Oleh: Jannerson
Girsang
Menghormati pemenang! Kita prihatin terhadap kemampuan
bangsa ini menghargai pemenang. Bukan hanya terjadi dalam Pemilu,
Pilkada, Pilpres, tetapi juga kemenangan Fatin Shidqia Lubis yang
terpilih jadi pemenang X-Factor Indonesia berdasarkan jumlah short
message service (SMS) terbanyak. Dia mengalahkan Novita Sari Marpaung.
Kita perlu banyak belajar dalam menghormati pemenang.
MENARIK
sekali komentar Novita Dewi—pesaing Fatin ketika saya mengikuti
sebagian wawancara Novita Dewi dan Fatin yang dipandu Dedy Kombuzer, di
acara Hitam Putih Trans-7, 28 Juni 2013. Kedua perempuan berdarah
Batak itu tampil bersama-sama di televisi swasta itu. Mereka tampak
kompak dan bersahabat. Dalam wawancara itu, terjadi dialog yang cukup
menarik, di tengah kontroversi soal kejuaraan yang diraih Fatin.
Fatin
sendiri mengakui begitu banyak komentar tak sedap yang diarahkan pada
dirinya. Padahal, Fatin sendiri tentu tidak kuasa untuk membuat dirinya
sebagai pemenang. Pemenang kok jadi korban?
Jawaban-jawaban
positif dan bijak dari Novita Dewi bisa kita jadikan pelajaran
bagaimana menghormati seorang pemenang. Dedy Combuzer mengarahkan
pertanyaan pada Novita. "Sebenarnya Anda yang layak menang!," pancing
Dedy Combuzer. "Ini kan sesuai SMS dari pemirsa. Semuanya punya potensi
untuk jadi juara," kata Novita Dewi bijak.
"Kalau itu
tidak berdasar SMS, menang nggak Fatin?," cecar Dedy. "Kalau kompetisi
di luar dari X Factor Indonesia, (lupa lirik) itu memang kesalahan
fatal. Ini kembali kepada pemirsa. Biarpun dia salah lirik, not, kalau
sudah jadi pilihan bagi pemilihnya nggak masalah. Dia punya pesona
tersendiri menarik dukungan penggemar. Itu kelebihan Fatin. Suara dia
asyik banget," puji Novita lagi.
Novita Dewi paham betul
kriteria yang ditetapkan dalam X-Factor Indonesia. Dirinya menerima
dengan ikhlas kemenangan Fatin. Mengenai kemenangan yang telah diraih
Fatin meski sempat lupa lirik beberapa kali, Novita menyerahkan
penilaian itu pada masyarakat.
Soal selera penggemar
tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas suara. Dulu, ketika masih
sekolah di Pematangsiantar hingga akhir 1978, saya tidak suka suara
Ebiet G Ade.
Saya menyukai Koes Plus, Panbers, Eddy
Silitonga, Bob Tutupoly. Saya malah tak pernah mengetahui seorang
penyanyi bernama Ebiet G Ade.
Padahal, di Jakarta Ebiet
sedang ngetop. Setelah pindah SMA ke Jakarta, saya mulai mendengar lagu
Ebiet. Awalnya sangat aneh dan asing di telinga. Kalau disuruh memilih
saat itu, pasti saya tidak memilih Ebiet. Lagunya yang aneh di telinga
saya, Camelia, Berita Kepada Kawan, tak pernah saya dengar sebelumnya.
Tapi,
teman-teman di sekolah, radio dan televise setiap hari menyiarkan lagu
itu. Syair-syairnya yang memiliki pesan kuat tentang alam, kehidupan
dan cinta, menambah pesona Ebiet G Ade dan menjadi salah satu penyanyi
idola. Suaranya yang aneh itu, lama kelamaan jadi terbiasa. Telinga
saya makin akrab dengan lagu Ebiet dan menyukai lagu-lagunya hingga
sekarang.
Kalau Ebiet diadu pada perlombaan Lagu Pop,
barangkali tidak akan pernah mampu menyaingi kemampuan suara Eddy
Silitonga apalagi Bob Tutupoly yang sering menjuarai lomba menyanyi.
Pilihan seorang pemirsa kepada Fatin, tentu tidak serta merta
mengharuskan kualitas suaranya mirip atau melebihi kualitas suara
Novita Dewi.
Bahkan Ahmad Dhani beberapa menit sebelum
pengumuman, ketika diminta ramalannya mengatakan: “Pemenangnya adalah
Fatin”. Sementara Anggun C Sasmi mengatakan: “Pemenangnya adalah
Novita”. Dua juri yang sama-sama mengenal penampilan seorang penyanyi
dan prestasi luar biasa dalam tarik suara saja berbeda penilaian.
Komentar
Novita Dewi di acara Hitam Putih Trans-7 mengajarkan kita untuk
menghargai pilihan orang lain. Kita tidak bisa memaksakan selera
pemirsa yang mendorong mereka memilih sesuai selera kita. Kita harus
menghormati pemenangnya, walau menurut kita tidak pantas. Menurut orang
lain itu pantas-pantas saja.
Sekali lagi, kita harus
menghormati pemenang. Dewi sendiri menilai Fatin memiliki pesona dan
suaranya asyik banget. Dhani bilang: “Saya belum pernah melihat
penyanyi seperti Fatin”. Artinya, Fatin punya daya tarik yang khas dan
menarik bagi pemilih Indonesia, dan Novita kalah dalam hal ini. Bisa
jadi dia memiliki suara yang bagus, tetapi penggemarnya lebih sedikit.
Fatin memiliki pesona bagi pemilihnya dan menjadi kekuatan dirinya menggerakkan pemirsa untuk memilihnya.
Soal
ke depannya, di luar panggung, mungkin Fatin lebih disukai, atau
nantinya tidak sesukses Novita, itu masalah lain. Mungkin juga Novita
tidak sesukses Fatin. Siapa yang bisa meramalkan Ebiet G Ade yang
dulunya bersuara aneh di telinga saya, bisa menyamai bahkan melebihi
sukses Eddy Silitonga yang memenangi berbagai kejuaraan?
Di
atas panggung X-Faktor, Fatin sudah menjadi pemenang, karena meraih
jumlah SMS yang masuk lebih besar dari Novita. Hak para penggemar
Novita protes. Tapi, satu hal yang mereka sering tidak sadar, dan tak
mau paham adalah dasar pemilihan. Kebanyakan melancarkan cercaan karena
menilai kualitas suara Novitas lebih baik dari Fatin.
Padahal
X-Faktor, tidak menilai pemenang dari kualitas suara, tetapi
keberhasilan seseoang membuat pemirsa terpesona, tergerak untuk
mengirim SMS.
Itulah X-Factor Indonesia. Menyerahkan
penilaian pada pemilih bebas. Suka atau tidak suka, itulah perlombaan
yang banyak menyedot penonton. Mungkin para penggemar Novita, sama
seperti saya dulu menilai Ebiet G Ade. Saya awalnya tidak
mempertimbangkan Ebiet G Ade. Selera saya dan selera daerah lain juga
berbeda. Di daerah lain dia begitu digemari.
Menghormati
pemenang akan membuat diri kita makin dewasa. Pemenangnya memiliki rasa
kebanggaan dan menambah percaya diri. Selain itu, penyelenggaranya
tidak merasa terlecehkan.
Bukan hanya dalam tarik suara,
menuju Pemilu dan Pilpres 2014, bangsa ini perlu memahami pentingnya
menghormati pemenang!. Tak guna kita membuang-buang waktu mendiskusikan
hal-hal di luar kriteria yang telah ditetapkan. Siapapun pemenangnya,
kita harus hormati!.
Penulis adalah kolumnis, tinggal di Medan.