Oleh: Jannerson Girsang
Membaca laporan Forbes (Nopember 2013) bahwa lima puluh orang terkaya
Indonesia memiliki kekayaan mulai dari US$ 15 miliar hingga US 390 juta,
terbayang dalam pikiran, “andaikan mereka tergerak hatinya menyisihkan sedikit
kekayaannya membantu derita anak bangsa yang tertimpa bencana di tanah
air”.
Belum lagi kalau dari mereka mau menggalang dana dari para rekan-rekan
mereka. Bangsa ini membutuhkan “orang-orang terkaya” yang peduli bencana!.
Negeri kita adalah negeri bencana. Indonesia adalah korban erupsi gunung
terbesar di dunia dan sangat rentan gempa, banjir dan longsor. Tapi kita
bersyukur karena negeri bencana memiliki banyak orang-orang terkaya dunia.
Bencana yang terjadi di tanah air belakangan ini mengakibatkan kerugian
cukup besar dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk menanggulanginya.
Sementara, anggaran pemerintah terbatas. Malu dong, sebagai bangsa yang
berdaulat, kalau sampai turun bantuan
asing di tengah negeri yang bertabur “orang-orang terkaya dunia”.
Kerugian Besar
Perkiraan sementara menunjukkan bahwa kerusakan dan kerugian akibat
bencana yang terjadi beberapa bulan belakangan ini cukup besar. Rp 1.8 triliun atau hampir setara dengan nilai proyek
Hambalang, lenyap begitu saja, akibat banjir di Manado. Belum lagi bencana
akibat letusan Gunung Sinabung yang diperkirakan mendekati Rp 1 triliun, serta ratusan miliar kerugian
dialami akibat banjir di ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Kalau kemudian dibuat
pehitungan yang detil kerugian materi bisa mencapai angka Rp 3 triliun.
Kerusakan yang terjadi membuat rakyat yang terkena bencana sangat
menderita. Selain rusak atau kehilangan harta benda, mereka kehilangan mata
pencaharian untuk sementara waktu, dan bisa berdampak panjang kalau tidak
segera diatasi. Pedagang kehilangan omzet harian, pembengkakan ongkos
transportasi, dan kenaikan biaya logistik. Petani mengalami kerugian karena
panenan gagal.
Selain itu bencana juga mengakibatkan munculnya penyakit fisik maupun
psikis. Mereka tidak saja membutuhkan bantuan fisik (makanan, pakaian, uang,
perumahan) tetapi juga trauma healing (pemulihan dari trauma).
Kemampuan Terbatas
Di depan para wartawan, Senin (20 Januari 2014), Menteri Keuangan
Chatib Basri melaporkan bahwa Pemerintah
telah mengalokasikan anggaran dalam APBN 2014 sebesar Rp 3 triliun untuk penanggulangan bencana alam.
Separuhnya dapat dicairkan langsung tanpa persetujuan DPR.
Mengandalkan kemampuan anggaran
sebesar itu jelas tidak mampu menanggulangi seluruh persoalan bencana di
negeri ini. Masalahnya, bencana-bencana
yang terjadi bukan hanya di Manado, erupsi Sinabung atau Jakarta.
Disamping menanggulangi bencana, Indonesia memerlukan biaya yang besar
dalam riset penanggulangan bencana meliputi fase pra, saat dan
pascabencana. Anggaran riset di BNPB
lebih banyak digunakan untuk membangun kebijakan. Kedikbud dan Kemristek yang
juga mempunyai anggaran riset diharapkan dapat mendukung kebutuhan tersebut
dengan menambah anggaran riset kebencanaan yang dilakukan perguruan tinggi dan
lembaga riset. Bappenas diharapkan mendukung kebijakan penganggaran riset
kebencanaan. (Workshop Nasional Riset dalam Penanggulangan Bencana.
http://www.bnpb.go.id)
Hasil-hasil riset tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas
informasi bencana di negeri ini. Kualitas informasi lokasi bencana (tepat
waktu, akurat, dan diterima orang yang tepat), dari bencana (erupsi gunung,
tsunami, bahkan banjir) masih perlu ditingkatkan, karena system informasi
bencana serta teknologi yang mendukungnya belum secanggih yang dimiliki Negara-negara
maju.
Jepang misalnya, sudah bisa meramalkan terjadinya tsunami. Bahkan dalam
siaran langsung di televisi, kita bisa menyaksikan beberapa ratus meter sebelum
gelombang tsunami menerjang pantai. Bandingkan misalnya dengan tsunami Aceh dan
Nias beberapa tahun lalu. Kita baru berteriak, setelah tsunami terjadi.
Karena bencana tidak dapat diprediksi dengan tepat, antisipasinya
sering terlupakan. Penjelasan-penjelasan masih sering tidak bisa dipahami para
pengungsi, pengambil keputusan. Contohnya, di kasus Sinabung. Kita kesulitan
mencari data praktis di website yang bisa dijadikan acuan. Updating datanya
kurang teratur.
Lihat misalnya updating data sewaktu Tsunami Aceh dan Nias terjadi.
Kita dengan mudah mengetahui siapa yang terlibat dimana, kapan dan jumlah pengungsi
yang mereka tangani.
Banyak pertanyaan-pertanyaan penting berlalu begitu saja. Para
pengungsi Sinabung misalnya. Mereka memerlukan informasi kapan Gunung Sinabung
meletus, letusannya sampai kemana, sampai kapan mereka mengungsi, apa
langkah-langkah yang mereka lakukan kalau gunung meletus, kepada siapa bantuan
harus disalurkan, bagaimana penanganan berlanjut dilaksanakan. Serta banyak
pertanyaan-pertanyaan dasar yang tidak masih sulit dijelaskan kepada masyarakat
luas.
Selain itu, Suratman, tenaga ahli Komisi VIII DPR-RI mengidentifikasi
perlunya revitalisasi pengelolaan bencana di Indonesia, diantaranya koordinasi
pengelolaan bencana, seperti implementasi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, tumpang tindih peraturan dan pengelolaan dana
yang bersumber dari masyarakat.
Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Kita memiliki potensi untuk
melakukannya, yakni terus belajar
tentang gejala alam, sehingga bisa meramalkannya untuk mengurangi jumlah
korban, serta meningkatkan kualitas system dan orang-orang yang mampu
menjalankan system itu. Kita seharusnya lebih ahli dari Jepang, atau Negara
lain, karena negeri kita lebih rawan bencana.
“Bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia harusnya menjadikan
Indonesia pakar dalam penanganan bencana. Bencana dapat diminimalisir
akibatnya, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dari
penanganan bencana alam sebelumnya,”seperti diungkapkan Suratman, Tenaga Ahli
Komisi VIII DPR RI, beberapa waktu lalu (Tribune News Com, 28 Nopember 2013).
Semuanya itu membutuhkan butuh biaya dan tenaga-tenaga ahli dan
berdedikasi.
Mengetuk Hati Konglomerat di Tengah Bencana
Saatnya pemerintah membuka mata para orang-orang terkaya di negeri ini
harus memiliki sense of disaster. Kita semua, bersama-sama pemerintah perlu menggerakkan peran "orang-orang
kaya" Indonesia dalam membantu bencana yang terjadi di negeri ini.
Kemampuan mereka luar biasa. Credit Suisse, Swiss melaporkan dalam
Global Wealth Databook 2013, terdapat 22 orang superkaya Indonesia yang
memiliki harta di atas 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12 triliun (kurs Rp
12.000 per dollar AS). Bahkan laporan Forbes Nopember 2013 yang lalu mengatakan
ada 29 orang kaya di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 1 miliar dollar
AS, bahkan orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan sampai 15 miliar dollar AS.
Kalaulah mereka bisa berhemat sedikit biaya makan, hiburan, pengeluaran
sogok menyogok, sangat berarti bagi ribuan anak bangsa yang sedang menderita.
Mereka seharusnya tidak nyenyak tidur sehabis menyaksikan di televisi,
menyaksikan sesama bangsanya yang tidur di tenda-tenda, kedinginan karena
kurang selimut, terancam kelaparan karena persediaan bantuan yang makin
menipis.
Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa tahun lalu orang terkaya
Indonesia pernah mendanai kampanye Obama (Ralat: Clinton). Mustahillah mereka
tidak mampu menyisihkan sedikit bantuan untuk sesama bangsanya yang mengalami
kesulitan, mereka diajak membantu mendanai kekurangan biaya riset-riset untuk
antisipasi dan peningkatan system pengelolaan bencana.
Teringat kata-kata W.C. Field, A rich man is nothing but a poor man
with money. Sangat tidak berarti, kalau orang-orang terkaya hidup dalam sebuah
Negara, menikmati hidup, sementara tidak peduli bahwa di tengah-tengah mereka
ada orang yang terkena bencana, tidak punya mata pencaharian dan terancam
kelangsungan hidupnya.
Pemerintah yang peduli bencana seharusnya mampu mengetuk hati mereka
Orang-orang terkaya yang memiliki rasa solidaritas seharusnya terketuk hatinya.
Wacana ini mungkin perlu dikembangkan. Dicoba saja, mana tau ada hasilnya!.
[1] Penulis pernah menjadi Program Manajer sebuah NGO yang menangani
Bantuan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias.