"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Kamis, 29 Oktober 2009
HARI SUMPAH PEMUDA KE 81
28 OKTOBER 2009
KAMI PUTRA-PUTRI INDONESIA MENGAKU :
BERTANAH AIR SATU, TANAH AIR INDONESIA
BERBANGSA SATU, BANGSA INDONESIA
BERBAHASA SATU, BAHASA INDONESIA
INILAH TEKS SUMPAH PEMUDA YANG SELALU DIBACAKAN SEJAK KAMI DI SEKOLAH DASAR DAN KINI TERUS BERGAUNG SETIAP PERAYAAN SUMPAH PEMUDA. TEKS ASLINYA TENTU BERBEDA, KARENA EJAANNYA BERBEDA. SEMOGA PEMAKNAANNYA MASIH SAMA. KITA MENDOAKAN AGAR BANGSA KITA SEMAKIN MENGHARGAI DAN MERAWAT TANAH AIR TERCINTA INI, SEMAKIN BERSATU, MENGHARGAI SATU SAMA LAIN DAN TAK LUPA MENCINTAI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA PERSATUAN.
Labels:
sosialita dan komunikasi
Jumat, 23 Oktober 2009
Belajar Dari Kisah Hidup Pele
Oleh : Jannerson Girsang
Di tengah suasana persepakbolaan nasional yang lesu darah dan menghadapi banyak masalah, ada baiknya kita belajar, dari seorang pemain bola legendaris,Pele, yang hari ini, 23 Oktober, genap berusia 69 Tahun.
Para pengemar atau pemain bola di Indonesia tentu tidak asing dengan nama itu. Mungkin beberapa diantara anda, sama seperti saya. Hanya bisa menyaksikannya melalui televisi atau media cetak. Bahkan menonton pertandingan persahabatannya yang pernah diselenggarakan di Jakarta beberapa tahun lalupun tidak mampu (jauh soalnya dari Medan). Permainan bola Pele tak pernah membosankan untuk ditonton. Orangnya menarik dan tidak banyak kontroversi. Namanya senantiasa membawa keagungan dan tidak pernah lenyap dari persepakbolaan dunia, hingga hari ini.
Terlahir dengan nama Edson Arantes do Nascimento), atlet, pemain sepak bola profesional ini, lahir di Tres Coracoes, Brasil, 23 Oktober 1940. Meskipun ia miskin, Pelé tumbuh menjadi seorang superstar olahraga internasional.
Sepanjang masa kecilnya, ia bermain sepakbola “kapanpun dan dimanapun dia bisa”, kadang-kadang menggunakan kaus kaki boneka untuk bola. Pele pertama kali bergabung dengan tim sepak bola pada usia 12 tahun. Penampilan pertamanya pada piala Dunia 1958, yang berhasil mencetak dua gol membuatnya menjadi sensasi internasional. Saat itu dia masih berusia 17 tahun,
Selama karirnya yang mengagumkan itu--mulai pada tahun 1956 dengan FC Santos dan berakhir pada tahun 1977 dengan New York Cosmos, Pele mencetak gol dalam jumlah yang luar biasa. Dari 1363 pertandingan resmi yang diikutinya, dia mampu mencetak 1281 gol. Saat masih aktif sebagai pemain, Pelé menjadi legenda, mitos dan tugu hidup permainan sepak bola. Bersama dengan pemain-pemain senegaranya, Brazil memenangkan Piala Dunia tiga kali, yakni pada 1958, 1962 dan 1970.
Setelah menggantungkan sepatunya, Pelé menjadi seorang duta besar pertandingan, baik dalam iklan untuk perusahaan-perusahaan besar dan juga atas nama amal, seperti kesejahteraan anak-anak dan organisasi kesehatan. Dia juga aktif dalam permainan itu sendiri. Meskin ketenaran di tangannya, ia tetap rendah hati, simpatik dan cerdas. Dia juga bekerja untuk pemerintah Brasil dan menjadi Menteri Olahraga negara itu pada periode 1994-1998.
Pada tahun 1998 FIFA mendirikan Komite Sepak Bola. Sejak itu Pelé menjadi anggota aktif dari kelompok elite ini dan selalu menjadi tamu terhormat di FIFA House.
Pele bukan hanya pemain sepak bola yang terampil di lapangan, tetapi juga trampil dalam dunia diplomasi olah raga. Keterampilan diplomasinya sebagai duta besar olah raga dunia membantu Brasil memenangkan negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, dan Rio de Janeiro akan menjadi tuan rumah Olimpiade yang diselenggarakan 2016 mendatang.
Pele tentu tidak besar sendiri. Dia dikelilingi orang-orang yang memahami bola dan mampu memfasilitasi dirinya menjadi seorang superstar.
Melihat kondisi persepakbolaan daerahku sekarang ini, saya ingat kembali ke masa anak-anak dan remajaku. Saya percaya, perhatian dan minat masyarakat akan bola, tidak lepas dari pengelolaan bola itu sendiri, sehingga menciptakan idola. Kami mencintai sepakbola, karena pada masa itu persepakbolaan di daerah kami, dan juga di tingkat nasional begitu membanggakan.
Di era akhir enampuluhan-awal 1970-an, Sumut masih memiliki tokoh bola seperti TD Pardede, dengan Pardedetexnya, dan tokoh bola Kamaruddin Panggabean yang piawi mengelola persepakbolaan di daerah dan nasional. Kita punya gubernur, Marah Halim Harahap. Nama gubernur saat itu menjadi icon sepakbola di Sumatera Utara. "Marah Halim Cup", atau lebih dikenal dengan Mahal Cup setiap tahun ditunggu-tunggu dan penontonnya, khususnya pertandingan final akan memenuhi Stadion Teladan yang berkapasitas 40,000 penonton itu. Sungguh membanggakan!.
Stadion Teladan Medan, ketika itu secara rutin menjadi arena pertandingan internasional, karena peserta Mahal Cup terdiri dari kesebelasan-kesebelasan dari luar negeri (kami akrab dengan pemain-pemain dari Burma, Thailand, Malaysia, Singapura dan lain-lain). Kami tidak pernah menyaksikan pertandingan yang rusuh. Pertandingan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar tau bola. Gubernurnya, tokoh-tokoh pengelola sepakbolanya, pemain-pemainnya, semua mengerti bola. Nobon, Parlin Siagian, Ronny Pasla, adalah beberapa pemain yang begitu memukau dan menjadi idola.
Sayang, entah sejak kapan dan entah mengapa Marah Halim Cup tidak ada lagi. Saya hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Mudah-mudahan para tokoh sepak bola mau bertanya kepada pak Marah Halim yang masih hidup dan mencari jawabnya.
Itu di daerah. Saya dan masyarakar penggemar bola nasional merindukan persepakbolaan nasional yang menghasilkan pemain sekualitas Pele. Para pengelola sepakbola--paling tidak mendekati pengelola Pele. Yah, setidaknya kita masih bisa meraih prestasi Runner Up Asia Cup di era 1950-an. Barangkali terlalu ideal ya. Apa ya, tidak bisa dipelajari?
Bagi para tokoh-tokoh dan pemain sepakbola di Indonesia, saya mengajak anda menjadikan momen Ulang Tahun Pele 69 ini untuk merenungkan kembali strategi persepakbolaan nasional kita.
Sebagai orang yang sangat menggandrungi olah raga ini, saya dan masyarakat seperti saya rindu pemain idola yang dihasilkan dari permainan fair, pengelolaan yang profesional. Kita tidak ingin terulang lagi pertandingan seperti ”Sriwijaya-Persipura” di Palembang baru-baru ini. Pertandingan yang bikin malu kita semua.
Tentu, jawabannya ada pada Andi Mallarangeng dan tokoh-tokoh bola Tanah Air!Sebuah tantangan berat untuk bung Andi Mallarangeng, Menpora RI yang baru.
”Jangan jawab dengan kata-kata, jawablah dengan tindakan nyata”, mengutip ucapan Presiden SBY pada pelantikan Menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, 22 Oktober 2009 lalu.
Selamat Ulang Tahun Pele!. Kita harus banyak belajarlah dari kisah Pele.
Bahan Referensi :
http://www.timesonline.com
http://www.biography.com
http://www.latinosportslegends.com/Pele_bio.htm
Di tengah suasana persepakbolaan nasional yang lesu darah dan menghadapi banyak masalah, ada baiknya kita belajar, dari seorang pemain bola legendaris,Pele, yang hari ini, 23 Oktober, genap berusia 69 Tahun.
Para pengemar atau pemain bola di Indonesia tentu tidak asing dengan nama itu. Mungkin beberapa diantara anda, sama seperti saya. Hanya bisa menyaksikannya melalui televisi atau media cetak. Bahkan menonton pertandingan persahabatannya yang pernah diselenggarakan di Jakarta beberapa tahun lalupun tidak mampu (jauh soalnya dari Medan). Permainan bola Pele tak pernah membosankan untuk ditonton. Orangnya menarik dan tidak banyak kontroversi. Namanya senantiasa membawa keagungan dan tidak pernah lenyap dari persepakbolaan dunia, hingga hari ini.
Terlahir dengan nama Edson Arantes do Nascimento), atlet, pemain sepak bola profesional ini, lahir di Tres Coracoes, Brasil, 23 Oktober 1940. Meskipun ia miskin, Pelé tumbuh menjadi seorang superstar olahraga internasional.
Sepanjang masa kecilnya, ia bermain sepakbola “kapanpun dan dimanapun dia bisa”, kadang-kadang menggunakan kaus kaki boneka untuk bola. Pele pertama kali bergabung dengan tim sepak bola pada usia 12 tahun. Penampilan pertamanya pada piala Dunia 1958, yang berhasil mencetak dua gol membuatnya menjadi sensasi internasional. Saat itu dia masih berusia 17 tahun,
Selama karirnya yang mengagumkan itu--mulai pada tahun 1956 dengan FC Santos dan berakhir pada tahun 1977 dengan New York Cosmos, Pele mencetak gol dalam jumlah yang luar biasa. Dari 1363 pertandingan resmi yang diikutinya, dia mampu mencetak 1281 gol. Saat masih aktif sebagai pemain, Pelé menjadi legenda, mitos dan tugu hidup permainan sepak bola. Bersama dengan pemain-pemain senegaranya, Brazil memenangkan Piala Dunia tiga kali, yakni pada 1958, 1962 dan 1970.
Setelah menggantungkan sepatunya, Pelé menjadi seorang duta besar pertandingan, baik dalam iklan untuk perusahaan-perusahaan besar dan juga atas nama amal, seperti kesejahteraan anak-anak dan organisasi kesehatan. Dia juga aktif dalam permainan itu sendiri. Meskin ketenaran di tangannya, ia tetap rendah hati, simpatik dan cerdas. Dia juga bekerja untuk pemerintah Brasil dan menjadi Menteri Olahraga negara itu pada periode 1994-1998.
Pada tahun 1998 FIFA mendirikan Komite Sepak Bola. Sejak itu Pelé menjadi anggota aktif dari kelompok elite ini dan selalu menjadi tamu terhormat di FIFA House.
Pele bukan hanya pemain sepak bola yang terampil di lapangan, tetapi juga trampil dalam dunia diplomasi olah raga. Keterampilan diplomasinya sebagai duta besar olah raga dunia membantu Brasil memenangkan negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, dan Rio de Janeiro akan menjadi tuan rumah Olimpiade yang diselenggarakan 2016 mendatang.
Pele tentu tidak besar sendiri. Dia dikelilingi orang-orang yang memahami bola dan mampu memfasilitasi dirinya menjadi seorang superstar.
Melihat kondisi persepakbolaan daerahku sekarang ini, saya ingat kembali ke masa anak-anak dan remajaku. Saya percaya, perhatian dan minat masyarakat akan bola, tidak lepas dari pengelolaan bola itu sendiri, sehingga menciptakan idola. Kami mencintai sepakbola, karena pada masa itu persepakbolaan di daerah kami, dan juga di tingkat nasional begitu membanggakan.
Di era akhir enampuluhan-awal 1970-an, Sumut masih memiliki tokoh bola seperti TD Pardede, dengan Pardedetexnya, dan tokoh bola Kamaruddin Panggabean yang piawi mengelola persepakbolaan di daerah dan nasional. Kita punya gubernur, Marah Halim Harahap. Nama gubernur saat itu menjadi icon sepakbola di Sumatera Utara. "Marah Halim Cup", atau lebih dikenal dengan Mahal Cup setiap tahun ditunggu-tunggu dan penontonnya, khususnya pertandingan final akan memenuhi Stadion Teladan yang berkapasitas 40,000 penonton itu. Sungguh membanggakan!.
Stadion Teladan Medan, ketika itu secara rutin menjadi arena pertandingan internasional, karena peserta Mahal Cup terdiri dari kesebelasan-kesebelasan dari luar negeri (kami akrab dengan pemain-pemain dari Burma, Thailand, Malaysia, Singapura dan lain-lain). Kami tidak pernah menyaksikan pertandingan yang rusuh. Pertandingan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar tau bola. Gubernurnya, tokoh-tokoh pengelola sepakbolanya, pemain-pemainnya, semua mengerti bola. Nobon, Parlin Siagian, Ronny Pasla, adalah beberapa pemain yang begitu memukau dan menjadi idola.
Sayang, entah sejak kapan dan entah mengapa Marah Halim Cup tidak ada lagi. Saya hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Mudah-mudahan para tokoh sepak bola mau bertanya kepada pak Marah Halim yang masih hidup dan mencari jawabnya.
Itu di daerah. Saya dan masyarakar penggemar bola nasional merindukan persepakbolaan nasional yang menghasilkan pemain sekualitas Pele. Para pengelola sepakbola--paling tidak mendekati pengelola Pele. Yah, setidaknya kita masih bisa meraih prestasi Runner Up Asia Cup di era 1950-an. Barangkali terlalu ideal ya. Apa ya, tidak bisa dipelajari?
Bagi para tokoh-tokoh dan pemain sepakbola di Indonesia, saya mengajak anda menjadikan momen Ulang Tahun Pele 69 ini untuk merenungkan kembali strategi persepakbolaan nasional kita.
Sebagai orang yang sangat menggandrungi olah raga ini, saya dan masyarakat seperti saya rindu pemain idola yang dihasilkan dari permainan fair, pengelolaan yang profesional. Kita tidak ingin terulang lagi pertandingan seperti ”Sriwijaya-Persipura” di Palembang baru-baru ini. Pertandingan yang bikin malu kita semua.
Tentu, jawabannya ada pada Andi Mallarangeng dan tokoh-tokoh bola Tanah Air!Sebuah tantangan berat untuk bung Andi Mallarangeng, Menpora RI yang baru.
”Jangan jawab dengan kata-kata, jawablah dengan tindakan nyata”, mengutip ucapan Presiden SBY pada pelantikan Menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, 22 Oktober 2009 lalu.
Selamat Ulang Tahun Pele!. Kita harus banyak belajarlah dari kisah Pele.
Bahan Referensi :
http://www.timesonline.com
http://www.biography.com
http://www.latinosportslegends.com/Pele_bio.htm
Selasa, 13 Oktober 2009
Anda Ingin Membuat Otobiografi Sendiri!
Oleh: Jannerson Girsang
Anda sedang menulis otobiografi sendiri, tetapi bertahun-tahun hanya mampu menulis bab pendahuluannya saja. Atau, anda sedang membantu menulis otobiografi ayah atau ibu anda? Taukah anda, kesulitan utama, sehingga tidak bisa menulis otobiografi?.
”Saya tidak tau kalau menulis otobiografi pertanyaannya seperti ini,” demikian kometar yang sering kami temui setiap membantu seseorang menulis otobiografi. Itu salah satu, tapi banyak lagi yang lain, seperti apa saja yang dimasukkan dalam sebuah otobiografi, serta cara penulisannya.
Jangan putus asa! Anda sudah tersambung dengan seluruh pusat pengetahuan di seluruh jagad raya ini. Mengajak anda belajar bersama, saya memperkenalkan webiste ini: http://www.therememberingsite.org. Silakan anda buka!
Setelah membukanya, anda akan menemukan kata-kata ini. “The Remembering Site is for all of you who want to write and publish your life memories, experiences, memoirs, or autobiography but have been overwhelmed at the prospect. For just USD $50 (a one-time registration fee), The Remembering Site contains over one thousand evocative, story-telling questions to lead you through the process”.
Jangan terfokus pada biaya pedaftarannya. Saya yakin, banyak pembaca websiteku ini, sama dengan saya ya!. Saya yakin, pemilik website tersebut pasti senang, karena websitenya saya kenalkan kepada anda. Pasti nilanya lebih dari sekedar membayar USD $ 50, tokh!. Mungkin suatu ketika, saya akan mendaftar, saat saya sudah mau menulis otobiografi sendiri!
Bagi anda yang kebetulan memiliki uang dan ingin buku otobiografi anda dibaca oleh lebih banyak orang di dunia ini, silakan mendaftar!.
Tetapi, kalau anda seperti saya, silakan manfaatkan website ini sebagai tempat kuliah: Belajar sendiri membuat otobiografi. Anda bisa memilih pengalaman orang mirip atau hampir mirip dengan anda.
Membaca dan mempelajari pengalaman orang lain, adalah salah satu cara saya belajar hal-hal baru serta memperbaiki cara yang sudah dipraktekkan akhirnya membuat saya yakin apa yang saya kerjakan. Meski sudah membantu menulis beberapa buku otobiografi dan biografi tokoh dan orang biasa di Sumatera Utara--Indonesia, menelusuri website ini seolah saya menemukan sesuatu hal yang membuat saya merasa lebih yakin akan cara yang saya tempuh selama ini.
Di dalam website di atas saya menemukan berbagai kisah kehidupan--beragam manusia di seluruh dunia, dari Australia, Bangladesh, Canada, Cuba, Germany, Irlandia, Polandia, Filippina, Sudan, Afrika Selatan, Swiss. Ingerís dan lain-lain. Simple saja. Tidak seperti kebanyakan kita disini yang senantiasa membuat rumit segala persoalan yang sederhana.
Kalau anda ingin merasakan kenikmatan seperti yang saya alami, bacalah secara teliti website di atas. Pasti Anda menemukan ribuan pertanyaan dan tinggal memilih sesuai dengan kisah kehidupan anda sendiri.
Selain itu, saya begitu terkesan dengan D.G.Fulford—salah seorang co-author website ini. Fulford adalah seorang penulis dan sekaligus seorang pelukis. Dia bercerita tentang dirinya secara gamblang, menjawab pertanyaan tentang dirinya sendiri. Begitu nyata dan memberikan energi baru bagi saya.
Menurut saya website ini sangat membantu membimbing saya dan anda membuat pertanyaan yang relevan dengan hidup anda. Selain itu, anda bisa melihat contoh-contoh pertanyaan untuk berbagai macam orang dari seluruh dunia. Anda bisa menemukan jawaban-jawaban dari masing-masing pertanyaan itu.
Website ini ditulis dalam bahasa Inggeris. Tetapi tak perlu khawatir, Anda bisa memanfaatkan terjemahan Google. Tau kan caranya, search: Terjemahan Google di Google atau Yahoo. Copy file yang akan anda terjemahkan. Tinggal periksa karena tool terjemahan ini tidak sempurna betul. Tapi setidaknya meski ditulis dalam bahasa Inggeris anda bisa menangkap maknanya.
Betapa hebatnya dunia ini sekarang. Anda mengikuti kuliah secara gratis!. Silakan mencoba!
Untuk sumber lain anda bisa mengunjungi : your life is your story., writeanygenre,
Selasa, 06 Oktober 2009
Belajar Hidup Dari Kisah Hidup
Oleh : Jannerson Girsang
Sumber foto: http://www.illustrationartgallery.com/acatalog/ArtistsBiographies.html
Membaca buku biografi dan otobiografi adalah pengalaman mengesankan bagi saya. Berbagai pengalaman tokoh dalam biografi dapat memberi ilham saat menghadapi masalah hidup.
Membaca buku Biografi Mahatma Gandhi, Muhammad Hatta, Soekarno, misalnya. Kehidupan Mahatma Gandhi mengajarkan soal ahimsa--memilih cara damai dan menjauhkan kekerasan, kesederhanaan, uang bukan segalanya dalam hidup. Buku Biografi Muhammad Hatta mengajarkan kesabaran menghadapi situasi, soal konsep hidup secara adil dan beradab. Buku-buku Biografi Soekarno mengajarkan kami pentingnya ide-ide besar disampaikan ke tengah-tengah masyarakat baik melalui lisan (pidato-pidato, pembicaraan langsung) maupun secara tulisan, soal pentingnya seseorang pemimpin menguasai persoalan bangsanya, soal perjuangan, nasionalime dan idealisme. Menuju kemenangan, mencapai keagungan yang mereka raih di kemudian hari, buku-buku ini mengajarkan sebuah kerja keras, konsistensi, dan ketekunan.
Belakangan, ketika sudah memahami kemajuan teknologi internet dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, saya membaca kisah Larry Page dan Sergey Brin, dua orang pencipta Google, (The Succes story of Google), atau Mark Elliot Zuckerberg pencipta Facebook.
Kisah dua orang pendiri Google mengajarkan saya betapa pentingnya “rencana bisnis jitu” yang menginsipirasi para pemodal menanam modalnya. Sayangnya, kisah terciptanya Google dan Facebook sendiri jarang dikomunikasikan kepada generasi muda di daerah ini. Perjuangan, tantangan mereka seharusnya meinginspirasi para anak-anak muda kita. Ingin seperti mereka, harus mau belajar dan bekerja seperti mereka.
Pengantar di atas adalah pengalaman membaca kisah hidup, yang kami alami. Pasti berbeda dengan pengalaman anda!
Secara umum, buku kisah kehidupan (Biografi atau otobiografi) merekam kehidupan seseorang : tindakan-tindakannya, peristiwa yang dialaminya, pemaknaan atas tindakan-tindakannya dan peristiwa itu sendiri, dalam mengarungi rangkaian masa yang berubah.
Buku jenis ini semakin banyak diminati. Anda bisa saksikan sendiri semakin membanjirnya buku-buku biografi dan otobiografi di toko-toko buku. Ratusan ribu judul buku biografi ditulis di berbagai negara dunia ini setiap tahun.
Apa yang istimewa dalam buku ini, sehingga banyak orang menyukainya?.Buku jenis ini menawarkan Anda menemukan kisah sukses, gagal, sedih, senang, bersemangat, lesu, kiat baru dan lain-lain.
Pelaku-pelaku mulai dari tokoh-tokoh terkenal: pemimpin-pemimpin pemerintahan, tokoh politik, pemimpin agama, pengusaha, para humanis, sampai kisah ibu-ibu rumah tangga. Kisahnya diramu dengan gambaran soal ruang, waktu, dan suasana yang menciptakan kisah yang hidup, seolah pembaca terlibat dalam kisah yang dibacanya.
Pelaku-pelaku mulai dari tokoh-tokoh terkenal: pemimpin-pemimpin pemerintahan, tokoh politik, pemimpin agama, pengusaha, para humanis, sampai kisah ibu-ibu rumah tangga. Kisahnya diramu dengan gambaran soal ruang, waktu, dan suasana yang menciptakan kisah yang hidup, seolah pembaca terlibat dalam kisah yang dibacanya.
Dengan membaca buku biografi atau otobiografi Anda bisa menyerap pengalaman seseorang dalam merenungkan arti hidup dengan tepat, melakukan tindakan yang tepat, (terkadang anda dihipnotis dengan bagaimana Tuhan berperan dalam hidupnya). Proses seseorang keluar dari himpitan kehidupan yang menyesakkan, begitu mengasyikkan. Hingga anda tidak ingin menyelesaikannya sebelum cerita berakhir, bahkan kadang lupa makan dan minum.
Anda belajar memahami bahwa keberhasilan terjadi saat seseorang terbuka dan rela melawan pikiran ”tidak bisa berubah” dan apatis. Seberapa beratpun beban Anda, semuanya sudah pernah dialami orang lain—hanya waktu, tempat dan suasananya yang berbeda.
Singkatnya, Biografi membantu menginsiprasi Anda mencari jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup. Anda akan terkesima ketika tokoh berkata :”Sesuatu akan Indah pada Waktunya”. Sikap yang sulit dipahami seseorang yang sedang dalam kesulitan bahkan hampir menghadapi rasa frustrasi.
Singkatnya, Biografi membantu menginsiprasi Anda mencari jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup. Anda akan terkesima ketika tokoh berkata :”Sesuatu akan Indah pada Waktunya”. Sikap yang sulit dipahami seseorang yang sedang dalam kesulitan bahkan hampir menghadapi rasa frustrasi.
Buku biografi menawarkan Anda menemukan banyak hal yang mengejutkan. Anda bisa belajar melihat keunggulan orang lain sekaligus melihat keunggulan Anda sendiri.
Hal yang perlu kita galakkan saat ini, menghindari sikap ”iri”, mengklaim ketokohan diri sendiri dengan meremehkan orang lain. Biarlah orang besar dengan kebesarannya, carilah keunggulan anda supaya bisa menjadi besar dalam kebesaran anda sendiri.
Membaca biografi, Anda terlatih melihat keunggulan orang lain, sekaligus belajar melihat banyak kelebihan yang Anda miliki.
Hal yang perlu kita galakkan saat ini, menghindari sikap ”iri”, mengklaim ketokohan diri sendiri dengan meremehkan orang lain. Biarlah orang besar dengan kebesarannya, carilah keunggulan anda supaya bisa menjadi besar dalam kebesaran anda sendiri.
Membaca biografi, Anda terlatih melihat keunggulan orang lain, sekaligus belajar melihat banyak kelebihan yang Anda miliki.
Setelah membaca, Anda mungkin akan menyimpulkan, "Aduh, kalau melakukan yang seperti ini, saya juga bisa, mengapa tidak saya mulai?”. Atau suatu saat, Anda akan berujar : ”Memang hebat orang ini, bagaimana saya bisa menciptakan yang berbeda dengan cara saya sendiri!”.
Ketika Anda mengalami hinaan orang, dan membandingkan pengalaman seseorang dalam buku biografi, Anda bisa berujar, ”Ternyata hinaan ini tidak seberapa, ketimbang tokoh yang kubaca”. Sehingga suatu saat Anda semakin kuat dan bisa mengatakan ”untunglah anda menghina saya, kalau tidak saya tidak akan jadi seperti ini”. ”Untunglah guru saya dulu tidak mengizinkan saya sekolah di sana, kalau tidak saya pasti hanya sebagai gemble”.
Biografi banyak mengajarkan saya memaknai sebuah kesalahan, kegagalan menjadi sebuah berkah!. Tidak justru asyik dengan mencari kambing hitam, tetapi belajar dari kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Ketika Anda mengalami hinaan orang, dan membandingkan pengalaman seseorang dalam buku biografi, Anda bisa berujar, ”Ternyata hinaan ini tidak seberapa, ketimbang tokoh yang kubaca”. Sehingga suatu saat Anda semakin kuat dan bisa mengatakan ”untunglah anda menghina saya, kalau tidak saya tidak akan jadi seperti ini”. ”Untunglah guru saya dulu tidak mengizinkan saya sekolah di sana, kalau tidak saya pasti hanya sebagai gemble”.
Biografi banyak mengajarkan saya memaknai sebuah kesalahan, kegagalan menjadi sebuah berkah!. Tidak justru asyik dengan mencari kambing hitam, tetapi belajar dari kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Selain itu, dengan seringnya anda membaca buku jenis ini, Anda akan berminat memahami seseorang lebih mendalam. Anda akan berlatih menilai seseorang secara obyektif, tidak hanya mengenal seseorang seperti ”kucing dalam karung”, kemudian menciptakan persepsi dan stigma-stigma menurut pemahaman sendiri.
Anda akan belajar, bagaimana seseorang sampai mencapai kondisinya seperti sekarang? Tidak cukup hanya menilai seseorang baik--sesaat setelah membagi-bagikan sesuatu, tanpa memahami seseorang dengan baik. Mengapa ia sampai mampu dan mau membagi-bagikannya, itulah pertanyaan kristis yang dijawab dalam buku biografi-atau otobiografi.
Membaca puluhan buku biografi, serta membudayakan anak-anak membaca buku biografi, dampaknya terasa pada ketahanan mereka menghadapi tantangan hidup. Ketika kami mengalami kesulitan keuangan, anak-anak maklum, ketika mereka harus bekerja atau belajar dalam kondisi stress, mereka lebih kuat.
Bahkan buku-buku seperti ini mampu mengajarkan anak-anak memahami masa depan mereka. Sukses hanya bisa dicapai dengan kerja keras, ketekunan dan fokus. Tidak semata mengandalkan KKN.
Mereka belajar secara nyata arti gagal, dan berhasil melalui kehidupan nyata seseorang. Buku jenis ini mengisahkan bahwa kegagalan hanyalah sebuah tahapan proses kehidupan memulai keberhasilan baru.
Gagal, bukan tindakan yang harus mendapat hukuman!. Ada pelajaran berharga di dalamnya. Sukses adalah sebuah keagungan, dimana seseorang bisa memberi lebih banyak kepada orang lain, bermanfaat bagi orang lain.
Gagal, bukan tindakan yang harus mendapat hukuman!. Ada pelajaran berharga di dalamnya. Sukses adalah sebuah keagungan, dimana seseorang bisa memberi lebih banyak kepada orang lain, bermanfaat bagi orang lain.
Pengalaman kami, mengajak anak-anak dan keluarga membaca buku biografi yang ditulis dengan kaidah-kaidah yang benar, bisa menjadi salah satu alternatif menangkal kehidupan khayalan yang banyak disiarkan televisi melalui ”sinetron” yang banyak menawarkan ”impian”, bukan kehidupan ”nyata” yang membumi.
Memperkenalkan buku biografi tokoh-tokoh di sekitar kita, bisa memotivasi minat baca di kalangan keluarga. Sekaligus mengetahui lingkungan sekitarnya—yang dekat dengan mereka. Sayang, banyak buku biogafi yang beredar di sekitar kita berasal dari terjemahan sukses di negeri orang. Sehingga tidak bisa banyak diserap oleh anak-anak dalam membentuk watak keindonesiaannya. Alangkah baiknya kalau mereka diberikan kisah kehidupan nyata di sekitarnya.
Singkatnya, dengan membaca biografi, Anda bisa membuat hidup lebih berarti.Rajinlah membaca biografi.
Tak perduli kehidupan orang besar atau orang tidak terkenal. Apakah ditulis seorang penulis terkenal atau penulis pemula. Dengan gaya sastra modern atau tulisan yang sederhana sekalipun.
Ini pengalaman pribadi saya, silakan mencoba memulainya!
Tak perduli kehidupan orang besar atau orang tidak terkenal. Apakah ditulis seorang penulis terkenal atau penulis pemula. Dengan gaya sastra modern atau tulisan yang sederhana sekalipun.
Ini pengalaman pribadi saya, silakan mencoba memulainya!
Tulisan ini diilhami oleh Action Principle, http://billfitzpatrick.com
Labels:
Artikel
Senin, 28 September 2009
Cukup Populerkah Anda di Web?
Oleh : Jannerson Girsang
Kalau selama ini anda sudah mengenal istilah PageRank untuk mengukur traffik ke web anda (seperti Alexa, Google, dan lain-lain), maka kini anda menemukan istilah PeopleRank--mengukur kepopuleran orang di web dengan mesin pencari bernama : WebMii. Levelnya Internasional dan Perancis. Negara lain menyusul barangkali.
Disamping itu, web ini juga bisa digunakan mencari jejak teman atau seseorang di internet, seperti sudah dibahas dalam www.visigraphic.com.
28 September 2009 lalu, iseng-iseng saya membuka website yang sudah link ke website saya beberapa waktu lalu. Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik karena nama webnya agak asing.
Setelah membuka, saya tertarik dengan sebuah pernyataan di bawah logo web tersebut berbunyi seperti ini :
”Find all online public information about you (and other people) and get your PeopleRank: your visibility score on the web”.
Kata-kata PeopleRank, skor kepopuleran, menarik bagi saya, karena latar belakang saya pernah menjadi konsultan kampanye. Betapa sulitnya menilai kepopuleran seseorang, sebagai awal merencang sebuah program kampanye di pilkada, maupun legislatif.
Hebat juga!. Web ini menciptakan ranking semua manusia yang nyantol di web, dengan ranking dimulai dari terendah 0 dan tertinggi 10.
Anda bisa lakukan langkah-langkah berikut :
1.Kunjungi website http://www.webmii.com
2.Isi nama depan anda (orang yang ingin anda ranking) di kolom kiri dan nama belakang di kolom kanan.
3.Di sebelah kanan kolom nama belakang terdapat kolom dengan dua pilihan, mau lihat kepopuleran anda (orang yang anda cari) di level internasional, pilih internasional, dan kalau ingin tau kepopuleran di Perancis, pilih France.
4.Lihat rank kepopuleran anda di sebelah kiri : di sana akan tertera ranking antara 0-10. Warna angkanya merah jambu.
Saya tidak tau validitas mesin pencari ini. Tapi, bagi saya sebagai hiburan ya oklah!
Web ini juga menampilkan foto orang tersebut di internet, keanggotaan di berbagai jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, LinkedIn, Bebo, Twitter, Website dan blog yang dimilikinya, Kata kunci yang berhubungan dengan orang tersebut, Orang-orang yang saling terhubung dengannya dan data anda di mesin pencari Yahoo dan Google. (Lihat ulasan www.visigraphic.com).
Selain itu juga ditampilkan berita anda (seseorang yang anda cari) selama 30 hari terakhir!.
Kini para netter (pengguna internet) bisa melihat kepopuleran dirinya, teman dan tokh idolanya. Salut buat pencipta WebMii. Selamat berkreasi!.
Kalau selama ini anda sudah mengenal istilah PageRank untuk mengukur traffik ke web anda (seperti Alexa, Google, dan lain-lain), maka kini anda menemukan istilah PeopleRank--mengukur kepopuleran orang di web dengan mesin pencari bernama : WebMii. Levelnya Internasional dan Perancis. Negara lain menyusul barangkali.
Disamping itu, web ini juga bisa digunakan mencari jejak teman atau seseorang di internet, seperti sudah dibahas dalam www.visigraphic.com.
28 September 2009 lalu, iseng-iseng saya membuka website yang sudah link ke website saya beberapa waktu lalu. Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik karena nama webnya agak asing.
Setelah membuka, saya tertarik dengan sebuah pernyataan di bawah logo web tersebut berbunyi seperti ini :
”Find all online public information about you (and other people) and get your PeopleRank: your visibility score on the web”.
Kata-kata PeopleRank, skor kepopuleran, menarik bagi saya, karena latar belakang saya pernah menjadi konsultan kampanye. Betapa sulitnya menilai kepopuleran seseorang, sebagai awal merencang sebuah program kampanye di pilkada, maupun legislatif.
Hebat juga!. Web ini menciptakan ranking semua manusia yang nyantol di web, dengan ranking dimulai dari terendah 0 dan tertinggi 10.
Anda bisa lakukan langkah-langkah berikut :
1.Kunjungi website http://www.webmii.com
2.Isi nama depan anda (orang yang ingin anda ranking) di kolom kiri dan nama belakang di kolom kanan.
3.Di sebelah kanan kolom nama belakang terdapat kolom dengan dua pilihan, mau lihat kepopuleran anda (orang yang anda cari) di level internasional, pilih internasional, dan kalau ingin tau kepopuleran di Perancis, pilih France.
4.Lihat rank kepopuleran anda di sebelah kiri : di sana akan tertera ranking antara 0-10. Warna angkanya merah jambu.
Saya tidak tau validitas mesin pencari ini. Tapi, bagi saya sebagai hiburan ya oklah!
Web ini juga menampilkan foto orang tersebut di internet, keanggotaan di berbagai jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, LinkedIn, Bebo, Twitter, Website dan blog yang dimilikinya, Kata kunci yang berhubungan dengan orang tersebut, Orang-orang yang saling terhubung dengannya dan data anda di mesin pencari Yahoo dan Google. (Lihat ulasan www.visigraphic.com).
Selain itu juga ditampilkan berita anda (seseorang yang anda cari) selama 30 hari terakhir!.
Kini para netter (pengguna internet) bisa melihat kepopuleran dirinya, teman dan tokh idolanya. Salut buat pencipta WebMii. Selamat berkreasi!.
Labels:
sosialita dan komunikasi
Rabu, 16 September 2009
Floriana Tobing : "Berdoa dan Menebar Kasih"
Oleh : Jannerson Girsang
Bagi seorang gadis Batak di era 50-an, ditawari sekolah ke Jerman adalah sebuah kesempatan yang langka. Saat itu kebanyakan perempuan Batak dan umumnya perempuan Indonesia menghabiskan sebagian besar waktu mereka bekerja di ladang atau sawah, bahkan masih sedikit keluar dari desanya dilahirkan. Saat-saat seperti itulah Floriana ditawari Sekolah Diakonia ke Jerman.
Floriana adalah salah seorang dari tiga perempuan pertama siswa Sekolah Diakonia yang dikirim Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ke Jerman pada 1952. Mereka memperoleh bea siswa Sekolah Diakones dari RMG (Rheinische Mission Gessellschaft) yang berkedudukan di Wuppertal, Jerman. Dua orang temannya yang lain adalah Nuria Domdom Gultom dan Bonaria Hutabarat. Ia menyelesaikan Sekolah Diakones di Kaiserwerth (1956) dan Tubingen (1958).
Di dua lokasi pendidikan itu, Floriana menguasai ilmu kebidanan dan berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggeris dan Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, selama dua tahun, cucu pendeta HKBP Amon Lumbantobing ini mengawali kariernya sebagai bidan di Rumah Sakit HKBP Balige—milik gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Dari sana HKBP memindahkannya ke Rumah Sakit Bethesda di Saribudolok—sebuah rumah sakit milik GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun). GKPS adalah sebuah gereja yang saat ini memiliki 200 ribu lebih jemaat.
Gadis Batak berkulit putih dan bertubuh pendek ini menikah dengan Armencius Munthe—lulusan Master Theologia, Universitas Hamburg, Jerman, pada 1966. Pernikahannya mengakhiri kariernya sebagai bidan. ”Itu sudah menjadi prinsip hidup saya,” ujarnya dalam buku otobiografinya ”Berdoa dan Menebar Kasih”, yang diluncurkan di Medan, 16 September 2009 lalu, tepat pada hari Ulang Tahunnya ke 78.
Waktunya dicurahkan mendampingi suaminya sebagai pendeta yang pernah bertugas di pulau Nias, Sondiraya dan menjadi Pimpinan Pusat GKPS yakni menjadi Sekjen dan Ephorus selama 25 tahun (1970-1995).
Di sela-sela tugas mendampingi suami. Florian terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Perempuan yang mampu berbahasa Inggeris, Jerman dan Belanda ini pernah menjadi penerjemah dalam program KNH (Kinder Not Hilfe) GKPS dan bagi para tamu-tamu GKPS saat melakukan peninjauan atau perjalanan ke jemaat atau program-program gereja lainnya.
Selain itu, selama 22 tahun, sejak 1986, Floriana menjadi Sekretaris Yayasan Harapan Jaya, sebuah Yayasan Katolik yang didirikan di Pematangsiantar pada 1982. Yayasan ini bergerak membantu anak-anak cacad. Bersama pengurus yayasan lainnya, pengabdiannya di yayasan itu mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Drs Rudolf Pardede, bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun ke 25 yayasan itu pada 2007. Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi wanita gereja seperti Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI).
Pada 1995-selepas suaminya mengakhiri jabatan sebagai Sekjen GKPS, Floriana dan keluarganya pindah ke Medan. Sejak itu ia mendampingi suaminya yang bekerja sebagai dosen, aktif sebagai pengkhotbah di berbagai gereja di Sumatera Utara (GKPS, HKBP, GKPI, Gereja Methodist, GBKP, BNKP dan lain-lain), representasi Crossway International-sebuah lembaga berpusat di Minneapolis, Amerika Serikat, Perguruan Immanuel Medan, dan berbagai yayasan sosial lainnya.
Anak abang Dr Andar Lumbantobing—mantan Bishop Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) ini, lahir di Flores pada 16 September 1931. Flores adalah sebuah pulau yang terletak beberapa ratus kilometer sebelah Timur pulau Bali. Ia lahir saat ayahnya--anak pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), adalah seorang klerk di kantor pemerintah Hindia Belanda. Ayahnya hijrah ke Jakarta pada era 1920-an dan kemudian menjadi klerk di kantor Pemerintah Belanda di Palembang.
Putri pasangan Alfred Lumbantobing dan Hilderia Panggabean ini, menjalani masa kecil sampai remajanya di Flores, Lombok, Bengkulu dan Lampung. Sebagai seorang anak pegawai Belanda, Floriana memperoleh pendidikan dasar di Europese Lagere School (ELS) di Bengkulu dan Lampung. ELS adalah sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda. Dia dibesarkan dalam keluarga dengan pengantar Bahasa Belanda.
Masa penjajahan Jepang adalah masa-masa penderitaan keluarganya. Ayahnya Alfred Lumbantobing ditahan Jepang di sebuah penjara di Jambi. Kehidupan keluarganya bertambah sulit, karena puluhan keluarga mereka yang tinggal di Jakarta mengungsi ke Lampung karena situasi keamanan. Selain itu, buruknya pelayanan kesehatan di masa penjajahan Jepang, menyebabkan adiknya Jhony Lumban Tobing yang ketika itu berusia 10 tahun meninggal akibat tetanus.
Di masa sulit itu, nenek dari enam cucu itu melakukan berbagai pekerjaan untuk membantu keluarganya. Mulai dari menyanyi bersama grup band di berbagai acara untuk mendapatkan hadiah sabun, mengikuti lomba bahasa Jepang demi sebungkus rokok ”Davros” untuk ditukar dengan garam, bahkan kasir di Kawasaki Jidosha — sebuah perusahaan bus angkutan, dengan imbalan sabun atau minyak makan.
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, ayahnya pindah tugas dari Lampung ke kantor gubernur Sumatera di Medan. Di kota inilah, anak tertua dari tiga belas bersaudara ini menyelesaikan IMS (Indonesische Middlebare School) pada 1950.
Almarhum suaminya Dr Armencius Munthe yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, menggambarkan Floriana sebagai seorang perempuan yang senantiasa "Berdoa dan Menebar Kasih".
Kisah kehidupannya direkam dalam buku ”Berdoa dan menebar Kasih” Buku setebal 134 halaman itu dilengkapi dengan 50 foto kenangan awal 1900-an sampai foto-foto terakhir saat Floriana mendampingi suaminya yang meninggal pada 25 Juli 2009 lalu.
Publikasi pertama pada blog www.harangan-sitora.blospot.com.
Labels:
Profil dan Biografi
Selasa, 25 Agustus 2009
Belajar Demokrasi dan Membangun Bangsa
Oleh : Jannerson Girsang
Beberapa hari menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-64, bangsa Indonesia menerima kado demokrasi, sekaligus sebuah pembelajaran berdemokrasi dan kedewasaan menghadapi sebuah kekalahan. MK memutuskan menerima hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan menggugurkan gugatan dua pasangan Capres dan Cawapres. Keputusan ini sekaligus mengukuhkan SBY-Budiono melenggang maju menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang rencananya akan dilantik Oktober mendatang.
Beberapa hari menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-64, bangsa Indonesia menerima kado demokrasi, sekaligus sebuah pembelajaran berdemokrasi dan kedewasaan menghadapi sebuah kekalahan. MK memutuskan menerima hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan menggugurkan gugatan dua pasangan Capres dan Cawapres. Keputusan ini sekaligus mengukuhkan SBY-Budiono melenggang maju menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang rencananya akan dilantik Oktober mendatang.
Jumat, 21 Agustus 2009
Toping-toping and Huda-Huda from Simalungun
By Jannerson Girsang
Entering 21th century, the Simalungun ethnic still performs ancient culture, called Toping-toping and Huda-Huda. It can be seen in few remote villages of Simalungun District, North Sumatra, Indonesia. It is one of hundreds of different funeral rituals founded in the country.
Entering 21th century, the Simalungun ethnic still performs ancient culture, called Toping-toping and Huda-Huda. It can be seen in few remote villages of Simalungun District, North Sumatra, Indonesia. It is one of hundreds of different funeral rituals founded in the country.
Sabtu, 08 Agustus 2009
Mbah Surip dan Artinya Bagi Kita
Oleh : Jannerson Girsang
Di tengah-tengah puncak suksesnya, di saat jutaan penonton menunggu penayangan lagu hitsnya Tak Gendong di televisi atau diperdengarkan di radio, ketika dirinya sedang diberitakan dan diulas media, Mbah Surip tiba-tiba pergi untuk selamanya. Penggemarnya tidak pernah mendengar pria pujaannya itu sakit, atau dirawat di rumah sakit.
Pria bernama asli atau Urip Ahmad Aryanto menemui ajalnya pukul 10.30, Selasa 5 Agustus 2009.”Kita mengenalnya sebagai cahaya yang tiba-tiba melintas di langit industri hiburan, tetapi dalam sekejap mata ditelan kabut” (Kompas, 4 Agustus 2009), yang menggambarkan kemunculan dan kepergian Mbah Surip. Bak meteor!.
Orang-orang yang sedang nongkrong di kedai-kedai, restoran mewah, di kediamannya masing-masing, tempat kerja, menyaksikan dengan sedih kepergian ayah empat orang anak itu saat berita kematiannya tersiar. Bahkan pemimpin tertinggi negeri ini, Presiden SBY merasa perlu menggelar jumpa pers untuk menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Sama seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Obama saat kepergian bintang Pop Amerika, Michael Jackson bulan Juni lalu. Kelebihannya, kalau Michael Jackson sudah terkenal puluhan tahun sebelumnya.
Mbah Surip beristrahat dengan tenang di pekuburan Bengkel Teater Depok. Pada sebuah acara televisi, sehari sebelum Mbah Surip meninggal, seorang dedengkot musik Indonesia, Ahmad Dhani menempatkan Mbah Surip sebagai musikus Indonesia yang hebat. ”Dia unik dan punya gagasan yang bisa diterima masyarakat” ujarnya. Di kesempatan lain, Cak Nun, seorang Budayawan terkenal negeri ini, menggambarkan Mbah Surip sebagai ”Manusia Indonesia Sejati” yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa, meskipun seringkali di ledek orang, tidak pernah dendam.
Kepergian Mbah Surip tidak hanya meninggalkan lagu-lagunya yang sedang digandrungi jutaan penggemarnya, tetapi juga sebuah kisah kehidupan unik. Di balik ketenarannya, Mbah Surip memberikan pelajaran berharga bagi kita!
Sukses Bukan Tujuan Akhir!
Mbah Surip mengajarkan pentingnya ketekunan dan kesabaran menuju sukses. Puluhan tahun Mbah Surip berkelana. Selain itu, Mbah Surip menginspirasi kita, sukses bisa diraih kapan saja dan puncak sukses bukan segalanya. .
Mbah Surip meraih sukses setelah bertahun-tahun menyanyi dari panggung ke panggung tak mengenal lelah, tempat di berbagai tempat di Jakarta. Lagunya, Tak Gendong bahkan sudah dinyanyikan sejak 2002. Berbagai usaha mempromosikan diri dilakukannya sebelum ini. Mulai dari menjual album yang direkam sendiri sejak 1997. Menawarkan langsung satu demi satu kepada para pengunjung pasar seni di Ancol atau tempat lain. Bahkan, konon tak banyak laku, dan tak banyak membantu ekonominya. Namun, tidak menghentikan semangatnya menanyi terus, mencipta terus, menjual terus. Ironis memang, baru saja dia mulai dikenal luas di tengah-tengah masyarakat luas, Mbah harus pergi.
Dari kehidupannya kita bisa belajar bahwa sebuah sukses bukan tujuan akhir. Sukses Mbah Surip kemudian menuntutnya bekerja lebih keras lagi. Masa istirahat Mbah Surip berkurang. Belakangan hanya tidur 3 jam . Faktor usia dan menurunnya kondisi fisik seharusnya membutuhkan istirahat yang lebih banyak, justru sebaliknya. Sukses, memang tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan, hidup senang atau santai.
Keseimbangan di balik sukses sudah menjadi sebuah keharusan. Ada keseimbangan hidup yang perlu dijaga—tanpa mengabaikan keyakinan kita bahwa ajal di tangan Tuhan. Undangan manggung, tuntutan kesempurnaan penampilan dan berbagai harapan orang terhadap sebuah kesuksesan bisa membuat seseorang kelelahan, frustrasi dan gangguan lain Seorang di puncak kesuksesan harus mampu menjaga keseimbangan, bekerja menurut kemampuannya.
Ingatan kita masih segar dengan kisah Michael Jackson. Setelah mencapai sukses, bintang pop Amerika ini malah merasakan kesepian, kehilangan jati diri. Merubah wajahnya dengan operasi plastik sampai berkali-kali, supaya baik dipandang. Menggunakan bantuan obat-obatan mendukung saya tahan fisiknya yang menurun demi memenuhi tuntutan kerja yang meningkat. Obat-obatan yang justru merusak kesehatannya bahkan merenggut nyawanya sendiri .
Pahami Seniman dengan Benar!
Pada kesempatan ini, artikel ini ingin mengkritisi media khususnya dalam memberitakan seorang seniman. Kejelian media dalam mempublikasikan seorang seniman diakui sungguh-sungguh luar biasa mengangkat seorang seniman. Itu sebabnya, media dituntut melihat seorang seniman dengan data dan pemahaman yang benar. Kisah Mbah Surip mempertontonkan betapa media kita kurang jeli atas data pribadi seorang seniman.
Dari tangal lahir dan riwayat perjalanan Mbah Surip diberitakan dalam berbagai versi. Mulai dari 5 Mei 1949, 5 Mei 1959, dan beberapa versi lain. Tidak mungkin seseorang dilahirkan dengan tanggal yang berbeda! Riwayat hidupnya sebelum ia tenar juga disajikan dalam berbagai versi. Bukan mengatakan itu hal terpenting, tetapi hal ini menunjukkan media kita kurang jeli melihat riwayat seorang seniman. Media kurang kreatif menggali informasi tentang kehidupan seorang Mbah Surip.
Di sisi lain, kehidupan Mbah Surip menyadarkan kita kembali bagaimana seorang seniman menyampaikan gagasannya, pesan-pesannya. Mbah Surip memilih jalan yang unik. Mbah Surip menjadi sebuah contoh betapa gagasan seni itu banyak di luar kebiasaan. Bahkan dia menyebutnya”belajar salah”. Lagu-lagunya, penampilannya, suaranya, berbeda dari puitisnya lagu Ebiet G.Ade, berbeda dengan merdunya suara emas Bob Tutupoly. Mbah Surip memiliki ciri dan cara sendiri, namun bisa mampu menyejajarkan diri dengan penyanyi-penyanyi tenar itu.
Masyarakat kita acapkali mengekang seorang seniman dengan aturan-aturan yang kadang tidak mengakomodasi kreativitas. Mbah Surip menikmati kebebasan berkreasi sehingga menghasilkan karya yang unik. Seunik lagu Tak Gendong, yang tak ada dimana-mana, hanya ada pada Mbah Surip!
Jangan lihat kulitnya, jangan hanya lihat salahnya. Lihatlah makna yang ingin disampaikannya. Mbah Surip mencurahkan isi hatinya dengan sederhana, tapi membawa pesan kuat. Mengajak saling mengasihi, gotong royong dengan caranya sendiri. Pesan yang menembus seluruh lapisan masyarakat, tak membedakan agama, suku, dan golongan. Kadang masyarakat lupa, kritik yang sering mereka lontarkan kepada seniman hanya dari satu sisi, acapkali mengabaikan pesan utamanya.
Kesederhanaan dan Hidup Bagi Orang Lain
Di tengah-tengah suksesnya, Mbah Surip mempertontonkan kesederhanaan. Sebuah sikap yang menjadi impian masyarakat dalam dunia yang sangat konsumtif sekarang ini. Seorang bintang, lazimnya hidup glamour dan merubah penampilannya. Mbah Surip konsisten dalam memegang prinsip hidup kesederhanaan, Sikap yang tampak jelas dalam penampilannya di televisi, baik cerita yang kita baca melalui media. Bahkan diberitakan dia meninggal saat menumpang tidur di rumah temannya, permintaan terakhirnya burjo ”bubur kacang ijo”, makanan kesukaannya.
Mbah Surip hidup untuk orang lain. Sebagian hasil sukses adalah milik orang lain yang papa. Tidak semua jerih payahnya untuk diri sendiri. Dia senantiasa memikirkan amal kepada mereka yang papa. ”Uang itu sebagian akan saya simpan di bank, sebagian akan disumbangkan untuk amal,”, ungkapnya dalam sebuah wawancara. Ungkapan sederhana yang menunjukkan sikapnya atas orang tak berpunya.
Merokok, minum kopi 20 gelas sehari, itulah yang banyak dinikmati Mbah Surip dari hasil kerja kerasnya. Sisanya akan dinikmati anak-anaknya, keluargana Tentunya juga para orang papa, sesuai dengan cita-citanya seperti seringkali diungkapkannya di televisi. Dia pergi saat sedang berada di puncak sukses. Mbah Surip meninggalkan warisan yang tidak akan pernah dinikmatinya. Hasil kerjanya memberi kehidupan bagi banyak orang.
Selamat Jalan Mbah Surip : I Love You Full!
Mbah Surip sudah dimakamkan di pekuburan Bengkel Teater Selasa malam. Kita semua,para pencinta lagu-lagunya hanya bisa menahan sedih. Tetapi, sebuah pengalaman hidup, dan keunikan karya-karya Mbah Surip tidak akan lenyap. Kisah perjalanan dan prinsip hidupnya menjadi sesuatu yang abadi dan kenangan terindah dari seorang Mbah Surip. Selamat jalan Mbah Surip. I love you Full, jargon yang tidak akan kami lupakan. Semangatmu akan terpatri di hati para seniman Indonesia dan para penggemarmu. Semoga arwahmu diterima disisiNya. Amin!.
Sumber : Analisa, 7 Agustus 2009. Bisa juga diakses dengan mengunjungi: www.analisadaily.com
Di tengah-tengah puncak suksesnya, di saat jutaan penonton menunggu penayangan lagu hitsnya Tak Gendong di televisi atau diperdengarkan di radio, ketika dirinya sedang diberitakan dan diulas media, Mbah Surip tiba-tiba pergi untuk selamanya. Penggemarnya tidak pernah mendengar pria pujaannya itu sakit, atau dirawat di rumah sakit.
Pria bernama asli atau Urip Ahmad Aryanto menemui ajalnya pukul 10.30, Selasa 5 Agustus 2009.”Kita mengenalnya sebagai cahaya yang tiba-tiba melintas di langit industri hiburan, tetapi dalam sekejap mata ditelan kabut” (Kompas, 4 Agustus 2009), yang menggambarkan kemunculan dan kepergian Mbah Surip. Bak meteor!.
Orang-orang yang sedang nongkrong di kedai-kedai, restoran mewah, di kediamannya masing-masing, tempat kerja, menyaksikan dengan sedih kepergian ayah empat orang anak itu saat berita kematiannya tersiar. Bahkan pemimpin tertinggi negeri ini, Presiden SBY merasa perlu menggelar jumpa pers untuk menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Sama seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Obama saat kepergian bintang Pop Amerika, Michael Jackson bulan Juni lalu. Kelebihannya, kalau Michael Jackson sudah terkenal puluhan tahun sebelumnya.
Mbah Surip beristrahat dengan tenang di pekuburan Bengkel Teater Depok. Pada sebuah acara televisi, sehari sebelum Mbah Surip meninggal, seorang dedengkot musik Indonesia, Ahmad Dhani menempatkan Mbah Surip sebagai musikus Indonesia yang hebat. ”Dia unik dan punya gagasan yang bisa diterima masyarakat” ujarnya. Di kesempatan lain, Cak Nun, seorang Budayawan terkenal negeri ini, menggambarkan Mbah Surip sebagai ”Manusia Indonesia Sejati” yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa, meskipun seringkali di ledek orang, tidak pernah dendam.
Kepergian Mbah Surip tidak hanya meninggalkan lagu-lagunya yang sedang digandrungi jutaan penggemarnya, tetapi juga sebuah kisah kehidupan unik. Di balik ketenarannya, Mbah Surip memberikan pelajaran berharga bagi kita!
Sukses Bukan Tujuan Akhir!
Mbah Surip mengajarkan pentingnya ketekunan dan kesabaran menuju sukses. Puluhan tahun Mbah Surip berkelana. Selain itu, Mbah Surip menginspirasi kita, sukses bisa diraih kapan saja dan puncak sukses bukan segalanya. .
Mbah Surip meraih sukses setelah bertahun-tahun menyanyi dari panggung ke panggung tak mengenal lelah, tempat di berbagai tempat di Jakarta. Lagunya, Tak Gendong bahkan sudah dinyanyikan sejak 2002. Berbagai usaha mempromosikan diri dilakukannya sebelum ini. Mulai dari menjual album yang direkam sendiri sejak 1997. Menawarkan langsung satu demi satu kepada para pengunjung pasar seni di Ancol atau tempat lain. Bahkan, konon tak banyak laku, dan tak banyak membantu ekonominya. Namun, tidak menghentikan semangatnya menanyi terus, mencipta terus, menjual terus. Ironis memang, baru saja dia mulai dikenal luas di tengah-tengah masyarakat luas, Mbah harus pergi.
Dari kehidupannya kita bisa belajar bahwa sebuah sukses bukan tujuan akhir. Sukses Mbah Surip kemudian menuntutnya bekerja lebih keras lagi. Masa istirahat Mbah Surip berkurang. Belakangan hanya tidur 3 jam . Faktor usia dan menurunnya kondisi fisik seharusnya membutuhkan istirahat yang lebih banyak, justru sebaliknya. Sukses, memang tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan, hidup senang atau santai.
Keseimbangan di balik sukses sudah menjadi sebuah keharusan. Ada keseimbangan hidup yang perlu dijaga—tanpa mengabaikan keyakinan kita bahwa ajal di tangan Tuhan. Undangan manggung, tuntutan kesempurnaan penampilan dan berbagai harapan orang terhadap sebuah kesuksesan bisa membuat seseorang kelelahan, frustrasi dan gangguan lain Seorang di puncak kesuksesan harus mampu menjaga keseimbangan, bekerja menurut kemampuannya.
Ingatan kita masih segar dengan kisah Michael Jackson. Setelah mencapai sukses, bintang pop Amerika ini malah merasakan kesepian, kehilangan jati diri. Merubah wajahnya dengan operasi plastik sampai berkali-kali, supaya baik dipandang. Menggunakan bantuan obat-obatan mendukung saya tahan fisiknya yang menurun demi memenuhi tuntutan kerja yang meningkat. Obat-obatan yang justru merusak kesehatannya bahkan merenggut nyawanya sendiri .
Pahami Seniman dengan Benar!
Pada kesempatan ini, artikel ini ingin mengkritisi media khususnya dalam memberitakan seorang seniman. Kejelian media dalam mempublikasikan seorang seniman diakui sungguh-sungguh luar biasa mengangkat seorang seniman. Itu sebabnya, media dituntut melihat seorang seniman dengan data dan pemahaman yang benar. Kisah Mbah Surip mempertontonkan betapa media kita kurang jeli atas data pribadi seorang seniman.
Dari tangal lahir dan riwayat perjalanan Mbah Surip diberitakan dalam berbagai versi. Mulai dari 5 Mei 1949, 5 Mei 1959, dan beberapa versi lain. Tidak mungkin seseorang dilahirkan dengan tanggal yang berbeda! Riwayat hidupnya sebelum ia tenar juga disajikan dalam berbagai versi. Bukan mengatakan itu hal terpenting, tetapi hal ini menunjukkan media kita kurang jeli melihat riwayat seorang seniman. Media kurang kreatif menggali informasi tentang kehidupan seorang Mbah Surip.
Di sisi lain, kehidupan Mbah Surip menyadarkan kita kembali bagaimana seorang seniman menyampaikan gagasannya, pesan-pesannya. Mbah Surip memilih jalan yang unik. Mbah Surip menjadi sebuah contoh betapa gagasan seni itu banyak di luar kebiasaan. Bahkan dia menyebutnya”belajar salah”. Lagu-lagunya, penampilannya, suaranya, berbeda dari puitisnya lagu Ebiet G.Ade, berbeda dengan merdunya suara emas Bob Tutupoly. Mbah Surip memiliki ciri dan cara sendiri, namun bisa mampu menyejajarkan diri dengan penyanyi-penyanyi tenar itu.
Masyarakat kita acapkali mengekang seorang seniman dengan aturan-aturan yang kadang tidak mengakomodasi kreativitas. Mbah Surip menikmati kebebasan berkreasi sehingga menghasilkan karya yang unik. Seunik lagu Tak Gendong, yang tak ada dimana-mana, hanya ada pada Mbah Surip!
Jangan lihat kulitnya, jangan hanya lihat salahnya. Lihatlah makna yang ingin disampaikannya. Mbah Surip mencurahkan isi hatinya dengan sederhana, tapi membawa pesan kuat. Mengajak saling mengasihi, gotong royong dengan caranya sendiri. Pesan yang menembus seluruh lapisan masyarakat, tak membedakan agama, suku, dan golongan. Kadang masyarakat lupa, kritik yang sering mereka lontarkan kepada seniman hanya dari satu sisi, acapkali mengabaikan pesan utamanya.
Kesederhanaan dan Hidup Bagi Orang Lain
Di tengah-tengah suksesnya, Mbah Surip mempertontonkan kesederhanaan. Sebuah sikap yang menjadi impian masyarakat dalam dunia yang sangat konsumtif sekarang ini. Seorang bintang, lazimnya hidup glamour dan merubah penampilannya. Mbah Surip konsisten dalam memegang prinsip hidup kesederhanaan, Sikap yang tampak jelas dalam penampilannya di televisi, baik cerita yang kita baca melalui media. Bahkan diberitakan dia meninggal saat menumpang tidur di rumah temannya, permintaan terakhirnya burjo ”bubur kacang ijo”, makanan kesukaannya.
Mbah Surip hidup untuk orang lain. Sebagian hasil sukses adalah milik orang lain yang papa. Tidak semua jerih payahnya untuk diri sendiri. Dia senantiasa memikirkan amal kepada mereka yang papa. ”Uang itu sebagian akan saya simpan di bank, sebagian akan disumbangkan untuk amal,”, ungkapnya dalam sebuah wawancara. Ungkapan sederhana yang menunjukkan sikapnya atas orang tak berpunya.
Merokok, minum kopi 20 gelas sehari, itulah yang banyak dinikmati Mbah Surip dari hasil kerja kerasnya. Sisanya akan dinikmati anak-anaknya, keluargana Tentunya juga para orang papa, sesuai dengan cita-citanya seperti seringkali diungkapkannya di televisi. Dia pergi saat sedang berada di puncak sukses. Mbah Surip meninggalkan warisan yang tidak akan pernah dinikmatinya. Hasil kerjanya memberi kehidupan bagi banyak orang.
Selamat Jalan Mbah Surip : I Love You Full!
Mbah Surip sudah dimakamkan di pekuburan Bengkel Teater Selasa malam. Kita semua,para pencinta lagu-lagunya hanya bisa menahan sedih. Tetapi, sebuah pengalaman hidup, dan keunikan karya-karya Mbah Surip tidak akan lenyap. Kisah perjalanan dan prinsip hidupnya menjadi sesuatu yang abadi dan kenangan terindah dari seorang Mbah Surip. Selamat jalan Mbah Surip. I love you Full, jargon yang tidak akan kami lupakan. Semangatmu akan terpatri di hati para seniman Indonesia dan para penggemarmu. Semoga arwahmu diterima disisiNya. Amin!.
Sumber : Analisa, 7 Agustus 2009. Bisa juga diakses dengan mengunjungi: www.analisadaily.com
Labels:
Orbituari
Selasa, 04 Agustus 2009
Selamat Jalan Pdt Dr Armencius Munthe MTh
In Memoriam Pdt Dr Armencius Munthe MTh
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”
Oleh : Jannerson Girsang
Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.
GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), umat Kristen umumnya kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.
”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.
Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.
Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.
Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.
Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya. Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".
Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.
Pelayanannya Menembus Semua Lapisan
Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.
Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .
Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).
Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.
Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.
Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.
Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..
Peduli Kualiatas Pelayanan
Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.
Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .
Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.
Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.
Bersinar Terus!
Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.
Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.
Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.
Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).
Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.
Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.
Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.
Ijon do Marsaran!
Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.
Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.
Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.
Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!
Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.
Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.
Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!
Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.
Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.
Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.
Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.
Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.
Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .
Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”
Oleh : Jannerson Girsang
Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.
GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), umat Kristen umumnya kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.
”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.
Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.
Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.
Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.
Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya. Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".
Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.
Pelayanannya Menembus Semua Lapisan
Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.
Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .
Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).
Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.
Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.
Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.
Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..
Peduli Kualiatas Pelayanan
Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.
Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .
Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.
Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.
Bersinar Terus!
Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.
Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.
Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.
Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).
Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.
Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.
Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.
Ijon do Marsaran!
Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.
Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.
Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.
Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!
Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.
Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.
Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!
Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.
Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.
Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.
Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.
Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.
Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .
Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.
Labels:
Orbituari
Langganan:
Postingan (Atom)