My 500 Words

Tampilkan postingan dengan label In Memoriam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label In Memoriam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Agustus 2009

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (8)

Guyuran Hujan : Memberangkatkan Dr Armencius Munthe

Oleh Jannerson Girsang

Kalau di pagi hari cuaca 28 Juli 2009 begitu cerah dan bahkan para pelayat tampak berkeringat dan sebagian diterpa panas matahari langsung karena tenda dan kursi yang tidak mampu menampung mereka, beberapa jam setelah makan siang hujan deras membasahi kota Medan. Pendeta A Munthe diberangkatkan di tengah guyuran hujan deras.


Memang seperti yang diperkirakan, pengunjung yang ingin menaksikan pemberangkatan terakhir pendeta pelayan itu di luar perkiraan. 1500 kursi disediakan di sebelah kiri dan kanan depan gerbang rumah Dr Armencius, jalan Flamboyan I/1 Perumahan Pemda II Medan.

Kursi terisi penuh dan masih ada beberapa ratus tambahan kursi. Belem lagi tamu-tamu yang datang dan kemudian pulang, tanpa sempat duduk, karena ada kepentingan lain. Tiga hari menyaksikan para pelayat yang datang ke rumah duka membuat saya makin mengerti siapa sebenarnya Armencius Munthe. Dia dikenal oleh berbagai kalangan Mereka merasakan perbuatan pak Munthe sesuai dengan ungkapan yang mereka  saat menyampaikan ucapakan rasa duka.

Munthe adalah seorang guru yang pintar, hangat dan bersahabat, pemurah, peduli, mencari kotak kitam bukan ”kambing hitam”. Seorang suaminya yang sangat mencintai istrinya dan ”bukan sitonggor jumbak”.  Dan banyak lagi.


Dalam kehidupan oikumene, beliau adalah seorang pendeta yang dirindukan oleh semua jemaat dan para pendeta dari berbagai denominasi. ”Beliau digaji GKPS, tetapi tenaganya banyak dignakan Gereja Methodis Indonesia,”ujar Pendeta Dolok Saribu, Bishop GKPI.

Acara pemberangkatan di rumah duka berjalan lancar, tetapi beberapa acara yang sudah dijadwalkan terpaksa terpotong karena memang waktu yang tidak mengijinkan. Kami memberangkatkan pak Munthe hanya sampai ke ambulance yang mengangkutnya ke gereja GKPS Maranatha.

Upacara pemberangkatan jenazah di GKPS Maranata berlangsung hikmat, meski dibawah guyuran hujan lebat. Gereja berkapasitas 400 orang jemaat itu penuh sesak. Acara dipimpin langsung oleh Pendeta Belman Purba Dasuha, Ephorus GKPS didampingi Pendeta Rumanja Purba, Sekjen GKPS dan para pendeta GKPS dan pendeta dari berbagai denominasi.Dari gereja tetangga Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI) mewakili gereja tetangga menyampaikan ucapan belasungkawa.

Usai acara kebaktian pemberangkatan dari gereja, hujan terus mengguyur kota Medan. Hanya beberapa pendeta dan sekitar kurang dari seratusan orang anggota keluarga yang turut meghantarkannya ke Taman Pemakaman Simalingkar B, yang ditempuh sekitar 15 menit dari GKPS Maranatha. Acara pemakaman dipimpin langsung Ephorus GKPS didampingi Sekjen dan beberapa pendeta

Peci itu Dikenakan di Kepala Elisa


Elisa Munthe anak tertua pak Munthe menerima ”peci” dari Pak Munthe yang diserahkan Tondong Girsang. ”On ma ambia tanggkuluk ni lae on. Ipakehon hanami ma on hubam, ase ho ma panggantih ni lae na dob borhat i rumah nami. Sonai pambahen ni sadokah on, sonai ma tiru hanima,”kata Tondong Girsang dari Pangambatan.

Acara malam itu juga disaksikan oleh beberapa keluarga Tondong Tobing, sanina Munthe dan boru Munthe.

Tondong Tobing juga mengadakan acara ”menyalam” Floriana—ito (boto) dari keluarga Tobing baginya yang sedang berduka karena ditinggal suami. Semoga saudara mereka bisa melupakan kesedihan dan datanglah kebahagiaan.


Selamat Jalan Dr Armencius Munthe!.

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (7)

Persiapan Martonggo Raja

Oleh : Jannerson Girsang

Sebagaimana kebiasaan di GKPS pada umumnya, seorang tokoh gereja yang meninggal diberikan penghormatan adat dan upacara pemberangkatan dari gereja. Demikian halnya dengan Pendeta Dr Armencius Munthe.

Dr Armencius Munthe meninggal sayur matua-memiliki putra dan putri dan sudah memiliki cucu dari putra-putrinya.  Acara pemakamanannya dilaksanakan adat sayur matua. Mengingat desa kelahirannya adalah di Pangambatan, sebuah desa di perbatasan Tanah Karo dan Simalungun, maka adat yang dilaksanakan adalah adat Sipitu Huta. Adat yang sedikit berbeda dengan adat Simalungun maupun Karo.  Semua sepakat untuk menghormatinya dengan adat yang berlaku di kampungnya dan yang umum dilaksanakan keluarganya.  

Konsep pelaksanannyapun didiskusikan dengan matang dengan seluruh perwakilan keluarga. Perwakilan keluarga membuat rancangan dan akan disepakati dalam rapat Martonggo Raja--yang dihadiri seluruh unsur mulai dari tondong, boru, sanina dan hasoman sahuta dan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan acara 28 Juli 2009.  

Pak Silalahi (sebagai boru) dan pak Munthe sebagai sanina jabu keluarga Armencius Munthe bekerja keras untuk menemukan kesepakatan. Hingga konsep acara yang akan dilaksanakan dapat dirampungkan dan akan diajukan pada acara Martonggo Raja pada malam hari pukul 20.00 WIB. 

Rencana semula, acara ”Pamasuk hu Rumah na Baru” dilaksanakan pagi-pagi hari Selasa, demikian juga acara khusus keluarga, dipercepat menjadi hari Senin. Alasannya, daftar acara yang sudah masuk untuk dilaksanakan hari Selasa, sangat padat. 

Dalam rapat keluarga Senin Pagi, diputuskan acara ”Pamasuk hu Rumah-rumahni” pukul 16.00 WIB, mengingat padatnya acara yang akan dilaksanakan besoknya. Perubahan ini bukan hal mudah. Diperlukan koordinasi dengan pendeta yang memimpin acara kebaktian dan tondong Girsang sebagai pelaksana utama. Demikian juga tondong Tobing dan hasoman sahuta. 

Acara ”Mambahen hu rumah Nabaru” berlangsung dengan baik, sesuai dengan jadwal. Dihadiri Tondong Girsang, Tobing, Hasoman Sahuta dan keluarga yang berduka. Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan seperti itu dalam waktu yang singkat, seandainya ada pihak tidak memiliki rasa pengertian. Sebuah contoh demokrasi yang dilandasi dengan kasih (holong). Sesama keluarga yang rukun, memang senantiasa diberikan berkat. 

Malamnya diadakan acara Martonggo Raja yang dihadiri semua pihak yang terlibat pada acara pemberangkatan ke peristrahatannya yang terakhir yang akan dilaksanakan sejak malam Selasa, hingga besoknya. 

Sesudah itu, keluarga mengadakan acara khusus dan diakhiri dengan manortor bersama dalam keluarga inti.

Sesudah acara khusus keluarga, maka acara manortor dilanjutkan kepada Tondong, Sanina, Boro dan hasoman Sahuta!.  

 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (6)

Memberitakan Duka Cita
Oleh : Jannerson Girsang
Minggu 26 Juli 2009. Pagi-pagi sepulang dari rumah duka, saya mengirimkan iklan yang dikonsep keluarga ke harian Sinar Indonesia Baru. Tidur sebentar dan berangkat ke gereja. Saat acara kebaktian di gereja, beberapa teman mengirimkan sms menanyakan alamat dan arah rumah. Kapan dikubur dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus saya balas melalui sms.

Usai acara kebaktian, saya memimpin pertemuan pemuda GKPS Simalingkar sampai jam 16.00. ”Tugas di gereja jangan ditinggalkan,” demikian Munthe senantiasa mengingatkan kami.

Setelah menuangkan kesedihan dengan menuliskannya di komputer, saya dan istri berangkat ke rumah duka! Aku begitu trenyuh melihat situasi saat itu. Rumah kecil itu dipadati pengunjung. Malam itu pelayat dari berbagai denominasi gereja, masyarakat sekitar, berebut ingin masuk dan mengadakan acara penghiburan. Mereka berjajar dan terkadang ada yang saling mendahuli. Pintu masuk menjadi sesak. Jalan keluar yang sempit membuat orang yang berada di dalam rumah terlihat mengipas-ngipas mukanya karena kepanasan.  Taratak yang menampung sekitar 500 orang sudah terpasang di jalan depan rumah.

Haryanson dan beberapa anggota keluarga meminta saya supaya mengatur acara agar bisa berjalan dengan baik dan hikmat. ”Anggo lang iatur on bang, kacau do holi halani bahat tumang na sihol mambahen acara,”kata Haryanson, salah seorang putra adik pak Munthe.
Dengan segala senang hati saya menerima tawaran ini. Untuk pak Munthe saya rela memberikan  yang terbaik, di hari-hari terakhirnya. Saya meminta seseorang memberikan saya buku dan pulpen. Para rombongan pelayat didaftar lebih dahulu agar mereka bisa melaksanakan acara dengan hikmat, demikian juga keluarga.
Meski diatur, tetapi tetap saja kurang teratur karena banyaknya orang yang ingin mengungkapkan rasa duka kepada pak Munthe, sementara kapasitas rumah yang tidak mengijinkan. Sayangnya ada saja yang tak memperdulikan kepentingan orang lain. Tidak mematuhi disiplin waktu, sehingga kesempatan bagi yang lainnya hilang. Malam itu ada beberapa acara yang sudah terjadwal, tidak bisa dilaksanakan karena sudah larut malam.
Sampai larut malam di hari Minggu itu, ratusan orang secara bergantian masuk ke rumah. Walau hanya sekedar bersalaman tanda ucapan rasa duka. Untungnya, hujan yang turun membuat sebagian para pelayat beranjak pulang dan mengurangi jumlah orang yang antri. Mereka mengurungkan niatnya melaksanakan acara malam itu dan mengadakan acara esok harinya.
Setelah semua acara selesai, beberapa orang keluarga dekat masih tinggal di rumah duka. Keluarga berembuk soal rencana acara yang akan dilaksanakan pada hari Senin dan Selasa. Saya sangat bersyukur karena pembicaraan di tengah-tengah keluarga berlangsung dengan baik dan draft kasar acara sudah tersusun. Keluarga dan orang-orang yang bertugas berjanji akan bertemu jam 11.00 hari Senin, merampungkan rencana acara final.

Kemudian saya menyusun konsep berita meninggalnya pak Munthe di Sinar Indonesia Baru dan Analisa, setelah konsultasi dengan Paul Munthe, salah seorang anak almarhum. Berita meninggalnya Armencius Munthe dipublikasikan 28 Juli 2008 di Sinar Indonesia Baru dan harian Analisa, dua harian terbesar di Sumatera Utara.

Tidak sedikit tamu mengetahui meninggalnya Dr A Munthe dari membaca koran, termasuk Ny JP Silitonga istri teman dekat almarhum yang datang tanpa pemberitahuan dari siapa-siapa. ”Saya datang karena membaca koran tadi pagi,”ujarnya. Itulah rupanya sebuah peristiwa penting seperti ini dipublikasikan di media cetak.

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (5)

Armencius Munthe sudah Tiada!

Oleh : Jannerson Girsang

Sabtu 25 Juli 2009. Seharian saya di rumah menulis. Perbaikan-perbaikan dan tambahan informasi penulisan buku Floriana dari putrinya Ruth yang dikirimkan Jumat. Istri saya mengajak ke rumah sakit menjenguk pak Munthe. Tapi, aku menampiknya. Ada niat, tetapi aku lebih memilih menulis. Aku bilang besok aja hari Minggu. Seharian bisa di rumah sakit. Entah kenapa!. Hingga malam hari, sekitar jam 20, aku masih menulis. 

Lewat sedikit jan 20.00, istri saya mengajak ke laundry mengambil baju yang akan dipakainya ke gereja hari Minggu besoknya ke laundry boru Tampubolon di jalan Tembakau Raya, Simalingkar. Kemudian kami membeli makan malam. Ketika kami kembali ke rumah, Devi anak bungsu saya, sudah tertidur, mungkin capek setelah seharian belajar di sekolahnya SMA Methodist Medan.  

Usai makan malam, handphone saya berdering. Dr Sukarman Purba mengundang saya ke rumah teman saya Sy Edi Sahman Purba, yang berjarak hanya empat puluh meter dari rumah saya atau dua gang dari rumah saya. Ada acara arisan Saragih di sana.  

Hujan sejak sore sudah mulai reda. Tiba-tiba, sekitar jam 22.00, Vorhanger mengatakan Pendeta Armencius Munthe sudah meninggal. Tak lama sms dari St Daud Purba dan St Sudiaman Sinaga masuk memberitakan hal yang sama. Beberapa sms kemudian masuk lagi dan berita yang sama. Berita yang sangat menyedihkan. ”Pendeta Dr A. Munthe sudah meninggal sepuluh menit yang lalu”. Tuhan! 

Beberapa saat kemudian, saya secara resmi menerima telepon dari keluarga. Ruth, putri satu-satunya Pak Munthe menelepon saya. ”Bang bapak udah pergi,”ujarnya sambil terisak-isak sedih. Oh, Tuhan, beginikah akhir perjalanan seorang yang mengerjakan kebaikan tanpa pernah menyebut-nyebut dirinya baik. Good works no name. 

Saya mengajak beberapa teman saya di rumah Edi Sahman ke rumahnya untuk melayat, tetapi mereka manyarankan supaya bersama-sama ke sana usai kebaktian Minggu besok. 

Tetapi, aku kemudian menghidupkan mobil. Istri saya sudah tertidur lelap. Kubangunkan tetapi beliau menyarankan besok pagi saja. Setelah panas mobil cukup, saya mengeluarkannya dari garasi dan terus tancap ke Tanjung sari. Dini hari sekitar jam 03, Minggu 26 Juli itu begitu sepi. Hanya satu dua mobil yang berpapasan dengan saya. Simpang Simalingkar yang biasa macet, aku bisa melenggang menuju rumah pak Munthe melalui Simpang Selayang.  

Tidak banyak lagi kutemukan orang di rumah. Para tamu yang menyertai beliau dari rumah sakit sebagian besar sudah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dekat. Kumasuki rumah pak Munthe, melalui pintu yang sebelumnya senantiasa berdiri seorang pria yang ramah dan menyenangkan. Kumasuki ruang tamu yang biasanya terpasang beberapa kursi tamu, sudah kosong. 

Ruangan itu diganti dengan sosok mayat seorang pria yang sangat kukagumi. Beliau terbaring di atas dipan dengan berpakaian Toga Pendeta dan dilapis dengan ulos Batak (saya lupa nama ulos itu). Pak Munthe sudah terbaring kaku persis di tempat dimana kami bertiga, aku, pak Munthe dan istrinya berbincang pada 16 Juli. Tak ada lagi canda tawa. 

Ruangan tempat kami bercanda, dini hari itu diisi suara isak tangis. Adik perempuannya Berkelina Munthe yang datang dari kampung berselang hanya beberapa menit, menangis sejadi-jadinya dan memeluk saya. Beberapa hari sebelumnya, kami bertemu saat menjenguk pak Munthe di rumah sakit.

Tak ada suara, canda dan ekspresi yang bisa diungkapkan Pak Munthr. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya tertutup rapat, tangannya terlipat dalam sikap berdoa. Pak Munthe meninggalkan kami semua. Meningalkan sejuta kenangan indah!

Aku menyalami tamu di sekitar jasadnya yang sudah membeku. Merenung sejenak memperhatikan jasad yang sudah membeku. Aku mengelus keningnya. Selamat jalan kawan!

Aku menemui ibu Floriana di kamarnya. Beliau menangis dan aku memeluknya. Beliau terus menangis dan aku menasehatinya. ”Inang sudah mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat dari malam ini. Inang harus kuat,”aku mengingatkannya, seraya menghapus air matanya dan mencium keningnya. 

Aku sangat iba melihat ibu yang sangat polos dan baik ini. Selama ini beliaulah yang sakit. Kadang kami harus menunda wawancara karena mempertimbangkan kondisi kesehatannya. Justru dalam kondisi seperti ini beliau harus menghadapi situasi berat. 

Disaksikan cucunya Theofil yang tiduran di sampingnya duduk, akhirnya Floriana bisa tenang ”Yah, saya bisa terima kok. Beliau tidak menyusahkan saya, beliau mengerti situasi,” demikian ibu yang tangguh ini memaknai perginya pak Munthe. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (3)

”Iboto ho do pak Munthe i RS?”. 

Oleh : Jannerson Girsang

Pagi-pagi hari Senin, 20 Juli 2009 di gereja GKPS Padang Bulan Medan. Saya menghadiri upacara pemberkatan Rina br Girsang anak bapa anggi almarhum Sudiman Girsang dari Pasar I. Salah seorang keluarga namboru Berkelina br Munthe (saudara perempuan satu-satunya dari Dr Armencius Munthe) mendekati saya dan berkata: “Ai ibotoh ho do lae Armencius Munthe sedang irawat di RS Herna. Nina terkena stroke ringan” katanya. Apakah anda tidak tau ipar saya Armencius Munthe dirawat di RS Herna. Katanya kena stroke ringan.  

Saya diam sejenak. Tak menjawab. Ada rasa malu, karena saya memang tidak tau apa-apa. Bahkan beliau menimpalinya lagi, ”Seharusnya kau yang lebih tau, malah kau tidak tau,”. 

Aku memang harusnya lebih tau dari beliau. Tetapi begitulah terkadang. Tidak semua informasi bisa kita lebih dulu tau, walau kita lebih dekat dengan seseorang. Saluran informasi bisa tertutup atau hal-hal lain yang membuat informasi tidak mengalir. .  

Wah, pak Munthe steoke. Tidak mungkin!. Langsung saya telepon inang Floriana, istri pak Munthe. ”Ya memang benar, bapak dirawat di Herna. Madabuh ia ari Sabtu, sanggah i pesta au”, katanya dengan suara lemah dan serak. 

Saat itu, kami hanya komunikasi lewat handphone. Saya mengatakan kami sedang di pesta. ”Oh pesta boru Girsang itu ya. Nasiam homa suhut tene”katanya mengaminkan alasan saya tidak menjenguk pak Munthe hari Senin itu. . 

Pesta itu adalah pesta Rina boru Girsang anak almarhum Saridin Girsang dari pasar I. Saya menjadi salah seorang wakil suhut dan tidak bisa meninggalkan pesta itu sampai selesai, sekitar jam 18,00 WIB. Saya memutuskan menjenguknya ke rumah sakit besoknya. Malamnya saya mengirim sms kepada teman-teman dekat.  

Selasa 19 Juli 2009. Sekitar jam 07 saya berangkat ke Rumah Sakit Herna. Kebetulan ayah dan ibu saya sedang berada di Medan, merekapun saya ajak ke sana. Tiba di rumah sakit, saya bertemu Elisa, anak tertuanya dan salah seorang saudara pak Munthe yang tinggal di Pematangsiantar. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (2)

Kaget Terima Pulsa 500 Ribu, Menyesal Tolak Tawaran Makan Siang 

Oleh : Jannerson Girsang

14 Juni 2009, Pesta Syukuran Ulang Tahuun ke 21 GKPS Simalingkar dan Pengumpulan Dana Pembangunan baru saja usai. Sebagian Panitia masih berkumpul di gereja. Bercengkerama minum kopi dan sebagian masih sibuk dengan perhitungan-perhitungan uang yang masuk dan keluar. Beberapa orang panitia, termasuk pendeta Jonesman Saragih, seorang pendeta pembantu di Resort Medan Selatan kebetulan berbincang dalam satu kelompok dengan saya. 


Tiba-tiba, sekitar pukul 19.20. WIB, handphone saya berbunyi, ada sms masuk. Alangkah kagetnya saya, ketika saya membukanya. ”Nomor handphone anda berhasil ditopup sebesar Rp 500 ribu”. Pertama kali dalam hidup saya mendapat kiriman sebesar itu. Bahkan pengisian pulsa paling banyak yang pernah saya lakukan one saya, hanya sebatas Rp 200 ribu. Tak lebih. Sms itu saya tunjukkan kepada teman-teman saya berbincang, termasuk pendeta Jonesman Saragih STh. 

Mereka terheran-heran bahkan ada yang berseloro minta dibagi. Kebetulan kami menggunakan handphone yang berbeda operator, jadi tidak bisa dibagi. Memang, ada seseorang yang sering mengirim saya pulsa akhir-akhir ini. Beliau bukan orang yang berkelebihan. Saya tidak yakin kali ini, pulsa itu berasal dari orang yang sama. Jumlahnya itu yang membuat saya tidak yakin. Tapi, siapa?

Beberapa jam kemudian, saya penasaran juga menelepon kepada orang yang biasa mengirim pulsa itu. Ternyata benar, pengirimnya adalah Pendeta Dr Armencius Munthe.Walaupun beliau tidak mengaku, tetapi saya yakin 100 persen pulsa itu berasal dari pria yang baik ini. 

Besoknya, 15 Juni 2009, telepon di rumah saya berdering. Yang menelepon adalah orang yang sama. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Termasuk kiriman sms hari sebelumnya. Ketika kiriman sms itu saya singgung, beliau tidak menanggapi, malah beliau mengatakan. ”Boi do ham roh hu rumah, laho mangan siang hita hu luar,”katanya. Saat itu sekitar pukul 11.00 WIB. Jadi kami disuruh datang jam 13.00. Awalnya saya setuju dan beliau memang serius menunggu.  

Tetapi oleh sesuatu hal, kami tidak bisa menepati janji itu dan dari nada suaranya, saya menduga beliau kecewa berat. Saat itu, istri saya pergi keluar rumah dan saya tidak tau waktunya kembali. Handphonenya mati. Akhirnya, saya menelepon pak Munthe supaya makan siangnya dibatalkan. ”Nantilah, kan masih banyak waktu,” demikian saya memghiburnya. Tapi jawaban dari seberang bernada kecewa berat. Namun, saya berfikir, terlalu banyak perbuatan baik pak Munthe akhir-akhir yang bagi saya terasa sebagai beban. Karena beliau tidak pernah mau dibayarin. 

(Beberapa bulan yang lalu, beliau mengajak kami makan bersama di salah satu restoran di Medan. Istri saya, saya dan pak Munthe. Ketika itu, istrinya tidak ikut. Kami baru pulang melakukan penghiburan dari rumah pak Washington Sipayung, yang beberapa hari sebelumnya mengalami musibah. Rumahnya dimasuk perampok).  

Undangan yang tidak saya penuhi ternyata membuat Pak Munthe sangat kecewa. ”Saya sudah membatalkan semua acara saya siang itu, tetapi kalian tidak datang,”ujarnya tetapi tidak menunjukkan raut wajah marah atau emosi. Beliau tidak pernah mau menyakiti hati. Menurut istri saya, yang beberapa hari kemudian bercerita dengan istrinya Floriana, pria berusia 75 tahun itu, begitu kecewa. 

Pasalnya, 15 Juni adalah hari bersejarah bagi mereka berdua. Hari perkawinan sekaligus pentahbisan Pak Munthe sebagai pendeta. Inilah kekecewaan pertama dan terakhir kali dari seorang teman, guru dan tempat saya curhat selama 22 tahun ini.  

17 Juli 2009, penasaran saya dan istri berkunjung ke rumahnya. Basa-basi sebentar, kemudian saya mengalihkan pembicaraan. ”Saya terima pulsa Rp 500 ribu, apakah pak Munthe yang mengirimnya,” demikian saya mencoba menghilangkan rasa penasaran itu. Tau apa jawabnya : ”Saya biasa mengirim pulsa untuk orang yang mau melakukan tugas-tugas sosial dan penulisan,” katanya enteng sambil tertawa. 

Di rumah, saya bercerita kepada istri saya, bagaimana saya membalas budi baiknya pak Munthe selama ini. Saya bingung menerima semua kebaikannya. Lantas muncul di benak saya, ide untuk mengerjakan biografi istrinya. Saya menelepon pak Munthe, beliau sangat senang. Itu akan menjadi hadiah bagi istrinya Floriana Tobing, yang akan merayakan Ulang Tahunnya yang ke-78, 16 September mendatang. 

Sepakat, akan mengadakan wawancara pada 29 Juni 2009. Kami bertemu di rumahnya usai makan siang. Wawancara berlangsung sampai sore hari. Kedua pasangan ini kelihatannya begitu gembira. Mereka kembali teringat masa-masa lalu mereka yang indah. Kadang pak Munthe dengan gayanya membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Inang Floriana kadang tersenyum simpul pada kisah-kisah yang lucu dan kadang muka sedikit emosi pada kisah-kisah yang menyedihkan. 

Saat wawancara pak Munthe menemani kami sebentar dan permisi, karena harus mengantarkan Theo cucunya ke Polonia. Theo berlibur di Jakarta di tempat tantenya. Usai wawancara, pak Munthe Pulang. Kami melanjutkan lagi pembicaraan sampai jam 19.00 WIB. Saya tidak memenuhi tawaran makan malam karena harus mengikuti sermón di GKPS Simalingkar. 

30 Juni 2009. Saya tiba di rumah sekitar pukul 10 pagi. Wawancara berlangsung dengan ditemani penuh oleh pak Munthe. Kami makan siang bersama. Saat itu kebetulan saya membawa kamera dan moment mereka bedua makan menjadi dokumen penting kehidupan pak Munthe. 

2 Juli 2009. Wawancara melanjutkan materi penulisan. Inang terlihat banyak batuk di sela-sela pembicaraan. Pak Munthe mendampinginya dan membuat suasana begitu bersemangat dan diiringi gelak tawa. Ketika beliau membaca tanggapan istrinya bahwa beliau adalah seorang pria yang ideal, beliau hanya senyum-senyum saja. Tanpa komentar.  

3 Juli 2009. Wawancara lanjutan dan pak Munthe begitu bersemangat. ”Tenang ma nasiam, ganupan beres do holi in. Ulang pala gobir nasiam,”. Kalian tenang semuanya akan beres. Jangan khawatir. Inilah pernyataanya, yang aku tidak tau apa maksudnya saya tidak tau sampai sekarang!. 

15 Juli 2009. Setelah Minggu sebelumnya tertunda karena ibu kurang sehat, wawancara lanjutan berlangsung dengan baik. Pak Munthe sepanjang pembicaraan mendampingi kami. 

16 Juli 2009. Sebagaimana sudah dijadwalkan, saya tiba di rumah sekitar pukul 10.20. Pak Munthe menyambut saya di depan pintu rumahnya. Seperti biasa kami bersalaman, sapaan akrab dan senyumnya yang tak terlupakan. 

Rumah begitu sepi. Hanya ada seorang pembantu, di luar kami bertiga. Kami duduk di ruang tamu. Pak Munthe duduk di kursi dekat pintu, saya di kursi membelakangi dinding rumah sebelah garasi dan Floriana di kursi sebelah kananku. Betul-betul ideal sebagai posisi wawancara. Berkali-kali pak Munthe bolak balik ke kamar mengambil foto. 

Beliau memberikan satu foto yang bekesan baginya. Keluarga Dr Kayser. ”Tidak ada yang memiliki foto ini, kecuali di rumah ini,”katanya bangga.

Wawancara hanya berlangsung sekitar 1.5 jam. Hari itu kami banyak membicarakan rencana teknis penyelesaikan buku. Pak Munthe akan mengerjakan koleksi foto dan percetakan buku. ”Saya punya teman yang memiliki percetakan di Jakarta,”katanya. 

Tiba waktunya makan siang. Pak Munthe mengatakan : ”Hari ini kita harus makan siang disini”. ”Oh, kali ini saya tidak menolak karena lebih sakit ditolak memberi daripada ditolak meminta,” saya bercnada. Pak Munthe tertawa. ”Baen...baen..baen. Lang boi lang mangan siang hita. Domma loja ham,”katanya. 

Usai makan siang, saya bercerita bahwa orang tua Bendahara Jemaat kami St JE Purba meninggal di Raya Humala. Saya akan ke sana Jumat sore dan Sabtu pagi baru tiba di Medan. ”Halani laho berangkat menjenguk na marujung do ham, hupaborhat do ongkos ni ham”, katanya sambil memasukkan amplop ke kantong saya.

Saya pamit pulang. Beberapa kali saya pamit, tetapi masih molor juga, karena pak Munthe masih ingin bercerita lebih banyak. Pak Munthe banyak bercerita tentang istrinya, Dokter Kayser, GKPS dan masalah operasi katarak yang gagal dilaksanakan pada bulan Juni lalu. Andaikata saya punya alat perekam ketika itu ya!. 

Karena alasan ayah saya sudah menunggu di rumah, maka beliau mengizinkan saya pulang. Sekitar pukul 13.30 saya pulang dan Markus Munthe, anak keduanya tiba di rumah. 

Pak Munthe mengantar saya sampai ke pintu gerbang rumahnya. Bahkan sampai ke luar gerbang, persis dipinggir jalan depan gerbang. Melalui kaca jendela mobil saya melambaikan tangan. ”Permisi ma au da pak Munthe, sampai ketemu Senin!”.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dalam kondisi badannya yang prima. Hari Sabtu, ketika saya sedang menulis hasil wawancara dengan istrinya, beliau mengalami musibah. ”Beliau terjatuh tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit,” demikian informasi yang kudengar beberapa hari kemudian. 

Tak kusangka kalau itu merupakan yang terakhir kalinya beliau menyertai saya dan istrinya Floriana wawancara. Andaipun penulisan buku itu dilanjutkan, tak ada lagi orang pintar dan bijak yang mendampingi kami, sebijak dan sepintar pak Munthe.  

Sebagaimana biasa, setiap minggu istri saya mengirimkan sms ucapan hari Minggu kepada Dr Armencius Munthe. Biasanya, tidak sampai lima menit sms seperti itu sudah dibalas. Inilah sms terakhir dari istri saya kepada pak Munthe. Ternyata saat itu beliau sudah berbaring di Rumah Sakit Herna, karena terkena stoke hari Sabtu sebelumnya. Tidak ada berita kepada kami.

Mungkin keluarga begitu panik dan tidak sempat memberitahukan. "Saya mengurus resep, mengurus rumah dan banyak lagi yang harus saya lakukan,"demikian Floriana istrinya mengakui banyak teman-teman dekat bahkan keluarga ang tidak terinformasi saat pak Munthe masuk Rumah Sakit.