Oleh:
Jannerson Girsang
Displin masyarakat pelintas
rel kereta api dan penanganan keamanan di perlintasan kereta api di Indonesia
sungguh memprihatinkan.
Yang membuat lebih memprihatinkan
lagi, ternyata, Jawa dan Sumatera, dua wilayah yang memiliki
jalur kereta api, masih memiliki ratusan perlintasan tidak resmi. Karena tidak
resmi, perlintasan itu tidak dijaga atau disediakan rambu-rambu.
Sudah ada palangpun, masih dilabrak, apalagi tidak ada sama sekali.
Bangsa ini perlu belajar dari tragedi-tragedi yang
sudah terjadi.. Tragedi yang sama terulang lagi. Nyawa berjatuhan, isak tangis
dan air mata tumpah!. Kehilangan ratusan nyawa setiap tahun, kerugian miliaran
rupiah, seharusnya mampu mengundang rasa peduli.
Ironisnya, kalau kecelakaan di perlintasan kereta api-jalan
raya, yang terjadi adalah silang pendapat, tentang siapa yang bertanggungjawab?
Pemda, PT KAI, Kepolisian, atau masyarakat pengguna jalan?. Sibuk mencari
“Kambing Hitam.
Sialnya, palang pintu rel kereta tetap tidak terpasang,
jalan di atas rel (fly over) atau
jalan di bawah rel (under pass) hanya
ada dalam khayalan!
Isak
Tangis Kesekian Kali
Rachmawati
Soekarnoputri—Ketua Yayasan Universitas Bung Karno tak mampu menahan air
matanya saat pemakaman Natalia Naibaho, mahasiswi universitas tersebut dan
menjadi korban tabrakan kereta KRL dengan truk tangki di persimpangan rel
Bintaro, Jakarta, 9 Desember 2013 lalu. .
Rasa sedih mendalam
dialami ibu kandung Natalia, keluarga masinis kereta api dan dua rekannya, serta
keluarga korban tewas dan keluarga yang anggota keluarganya yang mengalami luka-luka.
Seluruh bangsa ini berduka atas kealpaan kita semua menyikapi keamanan di
perlintasan kereta api.
Disamping kesedihan
mendalam, gerbong kereta api rusak, dan bahkan gerbong bagian depan hangus
terbakar, beserta kenderaan yang berada di sekitarnya. Artinya semua mengalami
kerugian, termasuk pihak perusahaan kereta api sendiri—perusahaan milik negeri
ini, milik rakyat.
Isak tangis kesekian
kalinya akibat kecelakaan kereta api bukan hanya terjadi di Jakarta, Jawa
Timur, juga di Sumatera Utara, cuma
gaungnya tidak sebesar Bintaro. Simaklah ungkapan jeritan rakyat yang disampaikan seorang aktivis berikut
ini.
“Nyawa warga sering
menjadi tumbal kereta api. Sering kali pada malam hari warga tertabrak kereta
karena tidak ada penjaga perlintasan, tidak ada portal keamanan dan penerangan
sekitar perlintasan rel juga tidak ada," kata Farid Abdillah, Direktur
Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Demokrasi dan Kemanusiaan (LSM PuDaK), ketika
memimpin rakyat dari beberapa desa di Kecamatan Duduksampean, Gresik yang
dilewati rel kereta api, yaitu Desa Sumari, Setrohadi, Tambakrejo dan Tumapel,
meminta palang perlintasan KA untuk menjaga keselamatan kepada PT Kereta Api
Indonesia (PT KAI) Daops VIII Surabaya, Sabtu 9 September 2013. Disebutkan warga
yang melintas dan menjadi korban kereta api setiap tahunnya rata-rata 10 orang
lebih. (Harian Tribun News, 12 Desember 2013).
Jeritan seperti ini mengancam provinsi ini juga. Di
wilayah layanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre I Sumut, sampai saat ini masih ada 136 titik
perlintasan kereta api resmi di Sumut rawan dengan kecelakaan. Hal itu
dikarenakan 39 titik perlintasan tersebut belum memiliki penjaga.(Tribun News,
Rabu 12/12).Sepanjang tahun 2013 jumlah kecelakaan yang terjadi di perlintasan
kereta api sebanyak 34 kasus.
Catatan kecelakaan
tabrakan kereta api dengan kenderaan bermotor, masih jelas dalam ingatan kita. Hari
Minggu, 1 Desember 2013, beberapa hari sebelum tragedy Bintaro, sekitar pukul
08.30 WIB sebuah mobil Kijang biru yang bernomor polisi BK 1306 VG ditabrak
kereta api di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dua orang tewas dan tiga orang
lainnya mengalami luka-luka. http://kereta-api.info.
Nyawa itu mahal bro!. Jangan disia-siakan!.
Tidak
Lagi Mencari “Kambing Hitam”
UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian telah
mengatur semua hal yang berkaitan dengan perkeretaapian. UU ini seharusnya
menjadi acuan dalam penyelenggaraan transportasi kereta api, khususnya
penanggungjawab persimpangan kereta api dengan jalan raya. Semua pihak harus
mematuhinya.
Dalam
sebuah ulasan di kolom Tajuk Rencana harian Padang Ekspress (12 Desember 2013)
dengan judul “Anomali Perlintasan Kereta
Api” cukup menarik disimak. Tajuk itu membahas tentang banyaknya kesalahpahaman dalam perkeretaapian di
Indonesia.
“Kereta
api bukan milik PT Kereta Api Indonesia. PT KAI hanyalah operator kereta. Di
luar itu, tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan stasiun, jalur
perjalanan kereta, persinyalan, pengamanan, hingga mengurusi perlintasan kereta
yang sebidang dengan jalan. Untuk tugas terakhir, UU Perkeretaapian telah
mengatur hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah daerah, termasuk di
antaranya menertibkan pintu perlintasan liar”.
Namun
sangat disayangkan, anomali kerap terjadi. Persinyalan yang seharusnya menjadi
tanggung jawab negara dalam praktiknya dibebankan kepada operator kereta api.
Negara kerap alpa memberi public service obligation (PSO) untuk
memperbaiki persinyalan, apalagi mengurusi perlintasan sebidang. Di wilayah
perlintasan kereta api ini, PT KAI dan pemda kerap silang pendapat. Satu
sama lain saling melempar tanggung jawab.
Belajar
dari Pengalaman
Negeri ini sudah memiliki
pengalaman lebih dari 100 tahun mengelola kereta api. Kita bangga dengan
prestasi yang diraih, khususnya PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Perusahaan
ini bukanlah perusahaan kacangan..
Membaca berita yang
dilansir website BUMN, : http://www.bumn.go.id,
kita bisa optimis. 5 Desember lalu,
beberapa hari sebelum peristiwa Bintaro yang sangat memilukan itu terjadi,
perusahaan ini meraih Juara II BUMN Jasa Non Keuangan Berdaya Saing Terbaik,
Anugerah BUMN 2013, sebelumnya Dirut PT KAI Raih Penghargaan The Best In Leading Change, CEO Pilihan
SPS 2013 dan Direktur Logistik dan Railway
Aset PT KAI, menerima penghargaan Korporasi Pilhan SPS 2013. Perusahaan ini
pasti mampu bekerja sama dengan pemerintah memberi solusi!. Kejarlah
penghargaan baru: Zero Accident 2014!
Rakyat saatnya juga
belajar berdisiplin. Menurut data Mabes POLRI, lebih dari 65 % penyebab
kecelakaan lalu lintas adalah karena kelalaian manusia. Masyarakat masih perlu
terus menerus diberi penyuluhan kesadaran berlalulintas. Kita melihat bagaimana
orang berkendara seenaknya menerobos, tidak mengindahkan palang, mengabaikan
pengguna jalan lain, dan berbagai perilaku tidak aman.
Kepolisian yang
bertanggungjawab soal keamanan lalu lintas, tentu juga harus berfikir agar para
pengendara bisa mematuhi rambu-rambu dan memberi perhatian atau membantu
penjagaan pada perlintasan-perlintasan kereta api. Selain itu, polisi jangan
bosan-bosan terus meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya tentang
kereta api yang jelas belum seintensif seperti penyuluhan lalulintas kenderaan
bermotor lainnya.
Pemda, khususnya
Pemprovsu tentu tidak boleh lagi mengabaikan begitu saja jeritan rakyatnya soal
kereta api. Sebagai provinsi satu-satunya di luar Jawa yang memiliki
transportasi penumpang kereta api, Gubernur sudah saatnya membuat kebijakan
yang operasional untuk membantu keamanan jalur kereta api.
Sudahkah Pemprovsu atau
Pemda Deli Serdang belajar dari peristiwa kecelakaan 1 Desember 2013 di Deli
Serang. Bagaimana dengan persimpangan-persimpangan jalur kereta api-Jalan raya
yang belum memiliki palang? Kapan Sumatera Utara memiliki jalan di atas rel (fly over) atau jalan di bawah rel (under pass)?.
Saatnya Gubernur atau
Bupati yang wilayahnya dilintasi kereta api, peka dan paling tidak membawanya
dalam rapat atau hanya sekedar memasukkannya dalam otak, sehingga lima atau
sepuluh tahun mendatang bisa diwujudkan dan korban bisa ditekan!
Peristiwa Bintaro
mengingatkan kita semua agar tidak lagi belajar mencari “kambing hitam”, tetapi
belajar menemukan solusi sehingga korban-korban kecelakaan seperti Bintaro dan
baru-baru ini di Deli Serdang tidak terulang lagi. Rakyat tidak sanggup lagi protes,
tetapi hanya berharap!.
Penulis adalah pengamat
sosial dan pengguna kereta api, Tinggal di Medan.