal betul
suara itu suara ibunya.Mendengar suara ibunya, Sarioto terkejut dan ketakutan.
Sarioto tidak tau
berbuat apa-apa.Dia mencoba mengeluarkan kepalanya, tetapi tidak bisa.Dia hanya
mampu memasukkan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kepalanya.Dia menyerah.Hanya
berdiam diri di tepi tungku di bawah para-para rumahnya.
“Sarioto…Sarioto…..buka
pintunya Nak!. Ibu sudah capek,”kembali ibunya yang sudah lelah seharian
bekerja di ladang memanggil Sarioto.
Sarioto kemudian
membalas dari dalam dengan suara yang agak aneh.“Uuuuuuuum,”suara Sarioto dari
dalam periuk tanah.
Ibunya memanggil
Sarioto beberapa kali, tetapi balasan suara yang aneh itu membuat dirinya
merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.
Dia menurunkan beban
kayu api dikepalanya, cangkul yang berada di pundaknya serta sayur mayur hasil
petikannya dari ladang dan berada dalam gendongannya.
Tanpa pikir panjang
ibunya mendobrak pintu.Alangkah terkejut ibu Sarioto melihat kepala anaknya
dibungkus periuk tanah itu.
Lantas rasa geram
dan marah yang memuncak menghinggapi perasaannya mengingat ikan yang disimpannya
dengan rapi untuk persiapan seminggu itu,
ludes dimakan anaknya.
Ibunya kemudian lari
ke samping tunggu. Melihat sendok nasi yang terbuat dari bambu dan memungutnya.Dia
memegang ujungnya yang runcing dan memukul kepala anaknya dengan pangkal sendok
yang tumpul itu.
Setelah memukul
kepala anaknya yang terbungkus periuk tanah itu, ibunya Sarioto kaget bukan main!. Kepala anaknya berubah jadi
kepala kera.
Tapi bukan
menghentikan aksinya, malah karena geramnya dia menusukkan ujung sendok yang
tajam ke pantat anaknya.Anehnya, ujung sendok itupun berubah berubah menjadi
ekor kera.
Sarioto yang telah
menjadi kera itu meloncat melalui jendela rumahnya yang sempit ke luar rumah.
Ibunya tersadar dan mengejar
Sarioto yang sudah jadi kera dan menyaksikannya memanjat dengan lincahnya
diantara cabang pohon beringin di samping rumahya.
Sarioto terus
memanjat hingga ke puncak pohon dan berpindah ke pohon yang lain, lantas
menghilang.
Menyaksikan apa yang
terjadi, ibu Sarioto menangis terisak-isak. Badannya terasa lemas, kelelahan karena seharian bekerja di ladang.
Lapar dan tak memiliki lauk untuk seminggu ke depan.
Dia sadarkan diri dan
kemudian menyesali perbuatannya.
Ibu Sarioto tinggal sebatang
kara. Dia ditinggal suami dan anak semata
wayangnya yang sudah menjadi kera.
Sejak itu, para anak
di desa itu mematuhi perintah orang tua dan orang tua dilarang memukul kepala
anaknya. (Habis)
(Artikel ini adalah
asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel
ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya
melalui email: girsangjannerson@gmail.com.
Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut).
Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (3)
Sambungan dari bagian 2
Oleh: Jannerson Girsang
Suatu hari,
pagi-pagi sekali, ibunya pergi ke tiga.Semasa
ayahnya hidup, ibunya membawa gula aren.
Kini, ibunya hanya membawa
hasil pungutan ubi atau sayur dari ladang tempatnya bekerja atau sedikit beras
untuk ditukar dengan ikan atau kebutuhan pokok lainnya.
Sepulang dari tiga,ibunya membawa beberapa ekor ikan
mujahir serta bumbu jeruk asam, cabe, kemiri, kunyit dan garam.Demikian juga
buah-buahan.Pisang Ambon adalah makanan kesukaan Sarioto.
Air liur Sarioto
meleleh membayangkan malam itu dia akan menikmati ikan mujahir yang enak luar
biasa.
Sebelum memasak, ibunya
memberinya beberapa buah pisang Ambon yang membuat pipinya seperti bengkak
karena kepenuhan.
Biasanya Sarito
tidak merasa cukup dari pemberian ibunya.Sambil mengunyah-ngunyah pisang yang
satu sudah mau habis, dia merengek minta lagi, sampai ibunya marah.
Jangan
Lebih Sepotong Ikan
Sore itu Sarioto dengan
setia mendampingi ibunya yang baru pulang dari tiga mempersiapkan lauk untuk memasak ikan mujahir.
Dia memperhatikan
ibunya memotong jeruk nipis.Sesekali dia disuruh ibunya mengambil air ke
pancuran yang tidak jauh dari rumahnya.Pulangnya, ikannya belum masak.
Sarioto tidak sabar
menunggu.Sekali-sekali dia meninggalkan ibunya dan bermain dengan
teman-temannya di halaman rumahnya.
Capek bermain, dia
kembali lagi ke rumah karena diciumnya bau masakan yang mengundang air liurnya.
Sore itu dia memang
sudah lapar, karena sejak siang tidak makan.Ditambah lagi, sejak sehari sebelum
tiga, mereka hanya memakan nasi dan
sayur rebus, tanpa ikan. Pasalnya,
ibunya hanya berbelanja sekali seminggu.Lauk ikan selama seminggu dimasak hanya
satu kali di dalam periuk tanah.Itulah lauk mereka hingga tiga berikutnya
Setelah lelah
bermain di luar, Sarioto kembali masuk ke rumah.
“Sudah masak ikannya
Bu?,”ujarnya, sambil menyeka keringatnya.
“Sebentar lagi Nak,
main dulu dengan teman-temanmu, nanti Ibu panggil kalau sudah masak,” bujuk
ibunya dengan sabar anak semata wayangnya itu. Ibunya merasa kasihan melihat
anaknya yang sudah kelaparan, namun apa boleh
buat, bahan bakar kayu api tidak bisa memasak dengan cepat.
Setelah bermain
beberapa lama, Sarioto dipanggil ibunya.
“Sarioto….Sarioto…..!.
Mari Nak ikannya sudah masak.Mari makan……,” terdengar suara ibunya memanggil dari
dalam rumah.
“Jalotup, aku
permisi dulu ya.Kami mau makan,”pintanya kepada teman-temannya dan pamit
meninggalkan mereka sedang margala.
(main petak umpat yang diberi garis segi empat sebanyak empat petak)
Mendengar panggilan
ibunya, Sarioto langsung memikirkan lezatnya makanan dan tanpa pikir panjang
langsung meninggalkan teman-temannya. Permainanpun bubar.
“Uuuu…h,”gerutu
teman-temannya yang ingin terus bermain dengan Sarito.Merekapun bubar karena
satu anggotanya sudah pergi.
Sarioto berlari
cepat menuju rumahnya, tanpa menghiraukan ocehan teman-temannya. Hampir saja
dia menabrak pintu karena cepatnya berlari. Dari depan pintu dia sudah mencium
bau sambal dari dapur rumahnya. Dibukanya pintu rumah yang sudah hampir rubuh
itu, lalu masuk dan disambut ibunya dengan hangat.
”Mari Nak, ibu sudah
siapkan makan malam,”ujar ibunya, sambil menuangkan kuah ikan mujahir ke
piringnya.
Meski dibawah sinar
lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, mata Sarioto begitu tajam memilih
daging ikan, tanpa kena durinya. Pertunya yang sudah lapar segera dipenuhi oleh
makanan lezat di depannya.
Sayangnya, seenak
apapun ikan yang dimasak ibunya, Sarioto hanya boleh memakan sepotong saja.
Aturan keras dari ibunya, karena ibunya hanya mampu menyediakan sepotong ikan
bagi anak dan dirinya setiap kali makan.
Tetapi malam itu,
Sarioto tidak mau turut aturan.“Bu, aku tidak cukup satu potong ikan
malamini.Dua potong ya Bu,”ujarnya.
Dengan berat hati,
ibunya meluluskan permohonan anaknya.
“Ya, boleh.TapI
hanya malam ini.Besok harus sepotong sekali makan,”perintah ibunya.
Malam itu, Sarioto
makan dengan lahapnya. Tiga piring nasi
dan dua potong ikan mujahir yang cukup besar.Mulutnya penuh dan sebelah pipinya
terlihat bengkak.
Tapi, setelah
selesai makan dan dua potong ikan sudah habis, Sarioto masih meminta tambah.
Kali ini Sarioto
harus mengigit jari.Ibunya melarangnya sambil marah.Dia tidak diizinkan lagi
memakan ikan tambahan.
“Ini ikan kita
seminggu Nak. Kalau dimakan lebih dari satu potong, ikan kita tidak cukup,”ujar
ibunya geram, karena dengan memberinya dua potong malam itu, berarti malam
sebelum tiga berikutnya dia akan makan tanpa ikan lagi.
Ibunya kemudian
menyimpan semua ikan yang dimasaknya dalam periuk tanah dan menyimpannya di
atas para-para.
Tamak:
Awal Menipu
Malam itu Sarioto tidur
gelisah. Dia memikirkan enaknya ikan
mujahir yang disimpan ibunya di dalam
periuk tanah. Sementara ibunya hanya mengizinkannya satu potong setiap
kali makan.Matanya tidak bisa terpejam walau tengah malam sudah menjelang.
“Ah…bagaimana
caranya agar saya bisa makan ikan-ikan itu?,” pikirnya, sambil melirik ibunya
yang sudah mulai lelap disertai dengkuran yang memecah kesunyian di rumah itu.
Keinginan Sarioto
untuk melahap ikan yang tersisa untuk persiapan seminggu itu diurungkannya
untuk sementara.Diapun tertidur di atas tikar beralas tanah di samping ibunya.
Pagi-pagi sekali
Sarioto sudah bangun. Tidak seperti biasanya, dia membangunkan ibunya waktunya
tiba untuk memasak makanan mereka hari itu.
“Bu…Bu. Bangun Bu…masak!,”katanya
sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya.
Ibunya terbangun dan
heran biasanya dia yang membangunkan anaknya, justru sebaliknya. Tetapi dia
senang karena anaknya memberi perhatian padanya.
“Kamu makin besar
anakku, makin pintar,”ujarnya sambil mencubit pipi Sarioto. Sarioto tersipu dan
menunduk malu. Dia sebenarnya berpura-pura baik. Padahal dalam hatinya
tersimpan sebuah rencana jahat.
Ibunya tidak
mengetahui niat jahat anaknya.Saat itu Sarioto sedang mencari alasan tidak ikut
ibunya ke ladang.Sarioto sudah mengatur alasannya semalaman.
“Bu, saya hari ini
tidak ikut ke ladang ya.Badan saya tidak enak, karena kena hujan semalam,”katanya.
Sarioto juga menceritakan
mengapa dia tidak bisa tidur malam sebelumnya.
Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (2)
(Sambungan dari bagian 1)
Oleh: Ir Jannerson Girsang
Setelah kegiatan
memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.
Hari sudah mulai
gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak
begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.
Baru melangkah ke
bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir, hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak
lobang. Lalu tangannya terlepas karena
beban air nira yang cukup berat.
Malam senyap dan
suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun
bebas ke tanah.
“Ras………..,” bunyi
tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan
detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.
Di rumah gubuknya, Sarioto
dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan
setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.
Malam itu memang berbeda
dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum
tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.
Ibunya curiga sudah terjadi
sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat
penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar
rumah menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).
Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya
belum pulang dari “pargulaan” (tempat
memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu
memukul mong-mong dan berkeliling
desa.
“Mong….mong….mong,”bunyi
pukulan mong-mong--sejenis alat
gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki
berkumpul di depan kedai.
Seluruh penduduk
kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua
pemuda kampung dan beberapa orang tua ditugaskan mencari ayah Sarioto.
Puluhan pemuda dan
orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.
Setibanya di tempat
itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki
bertubuh kekar itu.
Satu regu menemukan
ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh
tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.
“Tubuh
manusia!,”teriaknya kaget.
“Apa….?,” kata yang
lain terkejut.
Setelah seseorang
mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah
Sarioto.
Tubuhnya tergeletak
di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat
dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.
Beberapa laki-laki
mengusungnya ke pargulaon dan di sana
mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.
Seluruh penduduk
kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di
sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah
Sarioto.
Tinggallah Sarioto
yang masih kecil bersama ibunya.
Merindukan
Makanan Enak
Setelah ayahnya
meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak
pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.
Penghasilan
ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.
Sarioto tumbuh
menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya,
ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika
ayahnya masih hidup.
Semasa hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil
buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya sering
berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan
lain-lain.
Ayahnya juga memasangsiding
(perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada
sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini,
burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar ladang di desa tempat tinggal Sarioto
Sarioto sangat
senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa
menikmati daging sepuasnya.
Sebagian daging
tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet selama beberapa hari. Daging seperti ini
disebut sale-sale dan rasanya sangat
nikmat.
Sehingga
berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di
luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.
Kini menjelang
usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya
bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa
membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat
sedikit imbalan.
Dia sering disuruh ibunya
membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak
seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.
Ibunya hanya bekerja
sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk
Sarioto.
Sarapan ubi jalar,
makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu
yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa
daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.
Sarioto sangat
merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan
aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.
Sarioto tinggal di
sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.
Jarak itu ditempuh
dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa
penduduk pergi ke tiga yang berjalan
kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali
melintasi hutan.
Penduduk desa yang
status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.
Sarioto hanya
diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia
diperbolehkan ikut ke tiga ketika menjelang robu-robu
(atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari
tigadia dibelikan ibunya sarung atau
baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)
(Artikel ini adalah
asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel
ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya
melalui email: girsangjannerson@gmail.com.
Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut).
Langganan:
Postingan (Atom)