Oleh: Jannerson Girsang
Sumber foto: antarafoto.com
21 April 1998, hampir 14 tahun yang lalu, sama dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya, kami menyaksikan peristiwa pengunduran diri Soeharto melalui layar televisi di kampung kelahiran saya, Nagasaribu, saat berlibur bersama anak-anak. Desa ini terletak sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Medan, Sumatera Utara.
Saya bersyukur, kemajuan teknologi memungkinkan saya menyaksikan peristiwa penting di ruang Istana Kepresidenan, ruang pengendali negeri berpenduduk 200 juta jiwa ketika itu. Saat itu tidak banyak yang saya tau. Ternyata di balik peristiwa di atas, banyak fakta yang samar-samar bahkan gelap.
Apa yang terjadi di balik peristiwa di layar kaca pada saat pengunduran diri Soeharto, bagi saya yang jauh dari informasi seputaran istana dan mungkin juga generasi muda lainnya merupakan misteri.
Beberapa hari ini, kami merampungkan membaca buku ”Berhentinya Soeharti, Fakta dan Kesaksian Harmoko”. Walau buku itu sudah lebih dari tiga tahun kami peroleh dari bapak Moh. Yazid, mantan Ketua PWI Sumut. Maklum, bacanya hanya saat tertentu saja.
Firdaus Sam, pengarang buku itu, dan dikenal sebagai seorang dosen Ilmu Politik di berbagai Universitas di Indonesia, menggambarkan suasana pengunduran diri Soeharto sebagai berikut:
“Kamis 21 April 1998, Presiden Soeharto, mengenakan safari warna gelap dan berpeci, dengan langkah tenang meninggalkan Ruang Jepara menuju Ruang Credentials, berdiri di depan mikrofon. Dengan nada datar tanpa emosi, diawali dengan ucapan : Bismillahirrahmanirrahim, ….”.
Kata-kata Soeharto dan sebagian kondisi ruangan di Istana Presiden dapat secara langsung menyaksikan melalui layar televisi peristiwa di pagi hari 21 April 1998 itu. Cuma mengungkapkannya dengan kata-kata seperti di atas, mungkin tidak mampu lagi, karena sudah banyak lupanya. Itulah gunanya buku ini. Kehadiran buku ”Berhentinya Soeharto : Fakta dan Kesaksian Harmoko” membantu memahami apa yang terjadi di balik peristiwa 21 April 1998.
Saya seolah dibawa menelusuri sebagian lorong samar-samar perjalanan bangsa Indonesia, khususnya, saat-saat menjelang kejatuhan Soeharto.
Buku setebal 298 halaman yang diterbitkan PT Gria Media Prima, Jakarta pada Mei 2008 ini, terdiri dari enam bagian yakni Bagian 1 : “Prolog”, Bagian 2: “Ketika Palu Itu Patah”, Bagian 3: “Bulan Menegangkan Yang Mengawalinya”, Bagian 4: “Angin Reformasi Yang Dinamis”, Bagian 5: “Detik –Detik Terakhir” dan ditutup dengan Bagian 6: “Epilog”.
Buku ini menjadi menarik karena mengisahkan kesaksian Bung Harmoko. Apa dan bagaimana peran yang dimainkan Bung Harmoko, sebagai sosok politisi yang ”piawi”, cerdik, lincah dan populer pada saat itu. Seorang yang saat peristiwa memegang jabatan Ketua MPR dan Ketua Umum Golkar, serta sebelumnya dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Selama hampir separuh masa kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dia senantiasa berada di sekitar pusaran kekuasaan.
Buku ini memfokuskan pembahasan tentang peran serta keterlibatan Harmoko khususnya dalam kisaran kurang dari tiga bulan atau 70 hari masa jabatan Presiden Soeharto, yakni saat terpilihnya Soeharto melalui sidang MPR sampai berakhir kekuasaannya menjadi sangat menarik. Dalam masa kurang dari 70 jam sejak sebagai Pimpinan MPR menyampaikan pernyataan Pers, meminta Soeharto mundur. Masa-masa saat menentukan dari peristiwa reformasi dan berhentinya Soeharto dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun memegang jabatan Presiden Negara Republik Indonesia.
Di awal buku, dijelaskan kisah-kisah aneh serta kisah yang selama ini mungkin hanya ada di benak Bung Harmoko. Misalnya, kenapa palu sidang MPR itu pada saat Soeharto terpilih sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya (1998-2003), Kenapa Bung Harmoko meminta Soeharto mundur, kenapa Harmoko begitu berani dan lugas,mengingat selama ini dia begitu loyal kepada Soeharto?.
Selain itu, buku ini juga menjawab spekulasi yang beredar ketika itu tentang siapa yang bermain di belakang grand desain dalam mempercepat situasi buruk di tanah air pada 1997-1998.
Dalam menjelaskan rentetan proses kejatuhan Soaharto, buku ini mencatat dalam salah satu sub-bagian 3, Tragedi Trisakti: ”Awal dari Semua Mesti Berakhir”. Tragedi Tri Sakti 12 April 1998 mengingatkan aksi mahasiswa di tahun 1966, ketika Arif Rahman Hakim tertembak pasukan Cakrabirawa di depan Istana Negara, saat melakukan demonstrasi terhadap penguasa Orde Lama. Lantas diikuti gelombang protes terus membesar seperti dikisahkan dalam sub bagian berikutnya :”Mahasiswa Membara”-”Jakarta Membara”.
Ketakutan yang memuncak melanda sebagian masyarakat, hingga orang-orang asing dan non-pribumi berbondong-bondong meninggalkan Jakarta.
Langkah-langkah yang diambil Harmoko dalam suasana yang tegang itu dijelaskan dalam sub bagian : Langkah ”Bung Harmoko” : Aksi dan Reaksi.
Bagian 4 dan 5 mengisahkan detik-detik terakhir kejatuhan Soeharto. Hari yang menentukan, yakni Senin 18 Mei 1998. ”Senin, 18 Mei 1998, mendebarkan, menegangkan dan penuh ketidakpastian. Segenap tenaga dan kekuatan politik rakyat berada dalam ’jurang perpecahan’ membahayakan persatuan Indonesia, ”bila” tidak menggunakan ”akal sehat” terhadap solusi mengatasi ketegangan politik yang sedang mencapai puncaknya”.
Hari itu, jam 09 pagi WIB, di ruang kerja Bung Harmoko telah berkumpul wakil Ketua Syarwan Hamid, Ismail Hasan Mettareum, Abdul Gafur dan Fatimah Ahmad. Mereka berdiskusi serius, sementara di luar bukan hanya semata lautan manusia berupa ribuan mahasiswa, hal lain adalah munculnya spanduk-spanduk dan poster diantaranya bertuliskan ”Soeharto Harus Mundur”.
Akhirnya, hari itu juga, Pimpinan DPR memutuskan untuk mengutamakan kepentingan rakyat, yaitu ;bagaimana mencegah dan menghindarkan pertumpahan darah. Sekitar jam 16.00 WIB Harmoko membacakan keterangan pers, yang mengatakan : ”demi persatuan dan kesatuan meminta agar secara arif dan bijaksana Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri”.
Tiga hari kemudian, 21 April 1998, Soeharto benar-benar mengundurkan diri. Ketika itu saya kaget dan setengah tidak percaya. Mungkinkah?
Pengenalan Harmoko atas sosok Soeharto, falsafahnya dan prestasinya dikisahkan dalam bagian Epilog. ”Pak Harto juga manusia biasa, memiliki kekurangan selain kelebihannya, kita harus akui, itu Sunnatulah, karena itu memaafkan adalah sangat mulia”, kata Bung Harmoko. Kisah sakitnya Soeharto dan kemudian meninggal dunia 27 Januari 2008 turut menjadi bagian terakhir yang dibahas secara lengkap dalam sub-sub bab Epilog seperti: Pengakuan Kesalahan, Masa-masa Kritis Soeharto, Hidup dan Kematian serta sambutan Presiden Republik Indonesia Selaku Inspektur Upacara pada Pemakaman Almarhum Jenderal Besar (TNI) Haji Muhammad Soeharto.
Makin saya sadar, dalam politik tidak ada yang abadi. ”Tidak ada kawan atau lawan yang abadi yang ada kepentingan”, demikian salah satu kutipan dalam buku ini.
Dari keterangan dalam buku ini, buku yang hanya dipersiapkan selama satu bulan terasa memiliki kekurangan di sana sini dan terkesan diterbitkan secara terburu-buru. Buktinya, ralat di bagian belakang sampai 2 halaman. Kadang penulis terpaksa mengejar deadline.
Terlepas dari kekurangan itu, buku ini bagus dibaca para generasi muda serta mereka yang ingin mengetahui lebih jauh tentang peristiwa 21 April 1998. Bagi yang tertarik, silakan membacanya!.
Pertanyaan kita sekarang, sudahkah tuntutan Soeharto mundur, bisa terpenuhi era Reformasi yang sudah memasuki usia 14 tahun ini?. Mari kita renungkan bersama.
Kita jangan hanya pintar menyuruh orang mundur, tetapi meniru konsep Soeharto saja belum mampu membangun negeri ini. Jembatan saja tidak bisa dipelihara, jalan-jalan rusak, listrik mati idup, air PAM berhenti bebeberapa jam sehari, petani menjerit.Sudahkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme salah satu agenda reformasi sudah terhapus dari negeri ini, HAM ditegakkan, kasus Munir terungkap dengan terang benderang, para koruptor tidak ada lagi, demokrasi sudah memilih kualitas pemimpin seperti masa Orde Baru?. Akh kok jadi pesimis ya. Mari optimis, tetapi juga realistis.
Medan, 12 Desember 2011.