(Sambungan dari bagian 1)
Oleh: Ir Jannerson Girsang
Setelah kegiatan
memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.
Hari sudah mulai
gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak
begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.
Baru melangkah ke
bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir, hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak
lobang. Lalu tangannya terlepas karena
beban air nira yang cukup berat.
Malam senyap dan
suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun
bebas ke tanah.
“Ras………..,” bunyi
tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan
detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.
Di rumah gubuknya, Sarioto
dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan
setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.
Malam itu memang berbeda
dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum
tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.
Ibunya curiga sudah terjadi
sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat
penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar
rumah menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).
Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya
belum pulang dari “pargulaan” (tempat
memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu
memukul mong-mong dan berkeliling
desa.
“Mong….mong….mong,”bunyi
pukulan mong-mong--sejenis alat
gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki
berkumpul di depan kedai.
Seluruh penduduk
kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua
pemuda kampung dan beberapa orang tua ditugaskan mencari ayah Sarioto.
Puluhan pemuda dan
orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.
Setibanya di tempat
itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki
bertubuh kekar itu.
Satu regu menemukan
ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh
tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.
“Tubuh
manusia!,”teriaknya kaget.
“Apa….?,” kata yang
lain terkejut.
Setelah seseorang
mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah
Sarioto.
Tubuhnya tergeletak
di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat
dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.
Beberapa laki-laki
mengusungnya ke pargulaon dan di sana
mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.
Seluruh penduduk
kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di
sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah
Sarioto.
Tinggallah Sarioto
yang masih kecil bersama ibunya.
Merindukan
Makanan Enak
Setelah ayahnya
meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak
pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.
Penghasilan
ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.
Sarioto tumbuh
menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya,
ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika
ayahnya masih hidup.
Semasa hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil
buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya sering
berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan
lain-lain.
Ayahnya juga memasangsiding
(perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada
sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini,
burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar ladang di desa tempat tinggal Sarioto
Sarioto sangat
senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa
menikmati daging sepuasnya.
Sebagian daging
tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet selama beberapa hari. Daging seperti ini
disebut sale-sale dan rasanya sangat
nikmat.
Sehingga
berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di
luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.
Kini menjelang
usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya
bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa
membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat
sedikit imbalan.
Dia sering disuruh ibunya
membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak
seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.
Ibunya hanya bekerja
sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk
Sarioto.
Sarapan ubi jalar,
makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu
yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa
daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.
Sarioto sangat
merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan
aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.
Sarioto tinggal di
sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.
Jarak itu ditempuh
dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa
penduduk pergi ke tiga yang berjalan
kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali
melintasi hutan.
Penduduk desa yang
status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.
Sarioto hanya
diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia
diperbolehkan ikut ke tiga ketika menjelang robu-robu
(atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari
tigadia dibelikan ibunya sarung atau
baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)
(Artikel ini adalah
asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel
ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya
melalui email: girsangjannerson@gmail.com.
Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut).