My 500 Words

Kamis, 03 November 2011

Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)



Oleh: Jannerson Girsang

“Saya menulis supaya menjadi terkenal dan kaya,” itu sebuah jawaban seorang penulis muda, dalam sebuah acara, ketika ditanya mengapa dia mau menjadi penulis.

“Ooooooo….”, demikian suara di dalam ruangan besar dalam sebuah pelatihan penulisan di Medan, seolah mencibirnya. Tidak ada yang salah dalam hal ini.  Kebanyakan di dalam ruangan itu menganggap bahwa penulis tidak boleh kaya dan harus menjadi orang yang menderita. Sementara menurut anakmuda itu, menulis bisa menjadi orang kaya.

Saya tidak ingin mengarahkan Anda membahas situasi di atas, tetapi ingin mengungkapkan bahwa seorang penulis tidak pernah menghitung perolehannya saat menulis. Karena kalau demikian, dia tidak akan pernah menulis. Mereka termotivasi oleh kepedulian atas sekeliling dan ingin memberi kontribusi dalam pengembangan peradaban umat manusia.

Penulis fokus pada memikirkan ide yang ditulisnya sehingga mampu mempengaruhi pola pikir pembacanya ke arah yang lebih baik, sesuai pemikirannya, bahkan rela menggunakan waktu yang tidak sedikit mulai dari menyusun ide, menulis draft, memeriksanya, membuat draft final. Kadang tidak sesuai dengan “materi”—kekayaan yang diimpikan itu.

Kepedulian, Tidak Cukup Kemampuan

Semakin besar kepedulian penulis atas sekelilingnya, maka semakin besar pula niatnya  untuk memperbaiki lingkungannya ke arah yang lebih baik, dan mendorongnya menulis.

Tidak cukup hanya luasnya pengetahuan dan kemampuan menulis!. Tidak sedikit penulis dengan kemampuan biasa-biasa saja, tetapi mampu menulis banyak buku. Sebaliknya, banyak orang yang keahliannya luar biasa tetapi tidak menulis satu bukupun.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa motivasi menulis muncul dari kesadaran dan kemauan untuk berkontribusi bagi negara dan dunia. Karya tulis, baik berupa artikel, puisi, buku merupakan kontribusi besar bagi bangsa dan dunia ini dalam pengembangan peradaban manusia.

”Menulislah sekarang juga. Menulislah apa saja yang bisa Anda tulis. Menulislah tanpa banyak memikirkan dampak yang akan diperoleh dari kegiatan ini. Menulis dan sebarkan sebanyak mungkin kepada orang. Menulis bisa lewat internet, melalui media massa atau buku”. (Cara mudah menulis buku, Dodi Mawardi).

Meski Tangan Diikat, Tetap Menulis

“Meskipun Anda mengikat tangan saya, saya tetap menulis,” ujar JK Rowling. Bagi JK Rowling, menulis merupakan panggilan jiwa, kewajiban. Kalau tidak dilakukan merasa bersalah.

Bagi Mark Twain, menulis adalah mewariskan sesuatu bagi generasi berikutnya. Seratus tahun lamanya Otobiografinya tidak dipublikasikan, meski yang bersangkutan sudah selesai menulisnya  sebelum dirinya meninggal pada 1910. Otobiografinya baru diterbitkan Nopember 2010.

Dia menulis bukan untuk sesuatu yang bisa dinikmatinya semasa hidup. Menulis bukan hanya mengejar materi dan popularitas.

Umumnya penulis sukses terikat sebuah tanggungjawab, jawaban atas pertanyaaan:  kontribusi apa yang harus diberikannya sehingga, lingkungannya semakin mampu memahami keadaan sekelilingnya, mengatasi kesulitannya dan hidup manusia semakin mudah.

Penulis sukses bukan orang yang diberi fasilitas, walaupun itu kadang perlu. Mereka besar dari kekurangannya. Baru-baru ini seorang teman saya kesal, karena tidak ada orang yang mau mensponsori penerbitan bukunya.

Andrea Hirata (penulis novel), pernah ditolak penerbit. Mereka hanya melihat dari sisi bisnis. Karena Andrea bukan penulis terkenal, tentunya dari sisi bisnis tulisan itu kurang menguntungkan. Dengan keyakinannya, Andrea Hirata bahkan membiayai sendiri penerbitan karyanya, dan memasarkannya. Belum ada penulis besar karena menggantungkan diri pada fasilitas orang lain. Mereka bertumpu pada kemampuannya.

Ujung-ujungnya Populer dan Kaya


Para penulis adalah orang yang terpuaskan dengan karyanya dibaca dan dipelajari orang lain sebagai bentuk motivasi, informasi dan pengetahuan baru. Penghargaan-penghargaan seperti honor dan penjualan karya tulis, muncul belakangan. “Pembaca” dan kecintaan mereka atas sebuah karya tulis dan membuat mereka berubah ke arah yang lebih baik, inilah bentuk penghargaan yang paling riel.

Penghargaan ini akan meningkatkan popularitas dan dengan sendirinya karyanya dibeli banyak orang. Dia menjadi kaya. Ini adalah dampak kerja keras dan usaha yang dilandasi motivasi tadi.

Selain itu, semakin orang menulis maka pengetahuannya akan semakin luas. Dia akan menguasai masalah dari berbagai bidang kehidupan yang menyentuh banyak manusia. Tak heran, kalau semakin luas materi sebuah artikel atau buku menyentuh kehidupan masyatakat, maka semakin banyak orang yang dapat terpengaruh.

Buku The Eight Habits (modifikasi dari The Seventh Habits) yang penjualannya melebihi 20 juta eksemplar di seluruh dunia, tidak pelak karena materi yang dibahas di dalam buku itu menyangkut kehidupan banyak orang di dunia ini. Hal itu tercipta dari motivasi penulisnya untuk memperbaiki kepemimpinan, bukan supaya dia terkenal atau kaya.

Steven Covey penulis the Eight Habits tidak pernah menghitung, kalau dia menulis buku akan mendapat sekian juta dollar. Kalaupun itu ditanyakan kepadanya pasti jawabnya: “I have never tought of that, I have just done my best in  writing”.

Jumat, 28 Oktober 2011

In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011 Halaman 38)

Oleh: Jannerson Girsang
 Foto Titie Said. Nomor Foto: 001
Sumber foto: kapanlagi.com

Indonesia berduka!. Bangsa ini kehilangan Titi Said, seorang wanita yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya bagi penulisan, serta dunia perfilman Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel, wartawan dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).

Titi Said, meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 76 tahun di rumah sakit Medistra Jakarta, 24 Oktober lalu, setelah dirawat sejak 9 Oktober karena menderita stroke. Samadikun, suaminya, meninggal hanya berselang 13 hari dari dirinya, tepatnya 11 Oktober 2011 lalu.

Di kalangan perfiliman Titi dikenal sangat keibuan dan sangat teliti dalam menyeleksi film. “Sewaktu masih di LSF, kalau ada hal yang menurut beliau kurang jelas, beliau pasti memanggil sutradara atau produser filmnya," kenang aktor utama film Gie, seperti dikutip kantor berita Antara.

Menulis 25 Novel, Cerpen dan Essei

Bakat menulisnya sudah muncul saat duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen. Bahkan sejak kecil dia dijuluki pelamun kecil. Dia menyelesaikan SMA di Malang, Jawa Timur dan melanjutkan kuliahnya dan lulus Sarjana Muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1959. .

Wanita kelahiran Desa Kauman, Bojonegoro, 11 Juli 1937 ini sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil lantaran ayah ibunya, Mohammad Said dan Suwanti Hastuti, bercerai.

Usai kuliah di Universitas Indonesia, kemudian menjadi wartawan di Majalah Wanita. Selain itu, dia juga aktif menulis di Majalah Kartini dan Famili. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, prestasi Titi Said pantas diacungi jempol. Sepanjang hidupnya, Titi telah menulis 25 buah novel, cerita pendek dan essai di berbagai majalah dan surat kabar.

Diantara novel yang ditulisnya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen) (1962), serta Jangan Ambil Nyawaku, Reinkarnasi, Ke Ujung Dunia, Perasaan Perempuan, Tembang Pengantin, Fatima, Lembah Duka, Selamat Tinggal Jeanette, Dr Dewayani, Putri Bulan, .Bidadari. Dia juga menulis otobiografi Lenny Marlina, seorang bintang film terkenal di Indonesia pada era 70-an.

Novelnya  Jangan Ambil Nyawaku adalah best seller pada zamannya. Novel yang bercerita tentang seorang yang terserang penyakit kanker itu dikerjakannya setelah melakukan wawancara dengan puluhan dokter.

Sebagian novel-novelnya kemudian dijadikan film. Tahun 1977, Titi menerbitkan bukunya Jangan Ambil Nyawaku dan disusul tahun 1979 dengan Lembah Duka. Bersama tiga penulis wanita lainnya, Titie Said menghimpun cerita pendeknya dalam buku Empat Wajah Wanita (1979).

Kegiatannya dalam perfilman sejak 1973 (novel pertamanya difilmkan), membawa dirinya aktif di LSF (dulu Badan Sensor Film) .  Kemudian, dia dipercaya menjadi LSF pada 2000 dan sampai akhir hidupnya ia masih aktif sebagai anggota LSF.

Dengan posisi sebagai ketua LSF, wajahnya senantiasa muncul ketika sebuah film yang telah beredar memicu kontroversi dalam masyarakat.

Meski kesibukannya menjadi Ketua LSF, Titi Said menulis novel, seperti Diana dan menulis buku Prahara Cinta.

Tak Memaksakan Anak Jadi Penulis

Titi menikah dengan seorang anggota kepolisian yang berpindah-pindah tugas. Tak lama setelah menikah, pada 1965 Titie ikut suami pindah ke Bali. Di sana dia aktif di masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD di provinsi yang pendapatannya berasal dari industri pariwisata itu. Pada 1973 Titie ke Jakarta dan tinggal bersama lima anaknya.

tidak memaksakan anak-anaknya menjadi penulis. Dari lima anaknya, masing-masing yang tertua berprofesi sebagai pebisnis (lulusan ITB), kedua lulusan ITB, sekarang di Bappenas, ketiga di perminyakan, sekarang di Kuwait, keempat di Amerika, bekerja di perminyakan, dan anak bungsunya bekerja di Bank Mandiri.

Hidup baginya adalah menjadi orang yang berguna, dibutuhkan oleh manusia. ”Kita ini seperti angin. Angin dan air bisa menjadi angin yang baik, air yang sangat berguna. Tapi, angin juga bisa menjadi badai dan air juga bisa menjadi banjir. Jadilah angin dan air yang baik, yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Angin dan air adalah kesenangan saya,”ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Republika (2005).

Selamat jalan Titi Said, semoga dedikasimu untuk sastra dan perfilman di Indonesia menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam mengembangkan dunia tulis menulis dan perfilman Indonesia.

(Diolah dari Berbagai Sumber)

83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang. 

 Sumber foto: harunarcom.blogspot.com

Sebagai pemakai dan peminat bahasa Indonesia, saya cukup berbangga dengan perkembangan yang dicapai bahasa nasional kita. Saya bisa menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bisa dimengerti orang asing dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari perdagangan, diplomasi dan bahasa ilmiah, jurnalistik dan lain-lain.
Dengan perkembangan teknologi terjemahan online seperti Terjemahan Google, bangsa lain sudah mampu mengartikan artikel saya dalam bahasa Indonesia. Suatu ketika seorang teman saya dari Chekoslovakia merasa senang sekali, ketika berhasil menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Cheko, dengan menggunakan Google. "Understandable" katanya.

Sebagai bangsa berdaulat, kita beruntung Sumpah Pemuda 1928 mengikrarkan bahwa bangsa Indonesia berbahasa satu: Bahasa Indonesia. Selain dua sumpah lainnya Berbangsa Satu dan Bertanah Air Satu. Bahasa Indonesia, kini telah menjadi bahasa Dunia.

Ketika bekerja di sebuah kantor Konsulat Asing di Medan, era 1990-an, saya terkejut kemampuan staf asing yang semuanya mampu berbahasa Indonesia, meski hanya untuk komunikasi sederhana. Bahkan setiap saat mereka membuka kamus dan belajar perbendaharaan kata dan tatabahasa. "What is the meaning of this in Bahasa?," katanya. Bahasa adalah sapaan akrab mereka terhadap Bahasa Indonesia. Bangga dong, orang asing belajar bahasa Indonesia!

Sayang sekali, pengalaman saya saat belajar sekolah atau perguruan tinggi minat belajar bahwa Indonesia tidak sebesar sebelum saya mulai aktif bekerja di konsulat asing itu dan kemudian harus menulis dalam bahasa Indonesia. Anda jangan seperti saya, belajarlah bahasa Indonesia secara intensif sejak dini.

Menulis, Memacu Minat Belajar Bahasa Indonesia

Mungkin, banyak orang seperti saya, bergaul dengan orang asing dan menulis menjadi salah satu faktor pendorong saya belajar bahasa Indonesia kembali. Tetapi, menulis menjadi faktor terbesar mendorong saya belajar Bahasa Indonesia. Mungkin yang lain punya pengalaman lain—bisa menjadi bahan bagi para ahli bahasa mengajarkan dan menanamkan rasa cinta bangsa ini lepada bahasa nasionalnya.

Belajar Bahasa Indonesia, lucu?. Tidak kawan!. Meskipun sudah belajar bahasa Indonesia sejak Sekolah Dasar, saya tidak luput dari kesalahan tata bahasa dan ejaan ketika menulis.

Saya masih sering diejek ahli bahasa Indonesia, karena belum menggunakan ejaan dan tata bahasa yang baik. Kritikan itu wajar saja, karena saya bukan ahli bahasa. Memang seorang penulis—juga rekan saya sesama bangsa dengan profesi berbeda tidak bisa luput dari kesalahan dua hal penting di atas.

Farid Gaban, seorang mantan wartawan Tempo, misalnya mengatakan sewaktu menulis seseorang harus memperhatikan tata bahasa dan ejaan, menaati bahasa Indonesia yang baku dan benar. "Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip". Kesalahan menggunakan tanda baca, bisa merubah ide yang terkandung dalam pesan dimaknai secara tidak benar atau tidak bias.

MediaOnline dan Pelajaran Bahasa Indonesia

Tidak ada usaha memperbaikinya selain terus belajar menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dimana, dan siapa mengajar anda? Tak perlu takut, mediaonline memberi peluang besar dan praktis bagi kita belajar bahasa Indonesia.

Saat menulis di komputer yang tersambung dengan Internet, saya lebih sering menggunakan referensi bahasa Indonesia secara online dan mengusahakan sedapat mungkin dari referensi yang sudah standar.

Untuk mencari kata-kata sulit atau persamaan kata, saya menggunakan http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/, situs yang berisi Kamus Besar Bahasa Indonesia online, yang dikenal dengan sebutan KBBI terbit pertama 28 Oktober 1988 saat Pembukaan Kongres V Bahasa Indonesia. Ini merupakan rujukan yang dipercaya baik di kalangan pengguna di dalam maupun di luar negeri. Setiap ada permasalahan tentang kata, KBBI selalu dianggap sebagai jalan keluar penyelesaiannya.

Andaikata saya ingin menulis bahasa yang benar, saya kerap mengunjungi http://www.editorbahasa.blogspot.com/. Website ini mengajarkan cara menempatkan tanda baca, dan lain-lain. Blog ini menyebut dirinya "Sekadar teman dalam mencari berbagai jawaban kebahasaan". Selain itu, http://www.bahtera.org/kateglo/ mengajarkan saya Kamus, Glosarium Peribahasa, Singkatan dalam bahasa Indonesia.

Saat merasa penting melihat perkembangan bahasa, saya mengunjungi situs http://rubrikbahasa.wordpress.com/. Blog ini adalah koleksi artikel tentang berbagai aspek tentang bahasa Indonesia yang diambil dari berbagai media massa arus utama.

Tersedia ratusan artikel yang membahas Bahasa Indonesia.

Karena saya sering membaca sumber dari bahasa asing, maka saya mengunjungi http://www.kamus.net/. Situs yang menyebut dirinya the world’s largest and most popular Indonesian dictionary, menyediakan terjemahan kata-kata dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan sebaliknya. Saya menggunakan situs ini untuk melihat kata-kata sulit terjemahannya.

Di sudut kanan ada pilihan Click on "English - Indonesia" yang menterjemahkan kata bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan, Click on "Indonesia - English" menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggeris. Praktis dan tidak usah capek buka-buka kamus.

Tentu, saya juga harus belajar dari berbagai bahan dalam bentuk buku-buku cetak yang sudah baku.

Beberapa terbitan yang saya gunakan adalah Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku? (Dirgo Sabaryanto), buku yang membimbing saya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tentu banyak lagi yang lain seperti Menulis Populer, karya Ismail Marahimin (2005).

Apa yang ingin saya kemukakan adalah bahwa saat ini tidak ada masalah bagi mereka yang ingin belajar bahasa Indonesia meski dilakukan secara otodidak. Bahannya tersedia, tinggal memilih mana yang paling menarik dan menyediakan informasi yang lebih lengkap dan memenuhi syarat-syarat standar.

Penutup

Tingkatkan kemampuan anda dan kecintaan anda terhadap bahasa Indonesia. Jangan kecil hati menulis dalam nasional sendiri.

Menulis artikel dalam bahasa Indonesia sudah bisa dimengerti orang asing. Perkembangan teknologi terjemahan Google misalnya, sudah mampu menerjemahkan Bahasa Indonesia (meski belum sempurna betul) ke dalam puluhan bahasa dunia.

Sebagai bangsa, sepantasnya kita bangga memiliki bahasa sendiri. Jika kita ingin Indonesia eksis dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia ini, maka masyarakat Indonesia harus mencintainya, mengembangkannya dengan dilandasi semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dirgahayu Sumpah Pemuda ke 83. ***

Senin, 24 Oktober 2011

Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)


Oleh : Jannerson Girsang.

Menulis tidak sekedar menulis tanpa memikirkan kebutuhan pembacanya. Melalui sebuah tulisan, pembaca bisa mempelajari teladan untuk sebuah cara nyaman mencapai impiannya, mengatasi kegelisahan menuju impian. Itulah salah satu kunci penting yang harus diingat agar seseorang tergerak untuk membaca.

Buku produksi Mark Plus: "Anxieties and Desires: 90 Insights Marketing to Youth, Women and Nitizen to Indonesia", mengatakan bahwa di era new wave (gelombang baru) ini, seorang marketer harus bisa memahami tidak saja ekspektasi dan persepsi seperti di era transisi, tetapi dituntut bisa menangkap apa yang menjadi kegelisahan (anxiety) sekaligus impian (desire) pelanggan (customer)-nya.

Konsumen seorang penulis adalah "Pembaca". Pembaca harus merasa berdialog dengan sang guru yang mampu menangkap masalah mereka, sekaligus menawarkan cara keluar dari masalah dan menawarkan impian. Makin dalam pemahaman penulis atas kegelisahan dan tawaran impian yang konkrit, pembaca makin meminati produk tulisannya.

Impian manusia secara umum adalah memiliki pekerjaan/usaha/aktivitas mengisi waktu, merasa nyaman di dalam pekerjaan atau usahanya, berguna bagi sekelilingnya. Dalam perjalanan mencapai impian itu manusia tidak luput mengalami kegelisahan yang menurut pendapat para ahli bersumber dari empat hal yakni: gelisah terhadap dosa-dosa dan pelanggaran (yang telah dilakukan); gelisah terhadap hasil kerja (tidak memenuhi kepuasan spiritual), takut akan kehilangan milik (harta dan jabatan) dan takut menghadapi keadaan masa depan (yang tidak disukai).

Kisah-kisah yang membawa manusia merasa nyaman menjalani impiannya dan mengurangi rasa gelisah dalam hidupnya, merupakan topik-topik yang memiliki pembaca yang sangat luas dan tidak lekang waktu.

Membaca Impian dan Kegelisahan Pembaca
Banyak orang berpendapat, "Menulis itu mudah, tulis sajalah apa yang ada di benakmu!. Jangan terlalu kaku". Pernyataan ini tidak salah. Dan sangat benar bagi orang yang memulai menulis.

Tetapi tidak seluruhnya benar kalau seseorang ingin menjadi penulis yang memiliki pembaca secara luas. Puisi-puisi Chairil Anwar, Shoe Hok Gie begitu diminati masyarakat luas karena mereka mampu menangkap kegelisahan dan impian pembacanya. Tulisan bukan sekedar merangkai kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf yang kosong makna. Dia harus mengandung impian dan kegelisahan, kesenjangan antara yang seharusnya dan yang terjadi.

Coba simak kesaksian seorang pengagum Chairil Anwar: "Saya, yang sejak kecil sangat gemar membaca buku-buku filsafat dan sastra, tanpa sadar mengagumi sosok penyair yang mati muda : Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang singkat, tak punya riwayat pendidikan tinggi, Chairil Anwar bisa jadi legenda sastra Indonesia. Barangkali hidup yang tak mudah itulah yang membuatnya lebih peka terhadap sekitar. Barangkali kegelisahannya, rasa kecewanya, rasa tertekannya-lah yang kemudian menjadikan karyanya "bernyawa". (http://rosepr1ncess.blogspot.com/2010/12/yang-ku-kagumi-setengah-mati.html).

Para penulis memiliki multi-tasking: menulis, memilih topik yang dibutuhkan pembaca—memahami kategori pembacanya.

Anda tentu pernah mendengar komentar seperti ini. "Artikel anda sangat inspiratif, dan mendorong saya melakukan............ Saya menunggu artikel Anda berikutnya". Itu adalah bukti bahwa artikel yang menawarkan impian dan kegelisahan dibutuhkan setiap saat.

Tulisan seharusnya mampu menggerakkan orang lain berpindah dari suasana dirinya sebelum membaca, kepada kondisi yang ditawarkan penulisnya. Para pembacanya larut dalam pikiran penulis dan mengikuti alur pikirannya yang benar, lebih mudah dan mengerakkan tindakannya ke arah yang lebih baik.

Keluar dari Kegelisahan Menggapai Impian

Tugas seorang penulis adalah mengungkap serta menjembatani kondisi yang seharusnya dan kenyataan yang terjadi. Para penulis harus memahami fakta dan impian, mengungkap kesenjangan dari cita-cita yang ingin dicapai. Misalnya. Fakta yang terjadi seperti kemajuan ekonomi menyebabkan jalan-jalan macet, kecelakaan meningkat, kriminalitas meningkat, korupsi meningkat, makin banyak penghuni rumah sakit jiwa. Padahal, kita menginginkan dengan kemajuan ekonomi hidup menjadi lebih nyaman dan aman.

Memasuki era new wave dengan segala macam perubahan yang terjadi membuat tidak sedikit anggota masyarakat moderen mengalami perasaan gelisah dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan gelisah yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan gangguan perilaku atau neurose. Konon saat ini di kota-kota besar, jumlah penderita neurose semakin meningkat.

Setiap orang memiliki impian dan cara mewujudkannya. Untuk mencapainya mereka menempuh proses dan waktu. Dalam perjalanan menuju impian, mereka memerlukan kisah-kisah atau cerita, ilmu pengetahuan untuk memahami cara melakukan sesuatu, memerlukan bacaan-bacaan yang dihasilkan seorang penulis. Mereka memerlukan cara sekaligus idola untuk menggambarkan impian itu, meski tidak selalu mencapai seperti apa yang mereka idolakan. Sebaliknya, tidak sedikit pembaca yang mampu melebihi idolanya itu.

Ada kesenjangan di dalamnya dan penulis menawarkan jalan keluar untuk mencapai impian. Bisa dari pengalaman penulisnya, bisa juga meramu pengalaman orang lain.

Life Without Limit

Soegianto Hartono, Pelatih dan Konsultan Citra Diri Sukses, Penulis Buku "Untuk Apa Hidup Susah" menawarkan empat cara menghilangkan kekhawatiran, yakni mempelajari semua data dan fakta, berfikir rasional, percaya kepada diri sendiri dan percaya kepada Tuhan.

Buku-buku atau tulisan yang membicarakan hal di atas sangat diperlukan pembaca!. Sekedar sebuah contoh. Sebuah buku best seller Life Without Limit yang ditulis oleh Nick Fujivic mengisahkan kisah sukses dirinya yang terlahir tanpa lengan dan tungkai, hingga menjadi seorang yang tidak hanya mampu mandiri, tetapi juga kaya, menjadi teladan bagi siapapun yang mencari kebahagiaan abadi.

Dia menulis kisah hidupnya sendiri atas suksesnya mengatasi kekhawatiran akibat cacat yang dimilikinya menuju impian. Nick menceritakan cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya saat berusaha mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja, dan menjelang dewasa muda. "Untuk waktu yang terasa sangat lama dan sepi, aku bertanya-tanya apakah ada orang lain di dunia yang seperti aku, serta apakah ada tujuan lain dalam kehidupanku selain rasa sakit dan terhina."

Saat ini Nick Fujivic merupakan pembicara motivasi yang sukses secara internasional. Pesan utamanya: tujuan terpenting siapa pun adalah menemukan tujuan hidup, terlepas dari kesulitan apa pun atau rintangan apa pun yang sepertinya mustahil dilalui.

Dia mengisahkan bagaimana imannya terhadap Tuhan menjadi sumber kekuatan utamanya dan menjelaskan bahwa begitu dia menemukan tujuan kehidupan—menginspirasi orang lain untuk menjadikan kehidupan mereka serta dunia lebih baik—dia mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun kehidupan tanpa batas yang produktif dan membawa berkah.

Kisah Nick hanya salah satu contoh. Beberapa penulis di Indonesia berhasil menggali kegelisahan dan impian para pembacanya. Coba simak, karya-karya Alberthiene Endah, Andrea Hirata, dengan buku-buku best seller mereka (Selebriti, Lasykar Pelangi) yang sarat dengan suara kegelisahan dan impian.

Menulis kegelisahan dan impian adalah kebutuhan pembaca yang besar dalam era perubahan ini! Manusia memerlukan teladan dalam perjalanan menuju impian dengan sumber kegelisahan yang makin beragam. Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri! ***

 Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Selasa, 04 Oktober 2011

Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang.

 
 Sumber foto: etwien-budi.blogspot.com

Sadarlah para pemimpin negeri ini, bahwa bekerja setengah hati tidak akan membuat diri nyaman tetapi menyakitkan banyak orang. Sebaliknya bekerja sepenuh hati akan menyenangkan kita semua.

Pembicaraan dengan seorang tukang urut langganan saya sejak tiga tahun terakhir ini benar-benar menyentuh perasaan saya. Betapa pekerjaan yang setengah-setengah hati berdampak tidak baik bagi diri sendiri dan orang lain.

Dia seorang ayah dari dua anak berusia sekitar tiga puluhan. Yang tertua berusia 12 tahun. Orangnya sangat menyenangkan diajak bicara dan dia suka curhat saat mengurut saya.

Dalam kisahnya, beberapa waktu lalu dia bercita-cita menanam kopi di atas lahan satu hektar di kampungnya. Harapannya, bila kopinya sudah berbuah akan memberikan penghasilan tambahan baginya di samping penghasilannya sebagai tukang urut di kota. Dia terdorong menanam kopi karena menyadari, penghasilannya sebagai tukang urut ke depan tidak akan mampu membiayai keluarganya, khususnya kalau anak-anaknya nanti sudah semakin besar. Sementara dia ingin agar kedua anaknya bisa menginjak bangku kuliah seperti anak-anak lainnya.

Untuk itu dia mengumpul sejumlah uang. Ternyata sebagai tukang urut, dia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi kecil-kecilan di kampung. Memenuhi harapan itu, dia membuat rencana mulai dari pembersihan lahan, pengolahan, hingga penyediaan bibit dan pupuk, serta orang-orang yang akan mengerjakannya. Dia juga menghabiskan uang bolak-balik ke kampungnya untuk mengurus penanaman kopi itu.

Empat orang penduduk kampung dikerahkannya dalam persiapan untuk mewujudkan cita-citanya. Para pekerjanya itu terdiri dari orang tua dan anak-anak dari satu keluarga di kampungnya. Kebetulan tukang urut saya memiliki hubungan famili dengan mereka.

Keluarga ini sudah bersedia mengerjakan rencana penanaman kopi itu selama satu bulan penuh. Sebagai keluarga yang pekerjaannya memburuh di ladang orang, merekapun sudah menolak semua pekerjaan pada bulan itu. Janjinya, tukang urut saya akan menggaji mereka bekerja di ladangnya selama sebulan penuh.

Para pekerja itu tidak lagi menerima pekerjaan lain, kalau pekerjaan mereka belum selesai hingga penanaman kopi selesai. Kedua pihak sepakat dan pekerjaan dimulai. Tapi tentunya tidak pakai kontrak seperti di perusahaan-perusahaan besar.

Tugas pembersihan lahan berjalan dengan baik dan si pekerja yang digajinya itu bekerja sepenuh hati. Hanya dalam beberapa hari pembersihan lahan selesai.

Permasalahan justru terjadi pada tukang urut saya. Berbeda para pekerja yang digajinya, dia mengaku di tengah jalan dia berubah pikiran. "Saya ragu, kalau uang saya nanti tidak cukup untuk menutup biaya sampai kopi berbuah. Secara sepihak, saya menghentikan pekerjaan itu. "ujarnya.

Rasa ragunya juga membuatnya pusing, bahkan tidak berani segera memberitahukan perubahan pikirannya itu kepada pekerja yang digajinya. "Saya malah tidak mendatangi mereka, dan hanya berfikir-fikir saja" ujarnya.

Beberapa hari para pekerjanya menunggu dan menunggu. Selama itu mereka tidak bekerja dan tidak mendapat penghasilan. Hingga beberapa hari kemudian, tukang urut saya mendatangi mereka dan memberitahukan perubahan rencananya. Apa yang kemudian diperolehnya bukan sesuatu yang menyenangkan.

Ketidakseriusannya, membuat para pekerjanya merasa rugi dan marah. "Para pekerja saya marah besar dan sayapun merasa tidak nyaman. Uang habis, dapat cacian pula," ujar tukang urut saya sedih, sambil menyeka keringatnya dengan kain lap.

"Kalau sesuatu kita kerjakan tidak sepenuh hati, hasilnya seperti ini. Uang habis dan orang-orang sakit hati," ujarnya. Dia mengaku uang simpanannya beberapa tahun hilang begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa.

Ada pelajaran berharga dari kisahnya. "Dia mengerjakan sesuatu dengan setengah hati dan ragu-ragu, tidak hanya membuat dirinya susah dan kecewa, tetapi juga membuat orang lain sakit hati, khususnya pekerja-pekerja yang bekerja dengan dia"

Sayapun tidak ingin hanya kisah sepihak, kisah sedih dari sebuah pekerjaan yang dia kerjakan setengah hati. Lantas, pembicaraan informal itu saya alihkan tentang kisah dua orang anak muda yang berhasil menjadi pengusaha besar karena bekerja dengan sepenuh hati.

Meski dia tidak begitu paham, tapi saya yakin kisah saya juga bisa menguatkannya. Pasalnya kisah itu berasal dari sebuah buku yang mungkin belum pernah dibaca maupun didengarnya. Tokohnya adalah Sergei Brin dan Larry Page, pendiri perusahaan mesin pencari (searching machine) Google.

"Apa itu Google," tanyanya serius. Saya tidak begitu peduli pertanyaannya itu. Karena kalaupun saya jelaskan dia pasti tidak mengerti. Saya bercerita panjang lebar, bagaimana Sergei Brin dan Larry Page hingga berhasil.

Apa yang ingin saya nasehatkan kepadanya adalah bahwa kedua tokoh di atas bekerja dengan sepenuh hati, mengatasi masalah yang muncul di tengah perjalanan rencana mereka. Mulai dari permodalan, cara mengatasi masalah listrik, tenaga yang mereka butuhkan, serta dorongan semangat atas diri mereka serta orang-orang yang bekerja bersama mereka.

Diapun menghentikan sejenak pekerjaannya ketika saya bercerita soal penghasilan kedua orang itu.

"Sejak keduanya mendirikan Google pada 1998, perusahaan ini memperoleh penghasilan lebih dari USD 26 milyar per tahun. Tidak hanya itu, mereka mempekerjakan dan membuat bahagia ratusan ribu orang serta mencerahkan miliaran orang pengguna internet di seluruh dunia,"ujar saya.

Dia terpukau mendengar kisah ini dan mencoba menyimpulkan kisah yang saya ceritakan. Kesimpulannya kira-kira begini. "Orang yang bekerja sepenuh hati, akan menuai perasaan senang bagi dirinya sendiri, serta orang lain.

Sambil melanjutkan pekerjaannya mengurut di bagian kepala saya dia berujar: "Akh, kalau saya sudah cukup uang, saya akan mengerjakan kebun kopi dengan sepenuh hati. Saya pasti akan menyenangkan pekerja itu kembali".

Saya yakin, dia pulang dan hatinya dikenyangkan oleh prinsip. "Kalau mengerjakan pekerjaan dengan setengah hati tidak hanya mengecewakan diri sendiri, tetapi juga menyakiti orang lain. Sebaliknya, bekerja sepenuh hati, hasilnya akan menyenangkan diri sendiri dan orang lain".

Mudah-mudahan kisah kecil di atas mengingatkan para eksekutif, legislatif, yudikatif di setiap tingkatan di negara ini. Seriuslah menangani Kasus Century, Nazaruddin, Gayus dan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini.

Sadarlah bahwa ketidakseriusan anda, sikap ragu-ragu anda bekerja akan menyebabkan anda tidak nyaman, terlebih lagi masyarakat akan menderita. Bila anda bekerja serius dan sepenuh hati, maka rakyat akan senang, anda akan merasa nyaman. Kita semua akan berbahagia. ***

Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Kamis, 29 September 2011

Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan Edisi Cetak, 29 September 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Saya bukan penulis sejak muda, dan baru memulai pekerjaan ini secara serius setelah berusia 40 tahun. Mulai dari menulis biografi, konsultan penulisan di berbagai media, dan menulis artikel di media cetak dan online.

Untuk informasi anda, saya telah menulis sekitar 14 buku otobografi dan biografi dalam kurun waktu delapan tahun. Artikel ini, adalah tulisan saya yang kesekian kalinya diterbitkan di berbagai media.

Menulis membutuhkan selain kemapuan dan pengetahuan yang terus ditingkatkan, juga perlu inspirasi untuk tetap bersemangat menulis. Salah satu cara saya meningkatkan kemampuan dan menjaga semangat untuk terus menginspirasi menulis adalah belajar dari pengalaman mereka yang sukses.

Menulis sebagai profesi bukan seperti meteor turun dari langit. Tiba-tiba saja melejit, bercahaya. Pekerjaan ini membutuhkan dukungan yang berasal dari diri sendiri, dari luar dan peralatan.  Mari belajar dari mereka yang sukses, ketimbang mengeluh soal penghargaan.

Mari sharing bersama tentang pengalaman saya kemaren!. Kemaren saya berselancar (searching) di internet dan membaca berbagai buku di Buku Google.

Mengeluh?: Malu Dong!

Membaca buku ”Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia” memberi inspirasi bagi saya bahwa menulis secara total akan memberikan hasil dan penulis sukses itu bekerja dan berjuang hingga mereka mencapai status mereka sekarang.

Buku tersebut ditulis oleh Albert Marbun dan diterbitkan Ide Media, 2008. Informasi ringkas buku itu bisa anda peroleh di Buku Google, karena sudah didigitalkan 25 Juni 2010 lalu. Albert juga seorang penulis novel: ”Jatuh Cinta di NAD”.

Di dalam buku itu ada daftar nama Alberthiene Endah, mantan wartawan, kemudian penulis novel dan terakhir sangat terkenal menulis biografi, Jennie S Bev penulis Indonesia yang kini berjaya di Amerika Serikat, Elizabet Lutter serta ratusan penulis lain yang sudah sukses.

Kalau mau sukses sebagai penulis, seseorang harus total menulis. Tidak ada penulis sukses berhasil tanpa usaha maksimal. Anda tidak hanya menulis sekali saja, langsung meraup milaran rupiah, seperti penulis Andrea Hirata. Menjadi seorang penulis sukses harus menghasilkan tulisan yang laku di pasar. Ada pembacanya atau pengguna tulisan itu.

Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas, dan mampu menulis dari topik yang khusus yang diperlukan orang-orang tertentu, kalau bisa juga dibutuhkan sebagian besar penduduk negeri (dunia) ini.

Membaca buku “Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia”, ada rasa geli kalau mendengar keluhan-keluhan para penulis, seperti kurang penghargaan, kurang dukungan, kurang macem-macem. Tidak ada gunanya. Sebab nasib penulis bukan di tangan siapa-siapa.

Harus diingat, penulis bergantung kepada lingkungan. Bukan sebaliknya lingkungan tergantung pada penulis. Peduli amat lingkungan kepada penulis!. Anda yang harus membuat para pembaca merasa penting untuk membaca tulisan anda. Anda harus mampu membuat tulisan anda: ”Enak Dibaca dan Perlu”, seperti semboyan Tempo, majalah berita terkemuka di Indonesia.

Tentu malu kalau kita para penulis mengeluh, sementara dalam keadaan seperti sekarang ini begitu banyak penulis sukses dan kaya di negeri ini.

Persiapan Diri

Saya kemudian mempelajari lebih lanjut pengalaman Elizabeth Lutter. Dia adalah penulis skenario dan menuliskan pengalamannya dalam buku:”Kunci Sukses Menulis Skenario, Elizabeth Lutter (orang Indonesia Asli).

Buku ini memberi tips bagi saya bahwa seorang penulis (dalam hal ini penulis skenario), bagi saya itu sama saja dengan penulis bidang yang lain, harus memiliki persyaratan sebagai berikut.

Pertama harus ada dorongan dari diri sendiri, seperti minat dari dalam diri seperti bakat, motivasi, disiplin, kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, komunikasi (dengan berbagai pihak, memperoleh informasi tentang bahan tulisan, media tempat menulis dll), belajar (seorang penulis adalah pembaca tentang apa saja yang mampu mendukung kualitas tulisan)  dan  memiliki pengalaman perjalanan (untuk memperkaya tulisan tentang lokasi).

Belajar tidak hanya dari buku-buku, koran atau televisi/radio, internet, tetapi juga memaknai catatan pengalaman hidup, perjalanan yang pernah dilakukan atau merencanakan perjalanan.

”Belajar adalah kutuk masa kecil, minyak masa dewasa, dan obat di masa tua”, Walter Savage Landor, seperti dikutip Elizabeth.

Penulis harus terus belajar dari apa saja yang dilihatnya. Mendalami makna dari fakta yang ada, sehingga penulis mampu ”Menulis Fakta dan Memberi Makna”. Jika tidak maka tulisan akan kering, tak bermakna. Pembaca bosan dan tulisan tidak laku.

Hal lain adalah disilplin. Elizabeth menulis setiap hari dengan jam-jam yang sudah ditetapkannya dan konsep yang sudah ditulisnya.

”Saya sendiri terus terang belum bisa mengatur waktu dengan pasti. Sehingga saya membiarkan lapotop saya terbuka mulai pukul 11.00 (setelah pekerjaan rumah tangga beres, hingga pukul 01 non stop, setiap hari. Apa yang saya kerjakan hari ini sudah saya konsep terlebih dahulu. Meski laptop saya terbuka dari pukul 11.00 dampai 01, bukan berarti sepanjang 14 jam itu saya bekerja terus menerus di depan laptop. Di sela-sela jam itu, kadang-kadang saya masih bisa membaca atau becanda ria dengan keluarga, jika tiba-tiba saya mendapat ide, saya langsung ke laptop untuk mengetiknya”.

Sebagai perbandingan, Elizabeth mengutip pengalaman Norah Lofts penulis roman sejarah yang melakukan pekerjaannya mulai dari jam 09.00-13.00, dan mulai lagi 16.30-19.30, setiap hari.

Kedua, harus mendapat dukungan dari luar diri seperti keluarga, lingkungan, mengatur kedatangan tamu/kerabat, memiliki rekan kerja (Asisten dan Sekretaris, bagi penulis yang volume pekerjaannya sudah besar), penonton (penulis scenario), pembaca (penulis buku, media cetak), pemirsa (radio, televisi) dan sesama penulis.

Hambatan besar saya menulis adalah dukungan keluarga dan lingkungan. Pengalaman kami di Medan, keluarga atau lingkungan masih memandang pekerjaan menulis bukan sesuatu yang menjanjikan. ”Penulis?”. Apa itu?. Orang belum percaya kalau penulis itu bisa hidup dari menulis.

Selain itu, tamu-tamu yang datang tanpa memberi tahu kedatangannya sering menjadi pengganggu. Karena mereka tidak mengerti pekerjaan saya,  maka dikira saya main-main. Ini bukan salah mereka. Memang sayalah yang harus menjelaskannya. Beberapa saya beritahu agar kalau mereka datang memberitahu terlebih dahulu.

Kalau menghadapi masalah saya senantiasa ingatkan kata-kata Nurheti Yuliarti dalam bukunya ”Menjadi Penulis Professional”: ”Ungkapan hati seorang penulis yang penuh ketulusan dan keikhlasan lebih berharga dari sekadar kemewahan duniawi”.(Nurheti Yuliarti, Menjadi Penulis Professional).

Meski pendapatan menulis saat ini masih kecil, tetapi sesuatu yang lebih berharga saya peroleh. Pekerjaan apapun yang saya lakukan, tidak mungkin membuat saya lebih dikenal dan dihargai seperti sekarang ini.

Ketiga, harus memiliki dukungan fasilitas, seperti peralatan kerja, tempat kerja, perpustakaan. Ruangan tempat anda menulis harus nyaman dan memiliki peralatan kerja, komputer yang tersambung dengan internet. Menurut saya peralatan ini mutlak.

Sangat tidak layaklah kalau masa sekarang ini penulis masih menggunakan mesin ketik lama. Sangat menyusahkan tidak hanya dirinya, karena kita tidak bisa bekerja cepat dengan mereka. Penulis harus mampu menghasilkan tulisan dalam format mikrosoft word yang bisa dikomunikasikan menggunakan e-mail. Para redaktur mediapun akan bekerja dua kali menghadapi penulis yang menggunakan mesin ketik tradisional seperti ini.

Penulis harus memiliki perpustakaan pribadi, sekecil apapun ukurannya. Setidaknya beberapa referensi-referensi penting tersedia di dekat meja anda saat menulis. Sekali-sekali harus berkunjung ke perpustakaan, demikian juga mengunjungi beberapa perpustakaan digital di internet.

Kalau anda belum sukses, berarti anda harus belajar cara-cara mereka yang sudah sukses dan mengembangkannya.

Penutup

Menulis sebagai sebuah profesi adalah merebut pasar. Itu tidak mudah. Hal ini perlu supaya anda tidak kecewa dan mengutuk pekerjaan menulis.Harus diingat: No gain without pain. Tidak ada hasil tanpa pengorbanan. Melakukan pekerjaan apapun tidak bisa sambilan, tidak bisa setengah-setengah. Sukses menulis,  sama dengan sukses di pekerjaan lain, harus total.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi anda!

Artikel ini juga bisa diakses di :
http://medan.jurnas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65978:belajar-dari-para-penulis-sukses-indonesia&catid=57:opini&Itemid=65.

Minggu, 25 September 2011

Suka Duka Isteri Pendeta, Floriana Tobing: ”Berdoa dan Menebar Kasih” (Harian Sinar Indonesia Baru, Minggu 25 September 2011)

Siswa Sekolah Diakonia Pertama ke Jerman

Oleh: Jannerson Girsang 

Biografi Floriana Tobing, 2009 

“Setelah saya menjadi istri pendeta, maka pekerjaan sebagai bidan saya lepas. Saya harus penuh mendampingi suami sebagai pendeta,”ujar Floriana Tobing, siswa Sekolah Diakonia Jerman yang dikirim Huria Kristen Batak Protestan pada 1952.

Sebelum menikah, istri mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Pendeta Dr Armencius Munthe ini, dikenal sebagai perawat di RS Bethesda GKPS Saribudolok, dan di luar tugasnya sebagai istri Ephorus dan ibu rumah tangga, juga aktif dalam berbagai organisasi sosial, hingga sekarang.

16 September 2011 Floriana genap berusia 80 tahun. Hari itu, sekitar duapuluhan lansia (usia lanjut) berkumpul di Wisma GKPS Tuluy, Medan. Di sana hadir Pendeta Belman Purba Dasuha (mantan Ephorus GKPS periode 2005-2010), Pdt Jawalden Sinaga, Pendeta Resort GKPS Medan Selatan, anggota keluarga dan beberapa orang undangan. Usai acara kebaktian, dilanjutkan dengan pemotongan kue dan acara ulang tahun. Sederhana sekali!

Di usia 80, wanita berkulit putih dan tinggi badan kurang dari 160 cm ini, masih mampu membagikan kue ulang tahun dan dengan ramah menyapa teman-temannya sesama anggota kelompok lansia GKPS Maranatha.

Dua tahun setelah ditinggal suaminya Pdt Dr Armencius Munthe MTh, 25 Juli 2009, ibu dari Elisa Munthe, Paul Munthe, Markus Munthe, Ruth Munthe ini mengarungi bahtera keluarga dengan merangkap sebagai bapak dan ibu bagi anak-anaknya. Putri mantan pejabat penting di Kantor Gubernur Sumatera Utara ini, dalam kesendirian setelah ditinggal suami, di luar kegiatan sosialnya, rajin menghadiri pesta-pesta perkawinan, kebaktian-kebaktian dan pertemuan-pertemuan lansia.

”Hidup adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Sepeninggal bapak, saya beberapa kali jatuh sakit dan dirawat beberapa kali. Hari ini, saya bahagia karena Tuhan senantiasa menolong orang yang berserah kepadaNya,”ujarnya memaknai Ultahnya ke-80 itu.

Sekolah Perawat ke Jerman, 1952

Bagi seorang gadis Batak di era 50-an, ditawari sekolah ke Jerman adalah sebuah kesempatan yang langka. Saat itu kebanyakan perempuan Batak, bahkan perempuan Indonesia pada umumnya, menghabiskan sebagian besar waktu mereka bekerja di ladang atau sawah, masih sedikit keluar dari desanya dilahirkan.

Saat-saat seperti itulah Floriana HKBP mengirimnya Sekolah Diakonia ke Jerman pada 1952. Mereka memperoleh bea siswa Sekolah Diakones dari RMG (Rheinische Mission Gessellschaft) yang berkedudukan di Wuppertal, Jerman. Dirinya berangkat bersama dua temannya Nuria Domdom Gultom dan Bonaria Hutabarat.


Ia menyelesaikan Sekolah Diakones di Kaiserwerth (1956) dan Tubingen (1958).
Di dua lokasi pendidikan itu, Floriana menguasai ilmu kebidanan dan berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggeris dan Belanda.

Sekembalinya ke Indonesia, selama dua tahun, cucu pendeta HKBP Amon Lumbantobing ini mengawali kariernya sebagai bidan di Rumah Sakit HKBP Balige—milik gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Dari sana HKBP memindahkannya ke Rumah Sakit Bethesda di Saribudolok—sebuah rumah sakit milik GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun). GKPS adalah sebuah gereja yang saat ini memiliki 200 ribu lebih jemaat.

Menikah dengan Pdt Armencius Munthe

Wanita berkulit putih dan bertubuh pendek ini menikah dengan Armencius Munthe—lulusan Master Theologia, Universitas Hamburg, Jerman, pada 1966. Pernikahannya mengakhiri kariernya sebagai bidan di rumah sakit yang terletak 1400 meter di atas permukaan laut, yang berjarak 112 kilometer dari Medan.

Menjadi isteri pendeta baginya adalah sebuah pelayanan total mendukung tugas-tugas suami dan melepas pekerjaannya sebagai bidan. ”Itu sudah menjadi prinsip hidup saya,” ujarnya dalam buku otobiografinya ”Berdoa dan Menebar Kasih”, yang diluncurkan di Medan, 16 September 2009 lalu, tepat pada hari Ulang Tahunnya ke 78.
Waktunya dicurahkan mendampingi suaminya sebagai pendeta yang pernah bertugas di pulau Nias, Sondiraya dan menjadi Pimpinan Pusat GKPS yakni menjadi Sekjen dan Ephorus selama 25 tahun (1970-1995).

Di sela-sela tugas mendampingi suami. Floriana terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Perempuan yang mampu berbahasa Inggeris, Jerman dan Belanda ini pernah menjadi penerjemah dalam program KNH (Kinder Not Hilfe) GKPS dan bagi para tamu-tamu GKPS saat melakukan peninjauan atau perjalanan ke jemaat atau program-program gereja lainnya.

Selain itu, selama 22 tahun, sejak 1986, Floriana menjadi Sekretaris Yayasan Harapan Jaya, sebuah Yayasan Katolik yang didirikan di Pematangsiantar pada 1982. Yayasan ini bergerak membantu anak-anak cacad. Bersama pengurus yayasan lainnya, pengabdiannya di yayasan itu mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Drs Rudolf Pardede, bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun ke 25 yayasan itu pada 2007. Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi wanita gereja seperti Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI).


Pada 1995-selepas suaminya mengakhiri jabatan sebagai Sekjen GKPS, Floriana dan keluarganya pindah ke Medan. Sejak itu ia mendampingi suaminya yang bekerja sebagai dosen, aktif sebagai pengkhotbah di berbagai gereja di Sumatera Utara (GKPS, HKBP, GKPI, Gereja Methodist, GBKP, BNKP dan lain-lain), representasi Crossway International-sebuah lembaga berpusat di Minneapolis, Amerika Serikat, Perguruan Immanuel Medan, dan berbagai yayasan sosial lainnya.

Almarhum suaminya Pendeta Dr Armencius Munthe yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, menggambarkan Floriana sebagai seorang perempuan yang senantiasa "Berdoa dan Menebar Kasih".

Anak Pejabat


Floriana Tobing  lahir di Flores pada 16 September 1931. Flores adalah sebuah pulau yang terletak beberapa ratus kilometer sebelah Timur pulau Balim, ketika bekerja sebagai seorang klerk di kantor pemerintah Hindia Belanda di pulau itu.

Ayahnya hijrah ke Jakarta pada era 1920-an dan sebelum bertugas di Bengkulu, pernah menjadi klerk di kantor Pemerintah Belanda di Palembang.

Putri pasangan Alfred Lumbantobing dan Hilderia Panggabean ini, menjalani masa kecil sampai remajanya di Flores, Lombok, Bengkulu dan Lampung.

Sebagai seorang anak pegawai Belanda, Floriana memperoleh pendidikan dasar di Europese Lagere School (ELS) di Bengkulu dan Lampung. ELS adalah sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda. Dia dibesarkan dalam keluarga dengan pengantar Bahasa Belanda.

Masa penjajahan Jepang adalah masa-masa penderitaan keluarganya. Ayahnya ditahan Jepang di sebuah penjara di Jambi. Kehidupan keluarganya bertambah sulit, karena puluhan keluarga mereka yang tinggal di Jakarta mengungsi ke Lampung karena situasi keamanan. Selain itu, buruknya pelayanan kesehatan di masa penjajahan Jepang, menyebabkan adiknya Jhony Lumban Tobing yang ketika itu berusia 10 tahun meninggal akibat tetanus.
Di masa sulit itu, nenek dari enam cucu itu melakukan berbagai pekerjaan untuk membantu keluarganya. Mulai dari menyanyi bersama grup band di berbagai acara untuk mendapatkan hadiah sabun, mengikuti lomba bahasa Jepang demi sebungkus rokok ”Davros” untuk ditukar dengan garam, bahkan kasir di Kawasaki Jidosha — sebuah perusahaan bus angkutan, dengan imbalan sabun atau minyak makan.

Ayahnya, abang kandung Pdt Dr Andar Lumbantobing—mantan Bishop Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), pindah tugas dari Lampung ke kantor gubernur Sumatera di Medan, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.

Di kota inilah, anak tertua dari tiga belas bersaudara ini menyelesaikan IMS (Indonesische Middlebare School) pada 1950.

Selamat Ulang Tahun Inang Floriana, semoga pelayananya menjadi teladan khususnya bagi para istri pendeta, dan warga jemaat lainnya. Tuhan memberkati.

Catatan: Beliau meninggal dunia 29 Maret 2013 di rumahnya kompleks Perumahan Pemda, Tanjung Sari, Medan.

Senin, 12 September 2011

Belajar dari Kesalahan

Oleh: Jannerson Girsang

Albert Einstein berkata: “Seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak pernah mencoba sesuatu yang baru. A person who never made a mistake never tried anything new”.

Sejak duduk di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa kesalahan adalah sifat yang melekat pada diri manusia. Tidak seorangpun yang sempurna. Itulah yang membedakan kita dari Tuhan yang maha sempurna. Makanya setiap hari hari besar keagamaan ada acara maaf-maafan.

Dalam hidup berbangsa dan bernegara, seseorang yang melakukan kesalahan mendapat ganjaran menurut aturan yang sudah disepakati bersama sebagai bangsa: undang-undang yang berlaku. Hukuman sebenarnya bukan tujuan akhir dari sebuah kesalahan, tetapi apa yang mereka lakukan menjadi pelajaran berharga bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Mengapa?. Karena manusia adalah mahluk yang istimewa. Mereka dianugerahi Tuhan kemampuan memperbaiki kesalahan yang dibuatnya—baik kesalahan dirinya sendiri maupun kesalahan yang pernah dibuat sesama umat manusia lainnya. Itulah yang membedakan mereka dari binatang, mahluk ciptaan Tuhan yang lain.

Semua bangsa ini yakin bahwa manusia belajar hidup lebih baik dan lebih mudah, karena belajar  dari kesalahan yang pernah dibuatnya, atau kesalahan orang lain. Makanya manusia memiliki pepatah,:”Jangan terperosok ke lobang yang sama”.

Di tengah-tengah kegemaran sebagian warga bangsa memperlakukan sebuah kesalahan menjadi adegan sinetron yang never ending, pikiran saya menerawang kepada peristiwa tragis 25 tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar mampu menjadi pelajaran, bukan bahan olok-olokan, apalagi digunakan sebagai alat untuk saling menjatuhkan antara sesama warga bangsa.

Kesalahan dengan Kerugian Besar

Dua puluh lima tahun lalu, suatu sore awal 1986, saya bersama beberapa rekan kerja di salah satu ruangan di kantor USESE (Unit Studi Evaluasi Sosial Ekonomi), salah satu unit di Proyek Citanduy II di Ciamis Jawa Barat, terhenyak atas sebuah berita televisi.

Melalui siaran TVRI—satu-satunya stasion televisi ketika itu, sebuah berita meluncur: ”Pesawat Ulang-alik Challenger meledak hanya 73 detik setelah tinggal landas, 28 Januari 1986,”.

Di layar pesawat televisi kami menyaksikan bagaimana suasana keriangan di pusat pengendali  NASA, Cape Canaveral berubah menjadi kesedihan yang luar biasa. Kepingan-kepingan pesawat meluncur seperti meteor dan jatuh di atas Samudera Atlantik.  Wajah panik terlihat di wajah para petugas.

Keluarga korban terlihat histeris menyaksikan anggota keluarga kebanggaannya tewas seketika dan tubuhnya hancur berkeping-keping .Tujuh awak pesawat dan seorang guru yang ikut dalam misi penerbangan luar angkasa itu tewas. Mereka adalah Michael J. Smith , Dick Scobee , Ronald McNair; Ellison Onizuka ,Christa McAuliffe , Gregory Jarvis , Judith Resni. Mereka adalah putra putri terbaik Amerika. Christa McAuliffe misalnya adalah pemenang dari 11 ribu calon NASA asa Teacher in Space Project.

Kecelakaan ini menimbulkan kerugian dengan total 5.5 Milyar US Dollar, yaitu 2 milyar Dollar untuk penggantian pesawat dan sisanya untuk biaya penelitian, investigasi, dan lain-lain. Angka yang tidak sedikit, dua kali lipat dari bantuan IMF kepada BI tahun 2009 sebesar US $ 2,7 juta.

Merumuskan Kesalahan dan Memaknai Kesalahan

Segera setelah kecelakaan pesawat itu, Pemerintah Amerika Serikat membentuk komisi khusus dengan ketua : William P. Rogers—mantan Menteri Luar Negeri AS; wakil : Neil A. Armstrong—mantan astronout yang pertama kali mendarat di bulan untuk menginvestigasi kecelakaan dan kemudian menghasilkan beberapa fakta sebagai dasar untuk menjelaskan penyebab kecelakaan tersebut.

Enam bulan kemudian, Juni 1986, komisi ini sudah mampu menemukan penyebab kecelakaan dan mengumumkannya secara terbuka kepada publik. Kesalahan yang mereka temukan bisa dilihat di http://www.aerospaceguide.net/spaceshuttle/challenger_disaster.html.

Kesalahan-kesalahan diperbaiki dan proyek peluncuran pesawat ulang-alik berlanjut dengan penyempurnaan-penyempurnaan.

Dua puluh lima tahun kemudian, seperti diberitakan Associated Press, Sabtu (29/1), ratusan orang, berkumpul di lokasi peluncuran kapal ulang alik milik NASA untuk memperingati 25 tahun kecelakaan Challenger.

Mereka adalah mantan manajer NASA, mantan astronaut, keluarga dan teman astronot yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut serta para pelajar yang belum lahir saat kapal ulang alik yang akan mengantarkan seorang guru asal Concord, New Hampshire, meledak di udara.

Kecelakaan pesawat ulang alik Challenger bukan yang pertama dan terakhir terjadi di NASA. Dalam upacara tersebut, Scobee Rodgers dan Kepala Operasi Luar Angkasa NASA Bill Gerstenmaier meletakkan sebuah karangan bunga berwarna merah, putih, dan biru di dasar Space Mirror Memorial, tugu setinggi 13 meter yang bertuliskan nama 24 astronaut yang tewas saat menjalankan tugas sepanjang sejarah NASA.

Hal menarik adalah reaksi para keluarga korban yang cukup simpatik. Mereka tidak terus-terusan mengutuk kesalahan yang terjadi, meski keluarga mereka menjadi korban. Simaklah pernyataan June Scobee Rodgers, janda dari komandan kapal ulang alik Challenger Dick Scobee.

Dia meminta mereka yang berkumpul di Cape Canaveral untuk tidak hanya melihat ke belakang namun menatap ke masa depan terutama di bidang pendidikan mengenai luar angkasa dan ilmu pengetahuan.

Semangat para astronaut diangkat menjadi motivasi bagi rakyat Amerika. "Seluruh dunia telah mengetahui bagaimana para astronaut Challenger meninggal. Kini kita harus mengingatkan mereka mengenai kehidupan mereka dan apa yang mereka pertaruhkan saat memasuki kapal ulang alik tersebut," tegas Scobee Rodgers.

Belajar Dari Kesalahan

Kisah jatuhnya pesawat ulang alik Challenger dan pemaknaan atas peristiwa itu menjadi sebuah refleksi bagaimana kita menyikapi sebuah kesalahan.

Artikel ini menghimbau agar sebagai bangsa, di benak kita muncul kesadaran bahwa kesalahan yang sudah terjadi tidak mungkin dihapus dan akan melekat selama-lamanya sebagai bagian dari perjalanan bangsa ini .

Kasus Century, Gayus, Nazaruddin, kecelakaan pesawat, kecelakaan kapal laut, hukuman mati bagi TKI di luar negeri dan pengelolaan TKI itu sendiri, dan ribuan kesalahan yang sudah dilakukan pejabat, pribadi atau bangsa ini secara keseluruhan.

Kita teralalu banyak membuang energi membicarakan kesalahan dan kadang mempolitisir kesalahan itu sendiri. Sebuah kesalahan seharusnya disikapi dengan memberi makna, karena kesalahan telah menyebabkan kerugian besar. Menatap ke depan dan memperbaiki kesalahan.

Sampai sejauh ini, kebanyakan kesalahan itu masih disikapi dengan asyik mencari kambing hitam, belum mampu menarik pelajaran berharga. Buktinya, kasus Century justru diikuti kasus Gayus dan Nazaruddin. Kita tetap berputar-putar di lubang yang sama.

Kasus TKI dari dulu hingga sekarang tak habis-habisnya menjadi sorotan, tanpa sesuatu usaha yang sistematis untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Kita baru mampu membuat moratorim pengiriman TKI, suatu keputusan yang tentunya kurang bijak dalam jangka panjang, mengingat besarnya minat TKI dalam negeri (Kompas, 23 Juli 2011), menyikapi kasus PNS yang membebani APBN dengan penandatanganan moratorium PNS oleh Tiga Menteri (Kompas 24/8/2011).

Peristiwa Tsunami dan Gempa Aceh-Nias, Yogya, Mentawai yang menelan korban ratusan ribu jiwa dan harta benda triliunan rupiah belum mampu memberi pelajaran bagi bangsa ini. Kita masih mengulangi kesalahan yang sama ketika Tsunami menerjang Mentawai. Berhari-hari setelah peristiwa sebagian masyarakat tidak memperoleh bantuan makanan. Pembentukan tim terpadu penggulangan bencana masih mengalami keterlambatan.

Marilah kita semua, media kita, bersama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya menggiring bangsa ini menatap masa depan, ketimbang berasyik ria memanfaatkan kesalahan untuk mewujudkan tujuan pribadi, kelompok atau golongan, yang kadang tidak luput mengundang rasa dendam satu sama lain.

Jadilah bangsa yang mampu merumuskan kesalahan yang diperbuat warganya dan bangsanya secara keseluruhan, memaknai kesalahan itu sebagai sebuah batu loncatan kearah kehidupan yang lebih baik dengan melakukan perbaikan-perbaikan. Akh…tidak mudah tentunya!.

 Penulis Biografi, tinggal di Medan
Dimuat di Edisi Cetak Harian Analisa, 12 September 2011.