"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Sabtu, 01 Agustus 2009
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (6)
Oleh : Jannerson Girsang
Minggu 26 Juli 2009. Pagi-pagi sepulang dari rumah duka, saya mengirimkan iklan yang dikonsep keluarga ke harian Sinar Indonesia Baru. Tidur sebentar dan berangkat ke gereja. Saat acara kebaktian di gereja, beberapa teman mengirimkan sms menanyakan alamat dan arah rumah. Kapan dikubur dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus saya balas melalui sms.
Usai acara kebaktian, saya memimpin pertemuan pemuda GKPS Simalingkar sampai jam 16.00. ”Tugas di gereja jangan ditinggalkan,” demikian Munthe senantiasa mengingatkan kami.
Setelah menuangkan kesedihan dengan menuliskannya di komputer, saya dan istri berangkat ke rumah duka! Aku begitu trenyuh melihat situasi saat itu. Rumah kecil itu dipadati pengunjung. Malam itu pelayat dari berbagai denominasi gereja, masyarakat sekitar, berebut ingin masuk dan mengadakan acara penghiburan. Mereka berjajar dan terkadang ada yang saling mendahuli. Pintu masuk menjadi sesak. Jalan keluar yang sempit membuat orang yang berada di dalam rumah terlihat mengipas-ngipas mukanya karena kepanasan. Taratak yang menampung sekitar 500 orang sudah terpasang di jalan depan rumah.
Haryanson dan beberapa anggota keluarga meminta saya supaya mengatur acara agar bisa berjalan dengan baik dan hikmat. ”Anggo lang iatur on bang, kacau do holi halani bahat tumang na sihol mambahen acara,”kata Haryanson, salah seorang putra adik pak Munthe.
Dengan segala senang hati saya menerima tawaran ini. Untuk pak Munthe saya rela memberikan yang terbaik, di hari-hari terakhirnya. Saya meminta seseorang memberikan saya buku dan pulpen. Para rombongan pelayat didaftar lebih dahulu agar mereka bisa melaksanakan acara dengan hikmat, demikian juga keluarga.
Meski diatur, tetapi tetap saja kurang teratur karena banyaknya orang yang ingin mengungkapkan rasa duka kepada pak Munthe, sementara kapasitas rumah yang tidak mengijinkan. Sayangnya ada saja yang tak memperdulikan kepentingan orang lain. Tidak mematuhi disiplin waktu, sehingga kesempatan bagi yang lainnya hilang. Malam itu ada beberapa acara yang sudah terjadwal, tidak bisa dilaksanakan karena sudah larut malam.
Sampai larut malam di hari Minggu itu, ratusan orang secara bergantian masuk ke rumah. Walau hanya sekedar bersalaman tanda ucapan rasa duka. Untungnya, hujan yang turun membuat sebagian para pelayat beranjak pulang dan mengurangi jumlah orang yang antri. Mereka mengurungkan niatnya melaksanakan acara malam itu dan mengadakan acara esok harinya.
Setelah semua acara selesai, beberapa orang keluarga dekat masih tinggal di rumah duka. Keluarga berembuk soal rencana acara yang akan dilaksanakan pada hari Senin dan Selasa. Saya sangat bersyukur karena pembicaraan di tengah-tengah keluarga berlangsung dengan baik dan draft kasar acara sudah tersusun. Keluarga dan orang-orang yang bertugas berjanji akan bertemu jam 11.00 hari Senin, merampungkan rencana acara final.
Kemudian saya menyusun konsep berita meninggalnya pak Munthe di Sinar Indonesia Baru dan Analisa, setelah konsultasi dengan Paul Munthe, salah seorang anak almarhum. Berita meninggalnya Armencius Munthe dipublikasikan 28 Juli 2008 di Sinar Indonesia Baru dan harian Analisa, dua harian terbesar di Sumatera Utara.
Tidak sedikit tamu mengetahui meninggalnya Dr A Munthe dari membaca koran, termasuk Ny JP Silitonga istri teman dekat almarhum yang datang tanpa pemberitahuan dari siapa-siapa. ”Saya datang karena membaca koran tadi pagi,”ujarnya. Itulah rupanya sebuah peristiwa penting seperti ini dipublikasikan di media cetak.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (5)
Oleh : Jannerson Girsang
Lewat sedikit jan 20.00, istri saya mengajak ke laundry mengambil baju yang akan dipakainya ke gereja hari Minggu besoknya ke laundry boru Tampubolon di jalan Tembakau Raya, Simalingkar. Kemudian kami membeli makan malam. Ketika kami kembali ke rumah, Devi anak bungsu saya, sudah tertidur, mungkin capek setelah seharian belajar di sekolahnya SMA Methodist Medan.
Usai makan malam, handphone saya berdering. Dr Sukarman Purba mengundang saya ke rumah teman saya Sy Edi Sahman Purba, yang berjarak hanya empat puluh meter dari rumah saya atau dua gang dari rumah saya. Ada acara arisan Saragih di sana.
Hujan sejak sore sudah mulai reda. Tiba-tiba, sekitar jam 22.00, Vorhanger mengatakan Pendeta Armencius Munthe sudah meninggal. Tak lama sms dari St Daud Purba dan St Sudiaman Sinaga masuk memberitakan hal yang sama. Beberapa sms kemudian masuk lagi dan berita yang sama. Berita yang sangat menyedihkan. ”Pendeta Dr A. Munthe sudah meninggal sepuluh menit yang lalu”. Tuhan!
Beberapa saat kemudian, saya secara resmi menerima telepon dari keluarga. Ruth, putri satu-satunya Pak Munthe menelepon saya. ”Bang bapak udah pergi,”ujarnya sambil terisak-isak sedih. Oh, Tuhan, beginikah akhir perjalanan seorang yang mengerjakan kebaikan tanpa pernah menyebut-nyebut dirinya baik. Good works no name.
Saya mengajak beberapa teman saya di rumah Edi Sahman ke rumahnya untuk melayat, tetapi mereka manyarankan supaya bersama-sama ke sana usai kebaktian Minggu besok.
Tetapi, aku kemudian menghidupkan mobil. Istri saya sudah tertidur lelap. Kubangunkan tetapi beliau menyarankan besok pagi saja. Setelah panas mobil cukup, saya mengeluarkannya dari garasi dan terus tancap ke Tanjung sari. Dini hari sekitar jam 03, Minggu 26 Juli itu begitu sepi. Hanya satu dua mobil yang berpapasan dengan saya. Simpang Simalingkar yang biasa macet, aku bisa melenggang menuju rumah pak Munthe melalui Simpang Selayang.
Tidak banyak lagi kutemukan orang di rumah. Para tamu yang menyertai beliau dari rumah sakit sebagian besar sudah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dekat. Kumasuki rumah pak Munthe, melalui pintu yang sebelumnya senantiasa berdiri seorang pria yang ramah dan menyenangkan. Kumasuki ruang tamu yang biasanya terpasang beberapa kursi tamu, sudah kosong.
Ruangan itu diganti dengan sosok mayat seorang pria yang sangat kukagumi. Beliau terbaring di atas dipan dengan berpakaian Toga Pendeta dan dilapis dengan ulos Batak (saya lupa nama ulos itu). Pak Munthe sudah terbaring kaku persis di tempat dimana kami bertiga, aku, pak Munthe dan istrinya berbincang pada 16 Juli. Tak ada lagi canda tawa.
Ruangan tempat kami bercanda, dini hari itu diisi suara isak tangis. Adik perempuannya Berkelina Munthe yang datang dari kampung berselang hanya beberapa menit, menangis sejadi-jadinya dan memeluk saya. Beberapa hari sebelumnya, kami bertemu saat menjenguk pak Munthe di rumah sakit.
Tak ada suara, canda dan ekspresi yang bisa diungkapkan Pak Munthr. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya tertutup rapat, tangannya terlipat dalam sikap berdoa. Pak Munthe meninggalkan kami semua. Meningalkan sejuta kenangan indah!
.
Aku menyalami tamu di sekitar jasadnya yang sudah membeku. Merenung sejenak memperhatikan jasad yang sudah membeku. Aku mengelus keningnya. Selamat jalan kawan!
Aku menemui ibu Floriana di kamarnya. Beliau menangis dan aku memeluknya. Beliau terus menangis dan aku menasehatinya. ”Inang sudah mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat dari malam ini. Inang harus kuat,”aku mengingatkannya, seraya menghapus air matanya dan mencium keningnya.
Aku sangat iba melihat ibu yang sangat polos dan baik ini. Selama ini beliaulah yang sakit. Kadang kami harus menunda wawancara karena mempertimbangkan kondisi kesehatannya. Justru dalam kondisi seperti ini beliau harus menghadapi situasi berat.
Disaksikan cucunya Theofil yang tiduran di sampingnya duduk, akhirnya Floriana bisa tenang ”Yah, saya bisa terima kok. Beliau tidak menyusahkan saya, beliau mengerti situasi,” demikian ibu yang tangguh ini memaknai perginya pak Munthe.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (4)
Oleh : Jannerson Girsang
Dua orang pria, Elisa dan salah seorang Saudara pak Munthe sedang berada di dalam ruangan menjaganya. Beliau sedang ”tertidur”, tetapi mendengar suara saya, beliau langsung memutar mukanya ke arahku. Tabung oksigen membantu pernafasannya terpasang. ”Ai ise do on”katanya. (Siapa ini?). Aku sangat sedih. Hari Kamis, lima hari sebelumnya, pria yang sangat kukagumi ini masih tegar dan tidak ada menunjukkan sakit apapun. Bercerita dengan lancar dan penuh rasa humor. ”Kini beliau tidak mengenalku lagi”.
Barangkali sensor syarafnya sudah tidak secepat dulu lagi. Setelah saya mendekat dan membisikkan: ”Ini Jannerson”, beliau meneteskan air mata. Aku berdoa disamping telinganya sambil mengusap keningnya. ”Ya...a.....ah”, hanya itu yang keluar dari mulut yang selama ini menjadi sumber kata-kata bernas diselingi senyum dan tawa yang bisa membuatku melupakan segala kepenatan hidup.
Di akhir doa aku berkata: “Amen”. Beberapa saat kemudian kesadarannya makin bertumbuh. “Bukutta pe lape sae,”katanya. (Buku kita belum selesai). Khayalan burukku hilang dan kembali menemukan Munthe sahabatku yang sebenarnya. Beliau mulai ingat pekerjaan kami yang terakhir. Membuat buku kenangan bagi seorang istri yang sangat disayanginya, Floriana Tobing. Hadiah Ulang Tahunnya ke 78, yang jatuh pada 16 September 2009 mendatang.
Tapi, aku kembali sedih, setelah memeriksa tangan dan kaki kirinya. ”Badannya sebelah kiri lumpuh,”kata Elisa. Aku cubit, memang tidak ada reaksi. ”Tuhan, mengapa ini terjadi,” demikian jeritku dalam hati dengan tangis yang tertahan. Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua pertolongan ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani.
Aku mengambil gambarnya dengan kamera beberapa kali. Mungkin ini kenang-kenangan bersejarah di kemudian hari. Beliau sangat senang ketika itu. Beliau bahkan mengatur posisi orang-orang di sekitarnya. ”Kau disini, kau di sana,”katanya.
Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani.
Kondisinya memang tidak labil. Kemudian beliau beberapa kali menanyakan siapa saya, saiapa istri saya. Kemudian beliau katakan kepada Elisa supaya Vorhanger Pekanbaru ditelepon. Hanya sekitar 20 menit saya berada di ruangan. ”Saya hanya berfikir, andaikata beliau tidak bisa berbicara lagi. Begitu banyak cerita dari mulut pak Munthe yang belum sempat terekam, begitu banyak kata-kata indah yang belum kudengar”.
Aku sempat memperhatikan daftar orang di buku tulis tiga puluh dua halaman--buku tamu, yang disediakan istrinya. Aku mengetahui ada sekitar 20-an orang yang bertamu sejak hari Sabtu. Mungkin ada beberapa lain yang tidak terdaftar. Tak perlu kusebutkan bagaimana perasaanku melihat buku tamu itu!
Aku keluar dengan seribu perasaan cemas dan sedih. Kawanku selama 22 tahun, harus menderita penyakit seperti ini. Beliau merasa sepi, tidak bisa mengunjungi jemaatnya. Karena beliau hanya bisa besyukur, kalau bisa melayani. Kini beliau dilayani seratus persen!
Tidak ada terbetik dalam hati, kalau Armencius akan segera meninggalkan kami.
Saat itu aku hanya berfikir, beliau akan mengalami sakit yang lama. Kami sempat berbincang dengan Berkelina Munthe (adik perempuan satu-satunya dari pak Munthe) yang tiba beberapa saat di belakang kami. Bicara soal usaha yang mungkin bisa menolongnya. Tapi, itu hanya basa basi saja. Yang menentukan perawatan adalah dokter yang merawatnya.
Aku meninggalkan rumah sakit bersama ayah dan ibu saya. Sesampainya di rumah kami beberapa saat mendiskusikan kejadian yang menimpa pak Munthe. Semua merasa sedih. Ayah saya yang baru berulang tahun ke-72, 5 Juli lalu merasa terpukul. ”Saya mendapat hadiah pulsa Rp 50.000,” katanya ketika itu. Itu dari pak Munthe. Beliau tidak hanya memperhatikan orang-orang besar. Orang kecil di pelosok, masuk dalam doanya, masuk dalam pelayanannya.
Hari-hari berikutnya aku hanya mendapat informasi melalui telepon dari inang. ”Tidak ada perubahan. Kondisinya sama seperti ketika masuk ke rumah sakit,”ujarnya, ketika kuhubungi besoknya.
Jumat 24 Juli. Saya menjenguknya ke rumah sakit bersama istri saya, St Lerpin Girsang dan anaknya Melisa, dan Hendra Girsang. Saat itu dua orang teman kami Lae Tarihoran dan Romi Junover Girsang dirawat di rumah Sakit Herna.
Aku bertambah pesismis melhat pak Munthe, kondisnya tidak berubah. Beliau tidak mengenalku lagi. Tak ada kata-kata yang bisa kuingat keluar dari mulutnya. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Sekali-sekali beliau menarik nafas panjang. Kepalanya digerak-gerakkan mulutnya bicara tanpa bisa kmengerti dengan jelas.
Istri saya menyerahkan serantang makan siang kepada inang Floriana Tobing. ”Hanya ini yang bisa kami bawa nang”ujar istriku. Inang yang baik hati itu menyambutnya dengan senyum. ”Serantang nasi bagi penjaga pak Munthe”, untuk kebaikan pak Munthe. Disaksikan pak Tjipta Sitepu dan pendeta Aruan yang saat itu berada di ruangan tiga kali tiga meter itu. Tjipta Sitepu nama yang sering disebut-sebut pak Munthe dan Aruan adalah asisten pribadinya di rumah dalam penulisan buku-bukunya.
Tak ada tanda-tanda beliau akan pulih secepatnya, tetapi tidak ada firasatku beliau akan pergi. Kami meninggalkannya di rumah sakit. Beliau ditemani istri tercintanya dan beberapa teman dekatnya.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (3)
Oleh : Jannerson Girsang
Saya diam sejenak. Tak menjawab. Ada rasa malu, karena saya memang tidak tau apa-apa. Bahkan beliau menimpalinya lagi, ”Seharusnya kau yang lebih tau, malah kau tidak tau,”.
Aku memang harusnya lebih tau dari beliau. Tetapi begitulah terkadang. Tidak semua informasi bisa kita lebih dulu tau, walau kita lebih dekat dengan seseorang. Saluran informasi bisa tertutup atau hal-hal lain yang membuat informasi tidak mengalir. .
Wah, pak Munthe steoke. Tidak mungkin!. Langsung saya telepon inang Floriana, istri pak Munthe. ”Ya memang benar, bapak dirawat di Herna. Madabuh ia ari Sabtu, sanggah i pesta au”, katanya dengan suara lemah dan serak.
Saat itu, kami hanya komunikasi lewat handphone. Saya mengatakan kami sedang di pesta. ”Oh pesta boru Girsang itu ya. Nasiam homa suhut tene”katanya mengaminkan alasan saya tidak menjenguk pak Munthe hari Senin itu. .
Pesta itu adalah pesta Rina boru Girsang anak almarhum Saridin Girsang dari pasar I. Saya menjadi salah seorang wakil suhut dan tidak bisa meninggalkan pesta itu sampai selesai, sekitar jam 18,00 WIB. Saya memutuskan menjenguknya ke rumah sakit besoknya. Malamnya saya mengirim sms kepada teman-teman dekat.
Selasa 19 Juli 2009. Sekitar jam 07 saya berangkat ke Rumah Sakit Herna. Kebetulan ayah dan ibu saya sedang berada di Medan, merekapun saya ajak ke sana. Tiba di rumah sakit, saya bertemu Elisa, anak tertuanya dan salah seorang saudara pak Munthe yang tinggal di Pematangsiantar.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (2)
Oleh : Jannerson Girsang
14 Juni 2009, Pesta Syukuran Ulang Tahuun ke 21 GKPS Simalingkar dan Pengumpulan Dana Pembangunan baru saja usai. Sebagian Panitia masih berkumpul di gereja. Bercengkerama minum kopi dan sebagian masih sibuk dengan perhitungan-perhitungan uang yang masuk dan keluar. Beberapa orang panitia, termasuk pendeta Jonesman Saragih, seorang pendeta pembantu di Resort Medan Selatan kebetulan berbincang dalam satu kelompok dengan saya.
Tiba-tiba, sekitar pukul 19.20. WIB, handphone saya berbunyi, ada sms masuk. Alangkah kagetnya saya, ketika saya membukanya. ”Nomor handphone anda berhasil ditopup sebesar Rp 500 ribu”. Pertama kali dalam hidup saya mendapat kiriman sebesar itu. Bahkan pengisian pulsa paling banyak yang pernah saya lakukan one saya, hanya sebatas Rp 200 ribu. Tak lebih. Sms itu saya tunjukkan kepada teman-teman saya berbincang, termasuk pendeta Jonesman Saragih STh.
Mereka terheran-heran bahkan ada yang berseloro minta dibagi. Kebetulan kami menggunakan handphone yang berbeda operator, jadi tidak bisa dibagi. Memang, ada seseorang yang sering mengirim saya pulsa akhir-akhir ini. Beliau bukan orang yang berkelebihan. Saya tidak yakin kali ini, pulsa itu berasal dari orang yang sama. Jumlahnya itu yang membuat saya tidak yakin. Tapi, siapa?
Beberapa jam kemudian, saya penasaran juga menelepon kepada orang yang biasa mengirim pulsa itu. Ternyata benar, pengirimnya adalah Pendeta Dr Armencius Munthe.Walaupun beliau tidak mengaku, tetapi saya yakin 100 persen pulsa itu berasal dari pria yang baik ini.
Besoknya, 15 Juni 2009, telepon di rumah saya berdering. Yang menelepon adalah orang yang sama. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Termasuk kiriman sms hari sebelumnya. Ketika kiriman sms itu saya singgung, beliau tidak menanggapi, malah beliau mengatakan. ”Boi do ham roh hu rumah, laho mangan siang hita hu luar,”katanya. Saat itu sekitar pukul 11.00 WIB. Jadi kami disuruh datang jam 13.00. Awalnya saya setuju dan beliau memang serius menunggu.
Tetapi oleh sesuatu hal, kami tidak bisa menepati janji itu dan dari nada suaranya, saya menduga beliau kecewa berat. Saat itu, istri saya pergi keluar rumah dan saya tidak tau waktunya kembali. Handphonenya mati. Akhirnya, saya menelepon pak Munthe supaya makan siangnya dibatalkan. ”Nantilah, kan masih banyak waktu,” demikian saya memghiburnya. Tapi jawaban dari seberang bernada kecewa berat. Namun, saya berfikir, terlalu banyak perbuatan baik pak Munthe akhir-akhir yang bagi saya terasa sebagai beban. Karena beliau tidak pernah mau dibayarin.
(Beberapa bulan yang lalu, beliau mengajak kami makan bersama di salah satu restoran di Medan. Istri saya, saya dan pak Munthe. Ketika itu, istrinya tidak ikut. Kami baru pulang melakukan penghiburan dari rumah pak Washington Sipayung, yang beberapa hari sebelumnya mengalami musibah. Rumahnya dimasuk perampok).
Undangan yang tidak saya penuhi ternyata membuat Pak Munthe sangat kecewa. ”Saya sudah membatalkan semua acara saya siang itu, tetapi kalian tidak datang,”ujarnya tetapi tidak menunjukkan raut wajah marah atau emosi. Beliau tidak pernah mau menyakiti hati. Menurut istri saya, yang beberapa hari kemudian bercerita dengan istrinya Floriana, pria berusia 75 tahun itu, begitu kecewa.
Pasalnya, 15 Juni adalah hari bersejarah bagi mereka berdua. Hari perkawinan sekaligus pentahbisan Pak Munthe sebagai pendeta. Inilah kekecewaan pertama dan terakhir kali dari seorang teman, guru dan tempat saya curhat selama 22 tahun ini.
17 Juli 2009, penasaran saya dan istri berkunjung ke rumahnya. Basa-basi sebentar, kemudian saya mengalihkan pembicaraan. ”Saya terima pulsa Rp 500 ribu, apakah pak Munthe yang mengirimnya,” demikian saya mencoba menghilangkan rasa penasaran itu. Tau apa jawabnya : ”Saya biasa mengirim pulsa untuk orang yang mau melakukan tugas-tugas sosial dan penulisan,” katanya enteng sambil tertawa.
Di rumah, saya bercerita kepada istri saya, bagaimana saya membalas budi baiknya pak Munthe selama ini. Saya bingung menerima semua kebaikannya. Lantas muncul di benak saya, ide untuk mengerjakan biografi istrinya. Saya menelepon pak Munthe, beliau sangat senang. Itu akan menjadi hadiah bagi istrinya Floriana Tobing, yang akan merayakan Ulang Tahunnya yang ke-78, 16 September mendatang.
Sepakat, akan mengadakan wawancara pada 29 Juni 2009. Kami bertemu di rumahnya usai makan siang. Wawancara berlangsung sampai sore hari. Kedua pasangan ini kelihatannya begitu gembira. Mereka kembali teringat masa-masa lalu mereka yang indah. Kadang pak Munthe dengan gayanya membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Inang Floriana kadang tersenyum simpul pada kisah-kisah yang lucu dan kadang muka sedikit emosi pada kisah-kisah yang menyedihkan.
Saat wawancara pak Munthe menemani kami sebentar dan permisi, karena harus mengantarkan Theo cucunya ke Polonia. Theo berlibur di Jakarta di tempat tantenya. Usai wawancara, pak Munthe Pulang. Kami melanjutkan lagi pembicaraan sampai jam 19.00 WIB. Saya tidak memenuhi tawaran makan malam karena harus mengikuti sermón di GKPS Simalingkar.
30 Juni 2009. Saya tiba di rumah sekitar pukul 10 pagi. Wawancara berlangsung dengan ditemani penuh oleh pak Munthe. Kami makan siang bersama. Saat itu kebetulan saya membawa kamera dan moment mereka bedua makan menjadi dokumen penting kehidupan pak Munthe.
2 Juli 2009. Wawancara melanjutkan materi penulisan. Inang terlihat banyak batuk di sela-sela pembicaraan. Pak Munthe mendampinginya dan membuat suasana begitu bersemangat dan diiringi gelak tawa. Ketika beliau membaca tanggapan istrinya bahwa beliau adalah seorang pria yang ideal, beliau hanya senyum-senyum saja. Tanpa komentar.
3 Juli 2009. Wawancara lanjutan dan pak Munthe begitu bersemangat. ”Tenang ma nasiam, ganupan beres do holi in. Ulang pala gobir nasiam,”. Kalian tenang semuanya akan beres. Jangan khawatir. Inilah pernyataanya, yang aku tidak tau apa maksudnya saya tidak tau sampai sekarang!.
15 Juli 2009. Setelah Minggu sebelumnya tertunda karena ibu kurang sehat, wawancara lanjutan berlangsung dengan baik. Pak Munthe sepanjang pembicaraan mendampingi kami.
16 Juli 2009. Sebagaimana sudah dijadwalkan, saya tiba di rumah sekitar pukul 10.20. Pak Munthe menyambut saya di depan pintu rumahnya. Seperti biasa kami bersalaman, sapaan akrab dan senyumnya yang tak terlupakan.
Rumah begitu sepi. Hanya ada seorang pembantu, di luar kami bertiga. Kami duduk di ruang tamu. Pak Munthe duduk di kursi dekat pintu, saya di kursi membelakangi dinding rumah sebelah garasi dan Floriana di kursi sebelah kananku. Betul-betul ideal sebagai posisi wawancara. Berkali-kali pak Munthe bolak balik ke kamar mengambil foto.
Beliau memberikan satu foto yang bekesan baginya. Keluarga Dr Kayser. ”Tidak ada yang memiliki foto ini, kecuali di rumah ini,”katanya bangga.
Wawancara hanya berlangsung sekitar 1.5 jam. Hari itu kami banyak membicarakan rencana teknis penyelesaikan buku. Pak Munthe akan mengerjakan koleksi foto dan percetakan buku. ”Saya punya teman yang memiliki percetakan di Jakarta,”katanya.
Tiba waktunya makan siang. Pak Munthe mengatakan : ”Hari ini kita harus makan siang disini”. ”Oh, kali ini saya tidak menolak karena lebih sakit ditolak memberi daripada ditolak meminta,” saya bercnada. Pak Munthe tertawa. ”Baen...baen..baen. Lang boi lang mangan siang hita. Domma loja ham,”katanya.
Usai makan siang, saya bercerita bahwa orang tua Bendahara Jemaat kami St JE Purba meninggal di Raya Humala. Saya akan ke sana Jumat sore dan Sabtu pagi baru tiba di Medan. ”Halani laho berangkat menjenguk na marujung do ham, hupaborhat do ongkos ni ham”, katanya sambil memasukkan amplop ke kantong saya.
Saya pamit pulang. Beberapa kali saya pamit, tetapi masih molor juga, karena pak Munthe masih ingin bercerita lebih banyak. Pak Munthe banyak bercerita tentang istrinya, Dokter Kayser, GKPS dan masalah operasi katarak yang gagal dilaksanakan pada bulan Juni lalu. Andaikata saya punya alat perekam ketika itu ya!.
Karena alasan ayah saya sudah menunggu di rumah, maka beliau mengizinkan saya pulang. Sekitar pukul 13.30 saya pulang dan Markus Munthe, anak keduanya tiba di rumah.
Pak Munthe mengantar saya sampai ke pintu gerbang rumahnya. Bahkan sampai ke luar gerbang, persis dipinggir jalan depan gerbang. Melalui kaca jendela mobil saya melambaikan tangan. ”Permisi ma au da pak Munthe, sampai ketemu Senin!”.
Itulah pertemuan kami yang terakhir dalam kondisi badannya yang prima. Hari Sabtu, ketika saya sedang menulis hasil wawancara dengan istrinya, beliau mengalami musibah. ”Beliau terjatuh tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit,” demikian informasi yang kudengar beberapa hari kemudian.
Tak kusangka kalau itu merupakan yang terakhir kalinya beliau menyertai saya dan istrinya Floriana wawancara. Andaipun penulisan buku itu dilanjutkan, tak ada lagi orang pintar dan bijak yang mendampingi kami, sebijak dan sepintar pak Munthe.
Sebagaimana biasa, setiap minggu istri saya mengirimkan sms ucapan hari Minggu kepada Dr Armencius Munthe. Biasanya, tidak sampai lima menit sms seperti itu sudah dibalas. Inilah sms terakhir dari istri saya kepada pak Munthe. Ternyata saat itu beliau sudah berbaring di Rumah Sakit Herna, karena terkena stoke hari Sabtu sebelumnya. Tidak ada berita kepada kami.
Mungkin keluarga begitu panik dan tidak sempat memberitahukan. "Saya mengurus resep, mengurus rumah dan banyak lagi yang harus saya lakukan,"demikian Floriana istrinya mengakui banyak teman-teman dekat bahkan keluarga ang tidak terinformasi saat pak Munthe masuk Rumah Sakit.
Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)
Oleh : Jannerson Girsang
22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, membuatnya menjadi persahabatan sempurna hingga akhir hayat.
Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya. Dalam setiap pertemuan, kami senantiasa berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif. Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat.
Beliau sangat menghormati teman-temannya. Demikian juga terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama, sebagaimana biasanya orang Simalungun yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Meski usia kami berbeda hampir 26 tahun, tetapi beliau senantiasa menjaga dirinya bukan sebagai seorang senior. Kami berteman. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.
Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak menggunakannya. Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru.
Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat.
Sampai kemudian saya diberi kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya.
Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir.
Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain. Kami selalu berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung. Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad.
Bahkan, secara tidak formal saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong pada malam hari usai acara penguburan di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”.
Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Demikian persahabatan kami selama ini. Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”
Mungkin, persahabatan yang demikianlah hingga saya berkesempatan mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan yang dipisahkan oleh kematian yang tanpa cacad.
Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”, bukan dengan rasio. Tak ada analisa, hanya sebuah pandangan sekilas untuk sebuah persahabatan,menghormati seorang sahabat. Mudah-mudahan ada gunanya bagi yang lain.
Jumat, 03 Juli 2009
Menulislah!, Maka engkau akan abadi.!
TOKOH WARTAWAN DI INDONESIA
Wartawan Baru Sempurna setelah Menulis Buku.
Minggu, 21 Juni 2009
Melongok Upacara Ritual Acara Pemakaman: Toping-toping dan Huda-huda dari Simalungun
Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk.