Oleh: Jannerson Girsang.
Ungkapan
Romawi, verba volan srcipta manen (yang terucap lenyap dan yang tertulis
tetap) penting menjadi kesadaran bagi setiap insan di tengah masyarakat
kita yang tengah menghadapi berbagai krisis kehidupan. Kita perlu
menuliskan kearifan masa lalu, menjadikan pelajaran berharga atas setiap
kearifan dalam menghadapi permasalahan dan mewariskannya dalam bentuk
tertulis kepada generasi berikut.
**
Sabtu 23 Maret 2013 saya menuju ruang pertemuan di HoteI Polonia
Medan. Ruangan itu sudah dipenuhi sekitar 100-an undangan. Sebuah
perhelatan sederhana: Peluncuran Buku Pemikiran Prof Dr Sutan
Hutagalung, dalam rangka peringatan tujuh tahun sang tokoh. Acara
diawali dengan kebaktian yang dipimpin Pendeta O Siahaan, kemudian
dilanjutkan dengan bedah buku.
Saya menyaksikan beberapa tokoh gereja, diantaranya, Dr JR Hutauruk
(mantan Ephorus HKBP dan banyak menulis sejarah gereja), Patut Sipahutar
MTh, Bishop GKPI, Pdt Oloan Pasaribu MTh, Sekjen GKPI. Satu meja dengan
penulis, akademisi dari sekolah teologia dosen Institut Teologia Abdi
Sabda (ITAS), Dr Jontor Situmorang MTh (Rektor ITAS Medan), Dr Jan
Jahaman Damanik MTh dosen ITAS dan penulis masalah-masalah teologia dan
kemasyarakatan.
Tampak juga diantara para undangan antara lain, penulis
masalah-masalah gereja dan sosial Pendeta Estomihi Hutagalung dari
Gereja Methodist Indonesia (GMI), Rainy MP Hutabarat (penulis bahasa dan
cerpenis di harian Kompas), para para wartawan daerah ini.
**
Semua hanya satu fokus. Ingin mengetahui pemikiran-pemikiran muncul
dari pengalaman dan cara benar menghadapi tantangan lingkungan
sekelilingnya. Kali ini adalah pemikiran-pemikiran seorang tokoh gereja
penting di masa lalu, Prof Dr Sutan Hutagalung.
Prof Dr Sutan Hutagalung, yang lahir di Sosor Topi Aek, Hutagalung,
Tapanuli Utara, 20 Agustus 1921. Dari kehidupan anak yang besar di desa
kecil di Tapanuli Utara, mendapat pendidikan di atas rata-rata pria
seusianya.
Menjalani pendidikan mulai dari Holland Inlandsche School (setingkat
SD) di Sigompulon, Tapanuli Utara (lulus 1929), kemudian MULO, setingkat
SMP di Tarutung dan Pematangsiantar, lantas melanjut ke AMS (2 tahun).
Sempat menjadi Kepala Bagian Keamanan penjara Sragen, Jawa Tengah, dan
ikut berjuang melawan penjajah di daerah pegunungan Kapur Selatan.
Hingga kemudian terpanggil memasuki sekolah teologia.
“Mukzijat terjadi ketika pada 1949 Sutan mendapat bea siswa untuk
melanjutkan kuliah di STT Jakarta. Usianya ketika itu sudah 28 tahun,”
demikian dituliskan dalam buku Dari Judas ke Tugu dan ke Kemiskinan.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di STT Jakarta (1953), Sutan diterima
menjadi penerima beasiswa untuk program Master Teology (MTh) dan Doctor
of Philosophy (Ph.D) di Fakultas Teologia, Yale University, Amerika
Serikat. Yale University adalah juga tempat kuliah Dr William Liddle,
yang dikenal luas sebagai pengamat politik Indonesia. William Liddle
bersahabat dekat dengan Sutan dan berkenan menuliskan kesannya dalam
buku Otobiografinya: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”.
Sutan lulus doktor teologia dengan desertasi berjudul “Masalah
Kebebasan Beragama di Indonesia 1800-1958”. Suami Juliana Tumiar br
Hutabarat ini adalah doktor teologia kedua di Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP), menyusul Dr Andar Lumbantobing yang lulus dari Jerman
pada 1957.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Amerika, Sutan kembali ke Indonesia dan melayani di gereja HKBP. Sempat menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan ilmu Pengetahuan, Nommensen Pematangsiantar.
Hingga sebuah konflik besar, terjadi Pasca Synode Gereja terbesar di
Asia Tenggara itu. “Desakan dari warga jemaat untuk memisahkan diri dari
HKBP mendorong Sutan bersama rekannya Dr Andar Lumbantobing untuk
mendirikan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), 30 Agustus 1964,”
ungkap buku Dari Judas ke Tugu dank e Kemiskinan.
Selama periode 1966-1977 dan 1983-1988 Sutan menjadi Sekretaris
Jenderal GKPI. Sutan juga pernah menjadi guru besar tamu di Lutheran
School of Theology, Chicago dan Wittenberg University, kemudian di
Lembaga Riset LWF Strassbourg, Prancis (1977-1982). Selain aktif di
gereja, Sutan juga aktif di lingkungan pemerintahan dan politik, antara
lain sebagai anggota DPR-GR Kota Pematangsiantar.
Prof Dr Sutan Hutagalung meninggal di rumah sakit Elizabeth Medan, 5 Maret 2006 dalam usia 85 tahun.
**
Sepanjang perjalanan itu, Sutan rajin mencatat, menuliskannya dalam
artikel berupa bahan-bahan khotbah maupun pemikirannya merespon
peristiwa atau kondisi sekelilingnya. Paper-paper itu disimpan dan
semasa hidupnya sering diungkapkan agar dibukukan, tapi syukur masih
dapat diwujudkan. Tidak banyak pemimpin gereja yang memiliki keinginan
untuk mendokumentasikan pemikiran dan pengalamannya dalam bentuk
tertulis.
Potongan-potongan paper itulah kemudian dikumpulkan oleh para editor
dan mendokumentasikannya ke dalam dua buku. “Saya mendapat setumpuk
besar bahan-bahan dan dari sanalah kami menyusun kedua buku itu,”ujar
Jansen Sinamo, dari penerbit Institut Darma Mahardika. Penyuntingnya
memang bukan orang sembarangan. Jansen Sinamo, Guru Ethos Indonesia.
Jansen Sinamo dibantu beberapa editor diantaranya Salomo Simanungkalit
(editor bahasa Harian Kompas, Rainy Hutabarat (cerpenis dan penulis
bahasa Kompas) dan Hasudungan P Sirait, seorang guru para penulis dan
pelatih wartawan kondang.
Mereka mengolah tumpukan-tumpukan artikel itu hingga membuahkan empat
tema yang dirangkai dalam dua buku: Pemberian adalah Panggilan dan Dari
Judas ke Tugu Kemiskinan.
Buku Pemberian adalah Panggilan berisi tema pertama dengan tajuk
Pemberian adalah Panggilan (kumpulan khotbah dan ceramah), tema kedua
dengan tajuk Maka Lahirlah GKPI (artikel-artikel yang mengisahkan
lahirnya GKPI).
Sedangkan buku Dari Judas ke Tugu Kemiskinan berisi tema ketiga,
yakni kekristenan (diwakili oleh Judas), serta sosial kemasyarakatan
(diwakili oleh kemiskinan) dan tema keempat “Stop…Pikirkan Dulu”.
Stop…Pikir Dulu adalah nama rubrik di Harian Sinar harapan yang kerap
memuat tulisan Sutan di era 1967-1969.
Sentuhan para penulis-penulis besar memberikan makna dan keunggulan
tersendiri bagi kedua buku itu. Mulai dari pembabakannya dan juga
sentuhan bahasanya yang renyah dan semakin mudah dibaca berbagai
kalangan. Terasa berbeda dalam kualitas penulisan, ketika para penulis
besar memberi perhatian menuliskan kearifan dari tokoh-tokoh daerah ini.
Sumut punya banyak tokoh yang membanggakan dan menginspirasi. Sayangnya
belum banyak yang ditulis dan dikomunikasikan dalam bentuk buku.
**
Kedua buku ini setidaknya telah memberi peluang bagi masyarakat luas
untuk mempelajari kembali pemikiran-pemikiran yang pernah muncul dari
seorang yang memiliki liku-liku panjang perjalanan hidupnya, berbagai
tantangan dan cara menghadapi tantangan.
“Kumpulan tulisan yang mencakup kurun waktu yang panjang membantu
para pendeta, pelayan gerejawi, aktivis dan warga jemaat memperoleh
masukan-masukan teologis yang jernih, tajam dan proporsional” kata Dr
Enar M Sitompul.
Salah seorang pembicara dalam bedah buku itu, Pdt Dr JR Hutauruk
mengatakan, semasa hidupnya Sutan Hutagalung menempatkan dirinya sebagai
pendeta, pemikir dan praktisi. Dia memiliki metoda khotbah yang khas,
dan khotbah dan ceramah-ceramahnya memiliki alamat tertentu dengan
ulasan teologis, etis dan politik yang tajam, serta menggunakan
kiasan-kiasan dalam khotbah-khotbahnya. Dia memaparkan data apa adanya,
memberikan usul yang mencerahkan, mencari kebenaran dan keadilan Tuhan
Dia punya gaya bahasa tubuh yang khas pula. “Matanya itu lho,” ujar
Raplan Hutauruk, dan melanjutkan, “Kalau mengucapkan sesuatu dan matanya
berkedip, berarti itu penting,” demikian Dr Hutauruk sambil tersenyum
menggambarkan salah satu ciri khas Dr Sutan.
Menurutnya, Sutan termasuk generasi lulusan teologia yang baru di
lingkungan gereja di masanya. Sebelumnya, Ephorus Justin Sihombing
adalah produksi zaman Zending. Sementara Sutan adalah lulusan Batavia,
kemudian kuliah di Amerika dan kembali ke Tanah Batak.
Menggali ulang pemikiran salah seorang tokoh pendiri GKPI tersebut
sangat tepat disaat kondisi bangsa sedang carut marut. Menurut Patut
Sipahutar MTh (Bishop GKPI), Sutan adalah sosok pendeta yang berkhotbah
yang selalu melihat relevansinya dengan lingkungannya. “Dalam
khotbah-khotbah dan ceramahnya beliau mampu merespon kejadian dan
situasi sekelilingnya,” ujar Pdt Patut Sipahutar.
“Tulisan-tulisan Dr Sutan yang dihimpun dalam buku ini sangat kaya
membahas berbagai esensi eksistensi relevansi dari berbagai realitas
kehidupan ini. …Yang pasti, tulisan ini mengajak kita untuk menjadikan
hidup dan kehidupan ini bermakna besar bagi sesama dan semesta” ujar
Patut Sipahutar, mengomentari isi buku itu.
Verba volan srcipta manen (yang terucap akan lenyap, yang tertulis tetap). Semoga memberi inspirasi bagi kita semua. ***
Penulis Editor buku Otobiografi Prof Dr Sutan Hutagalung: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”.
(Bisa juga diakses ke Website Harian Analisa, 6 Maret 2013 www.analisadaily.com/news/2013/7131/verba-volan-scripta-manen/).