Oleh: Jannerson Girsang.
Pagi hari,
18 Oktober 2014, saya sedang menulis dan artikelnya ingin dikirim,
tiba-tiba listrik mati. Wah…..batal deh. Teman yang menunggu di
seberang pulau terpaksa ngedumel. “Kenapa sih listrik di Sumut mati,
seperti jadwal makan obat?”. Saya keluar rumah, riuh suara genset
khususnya rumah usaha terdengar dimana-mana.
Saya
maklum dan tidak akan pernah protes dengan kekerasan, tapi hati saya
sungguh tersiksa. Berbeda dengan masyarakat lainnya dan sangat
berbahaya kedepan adalah masyarakat yang sudah bereaksi sampai merusak
kantor PLN di berbagai tempat. Krisis listrik di provinsi Sumatera Utara
sudah berlangsung sejak 2005.
Dalam hati saya
berfikir, untuk apa kami memiliki 100 orang anggota DPRD tingkat I dan
ratusan lainnya di Kabupaten/Kota?. Bukankan mereka wakil rakyat, wakil
kami, penyuara jeritan kami, sahabat kami?. Mereka harus memiliki
lidah setajam taji “ayam kinantan”. Mereka yang baru saja dilantik
seharusnya merasakan dan mampu menjembatani jeritan rakyat soal
listrik.
Dua Pemilu Hidup Padam, Masih Ku Maafkan!
Kelangkaan
listrik yang dialami masyarakat Sumatera Utara di era teknologi
informasi ini sudah dan akan menimbulkan dampak negatif besar, karena
dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan ekonomi yang terus
meningkat akan meningkatkan kebutuhan listrik.
Pemadaman
listrik bergilir di wilayah ini sudah sangat meresahkan masyarakat,
pengusaha, dengan perlakuan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang
memadamkan listrik bukan sekali sehari, bahkan sudah seperti memakan
obat 3x1 hari.
Listrik bukan lagi sekedar alat
penerangan, tetapi telah menjadi darah bagi berbagai kegiatan vital
masyarakat dan dunia bisnis. Mulai dari memasak, setrika,
mengoperasikan komputer dan peralatan elektronik lainnya, semua butuh
listrik.
Pemadaman listrik menimbulkan aktivitas warga
terganggu, ibu rumah tangga mengeluh kegiatan di rumah sering
terbengkalai karena listrik padam sembarangan. Begitu juga dunia usaha
industri rumah tangga menjadi terhenti. Kota menjadi gelap gulita dan
lalu lintas menjadi semrawut.
Konsumen adalah raja,
tidak berlaku di daerah ini. Dengan sistem penyediaan listrik sekarang,
rakyat sebagai konsumen, seharusnya diperlakukan sebagai raja. Ini
sudah terbalik. Jadi, perlu wakil-wakil rakyat yang mampu mengembalikan
hak mereka sebagai pelanggan.
Sejak 2005, masyarakat
Sumatera Utara sudah mengalami krisis listrik, tetapi hingga saat ini
pemenuhan kebutuhannya tetap tersendat-sendat.
Saya
masih ingat saat itu sedang bekerja di Tsunami dan Gempa Nias dan
berkantor di daerah Medan Baru. Di tengah-tengah pekerja asing kita
sedikit malu karena negeri ini tidak mampu menyediakan listrik yang
cukup bagi warganya. Kantor kami terpaksa membeli genset, karena
pemadaman listrik bergilir.
Hampir sepuluh tahun
kemudian, ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, saya dan
jutaan penduduk provinsi ini berharap listrik akan beres. Harapan itu
ternyata masih mimpi. Hingga beliau diangkat menjadi Menteri BUMN,
krisis tak kunjung berhenti. Malah semakin sering mati.
Beliau rajin memang datang ke Sumut, tetapi kunjungan-kunjungan beliau belum memberikan hasil yang signifikan.
Rumah
saya masih mengalami pemadaman listrik, hampir setiap hari. Kita
selalu berkata, hayo-hayo cepat ngetiknya, nanti listrik mati. Kalau
ada kebaktian malam, hayo siapkan lilin, bentar lagi listrik mati!
Kita
juga terbelalak, ketika suatu kali beliau berkunjung, membaca berita
di media di harian-harian lokal bahwa PLN harus membayar Rp 700 miliar
per bulan menyewa genset untuk menghindari pemadaman. Logika saya
berfikir, dalam satu tahun PLN di provinsi ini sebenarnya mampu
membangun 2 proyek listrik berkapasitas 2 x 200 MW.
Pertanyaan
saya, mengapa tidak membangun pembangkit listrik yang baru saja.
Kebijakan penyewaan genset senilai Rp 700 miliar per bulan untuk
memenuhi defisit listrik di Sumatera Utara (Sumut) dikritik oleh Wakil
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, karena dinilai bukan
merupakan solusi yang tepat.
Saya membaca komentar
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Chaidir Harahap SH,
kepada para wartawan Hari Senin, (3 Pebruari 2014) mengatakan,
kebijakan tersebut malah makin menambah beban anggaran negara dan LBH
Medan beranggapan penggunaan dana negara untuk penyewaan genset itu
adalah sia-sia.
“Menurut kita, penyewaan genset dengan
biaya yang cukup signifikan dan sangat besar tentu dapat berdampak
kepada pemborosan biaya anggaran belanja negara yang memakai dana
negara sebesar Rp700 miliar perbulan hanya untuk penyewaan genset saja.
Seharusnya Pemprov Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan dilandasi
dengan pertimbangan ekonomis dan efisiensi, jangan terlalu dipaksakan,”
ucap Chaidir, seperti dikutip sebuah harian lokal terbitan Medan.
Baiklah
kalau itu memang memecahkan masalah. Namun, kenyataannya, meski sudah
menerapkan kebijakan yang terkesan pemborosan itu, kenyataan di
lapangan, hingga Jumat dan Sabtu 17 dan 18 Oktober 2014, listrik masih
mengalami pemadaman tanpa pemberitahuan di rumah saya dan tentunya
ribuan pelanggan PLN di Perumnas Simalingkar. Mungkin juga di berbagai
wilayah kota Medan dan daerah lain di Sumut.
Rakyat
sudah terlalu lama bersabar dan harus mengambil langkah sendiri
mengatasi kesulitannya berupa penyediaan genset yang cukup mahal,
khususnya rumah-rumah atau pertokoan untuk menjaga kelangsungan
usahanya atau rasa nyaman di rumah-rumah karena pemadaman listrik
terjadi tanpa pemberitahuan.
Tak heran kalau beberapa
tahun ini pelanggan unjuk gigi. Protes masyarakat yang merusak kantor
PLN muncul di berbagai tempat, seperti yang dilakukan Pancurbatu,
Binjai, atau Nias Utara, dan tempat tempat lain di provinsi ini adalah
bentuk keresahan yang sudah terjadi, dan bukan diharapkan oleh
siapapun, termasuk PLN.
Selain kebijakan yang terkesan
boros, saya dan jutaan rakyat di daerah ini juga membaca di media soal
isu korupsi di kalangan pejabat PLN di provinsi ini, hingga beberapa
pejabatnya ditahan. Sungguh sebuah ironi. Oknum-oknum pegawai PLN yang
melakukan korupsi jelas tidak memiliki sense of crisis.
Selain
itu pelayanan di tingkat pelanggan seperti rekening listrik yang
sering naik mendadak, seperti dianggap anjing menggonggong kafilah
berlalu.
Pelayanan distribusi listrik, sistem pendataan pemakaian
listrik, pencatatan jumlah pembayaran listrik yang sering tidak sesuai
dengan pemakaian sudah banyak dikeluhkan masyarakat, harus secara
bertahap di atasi.
Alangkah eloknya, kalau kerusakan
tidak terjadi lebih parah. Rakyat merindukan wakil-wakilnya yang mampu
menyuarakan jeritan mereka. Taji wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD
Tingkat I , DPRD Tingkat II selama ini belum setajam taji ayam
kinantan.
Untuk mengawasi dan menyadarkan PLN, rakyat
di daerah ini butuh wakil-wakil yang berani dan bertaji tajam, mampu
memahami, memonitor, mengevaluasi dan menyuarakan listrik ke publik dan
mendesak pengambil keputusan mengatasi krisis listrik.
Mereka
harus memahami jumlah kebutuhan, persediaan listrik dan kebutuhan
pengembangan untuk memenuhi pelayanan listrik ke masyarakat dengan
standar kualitas yang dijanjikan PLN..
Okelah. Pemadaman, korupsi di PLN dan pelayanan yang belum memadai dalam dua pemilu terakhir kita maafkan deh!.
Jangan Sampai Tiga Kali
Barangkali
analogi lagu Ciptaan Tagor Pangaribuan berjudul “Jangan Sampai Tiga
Kali” perlu disimak dan dinyanyikan untuk PLN. “Satu kali pemilu kau
sakiti, masih kumaafkan, dua pemilu kau sakiti hati ini juga kumaafkan,
tapi jangan kau Coba sampai tiga pemilu…..jangan oh jangan…………….”
Kondisi
perlistrikan di provinsi ini dalam dua periode Pemilu terakhir rasanya
masih kurang disuarakan dengan keras. Kita butuh anggota legislatif
yang menjadi pahlawan kelistrikan dan memiliki taji setajam taji ayam
kinantan. Provinsi ini membutuhkan tokoh yang menjadi icon pengaduan
listrik rakyat. Parlemen listrik!.
Mereka adalah
penyuara-penyuara yang dengan sigap memaparkan data yang benar dan
mampu memberi masukan, mempengaruhi bahkan menekan para pengambil
keputusan di perusahaan-perusahaan penyedia listrik, dan para regulator
kelistrikan yang pro rakyat. Program-program yang sudah dicanangkan
dikawal dan harus berjalan dengan baik.
Seorang
pahlawan kelistrikan harus mampu menyuarakan bagaimana kelangkaan
kebutuhan listrik bisa dipenuhi. Dia rajin dan mampu mengikuti dan
mengawal tahapan-tahapan pelaksanaannya, serta hingga sampai diujung,
yakni pemenuhan kebutuhan listrik, tidak lagi byar pet.
Mereka
harus paham proyek yang sedang berjalan seperti PLTU di Pangkalan Susu
misalnya. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2008, tetapi hingga
sekarang belum dapat berjalan karena berbagai masalah. Anggota
legislatif hendaknya menyuarakan persoalan untuk menyelesaikan
persoalan, bukan justru menimbulkan masalah baru. Kalau kedua pembangkit
ini bisa beroperasi, sedikit banyak dapat mengatasi kelangkaan listrik
di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun ke depan, Pembangkit Listrik
Tenaga Air Lau Renun yang tidak mampu beroperasi dengan kapasitas
maksimumnya 2 x 42 MW tentu masih bisa diatasi dengan penghijauan di
hulunya.
Anggota DPRD juga perlu mengawal pelaksanaan
proyek-proyek PLT Panas Bumi di Sarulla, PLTA Asahan III dan lain-lain.
Kalau ini bisa berjalan baik, tentu masyarakat akan menilai DPRD
periode ini sebagai pahlawan.
Proyek-proyek itu sudah
berjalan bertahun-tahun. Harus ada orang yang terus menerus mendesak
proyek-proyek ini bisa selesai lima tahun ke depan.
Rakyat sangat
berharap anggota-anggota DPRD yang baru dilantik ini memiliki sense of
crisis dan terus menerus menyuarakannya. Rakyat sudah bosan dengan
anggota parlemen yang meributkan listrik hanya untuk popularitas,
kemudian hilang tanpa ujung yang jelas.
Janganlah
kiranya suara anggota parlemen layaknya iklan mobil Panther, “Hampir
tak terdengar”, dilakukan pula secara sporadik dan tidak substansial.
Selamat
buat anggota parlemen yang baru dilantik. Hayo… muncullah jadi
pahlawan, berani bersuara untuk memenuhi kebutuhan vital rakyat:
LISTRIK! Jadilah penyuara listrik dengan lidah setajam ayam kinantan. ***
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Rabu, 29 Oktober 2014
Sabtu, 25 Oktober 2014
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)
Oleh Jannerson Girsang [1]
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini, para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”.Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014)
“Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)
Oleh Jannerson Girsang [1]
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini, para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”. Selama ini,Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 1)
http://nias-bangkit.com, 23 Oktober 2014.
Oleh Jannerson Girsang [1]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
NBC — Berita kepergian Hikayat Manaö Minggu, 12 Oktober 2014, sekitar pukul 15.10, mengagetkan banyak pihak. Pria yang dikenal sebagai koreografer, konduktor, pencipta lagu sekaligus penyanyi Nias ini kukenal sangat energik, perkasa, dan tak pernah terdengar sakit.
“Seminggu sebelum dikabarkan meninggal, saya ngobrol lama dengan beliau lewat telepon,”’ujar Apolonius Lase, penulis buku Kamus Li Niha yang sering berbincang dengan Hikayat Manaö.
Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ
Saat mendengar berita duka itu saya sedang berada di Bekasi, Jawa Barat, mengunjungi saudara saya yang bermukim di sana. Melalui status Facebook Reny (Markom NBC), saya menyaksikan foto seorang pria yang sangat kukenal. Saya teperanjat, Hikayat Manaö meninggal!
Tentu, sama dengan saya, ribuan penduduk Nias, khususnya Desa Bawömataluo, para sahabatnya, pencinta budaya NIas, para pengamat budaya, kita semua kehilangan pria kelahiran 12 Juli 1958 itu.
Beberapa menit saya termenung dan berdoa bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kepergiannya membuatku kehilangan seorang “guru” yang selama ini menjadi sumber informasi dalam menulis budaya dan wisata Nias.
Perpustakaanku terbakar! Tak mungkin lagi saya menggali ribuan file yang tersimpan dalam pikirannya yang belum terpublikasi. Mustahil kugali ungkapan-ungkapan dan emosi khas dari pria yang selama puluhan tahun menggeluti budaya dan menguasai banyak hal tentang budaya Nias.
Kenangan Tiga Tahun Lalu
Memutar memori ke belakang, terkenang kembali suatu hari padaFebruari 2011, pertemuan pertama kami di rumahnya di Bawömataluo, saat NBC mengutus saya dan Reny (Ketjel Zagötö) melakukan wawancara dengan Hikayat untuk sebuah publikasi selama tiga jam lebih.
Sore itu, dari gerbang sebelah Timur, saya dan Reny menapaki 86 anak tangga menuju puncak Desa Bawömataluo yang terletak 250 meter di atas permukaan laut. Di tangga akhir, saya menyaksikan kehebatan rumah-rumah adat peninggalan era megalitik.
Menyusuri perkampungan peninggalan megalitik ibarat masuk ke ruangan masa lalu yang belum pernah terbayang. Sebelah kiri dan kanan terdapat deretan rumah adat yang dihuni masyarakat (Omo Hada) berjejer rapi. Salah satu rumah di jejeran sebelah kiri berbentuk unik yang dikenal sebagai rumah raja (Omo Sebua).
Reny kemudian menunjukkan sebuah rumah sejajar Omo Sebua, hanya beberapa rumah dari sana. Itulah rumah Hikayat Manaö. Di sanalah budayawan yang kesohor itu menunggu kami. Awalnya, saya membayangkan wajahnya yang seram dan bicaranya agak kasar. Sambutan yang hangat dan tutur katanya yang lembut membuyarkan bayangan. Initoh yang disebut Panglima itu.
Ternyata, dia bukan pria seseram yang saya bayangkan. Kesan pertama saya, Hikayat adalah orang yang cepat akrab, humoris. Meski baru pertama kali bertemu, pria ini mampu menciptakan suasana seolah kami sudah lama saling kenal, menghubungkan orang-orang yang dikenalnya dekat dengan tamunya.
Hikayat dengan rendah hati mengoreksi dengan sabar dan sopan kalau ada kesalahan-kesalahan kata yang saya ucapkan dalam bahasa Nias, kalau ada istilah yang saya kurang mengerti.
Budaya adalah darah dagingnya. Membicarakan budaya adalah salah satu sumber kebahagiaannya. Dia tidak kenal waktu dan tak mengenal lelah. Kata-kata keluar dari mulutnya bak air mengalir.
Bukan saya sendiri. Jodhi Yudhono, wartawan Kompas.com, dan dua penulis Nias yang saya kenal, Apolonius Lase dan Etis Nehe, juga mengakui hal yang sama. Beliau adalah sumber berita yang hangat tentang budaya Nias. “Dari pembicaraan saya dengan beliau seperti biasa saya menangkap aura dan semangat yang berkobar-kobar tatkala bicara soal budaya dan tradisi-tradisi kami Ono Niha.”
Orangnya enak diajak bicara dan terbuka menjelaskan semua pertanyaan. Jawaban-jawabannya jelas, sekali-sekali dia menikmati (afo) sirih khas Nias. Sore itu, kami mengakhir pembicaraan yang sudah berlangsung hampir tiga jam karena matahari memerah di ufuk barat Desa Bawomataluo yang juga dikenal sebagai “Bukit Matahari” itu dan harus kembali ke Gunungsitoli.
***
Pertemuan pertama itu menyusul kebersamaan kami selama tiga hari dalam Pagelaran Budaya Nias, 13-15 Maret 2011, memungkinkan saya mengamati kegiatanHikayat dari dekat. Pagi-pagi keluar rumah langsung mengatur puluhan anak buahnya untuk mempersiapkan beberapa pertunjukan tari, serta permainan-pemainan tradisional lainnya. Dia aktif mengoordinasikan semua kegiatan, bahkan ikut sebagai pemain.
Lantas dia dikerumuni wartawan. Dia berperan sebagai humas, menjadi sumber informasi bagi wartawan televisi yang saat itu saya catat hadir, antara lain TVOne dan Trans-7, serta media nasional lainnya. Dia menjadi penyuara budaya desanya, Bawömataluo, ke luar Nas sehingga diketahui jutaan orang di luar desanya.
Sesudah acara itu, saya tidak pernah bertemu lagi dan berkomunikasi hanya melalui telepon.
Suatu ketika, saya sudah janji akan bertemu sesudah ia kembali dari sebuah pergelaran budaya di Jakarta.Namun, karena sesuatu hal pertemuan itu urung berlangsung. Janji terakhir dan tidak mungkin terwujud seperti pertemuan di rumahnya tiga tahun lalu.
***
Bertemu dengan Hikayat Manaö seolah masuk ke sebuah perpustakaan besar yang didalamnya semua serba komplet, khususnya budaya Nias. Dia adalah sumber inspirasi tentang seorang pencinta budaya. Kegigihan, ketulusan, tanpa pamrih serta semangatnya mewariskan pentingnya budaya dilestarikan adalah sebuah sikap yang langka di zaman hedonisme sekarang ini.
Kini, bertemu dengan Hikayat Manaö mustahil bagi saya terjadi lagi. Kerinduan menggali informasi tentang budaya Nias dari dirinya hanyalah mimpi di siang bolong. Itulah kesedihan pribadi saya atas kepergiannya, kesedihan para penulis lainnya. Perpustakaanku terbakar, ribuan file turut lenyap bersama kepergiannya.Kehidupan masa kecil Hikayat Manaö menarik diungkap mengingat saat ini banyak keluhan soal fasilitas dalam mengembangkan budaya. Hikayat Manaö telah membuktikan, dengan fasilitas yang terbatas, tempat yang terisolasi, beliau mampu melakukan pengembangan dan pembaharuan budaya Bawömataluo.
Desa Bawömataluo yang terkenal dengan nilai budaya tinggi peninggalan era megalitik itu bukan sebuah desa yang mencerminkan kemakmuran kehidupan penduduknya. Tidak sehebat popularitas yang disandangnya.
Pada masa kecil Hikayat, penduduk desa berada di bawah garis kemiskian. Mungkin hingga kini, penduduknya masih terbelakang dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera. Di desa seperti inilah Hikayat dilahirkan dan dibesarkan.
***
Sejak kecil Hikayat sudah terbiasa hidup dengan seni, bahkan ketika duduk di sekolah dasar menjadi dirigen di sekolahnya. Darah seni mengalir di tubuhnya di tengah lingkungannya hidup dalam kemiskinan.
Dia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa kelahirannya. Karena SMP belum ada di sekitar desanya, setelah lulus SD Katolik Bawömataluo, Hikayat melanjutkan sekolahnya ke SMP Bintang Laut di Telukdalam dan tinggal di asrama sekolah itu.
Di asrama itu dia menjadi pemukul lonceng gereja hanya untuk mendapatkan sepotong ikan kecil. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya suatu ketika.
seusai menamatkan SMP, Hikayat melanjutkan SMA ke Gunungsitoli. Dia pernah bercerita bahwa transportasi saat itu di Nias masih sulit. “Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, layaknya berangkat ke luar negeri. Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya, dalam sebuah wawancara NBC.
Waktu tempuh dari Telukdalam ke Gunung Sitoli bisa mencapai 9 jam. Bandingkan sekarang jarak itu bisa ditenpuh dalam 2-3 jam dan perjalanan dapat dilakukan setiap saat.
Masa-masa SMA-nya di Gunungsitoli dijalaninya dengan penuh keprihatinan. Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga, hanya berbekal beras dari Bawömataluo. Untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya, Hikayat harus bekerja membuat batubata dengan upah Rp 3 per buah. Bahkan, karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke gereja.
Mungkin pembukaan lapangan terbang Binaka di Gunungsitoli barangkali sebuah kebahagiaannya yang menonjol, di tengah keprihatinan hidupnya.
“Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya tertawa, suatu sore di rumahnya.
Menyelesaikan SMA selama tiga tahun Hikayat berpindah-pindah sekolah. Dia pernah putus sekolah dan memburuh ke Balige di Tapanuli, Pulau Sumatera, kemudian menjadi penjual sepatu di Pematangsiantar.
Akhirnya dengan bantuan mantan kepala sekolahnya di Gunungsitoli Hikayat mendapat kesempatan menyelesaikan SMA-nya di Gunungsitoli melalui jalur ekstraner selama enam bulan.
“Hombo Batu”: Mengubah Nasib
Hombo batu menjadi tonggak perubahan kehidupan Hikayat. Seperti pernah dikisahkannya, para pengunjung yang menonton hombo batu ternyata tidak hanya melihat olahraga tradisional terkenal Nias itu sebagai hiburan belaka.
Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan Soesilo Soedarman ketika itu berkunjung ke Bawömataluo. Dia menunjukkan kehebatannya di depan panglima.
Kehebatan para pria, termasuk Hikayat Manaö, mengundang decak kagum Panglima TNI dan menawarkan anak-anak muda seperti Hikayat dididik menjadi tentara. Panglima mengajak dirinya dan dua temannya.
Meski akhirnya tidak menjadi tentara, ajakan Panglima TNI itu telah mengubah kehidupannya. Niatnya menjadi tentara itu urung terwujud setelah membaca berita tentang nasib para tentara di Timor Timor. “Saya akhirnya memutuskan tidak menjadi tentara,” ujarnya.
Namun, Hikayat tetap dihargai dan seorang pejabat di Kodam I Bukit Barisan memberi ongkosnya kembali ke Nias. Akan tetapi, Hikayat tidak kembali ke Nias, justru memilih berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, Hikayat mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Pendapatannya cukup lumayan sehingga mampu membelanjai dirinya dan biaya perkuliahan. Sambil bekerja, dia kuliah seusai bekerja di Akademi Teknik Komputer di Matraman, Jakarta. Sayangnya, dia tidak sampai menyelesaikan perkuliahannya. Perusahaan tempatnya bekerja juga akhirnya melakukan perampingan pegawai.
“Saya akhirnya keluar karena yang diajarkan cuma teori melulu, tidak pernah memegang computer,” katanya tiga tahun lalu. [Bersambung]
[1] Jannerson Girsang, Penulis Biografi, tinggal di Medan. Dia juga menulis Profil Hikayat Manao yang dimuat di Nias-Bangkit.com, Maret 2011. - See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Rabu, 22 Oktober 2014
REVOLUSI MENTAL: Mimpi Merubah Dunia, Awali Perubahan Diri Sendiri
Oleh: Jannerson Girsang
Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.
Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.
Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"
Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan. Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.
Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain mengikutinya.
Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!
Tindakan-tindakan kecil yang baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.
Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!
Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.
Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.
Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.
Revolusi Mental.
Medan, 22 Oktober 2014
Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.
Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.
Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"
Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan. Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.
Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain mengikutinya.
Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!
Tindakan-tindakan kecil yang baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.
Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!
Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.
Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.
Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.
Revolusi Mental.
Medan, 22 Oktober 2014
Senin, 20 Oktober 2014
Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (9)
Presiden
baru Jokowi melepas mantan Presiden SBY. "Semoga Bapak diberi Barokah,
kesehatan dan umur yang panjang," katanya. SBY menyambut dengan tepuk
tangan dan diikuti para hadirin.
Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai Indonesia (8)
Oleh: Jannerson Girsang
"Bubarkan," kata Presiden Baru, Jokowi. Masih terasa kaku. Baru pertama kali mengucapkannya sebagai Presiden yang baru dilantik beberapa jam yang lalu. Upacara penyambutan hanya berlangsung 1-2 menit. Cepat sekali.
"Bubarkan," kata Presiden Baru, Jokowi. Masih terasa kaku. Baru pertama kali mengucapkannya sebagai Presiden yang baru dilantik beberapa jam yang lalu. Upacara penyambutan hanya berlangsung 1-2 menit. Cepat sekali.
Presiden
baru Jokowi berbincang dengan mantan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono. Tidak terdengar suara apa yang mereka bicarakan.
Saya menyarankan : Pak Jokowi nggak usah tiru deh SBY yang membiarkan pengusutan Soeharto berjalan, padahal hasilnya tidak ada bagi rakyat.
Maafkan semuanya, seperti Anda memaafkan Prabowo yang sudah mengobok-obok Anda di masa lalu. Dendam hanya akan menghasilkan kesusahan bagi diri Bapak dan kami rakyat bapak.
Kalaupun SBY memiliki kesalahan biarlah beliau bertanggungjawab kepada Tuhan. Nggak usah capek deh mengutak-atik kesalahan Presiden lama. Capek, dan pendukungnya kan banyak juga. Lima tahun ke depan kerjakan tugas-tugas yang langsung dirasakan rakyat Indonesia.
Mulai era baru, pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru.
Saya menyarankan : Pak Jokowi nggak usah tiru deh SBY yang membiarkan pengusutan Soeharto berjalan, padahal hasilnya tidak ada bagi rakyat.
Maafkan semuanya, seperti Anda memaafkan Prabowo yang sudah mengobok-obok Anda di masa lalu. Dendam hanya akan menghasilkan kesusahan bagi diri Bapak dan kami rakyat bapak.
Kalaupun SBY memiliki kesalahan biarlah beliau bertanggungjawab kepada Tuhan. Nggak usah capek deh mengutak-atik kesalahan Presiden lama. Capek, dan pendukungnya kan banyak juga. Lima tahun ke depan kerjakan tugas-tugas yang langsung dirasakan rakyat Indonesia.
Mulai era baru, pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru.
Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (6)
Presiden baru Indonesia, Jokowi tiba di istana
Mantan Presiden SBY menyambut Presiden Baru Jokowi di Istana Merdeka
Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (5)
Presiden Jokowi naik delman menuju Istana.
Presiden dan wakil Presiden baru naik andong menuju Istana dengan pakaian putih-putih, tanpa jas. Tidak pernah defisit senyum, derma yang paling murah dan tidak mudah dilakukan setiap orang.
Presiden dan wakil Presiden baru naik andong menuju Istana dengan pakaian putih-putih, tanpa jas. Tidak pernah defisit senyum, derma yang paling murah dan tidak mudah dilakukan setiap orang.
Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (3)
Oleh: Jannerson Girsang
Presiden baru Republik Indonesia berfoto bersama Ketua MPR RI
Presiden baru Republik Indonesia berfoto bersama Ketua MPR RI
Langganan:
Postingan (Atom)