My 500 Words

Rabu, 30 November 2011

Medan! Kapan Punya KA Seperti Jakarta (?) (Harian Analisa, 30 Nopember 2011 Hal 25)

Oleh : Jannerson Girsang.

 
 Sumber foto: www.waspada.co.id
Naik kereta api komuter di ruang AC di jalur Jakarta-Depok, Jakarta-Tangerang, Jakarta-Bekasi, Jakarta-Serpong. Dari Depok, menikmati Jakarta dengan kereta api membawa saya ke sebuah mimpi. Sebagai warga Medan, sejak dulu saya bermimpi kota ini suatu saat dapat dihubungkan dengan kereta api. Mimpi itu senantiasa muncul setiap saya berjalan-jalan di Jakarta menggunakan kereta api.

Oktober lalu, saya tinggal selama dua minggu di sebuah rumah di daerah Margonda Depok, berjarak hanya lima belas menit berjalan kaki dari stasion kereta api Pondok Cina atau lebih dikenal dengan "Pocin". Halte ini hanya beberapa meter dari Kampus Universitas Indonesia-universitas peringkat 1 di Indonesia.

Menjangkau sebagian besar wilayah Jakarta, saya menggunakan Kereta Api sebagai akses pertama dan utama. Dari rumah, saya menuju stasion kereta api Pondok Cina atau lebih dikenal stadion Pocin, kemudian melanjutkan tujuan akhir di berbagai tempat di Jakarta dengan ojek, taksi atau angkot/bus kota.

Komuter Line Jakarta

Dari tahun ke tahun, perkeretaapian di Jakarta, berkembang pesat, baik pelayanan maupun pengembangannya. Berbeda dengan jalur kereta api Pancur Batu-Medan yang relnya sudah lepas satu demi satu.

Kini wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi telah tersedia layanan KA komuter yang dioperasikan oleh anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia, yaitu PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ).

Trayek yang dilayani kereta komuter line di Jabodetabek adalah: Jurusan Jakarta-Bogor, Jurusan Jakarta-Depok, Jurusan Jakarta-Tangerang, Jurusan Jakarta-Bekasi, Jurusan Jakarta-Serpong, Lingkar Jakarta.

Bagi pengguna jasa kereta api di Jakarta, perusahaan ini mudah diketahui melalui informasi yang tersedia dimana-mana. Hanya dengan membuka Google di rumah dan memasukkan kata kunci "peta jalur kereta api Jakarta" maka informasi jalur kereta api, jam keberangkatan, serta tarif setiap jalur sudah di depan mata.

Tarifnya relatif murah (dua kali naik angkot Simalingkar-Padang Bulan), dibanding jarak yang ditempuh. Jakarta-Bogor Rp 7.000, (45 kilometer), Jakarta-Depok Rp 6.000, Jakarta-Bekasi Rp 6.500, Jakarta-Tangerang Rp 5.500,-, Jakarta-Sudimara/Serpong Rp 6.000.

Saat ini diperkirakan 400 ribu penduduk Jabodetabek menggunakan jasa kereta api, sementara diperkirakan pada 2019, jumlah ini akan meningkat menjadi 1.5 juta penumpang. Bandingkan dengan 2 juta lebih penduduk kota Medan yang belum menggunakan kereta api dalam kota.

Cepat, Murah, Nyaman

Dari rumah tempat tinggal sementara di Depok, dengan jalan kaki selama 15 menit, saya tiba di halte Pocin. Sebelum naik kereta api, di loket yang tersedia di setiap halte dua atau tiga petugas menunggu dengan ramah dan siap melayani pembelian tiket. Semua sudah berbudaya antri, tidak ada yang saling mendahului..

Hanya dalam beberapa menit, saya sudah mendapat tiket dengan harga resmi. Tidak ada seorangpun calo yang berkeliaran. Hanya petugas yang berhak menjual tiket.

Dari tempat pembelian tiket, anda menuju ruang tunggu (halte), perjalanan cukup nyaman. Seorang petugas memeriksa tiket sebelum memasuki ruang tunggu atau halte kereta api. Selain penumpang tidak ada yang berkeliaran di sekitar halte (kecuali penjual makanan, koran dan lain-lain).

Duduk di ruang tunggu dengan tempat duduk yang disediakan, menunggu beberapa menit, kereta api sudah datang.

Satu keistimewaan yang saya saksikan dalam perkeretaapian di Jakarta saat ini adalah dua atau tiga gerbong khusus disediakan bagi perempuan.

Konon ini untuk memberi kenyamanan kepada perempuan dalam perjalanan. Laki-laki tidak diperkenankan memasuki ruang khusus ini. Di dalamnya mereka diawasi oleh beberapa crew perempuan.

Peringatan! Jangan coba-coba menaiki kereta api tanpa tiket. Di dalam kereta api dua sampai tiga orang akan memeriksa tiket dengan membawa alat melobanginya. Penumpang yang tidak memiliki tiket akan didenda sejumlah uang! Rp 20.000 kalau tidak salah.

Uang Rp 50 ribu, Menjelajah Jakarta !

Di luar jam sibuk, naik kereta api komuter line sungguh nyaman. Karena sedang berlibur, maka saya selalu memilih naik kereta api di luar jam-jam sibuk. Biasanya saya naik sekitar jam 10.00 pagi. Saat seperti ini, kereta api tidak begitu penuh dan tempat duduk kosong masih tersedia.

Selama perjalanan saya bisa duduk dengan nyaman di ruang AC yang dingin, walau di setiap halte pintu dibuka beberapa menit. Dalam perjalanan Pocin-Stasion Kota terdapat lebih dari 15 halte dimana kami harus berhenti antara satu-sampai dua menit. Kecuali di Manggarai, dimana kami berhenti agak lama, karena antri.

Saya bisa berkeliling Jakarta dalam satu hari. Yang istimewa, saya hanya menghabiskan ongkos Rp 47 ribu.

Yang benar?

Saya melintasi jurusan Jakarta-Depok, Jakarta-Tangerang, Jakarta-Bekasi, Jakarta-Serpong. Dari Depok, saya membayar Rp 6000 menuju Stasion Kota. Dari Kota saya ke Bekasi membayar Rp 6000. Kembali lagi ke kota Rp 6000. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Tangerang dengan membayar Rp 5500, balik lagi ke kota, membayar Rp 5500. Kemudian lanjut ke Serpong dengan ongkos Rp 6000, kembali ke Stasion Kota di sore hari, membayar Rp 6000. Balik ke Depok membayar Rp 6000.

Keliling Jakarta dengan Rp 47 ribu. Murah bukan?. Bandingkan aja. Naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta ke Depok saya harus membayar lebih dari Rp 200 ribu sekali jalan dan mungkin antara 1-2 jam. Naik Damri sampai di Pasar Minggu Rp 20 ribu.

Kalaupun untuk tujuan satu arah, tarif kereta api relatif murah (dua kali naik angkot Simalingkar-Padang Bulan), dibanding jarak yang ditempuh Jakarta-Bogor Rp 7.000, (45 kilometer).

Selain kereta api kommuter line, penduduk Jakarta kini bisa menikmati KRL ekonomi dengan tarif antara Rp 1000-2000. Luar biasa!

Mimpi Anak Medan

Naik kereta api menurut saya sebuah alternatif yang menjadi mimpi penduduk Medan ke depan. Jauh lebih nyaman dibanding dengan naik bus atau angkot non AC yang harus berpanas-panasan dan setiap tempat bisa terhalang kemacetan.

Kapan ya kenyamanan seperti ini bisa diciptakan di bekas jalur Kereta Api Pancur Batu-Medan, Medan-Belawan, Medan-Lubuk Pakam, Medan-Delitua, serta jalur lainnya. Saya mengajak PT Kereta Api Indonesia, atau Pemko daerah ini ikut bermimpi!

Kalau saya bandingkan dengan lokasi Depok tempat saya tinggal, lokasinya mirip dengan Pancur Batu di Medan. Kini, dengan menumpang angkot Pancur Batu-Stasion Kereta Api Medan bisa dicapai dalam waktu lebih dari satu jam.

Dari rumah saya di Jalan Kopi Raya II, berangkat ke rel kereta api yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki. Saya bayangkan itu stasion Pocin, Depok. Saya kemudian pergi ke kota dengan kereta api. Duduk manis di ruang AC yang nyaman, tidak seperti di angkot yang panas dan berdesak-sesakan, macet beberapa menit di Simpang Pos, Sumber, Simpang Kampus dan perempatan lainnya. Saya tiba di stasion kereta api di dekat Lapangan Merdeka 15 menit kemudian. Mimpi! Ya saya memang sedang bermimpi! Bukankah sejarah perkeretaapian di Medan tidak kalah dengan Jakarta? Mengapa di sini tidak berkembang? ***

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, orbituari. Tinggal di Medan.

Artikel ini bisa juga diakses di: http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/30/23866/medan_kapan_punya_ka_seperti_jakarta/#.TtWDtVauq9s

Kamis, 24 November 2011

Juara Umum, Tanpa Emas Sepakbola (Harian Jurnal Medan, 24 Nopember 2011)

Oleh: Jannerson Girsang

penutupan sea games 
Sumber foto:  http://www.antarafoto.com/sea-games/v1321967737/penutupan-sea-games

Pesta Olah Raga Asia Tenggara (SEA Games ke-26) telah usai. Indonesia merebut 182 emas, 151 perak dan 143 perunggu. Perolehan ini mengukuhkan kita sebagai tuan rumah sebagai JUARA UMUM SEA GAMES ke 26. Penutupan dilakukan Wakil Presiden Prof Dr Boediono, di Stadion Jakabaring, Palembang, 22 Nopember 2011 malam.

Acungan jempol pantas kita acungkan jempol atas pelaksanaan dan prestasi Indonesia pada SEA Games kali ini. Sebagai pembaca yang semula ragu atas ketidaksiapan yang sering diungkap di media sebelum pelaksanaaan SEA Games, pupus sudah.

Mengikuti acara penutupan yang konon menelan biaya Rp 150 miliar itu melalui televisi, menginspirasi kita semua, bahwa “Indonesia itu bisa”.

Tanpa bermaksud mengurangi nilai prestasi yang dicapai, kegagalan tim sepak bola nasional kita merebut emas hendaknya tidak dianggap sepele. Tantangan SEA GAMES 2012, Indonesia harus merebut emas dari sepakbola.

Dua alasan mengapa perhatian terhadap sepakbola penting, yakni, cabang olah raga ini meraup peminat yang terbesar dari seluruh cabang olah raga lainnya di tanah air, kedua, sepanjang sejarah SEA Games selama 26 tahun, Indonesia baru dua kali meraih gelar juara di cabang ini.

Sepakbola: Paling Banyak Penonton!

Sepakbola adalah tontotan yang paling banyak menyedot perhatian masayarakat dari seluruh cabang olah raga yang dipertandingkan. Jutaan orang pendukung Indonesia, tanpa membedakan suku, ras dan agama bersatu padu mendukung tim kesayangannya.

21 Nopember 2011 malam. Semua mata tertuju mendukung Timnas Indonesia dalam pertandingan akbar SEA Games Malaysia-Indonesia. Pendukung sepakbola Indonesia menikmati pertandingan dengan berbagai cara. Jutaan penduduk Indonesia berpuas diri menonton siaran langsung melalui stasion televisi. Bagi mereka yang mampu membeli tiket berharga puluhan ribu hingga jutaan dan membayar ongkos ke tempat pertandingan, bisa menonton langsung dari Stadion Gelora Bung Karno (SGBK) di Jakarta.

Selain itu, pertandingan sepakbola Indonesia Malaysia malam itu menarik setelah pertandingan beberapa hari sebelumnya Indonesia kalah 0-1. Penonton benar-benar ingin menyaksikan kesebelasannya menebus kekalahannya.

Di Medan misalnya. Pukul 19.00 kami menelusuri jalan Setia Budi, Medan menuju sebuah restoran berlantai dua tidak jauh dari pertigaan Perumahan elit itu. Sepanjang jalan, kami menyaksikan di beberapa tempat berlangsung acara nonton bareng. Restoran, keda-kedai kopi, kafe dan restoran-restoran penuh dengan penonton. Mobil, sepeda motor parkir di pinggiran jalan. Kompleks Resto Desa-desa, di wilayah itu, ramai oleh penonton

Penudukung dan Penggemar Sepakbola fanatik Indonesia.

Tukang-tukang becak, supir taksi memarkir kenderaannya di pinggir jalan dekat kedai-kedai kopi dan warung. Melupakan setoran, hanya untuk menonton tim kesayangannya.

Sepanjang jalan Setia Budi, para pendukung Indonesia begitu bersemangat meneriakkan: ”Indonesia menang, Indonesia menang!”. Saat kami lewat, kesebelasan Indonesia sudah unggul 1-0, melalui tandukan Gunawan Dwi Cahyo meneruskan sepak pojok Octo Maniani di menit ke lima babak pertama.

Sesampainya di restoran yang kami tuju, ruangan depan penuh dengan kenderaan. Lantai satu dipenuhi ratusan ”nonton bareng”. Mereka hanya punya satu agenda: mendukung Indonesia dan berharap Indonesia menang. Sementara dari lantai dua, dimana kami sedang melangsungkan sebuah acara resepsi, kami mengikuti pertandingan melalui teriakan-teriakan penonton, karena tidak tersedia televisi.

Meski kami duduk dalam acara, tetapi pikiran, hati kami tertuju pada pertandingan sepakbola!. Sekali-sekali kami keluar dan mengamati sebagian jalannya pertandingan. Beberapa teman juga melakukan hal yang sama.

Kalau menit-menit pertama penonton begitu bersemangat, waktu berjalan...., keceriaan berubah. Menit ke-34, gol bagi Malaysia tercipta melalui Asrarudin!. Malaysia berhasil menyamakan kedudukan 1-1. Gol Malaysia ini tak menimbulkan sorak sorai seperti gol kemenangan terjadi beberapa menit sebelumnya.

”A.a..a..a..ah,” demikian suara kekecewaan terdengar dari lantai dua restoran tempat kami mengadakan acara. Tanpa sorak sorai!. Dengung suara pendukung Indonesia makin melemah dalam menit-menit berikutnya.

Harapan terakhir di adu penalti, masih menyisakan semangat pendukung. ”Ayo- ayo, masih ada harapan,”. Sayup-sayup, suara itu terdengar dari lantai dua. Dua kali perpanjangan waktu, tak terhindari, penentuan dilakukan melalui adu penalti.

Akhirnya, puncak kekecewaan tiba, saat Malaysia memukul Indonesia dalam adu penalti. Tendangan Ferdinand Sinaga yang gagal pada penentuan, yang berhasil di blok kiper Malaysia membuyarkan harapan, setelah tembakan berikut yang dieksekusi pemain Malaysia Baddrol. Tembakannya sempat mengenai Meiga sebelum masuk ke gawang. 4-3

Melalui Facebook menjelang tengah malam, kami menyaksikan diskusi soal kekalahan Indonesia oleh para Facebooker. Tak pernah kami menemukan diskusi sebanyak itu di jejaring sosial soal kekalahan atau kemenangan sebuah cabang olag raga, kecuali sepakbola.

”Biar nggak usah juara umum asal sepakbola menang!” ujar seorang Facebooker. Jutaaan pendukung Indonesia berduka. Mereka seolah lupa bahwa negeri ini sudah

meraih Juara Umum. Kekalahan ini begitu menyakitkan!. Sebuah berita berjudul ”Timnas Kalah, Kekasih Andik Menangis Sejadi-jadinya” ( www.bangkapos.com).

Tiara Darmawanti, kekasih Andik Vermansyah, gelandang sayap Timnas U-23 berujar: "Luka hati saya semakin mendalam saat melihat pemain Malaysia berpesta. Ya Tuhan, inikah perjuangan teman-teman, anak-anak selama ini. Mengapa berakhir seperti ini. Mengapa tidak anak-anak Indonesia yang berpesta," kata Tiara.

Tangisan Tiara adalah tangisan kita bersama. Sama seperti Tiara, emosi para pendukung kesebelasan Indonesia yang mencintai mereka sepenuh hati, terungkap dengan berbagai ekspresi kesedihan dalam bentuk lain, selain tangisan.

Kecintaan para pendukung sepakbola juga terlihat di lapangan. Penggemar sepakbola atas Tim Indonesia kadang tak memperdulikan keselamatan jiwanya. Peristiwa tewasnya dua
orang pendukung Indonesia di pintu masuk VIII GBK. , dan puluhan luka-luka adalah buktinya.

Semangat para pendukung kesebelasan Indonesia malam itu benar-benar membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan yang luar biasa, tanpa memperdulikan latar belakang, hanya peduli hal besar yang ingin dicapai: Timnas Juara Sepakbola SEA Games ke-26.
Untuk siapa?. Untuk Bangsaku bangsa Indonesia!. Bukan untuk kelompok ini atau itu.

Tak berlebihan kalau situs pendukung Garuda Kebanggaanku mengungkapkan: “…sepakbola adalah pengharapan.. dan pengharapan tak pernah mati…. dan hanya sepakbola yang bisa membangkitkan nasionalisme dan persatuan dan kesatuan yang tak terhingga untuk bangsa kita….”. (http://suporter.info/garuda- kebanggaanku-kuyakin-hari-ini-pasti-menang)

Kerinduan 20 Tahun Belum Terobati

Kerinduan menjadi juara SEA Games, bagi pencinta olah raga sepakbola di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir, tentu tidak cukup ditanggapi dengan mengatakan sepakbola kita sudah lebih baik, seperti diungkapkan Menpora Andi Mallarangeng kepada berbagai media nasional sesaat setelah kekalahan Indonesia melawan Malaysia..


Sejak 1991, Indonesia tidak pernah meraih medali emas. Sepanjang SEA Games yang sudah dilaksanakan selama dua puluh enam tahun, Indonesia baru dua kali menjadi juara SEA Games yakni pertama pada 1989 di Jakarta dan Tim Merah Putih kali terakhir menjadi juara SEA Games pada 1991 di Manila, Filipina, setelah Tim Merah Putih mengalahkan Thailand lewat adu penalti.


Dua tahun menunggu sebuah kemenangan yang sudah diimpikan selama 20 tahun rasanya terlalu lama. ”Indonesia pun harus menunggu minimal 2 tahun lagi untuk merebut emas paling bergengsi di SEA Games ini. Dahaga selama 20 tahun belum terobati,” demikian ungkapan yang mengandung harapan dan rasa kecewa yang ditulis mediaonline vivanews.com.


Tak ada jalan lain selain langkah all out para pengelola sepakbola mempersiapkan Tim Sepakbola SEA Games 2013 yang tangguh dan meraih emas. Kita jangan mengulang lagi kekecewaan yang sama pada SEA Games 2013 di Myanmar.

Indonesia menjadi Juara Umum SEA Games 2011 pantas diacungi jempol. Tapi, SEA Games 2013 mendatang: Tanpa Emas Sepakbola, rasanya akan hambar!.

Jumat, 18 November 2011

Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa Cetak, 18 Nopember 2011)

Oleh: Jannerson Girsang.

 
sumber foto: http://www.news.tobaline.com

Didia Rongkap Hi, Anakkonku, Inang dan ratusan karya Dakka Hutagalung setiap hari dinyanyikan di pesta, kafe, dan acara-acara penting lainnya. Tapi, sama seperti banyak kehidupan pencipta lagu lainnya, kehidupan kesehariannya tak sebanding dengan nama besarnya.

Membaca berbagai berita di Media lokal (Tribunenews, 10 Oktober 2010, Harian Analisa, 13 Oktober 2011), nikmatnya mendengar dan menyanyikan lagu-lagu Batak yang diciptakannya, tidak seenak mendengar kisah di balik kehidupannya di usia 63 tahun. Menurut pemberitaan media-media itu, Dakka masih tinggal dan berkarya di sebuah rumah kontrakan di Tangerang, Jakarta.

Untuk mengapresiasi karya-karyanya, sebuah pagelaran akan digelar di Jakarta. Pesan seorang teman, salah seorang penyelenggara masuk ke Face Book saya 13 Nopember 2011, berbunyi "A Special Music Performance Tribute for Dakka!".

Pagelaran musik dan apresiasi "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya", yang rencananya akan menghadirkan artis-artis terkenal seperti Joy Tobing, Amigos Band, Silaen Sister, Lamtama Trio, Style Voice, Dipo Pardede, Maria Mamamia Pasaribu, The Heart Simatupang Sister, menjadi sebuah ajang penghormatan yang tulus. Pagelaran sendiri direncanakan akan berlangsung pada Sabtu, 19 Nopember mendatang di Ballroom Hotel Sultan Jakarta.

Artikel ini adalah renungan bersama kita atas nasib seorang pencipta lagu."Without a song, each day would be a century", "Tanpa lagu sehari rasanya seabad," kata Mahalia Jackson. Pencipta lagu adalah awal dari populernya sebuah lagu dan dinikmati penggemarnya. Seorang pencipta lagu, berkontribusi membuat kehidupan kita indah dan menyenangkan.

****

Memutar memori ke awal 1970-an, adalah ketika saya mengenal Dakka Hutagalung lewat Trio Golden Heart yang berbasis di Jakarta. Desa kami dengan penduduk sekitar 100 Kepala Keluarga dan memiliki lebih dari sepuluh tape rekorder, memiliki kaset rekaman mereka di rumah masing-masing. Pemuda dan remaja sangat akrab dengan nama Tri Golden Heart.

Sejak awal kariernya yang dimulai 1971, desa Nagasaribu, Kabupaten Simalungun, yang terletak 100 kilometer lebih dari Medan sudah mengenal lagu-lagu ciptaannya.

Masih jelas dalam memoriku, volume-volume pertama kaset mereka masih menggunakan gitar, belum menggunakan alat musik elektronik. Baru setelah Volume 12 dan seterusnya, saya mendengar suara organ elektronik. Dalam beberapa kaset yang saya miliki ketika itu, Trio Golden Heart menyelipkan lagu-lagu Melayu serta lagu rohani Kristen.

Saya terkesan dengan volume 12, karena selain lagu pop, mereka juga menyisipkan lagu rohani berjudul: "Silang Nabadia" (Salib yang Suci). Kaset C-60 berdurasi enam puluh menit, produksi perusahaan rekaman "Mini Record", Trio Golden Heart yang terdiri dari tiga laki-laki yang tampan, berpakaian rapi (kadang dengan jas), celana panjang dengan garis gosokannya yang tampak jelas, merupakan idola kami ketika itu.

Sore, pagi atau malam, dari salah satu rumah pasti terdengar lagu Trio Golden Heart. Di dalamnya terselip nama Dakka Hutagalung, disamping dua rekannya yang lain, Star Pangaribuan dan Ronald Tobing. Hari Minggu pasti di rumah kami akan mengumandang lagu "Silang Nabadia" yang diiringi organ yang sungguh membuat hati teduh.

****

Beranjak ke masa-masa kuliah di era 80-an, lagu-lagu seperti Anakkonhu, ciptaan Dakka Hutagalung yang dipopulerkan Eddy Silitonga dan Didia Rongkap Hi dipopulerkan Rita Butar-butar adalah dua lagu favorit kami saat kuliah menjadi kenangan yang indah, mengharukan, menginspirasi kami.

Mendengar lagu ini, tak mampu rasanya menahan air mata bila kita berbuat salah kepada orang tua. "Ndang namora au amang, manang parhauma na bidang…….So tung las marisuang, sasudena halojaonki………Di dadang ari ditinggang udan, do hami da amang, di balian an i…. .holan asa boi pasingkolahon ho".

Terjemahan bebasnya: "Saya bukan orang kaya nak, atau pemilik ladang yang luas, Jangan kau sia-siakan semua kelelahanku, Anakku, ….. kami dipanggang matahari, disiram hujan di ladang, hanya supaya kau bisa sekolah".

Bulu kuduk merinding saat mendengar lagu, sambil membayangkan orang tua di kampung. Dalam sebuah acara pelepasan sarjana, sebagian besar kami tak mampu menghempang air mata haru mendengar lagu ini. Membawa pendengar sebah lagu hanyut dalam perasaan penulisnya, merubah sikap pendengarnya, merupakan prestasi luar biasa dari Dakka Hutagalung.

Ketika kami mencari jodoh, lagu Didia Rongkap Hi begitu mengesankan. Syairnya berupa jeritan seorang pemuda yang didorong orang tuanya mencari jodoh, tetapi tidak kunjung bertemu. Orang tuanya sedih karena anaknya tidak dapat jodoh. Padahal, anaknya sudah ke sana kemari mencarinya.

"Nungnga tung loja au, mangalului i, ndang jumpang au na hot di ahu…. Didia Rongkap Hi!. (Aku sudah lelah mencarinya, tapi belum ketemu dengan yang cocok di hati……Dimanakah jodohku?.

Dua lagu itu hingga saat ini, setelah tigapuluh tahun kemudian, saya masih dengan rasa percaya diri yang tinggi menyanyikan lagu-lagunya di pesta-pesta, kafe-kafe dan acara-acara hiburan lainnya.

Saya tentu tidak sendiri. Jutaan orang Batak dan penggemar lagu Batak merasakan hal yang sama. Ratusan lagunya yang lain juga dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat penggemar lagu Batak di berbagai penjuru tanah air dan dunia ini. Pengalaman saya bersama lagu-lagu Dakka, tentu juga dirasakan jutaan penggemarnya dengan kesan yang berbeda.

****
Tak bisa dipungkiri, Dakka Hutagalung juga telah mempopulerkan penyanyi-penyanyi Batak melalui lagu-lagu ciptaanya. Misalnya, artis Rita Butar Butar, melejit diblantika musik Batak setelah melantunkan tembang "Didia Rongkap Hi" yang tidak lain adalah karya nyata komponis Dakka Hutagalung. Tidak jauh beda dengan artis Julius Sitanggang, namanya melejit setelah melantunkan tembang "Tabahlah Mama", juga karya besar komponis Dakka Hutagalung (Analisa, 13 Oktober 2011).

Menyenangkan para penggemar, mengorbitkan beberapa artis melalui lagu-lagu ciptaannya. Dakka telah memberikan kontribusi yang besar dalam memajukan budaya bangsa, khususnya budaya Batak, serta bisnis dunia musik.

Kakek enam cucu ini, yang mencipta lagu sejak 1971, sudah menulis 400 lagu yang menjadi hot lagu Batak. Bahkan menurut http://www.formatnews.com, Dakka, ketika masih bergabung dengan Trio Golden Heart, sudah memproduksi 28 album Batak dan Melayu. Lagu-lagunya menghibur pendengar radio, VCD, televisi, membuat manusia merasa hari-harinya lebih indah.

Tidak hanya itu, sebuah filosofi mencipta lagu bukan hanya melulu mengejar materi dan menjadi pelajaran berharga bagi pencipta lagu lainnya. "Baginya lagu merupakan salah satu alat untuk mengungkapkan rasa berbagai kejadian. Ia mengingatkan kalau lagu diciptakan hanya sekedar untuk tujuan komersial, maka lagu itu tidak mungkin abadi,"ujarnya seperti dikutip www.batakpost. com.

Sayangnya, nasibnya menjadi pencipta lagu, tidak berbeda dengan banyak seniman lainnya di negeri ini. Kasusnya memang klise. Setelah berbulan-bulan, mulai dari mencipta dan mengikuti proses lagunya hingga terkenal, seorang pencipta lagu menerima imbalan yang masih memprihatinkan. Sebuah lagunya yang diciptakannya hanya dihargai antara Rp 1.5-2 juta. Kalau ngetop bisa dapat bonus. Bandingkan dengan pemain key board yang menyanyikan lagunya di pesta, kafe dan tempat-tempat hiburan! Hanya beberapa jam sudah dapat honor sekian ratus ribu. Beberapa kali show, maka penyanyinya dapat duit jauh lebih banyak dari penciptanya.

"Kehidupan Dakka Hutagalung tidak sepadan dengan nama besarnya. Masih menempati sebuah rumah kontrakan di Tangerang," seperti diungkapkan seorang penyelenggara Pagelaran "40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya" kepada media. Kini, setelah mencipta lagu selama 40 tahun, laki-laki kelahiran Pahae Tapanuli Utara itu terus mencipta dan bergelut di studio untuk mengaransemen album yang dipercayakan kepadanya. Selain itu, ia juga aktif di gereja mengajar koor kepada para anak muda dan orangtua atau siapapun yang membutuhkan.

Semoga masyarakat tergerak untuk turut mendukung pagelaran ini. Selamat berkarya buat Dakka!***


Penulis Biografi, tinggal di Medan
Bisa juga diakses di:  http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/18/22262/dakka_hutagalung_pencipta_ratusan_lagu_batak/#.TsWnH1auq9s, http://www.harangan-sitora.blogspot.com

Senin, 14 November 2011

Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Peraih Emas, Kini Penarik Becak dan Penjaga Kapal. “Habis manis sepah dibuang”. Itulah luapan perasaan yang muncul dalam benak kami saat mengetahui nasib dua orang peraih medali emas SEA Games di masa lalu melalui media cetak dan televise.

Suharto,mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979 menjadi tukang becak, dan Jumain, mantan peraih emas nomor perahu naga SEA Games 1986 menjadi penjaga kapal. Keduanya kini berdomisili masing-masing di Surabaya dan Semarang. Sungguh memprihatinkan perhatian negeri ini pada atlitnya yang berprestasi.

Hiruk pikuk menjelang SEA Games 2011 ini hendaknya tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Para atlet berprestasi tidak terlantar setelah mereka menyumbangkan prestasi terbaiknya bagi negeri ini. Jangan kecolongan lagi!

Suharto, Jumain: Dipuja, Dihargai, Lalu Dilupakan!

Di tengah gegap gempita, puja-puji dan semangat melaksanakan SEA Games 2011, mari sejenak menjenguk kehidupan dua atlet peraih SEA Games di masa lalu yang kini hidupnya terlantar, tak sebanding dengan prestasinya yang mereka sumbangkan bagi negeri ini.

Harian Republika (31 Agustus 2011) mengungkap kehidupan Suharto. Mantan pembalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.

Lalu bagaimana kehidupannya sekarang? Sangat miris membacanya. Republika mengungkap nasib atlet kebanggaan bangsa ini dengan judul: ”Duh...Peraih Emas Balap Sepeda Sea Games Itu, Kini Jadi Penarik Becak”.

Gemerlapnya peristiwa kejayaan Suharto tiga puluh tahun lalu, kini menerima nasib sebagai penarik beca untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya. "Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Tiga puluh tahun kehidupan mantan atlet berprestasi ini, cukup berpuas diri dengan mengayuh becak dan menciumi medali dan piagam penghargaan yang pernah diperolehnya dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional yang tersimpan rapi di rumah kontrakannya.

Nasib Jumain tidak berbeda dengan Suharto. Awal bulan ini SCTV menyiarkan kehidupan  Jumain, peraih Medali emas SEA Games 15 di Nomor Perahu Naga tahun 1986 di Malaysia. Selain itu, dia juga meraih berbagai medali dalam berbagai kejuaraaan internasional di Hong Kong dan Cina. Kini Jumain, jadi penjaga kapal wisata di Pantai Tanjung Emas Semarang.
Suharto dan Jumain hanya contoh dari dua atlet yang di masa tuanya menderita. Tentu banyak lagi yang lain, sebut saja misalnya Elias Pical (tinju), Tati Sumirah (bulu tangkis), Budi Setiawan (Taekwondo), Gurnam Singh (lari), Surya Lesmana (sepakbola). Tentu ruang ini tidak cukup untuk menyebut mereka satu persatu.

Gurnam Singh: Atlet Lari Sumut

Bagi penduduk Sumatera Utara, kita pernah memiliki Gurnam Singh. Sebuah mediaonline mengisahkan bahwa “Gurnam Singh adalah seorang peraih tiga medali emas pada cabang olahraga lari di perhelatan Asian Sea Games pada tahun 1962. Atas prestasinya tersebut pelari tercepat se-Asia ini diundang sebagai tamu kehormatan Presiden Soekarno dan diganjar hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Tetapi kesuksesannya tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1972 rumahnya digusur oleh pemerintah daerah karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal tersebut menambah kepedihan dalam hidupnya setelah sebelumnya istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Setelah itu hidupnya semakin tidak menentu. Ia tinggal berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lainnya, bahkan pada tahun 2003 Ia sempat menumpang tinggal di sebuah Kuil di Polonia, Medan. Medali-medali yang pernah didapatnya dari berbagai kejuaraan internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia telah dijualnya untuk menyambung hidup. Dengan menggunakan satu-satunya sepeda tua yang Ia miliki sebagai kendaraan, pria berusia 80 tahun ini kini hidup dengan mengandalkan belas kasihan dan bantuan dari kerabat maupun orang-orang yang mengenalnya”. (http://www.uniknya.com/2011/11/5-olahragawan-yang-terlupakan/). .

Tentu tidak tertutup kemungkinan para atlit-atlit yang lain yang memerlukan perhatian dan tidak dapat kami sebut satu persatu.

Kabar Menggembirakan

Pengalaman adalah guru sejati. Kita berharap pengalaman ini menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Belajar dari kesalahan masa lalu, sebuah sikap yang diperlukan pemerintah kalau ingin memajukan olah raga di negeri ini.

Kisah Jumain dan Suharto di atas menunjukkan betapa negeri ini alpa menghargai para atlitnya yang berprestasi. "Seorang atlet hanya dikenang ketika meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Setelah masa kejayaannya berlalu, nasib sang pahlawan negara tersebut tak mendapat perhatian lagi, bahkan disia-siakan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi para olahragawan meskipun seharusnya pantas mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya tersebut" (Kompas.com, 1 Juni 2011).

Tentunya, merubah sikap tidak semudah membalik telapak tangan. Kita butuh proses! Dalam pengamatan Tommy Firman, peraih dua medali emas di cabang karate SEA Games XIX Jakarta 1997 penghargaan negeri ini kepada para atlit memang memerlukan perbaikan, setidaknya meniru negara lain. .

Dia membandingkannya dengan negeri jiran kita. “Sebut saja pemerintah Malaysia, Thailand, dan China. Mereka sangat perhatian terhadap atlet yang berhasil menyumbang medali emas bagi negaranya. Kelangsungan hidup serta anak istrinya ditanggung pemerintah,”ujarnya, seperti dikutip Harian Sinar Harapan (09 September 2011). . .

Walau belum berharap banyak, tetapi langkah-langkah dari berbagai pihak untuk memerhatikan kesejahteraan atlet perlu disambut baik. Dari berbagai berita di media, kegiatan Yayasan Olah Raga Indonesia (YOI) beberapa tahun terakhir tampak telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan apresiasi bagi para atlet berprestasi di negeri ini. YOI  berencana memberi asuransi kepada mantan-mantan atlet Tanah Air yang pernah berprestasi baik tingkat nasional maupun internasional, seperti diungkapkan  Dewan Pengawas YOI, Rudy Hartono, di Jakarta, pertengahan tahun ini..

Awal September 2011 lalu, Tommy Firman, mantan karateka nasional yang kini bisa hidup mapan sebagai pengusaha, bersama YOI menunjukkan kepedulian dengan memberikan santunan kepada  Wempi Wungau dari cabang binaraga dan Hasan Lobubun mantan petinju nasional.

Setiap daerah harus ikut memperjuangkan atlet-atlet daerahnya yang berkiprah di SEA Games agar ada jaminan kehidupan mereka di masa depan. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang membuka peluang lebar bagi atlet berprestasi yang ingin menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tahun 2011 ini, Pemkot akan mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyetujui itu.(Harian Suryaonline, 15 April 2011).

Hal-hal yang baik, tindakan yang ditujukan memperbaiki kesejahteraan atlet-atlet kita, tentu tidak hanya yang kami sebutkan di atas. Banyak perusahaan,  individu atau organisasi lain yang melakukannya.

Semoga artikel kecil ini menggugah pemerintah dan masyarakat agar SEA GAMES 2011 ini tidak mengulangi sikap yang tidak peduli atas atlet terbaiknya.   Sudah barang tentu kita juga menghimbau agar para atlet yang terlantar dijenguk dan diberi bantuan secukupnya

Kamis, 10 November 2011

Mengenal Lucya Chriz, Penulis Novel Amang Parsinuan. “Tinggalkan Pekerjaan Mapan, Fokus Menulis!”

Oleh: Jannerson Girsang

Membaca novel Amang Parsinuan, perasaan saya seperti membaca novel Raumanen, karya Marianne Katoppo.Kisah percintaan Raumanen si gadis Manado berusia 18 tahun dengan Monang, laki-laki (Batak) seorang insinyur muda yang begitu memukau. Ingin membacanya sampai buku tamat, tanpa henti. Demikianlah novel ini saya baca hanya dalam beberapa jam, karena tidak begitu tebal, hanya 125 halaman.

Novel Amang Parsinuan ditulis apik dan bahasa yang renyah, sarat dengan muatan lokal Batak, dengan gaya Medan yang kental.

Kisahnya secara ringkas saya tuturkan berikut ini.

Sebagai seorang kepala keluarga dari Suku Batak Toba, hampir setiap hari Lomo berdoa agar memiliki anak laki-laki  yang kelak menjadi penerus marganya. Namun, istri pertamanya, Uli hanya mampu memberikannya 5 putri yang cantik. Lalu, desakan keluarga pihak keluarga Lomo yang menganjurkan dirinya menikah, sampai ke telinga istrinya. Istrinya frustrasi dan nekad bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dengan pisau tajam, tanpa seorangpun mengetahuinya.

Lomo menikah lagi dengan istrinya yang kedua, Roma, walau hanya mangalua, karena keluarga perempuan tidak menyetujui perkawinan anak gadisnya dengan duda beranak lima. Seiring waktu, segala impian Lomo terwujud. Dari istri keduanya—wanita muda dan cantik serta berasal dari keluarga kaya di Medan, Lomo memperoleh tiga anak laki-laki dan juga memberinya keberhasilan dari segi materi—percetakannya membuka cabang dimana-mana.

Kebaikan dan kesetiaan isteri keduanya merawat anak-anaknya,  baik dari istri Lomo pertama dan keduanya  ternyata dimaknai berbeda oleh  Lomo. Kesibukan mengurus anak-anaknya, membuat Lomo merasa istrinya kurang memperhatikannya, kurang memberinya kepuasan pelayanan kebutuhannya.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan istrinya, Lomo  menikah lagi dengan wanita lain, Pinta, bekas karyawan perusahaan percetakan miliknya, dan menelantarkan ke delapan anak-anak dari istri pertama dan keduanya.

Waktu berjalan, meski tidak diberi nafkah, Roma istri keduanya--dengan modal cincin kawin dan kalung yang nilainya tak seberapa, dia membuka usaha kecil-kecilan dan mampu menghantar ke delapan anak, dari istri pertama Lomo dan tiga laki-laki yang dilahirkan dari rahimnya,  ke jenjang keberhasilan. Semua anaknya sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.

Puluhan tahun tak memperdulikan anak-anak dan istrinya,tiba-tiba  di usianya melewati 70 tahun, Lomo muncul di hadapan istrinya Roma. Selama ini status perkawinannya dengan istri ketiganya Pinta tidak jelas secara adat. Dia datang menggugat cerai isteri keduanya, supaya ketika dia meninggal, mayatnya diberangkatkan secara adat Batak yang semarak. Malum, dia orang kaya, memiliki percetakan di berbagai tempat.

Keterlaluan memang. Mau matipun pengen "sangap" (terhormat), meski kelakuannya bejat. Kisah ini mampu mengundang rasa geram, marah, sedih dan sangat menginspirasi. Silakan baca sendiri bukunya deh!

Itulah imaginasi luar biasa seorang Lucya Chriz. Perempuan  kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 itu adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, dan bergabung dengan Komunitas Sastra Medan Indonesia (KSI) Medan, sejak Maret 2011.

Di sampul belakang buku itu kami kutip beberapa komentar pembaca buku itu. ”Cerita Amang Parsinuan, menarik dan indah sekali. Seindah Danau Toba dan Tanah Batak, dengan tradisinya yang sangat hebat,” ujar Kirana Kejora, seorang novelis yang tinggak di Surabaya. ”Etnisitas yang sangat tinggi dan bagus. Lucya Chriz, mampu memperkenalkan budaya Batak, walau secara halus dia mengkritiknya,”ujar Nestor Rico Tambunan, novelis yang tinggal di Jakarta.

Sambutan mediapun cukup lumanyan. Hal ini tampak dari berita Peluncuran novel yang diselenggarakan di Galeri Seni Medan Payung Teduh di Jalan Sei Bingei, 14 Oktober lalu. Harian Medan Bisnis memuat peluncuran itu dengan judul Lucia Luncurkan Novel Amang Parsinuan, Harian terbesar di Sumatera, Analisa melansir sebuah ulasan panjang dengan judul Novel "Amang Parsinuan", Muatan Lokal Pertentangan Adat dan Gereja), serta berita dan ulasan di media cetak dan online lainnya.

Sebagai penulis pemula, Lucya telah berhasil memikat perhatian para novelis, media serta para pembacanya dan menempatkannya sebagai seorang penulis berbakat dan memiliki potensi sebagai penulis handal ke depan.

Jadi Penulis?. Orang Tua Awalnya Tidak Setuju

Tidak hanya novelnya yang menarik, ternyata kehidupan wanita kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 ini juga tak kalah unik. Keyakinannya akan dunia tulis menulis ke depan adalah sebuah inspirasi bagi penulis-penulis muda daerah ini ang cenderung memandang dunia satu ini sebelah mata.

Menjadi penulis adalah pilihannya dan bahkan meninggalkan pekerjaan yang sudah sempat digelutinya di sebuah perusahaan beberapa lama. ”Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis,”ujar lulusan Sarjana Psikologi Universitas Medan Area ini.

Sebuah pilihan yang langka di kalangan anak muda masa kini yang cenderung mengejar materi dan kemewahan. Baginya pilihan ini tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukungnya. ”Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda,”ujarnya mengenang!.  .

Keberuntungan memihak pada Chriz. Belum setahun sesudah berikrar di depan orang tuanya, Lucya Criz berhasil menerbitkan novel Amang Parsinuan, yang menempatkan dirinya sebagai penulis muda yang berbakat dan memenangkan beberapa penghargaan.

Dalam waktu singkat, Lucya berhasil memperoleh beberapa penghargaan dari berbagai pihak, dan menjadi penulis cerpen yang produktif di harian Analisa. .

Lucya merasakan betapa pentingnya seseorang mendapat pembinaan. Sejak bergabung dengan KSI Medan dirinya mendapat bimbingan menulis. "Merekalah yang membina saya sehingga bisa menulis lebih produktif,:"katanya.

 Orang tuanya kini sudah menyadari bakat anaknya yang membanggakan sebagai penulis. Beberapa hari setelah peluncuran novel pertamanya, Lucya Chriz berkunjung ke rumah orang tuanya di Jalan Sisingamangaraja, Sidikalang. ”Orang tua saya bangga saya berhasil menulis. Mereka tidak malu lagi  menceritakan pekerjaan saya sebagai penulis,”ujar Chriz terharu.

Wawancara Tertulis dengan Lucya Chriz.

Untuk mengenal pikiran-pikiran dan keresahan hati salah satu penulis dalam buku antologi ”Kerukunan Umat Beragama” yang diselenggarakan Badan Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Maret 2011 ini, kami melakukan wawancara tertulis. Silakan ikuti kisahnya.

Kapan muncul niat untuk menulis cerpen dan novel?

Sejak dulu saya suka menulis, tapi hanya menjadikannya sebagai hoby. Pelajaran Bahasa menjadi pelajaran favorit saya dan sangat senang ketika diberikan tugas mengarang, membuat laporan, dsb yang berhubungan dengan menuliskan sesuatu. Setiap hari saya menyalurkan hobby tersebut di atas lembaran-lembaran buku harian, hal yang dilakukan banyak anak seusia saya.

Ketika duduk di bangku SMA, saya mencoba membuat beberapa cerpen, yang saya tulis dengan tangan di atas kertas folio dan saya jilid dengan rapi. Di akhir setiap naskah selalu saya tuliskan tanggal penulisan dan tidak pernah lupa membubuhkan nama dan tandatangan, merasa saya adalah seorang penulis professional.

Setelah saya kuliah dan berhadapan dengan banyak tugas dan aktif di berbagai kegiatan, hoby itu pun lama-kelamaan terlupakan. Saya tak pernah lagi menulis.

Setelah lulus dan mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota Medan, tiba-tiba kerinduan itu muncul kembali. Saya bisa duduk berjam-jam di depan komputer untuk menuliskan berbagai hal yang saya rasakan dan saya pikirkan. Tapi lagi-lagi, tulisan itu hanya saya jadikan sebagai arsip pribadi.

Semakin lama kerinduan itu semakin besar dan rasanya tidak bisa saya bending lagi. Sampai kemudian pada Agustus 2010, saya menuliskan sebuah novelette rohani dan memberanikan diri untuk mengirimkannya kepada panitia sebuah lomba yang tengah mengadakan festival kepenulisan. Desember 2010, diumumkan bahwa saya berhasil meraih posisi sebagai juara harapan. (Catatan: Lucya Chriz berhasil meraih Peringkat Harapan II dalam Lomba Menulis Novelet FPPK, Festival Pembaca dan Penulis Kristiani, yang diselenggarakan oleh Saat Teduh dan BPK Gunung Mulia, Desember 2010)

Itu adalah kemenangan pertama saya dalam kepenulisan dan benar-benar berhasil mendongkrak semangat dan rasa percaya diri saya. Setelah itu, saya mulai mengikuti beberapa lomba menulis cerpen dan puji Tuhan, hampir semua lomba yang saya ikuti, saya termasuk salah satu pemenang di dalamnya.

Saya lalu bertekad untuk menjadi seorang penulis yang konsisten dan professional.

Mengapa Anda melakukannya?

Awalnya saya menulis hanya untuk menyalurkan hobby saja. Tapi lama-kelamaan, mindset saya mulai bergeser. Saya menulis dengan sebuah harapan penuh. Saya ingin menjadi berkat bagi orang lain melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga ingin bisa memuliakan nama Tuhan melalui karya saya.

Saya sangat sadar bahwa saya bukanlah siapa-siapa di dunia ini. Tapi saya merasa, bahwa saya bisa berpendapat dan mengeluarkan aspirasi saya. Caranya adalah, melalui tulisan.

Keresahan apa yang ada di hati Anda, sehingga melakukannya?

Saya membaca banyak buku dari luar maupun dalam negeri, tapi saya selalu merasa bahwa seperti ada yang berbeda antara penulis Indonesia dengan penulis luar. Ketika penulis luar dengan bangganya menuliskan tentang kondisi budaya, sosial dan ekonomi negerinya sendiri, penulis Indonesia justru bangga jika bisa menuliskan tentang luar negeri.

Banyak penulis yang mengambil setting di luar negeri demi prestise. Dan ironisnya, hal tersebut sepertinya disambut gembira oleh para pembaca.

Hal itulah yang membuat saya terbebani untuk bisa menuliskan tentang negeri sendiri, karena sesungguhnya di negeri ini terdapat banyak sekali keindahan yang bahakn tidak dimiliki oleh Negara lain. Setelah Negara, saya mulai menyempitkan pikiran. Saya, selaku suku Batak, mencoba untuk mengangkat cerita tentang lokalitas. Tentang kota Medan dan suku serta kebudayaan yang ada di dalamnya.

Semakin saya pelajari, semakin saya bersemangat. Seolah mendapatkan harta karun, saya mengetahui jika Medan dan segala kebudayaannya ternyata memiliki banyak sekali aspek yang menarik. Dan semuanya itu menunggu untuk diangkat ke dalam tulisan.

Saya mencoba menuliskan tentang lokalitas, karena hanya melalui tulisanlah saya bisa menggaungkan kepada seluruh negeri atau bahkan seluruh dunia, tentang keadaan ini. Selain puja-puji, melalui tulisan saya juga bisa mengkritik dan melemparkan pendapat saya dan juga orang lain mengenai kondisi yang sebenarnya.

Kebanyakan anak muda sekarang mencari pekerjaan mapan. Bagaimana dengan saya?
Semuanya tergantung prinsip seseorang. Selepas kuliah, saya mengikuti prosedur yang diyakini semua orang. Bekerja. Saya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang mapan di kota Medan. Saya bekerja selama setahun. Secara financial saya tercukupi, tapi tidak dengan bathin. Saya sangat tidak nyaman dan merasa bahwa hidup saya tidak berada di sana.

Saya merasa kosong dengan segala hasil kerja saya, tapi sebaliknya akan merasa sangat bersemangat ketika membiacarakan dunia kepenulisan. Sehingga pada akhir 2010, saya membuat sebuah keputusan ekstrim. Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis.

Tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukung saya. Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda.

Saya lalu bernegosiasi dengan keluarga. Saya meminta mereka memberikan saya waktu selama satu tahun.

Jika dalam waktu setahun saya tidak bisa menghasilkan karya apa-apa, saya akan mundur dan akan mengikuti ke mana pun mereka perintahkan. Tapi jika dalam setahun saya bisa menghasilkan suatu karya, mereka harus merestui saya dengan profesi ini.

Saya berjuang sekuat tenaga. Saya ingin mewujudkan mimpi saya sebagai seorang penulis. Saya tidak bisa mundur begitu saja, karena sudah terlalu banyak yang saya korbankan.

Puji Tuhan, belum setahun, Tuhan menyatakan kuasa-NYA. Lima buku antologi, cerpen yang dimuat di media, serta novel “Amang Parsinuan” telah saya kantongi.

Bagaimana pandanganmu tentang minat baca dan tulis generasi muda yang sekarang?

Kalau melihat anak dan remaja generasi yang sekarang, terus terang saya merasa miris. Pergaulan yang terlalu bebas yang tak jarang membuat saya terkaget-kaget. Anak yang masih saya anggap ingusan, ternyata sudah lebih banyak tahu dari saya tentang berbagai hal. Ironisnya, hal itu adalah yang berkonotasi negative.

Satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan, anak-anak sekarang memiliki minat baca tulis yang sangat sedikit. Dengan bersemangat saya sering menghadiahi teman-teman buku-buku inspiratif, berharap mereka bisa menuai nilai positif di dalamnya. Sayangnya, harapan saya takkan pernah terkabul, karena hadiah saya hanya akan dijadikan penghuni rak paling bawah.

Dua sisi mata uang, syukurlah kalau ternyata masih banyak juga pemuda yang memiliki semangat besar untuk berkarya. Memiliki daya juang tinggi agar bisa menyuarakan hati dan pikirannya melalui tulisan. Hal itu membuat saya sangat bahagia dan ingin mengajak mereka bergandengan tangan, agar kami bisa bersama-sama membuat perubahan besar melalui tulisan.

Artikel ini bisa diakses di : http://www.harangan-sitora.blogspot.com. Anda dibenarkan memperbanyak artikel ini dengan menyebut sumber dan nama penulis. Tulisan ini belum pernah dimuat di media manapun.

Untuk mengenal karya-karya Lucya Chriz, anda bisa mengunjungi websitenya: http://termanis.com, http://lucya-chriz.blogspot.com.

Senin, 07 November 2011

Berkat di Hari Idul Adha (Renunganku di Harian Analisa,30 Nopember 2009)


Oleh Jannerson Girsang

(Artikel ini adalah pengalaman keluarga kami di saat Idul Adha, dua tahun lalu. Semoga memberi makna pada perayaan Idul Adha 1432 H).

27 Nopember 2009 sepanjang hari cuaca begitu cerah di Medan. Secerah suasana hati rekan-rekan saya yang beragama Islam menyambut hari Raya Idul Adha. Warga Muslim berbondong-bondong menuju sejumlah mesjid. Ketika saya keluar rumah, pembagian daging kurban sudah mulai terlihat di beberapa tempat. Arus lalulintas di Kota Medan di Hari Raya Idul Adha 1430H, terlihat sedikit lengang di pagi hari. Warga cukup antusias menyambut dan melaksanakan solat Idul Adha.

Hari Raya Idul Adha, tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi umat Muslim, tetapi juga bagi tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama. Sebagai tetangga, kami sekeluarga yang beragama Kristen turut merasakannya. Rumah kami bersebelahan dengan pak Halim,seorang Muslim.

Sepulang dari diskusi finalisasi sebuah buku otobiografi, sore hari, ibu Yuli, istri pak Halim menghampiri saya, tidak lama setelah memarkir mobil. Beliau menyapa dengan muka ceria. “Pak Girsang, mana ibu,”ujar ibu Yuli sambil tersenyum, seraya menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Saat itu, istri saya sedang tidak berada di rumah. Dia keluar bersama anak bungsu saya memanfaatkan libur hari Raya Idul Adha dengan jalan-jalan. Mungkin beberapa jam sebelumnya, ibu Yuli sudah mencari-cari kami. ”Dari tadi rumahnya tutup ya,” katanya.

Saya menerima bungkusan plastik itu dengan rasa senang yang luar biasa, karena bungkusan seperti itu, layaknya tahun-tahun sebelumnya, pasti berisi daging sapi. Berkat luar biasa bagi kami di saat tetangga kami merayakan Idul Adha.

Benar saja. Ketika bungkusan ini saya buka, isinya adalah daging sapi yang cukup untuk lauk dua kali makan bagi kami bertiga dengan istri dan anak bungsu saya. Kami ikut merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Adha melalui tetangga kami yang luar biasa baiknya. Bukan  soal nilai daging sapinya, tetapi perhatiannya.

Tiga anak saya di Jakarta, pernah merasakan pemberian ibu Yuli. Istri saya memberitahukan bahwa kami sudah menerima daguig kurban Idul Adha dari ibu Yuli. ”Salam sama ibu Yuli ya bu,” demikian jawaban mereka kepada istri saya. Mendengar hal itu, mereka turut memaknai perayaan Idul Adha. Meski mereka tidak ikut menikmati daging pemberian bu Yuli, tetapi anak-anak saya ikut merasakan kebahagiaan yang kami nikmati.   

Setiap tahun, pada Hari Raya Idul Adha, ibu Yuli selalu menyisihkan daging sapi bagi kami. Meskipun kami bukan Muslim. Ibu Yuli melakukan hal yang sama, sejak 1996, awal kami mulai bertetangga. Kami merasakan sebuah kedamaian bertetangga sesama umat yang berbeda agama. Kami tidak pernah terkungkung oleh perbedaan, tetapi kami melihatnya sebagai sebuah karunia Tuhan.

Saya teringat pengalaman saya di Ciamis, Jawa Barat di era 1980-an, ketika kami bertugas di sana. Almarhum Haji Badrudin pemilik rumah  kos yang kami tempati di Jalan Sudirman 132 di kota itu,  senantiasa menyisihkan daging kurban Idul Adha kepada keluarga kami.  Begitu indahnya bertetangga andaikata kita memahami persamaan : saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Ibu Yuli dan pak Halim adalah keluarga yang sederhana dan berbahagia. Keduanya telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Saat mereka berangkat haji, kami juga diundang dalam acara selamatan. Ibu Yuli bekerja pada sebuah surat kabar dan suaminya pak Halim adalah seorang redaktur senior di salah satu surat kabar lokal berpengaruh di Medan.

Di Hari Raya Idul Adha ini, penting bagi kita semua untuk memikirkan cara-cara sederhana dalam bertetangga dan memelihara kedamaian dengan sesama. Kami merasakan makna dalam perbuatan, tanpa sibuk membahas hal-hal yang terkadang rumit. Mengambil cara sederhana, tetapi menciptakan suasana yang saling tergantung dan saling membutuhkan. Kami mampu melaksanakannya, meski kami tidak mengetahui secara mendalam soal teologis, karena kami memang bukan ahli agama.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai tetangga ibu Yuli dan suaminya menunjukkan sikap saling membutuhkan dan kedamaian yang menyejukkan hati. Hal-hal sederhana sering kami lakukan sesama tetangga. Kalau hujan datang dan kebetulan tidak ada orang yang tinggal di rumah kami, sementara ibu Yuli kebetulan di rumah, maka dengan cekatan dia akan mengamankan kain jemuran kami ke rumahnya. Kalau kebetulan salah seorang anak saya atau istri saya di rumah dan kejadiannya seperti di atas, maka mereka melakukan hal yang sama. Ujung-ujungnya, ibu Yuli pasti memberikan hadiah. Anak-anak saya acapkali menerima kiriman makanan atau apa saja dari ibu Yuli.   

Sebagai tetangga, karena kesibukan masing-masing, maka kami hanya memiliki waktu tertentu untuk bersilaturahmi. Khususnya pada Tahun Baru dan Lebaran. Saat merayakan Tahun Baru, mereka berdua selalu berkunjung ke rumah kami. Sebaliknya, kami senantiasa berkunjung ke rumah mereka pada saat Lebaran. Memang, di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, kami kadang hanya sempat saling tegor atau ”say hello”. Tetapi memiliki makna persahabatan dan saling menghargai.

Selamat merayakan Idul Adha bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kita berbeda karena Tuhan menginginkan kita berbeda. Marilah melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk membuahkan kedamaian dengan tetangga kita dan pada akhirnya kedamaian di bumi Indonesia ini.

Semoga kisah-kisah seperti ini bisa dialami oleh rekan-rekan saya sebangsa dan se tanah air.

Artikel ini dimuat di Harian terbesar di Medan Analisa Edisi Cetak, 30 Nopember 2009 di halaman Opini.