My 500 Words

Sabtu, 06 November 2010

Catatan Ringan Pertemuan Penulis Pembaca Sumut: Menulis Sampai Uzur

Oleh: Jannerson Girsang

Sampai kapan dan apa yang mendorong para penulis usia lanjut menulis? Di sela-sela acara pertemuan penulis dan pembaca Sumatera Utara yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Sumatera Utara di Hotel Antares, 26 Oktober 2010 lalu, kami tertarik mengamati dan berbincang dengan tiga penulis Sumatera Utara yang berusia antara 60-78 tahun.

Tiga penulis itu adalah Muhammad TWH dari Medan memasuki usia 78 tahun, St Japiten Saragih dari Desa Pematangraya, Simalungun, berusia 74 tahun dan Haji Arifin 69 tahun dari Kota Tanjung Balai.

Ketiganya menulis dengan hati, berjuang tanpa mengenal lelah, apalagi memikirkan materi dari hasil tulisannya. Mereka menulis dengan tangan di atas kertas, memindahkannya ke mesin tik manual serta dari referensi-referensi yang terbatas.

Visi besar senantiasa membakar semangat mereka: "Jika tidak menulis, maka peradaban kami lama kelamaan akan hilang". Pengalaman dan keteladanan mereka seharusnya menjadi inspirasi bagi dunia tulis menulis, lebih-lebih di era teknologi informasi yang berkembang pesat. Penulisan sudah menggunakan komputer, referensi yang melimpah luar biasa untuk bahan tulisan.

***

Menjelang acara dimulai usai makan siang, 26 Oktober 2010, kami menemui Muhammad TWH. Duduk di sebuah kursi di ruang tunggu tempat pertemuan, dan sedang asyik membaca buku panduan acara dan sesekali membetulkan letak berkacamata minusnya. Beliau dikejutkan sapaan kami dan pria yang berwibawa dengan safari coklatnya dengan ramah melayani bincang-bincang selama lima belas menit.

Pria yang dikenal sebagai sejarawan veteran Sumut ini, senantiasa bersikap terbuka dan antusias dengan siapa saja, termasuk dengan kami siang itu. Kami merasakan sikap sosok seorang penulis idealis dan sikap kehangatannya seorang teladan yang bulan Nopember mendatang akan memasuki usia 78.

Puluhan tahun, tanpa kenal menyerah beliau konsisten menekuni dunia tulis menulis. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, pria kelahiran Aceh, 15 Nopember 1932 ini telah menghasilkan 23 buku yang membahas sejarah Sumatera Utara, olah raga, sejarah pers. Dalam sebuah kunjungan kami beberapa tahun lalu ke rumahnya di Jl. Sei Alas No. 06, pria ini tak henti-hentinya berkarya dan memelihara buku-buku dan dokumen penting yang dimiliknya.

"Saya baru menerbitkan buku tahun ini," ujar pria yang beberapa tahun lalu berkunjung ke Amerika Serikat itu bersemangat. Buku barunya berjudul Parada Harahap Berjuang dengan Pena, 2010 ini berkisah tentang kehidupan seorang tokoh Pers Nasional yang berasal dari Sumatera Utara.

Dalam pengamatannya, TWH melihat generasi sekarang ini bahkan wartawan-wartawan muda kurang mengenal kisah perjuangan Parada Harahap. Padahal, beliau berpendapat, pemahaman yang baik tentang sejarah perjuangan seseorang, akan membuat masyarakat menghargai perjuangan itu sendiri.

Di lain kesempatan dalam pertemuan itu, saya bertemu Haji Arifin. Saat itu, beliau baru tiba dari kota Tanjung Balai. Meski telah menempuh jarak selama 3-4 jam di atas bus yang ditumpanginya, beliau yang tampil dengan kopiah dan mengenakan baju batik menampilkan wajah yang cerah. Dengan santun dan ramah memperkenalkan dirinya kepada undangan yang sudah lebih dulu hadir dan sedang menikmati makan siang, sebelum acara berkangsung. "Saya senang sekali bertemu dan berdiskusi dengan para penulis," ujarnya.

"Saya sudah memasuki 69 tahun, tapi menulis adalah darah dan jiwa saya," lanjut pria penulis beberapa buku-buku tentang peradaban di daerahnya, antara lain Si Mardan Anak Durhaka, Asal Mula Tari Gebang, Legenda Pulau Pandan, Batu Bertengkar, Memuji Diri Jadi Mala Petaka, Kudopun Tau Lampu Merah dan lain-lain.

Bahkan pria bekas guru dan pernah menjuarai lomba penulisan tingkat nasional ini, juga merasa penting menuliskan pengalaman hidupnya. "Pengalaman hidup saya unik dan berguna bagi anak-anak saya dan para pembaca lainnya," ujarnya. Tahun 2005 lalu, mantan anggota DPRD Kota Tanjung Balai selama tiga periode ini merampungkan Otobiografinya berjudul : Napak Tilas Kehidupan Merintis Jalan Menembus Kegelapan.

Buku sederhana setebal 85 halaman yang dicetak di percetakan lokal itu berkisah tentang perjalanan hidupnya sebagai guru, anggota DPRD tiga periode di Kota Tanjung Balai, serta kiprahnya sebagai penulis.

Dari sudut ruangan lain, mata saya tertuju kepada St Japiten Saragih. Dalam pertemuan itu dia berkali-kali mengacungkan tangannya untuk berbicara. "Jangan sampai, peristiwa di sekitar kita banyak ditulis orang asing dan kita memperoleh informasi tentang daerah kita dari orang lain. Budaya kita lebih dicintai negara lain".

Beliau dengan lantang melancarkan kritik atas sikap bangsa kita yang hanya pintar mengklaim hasil budayanya, tetapi di lapangan tidak memelihara dan menghargainya. Itulah salah satu langkah yang dilakukannya, menuliskan dan mendokumentasikan Adat Simalungun.

St Japiten Saragih adalah penulis buku-buku adat dan budaya Simalungun. Pria kelahiran Pematangraya 74 tahun silam ini selain menulis juga aktif mengembangkan dan memelihara adat Simalungun. Beliau adalah Ketua Bidang Adat Partuha Maujana Simalungun (PMS).

***

Tiga penulis usia lanjut di atas telah menunjukkan keteladanan mengabadikan peradaban melalui tulisan. Mereka menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dokumentasi peradaban daerah ini.

Dengan keterbatasannya dan semangat tidak mengenal lelah, tanpa banyak berharap imbalan atau penghargaan "Buku-buku sejarah dan dokumentasi yang saya tulis memang masih kurang mendapat apresiasi dari pembaca maupun penerbit di tanah air", ujar Muhammad TWH. Beliau sangat menyayangkan, sementara banyak orang asing yang meminta buku-buku yang ditulisnya sebagai referensi.

Bagi TWH, Haji Arifin, St Japiten, menulis adalah sebuah panggilan jiwa. Sebuah kewajiban untuk memberi pencerahan bagi masyarakat luas soal peristiwa yang disaksikannya.

"Kita tidak berharap apakah tulisan kita laku atau tidak. Yang penting, saya menulis apa yang saya saksikan dan saya anggap bermanfaat bagi masyarakat," ujar Muhammad TWH.

Masalah sulitnya mendapatkan penerbit, salah satu masalah bagi penulis, bukan halangan baginya untuk terus berkarya. Pengalaman Muhammad TWH adalah contoh yang pantas ditiru. Kini, di bawah Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan yang dipimpinnya sendiri, Muhammad TWH menerbitkan sendiri buku-buku yang ditulisnya.

Mereka menghimbau agar pemerintah memperhatikan pengembangan perpustakaan sebagai tempat menyimpan hasil-hasil karya mereka untuk bisa dinikmati masyarakat luas.

Haji Arifin, meski tinggal jauh di kota Tanjung Balai di sela-sela waktunya menulis, juga prihatin atas perhatian pemerintah pada pengembangan perpustakaan. Dengan lantang beliau mengritik ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan.

Menurutnya, sudah dua puluh tahun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam belum juga memiliki Peraturan Pemerintah. "Ini adalah bentuk ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan", ujar kakek 8 orang cucu ini.

Himbauan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah untuk menyerahkan hasil Karya ke Perpustakaan diperlihatkan St Japiten Saragih dalam acara itu. St Japiten secara spontan menyerahkan sebuah buku karyanya tentang adat Simalungun ke pihak Baperasda, usai mendengarkan ceramah Majda El Muhtaj menyampaikan makalahnya "Nol Kilometer Peradaban Sumut".

Kerelaan menyerahkan hasil karya seperti ini penting, mengingat catatan Drs Nurjani Msi, Kepala Bidang Pembinaan SDM dan Perpustakaan Baperasda Sumut, masih rendahnya hasil tulisan buku yang diserahkan kepada instansinya, dibanding dengan jumlah penulis di daerah ini.

***

Kiranya tiga sosok pria di atas menjadi inspirasi bagi para penulis-penulis muda dalam memajukan dunia tulis menulis di daerah ini. Semoga pertemuan seperti ini mampu menghasilkan semangat baru bagi penulis dan pembaca. Budaya tulis semakin berkembang dan mendorong meningkatkan minat baca masyarakat.

Penulis adalah penulis beberapa Buku Biografi, tinggal di Medan dan menjadi peserta dalam Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara, di Hotel Antares Medan, 26 Oktober 2010

Catatan: Artikel ini dimuat di Harian Analisa tanggal 6 Nopember 2010 Halaman 29. Dilengkapi dengan foto  ketiga tokoh.  

Kamis, 28 Oktober 2010

Selamat Jalan Asmara Nababan.

Oleh Jannerson Girsang

 

Kabar memilukan itu kuterima siang ini pukul 12.14, 28 Oktober 2010, persis Peringatan Sumpah Pemuda 2010.

Rekan saya Pendeta Sumurung Samosir—salah seorang rekan dekat Asmara mengirimkan pesan pendek . ”Saya baru dpt kepastian dr Indera N, sdr ktAsmara sdh meninggalkn kita, di RS China. Kpulangan mayatnya blun bs dipastikn kpn. Kt brdoa u klgnya”.

Terbayang wajahnya, cara bicaranya, satu lagi, rokoknya yang tak putus-putus. Asmara Nababan, salah seorang idolaku pergi untuk selamanya.

Saya teringat pertemuan saya di kantor KIPPAS Medan empat tahun lalu. Saat itu dia meminta saya mengantarnya  ke salah satu kantor LSM di Medan. Mobil Feroza butut tahun 1996 bagi seorang Sekjen Komnas HAM, Direktur Demos. Waktu yang pendek di mobil kami manfaatkan bicara soal biografi dan soal demokrasi. Hanya itu yang kuingat dalam pertemuan kami yang terakhir. 

Karena kesibukan masing-masing, selanjutnya, saya dan Asmara  tidak banyak berinteraksi, tetapi saya mengetahui kiprahnya melalui media dan kisahnya dari teman-teman. seperti J.Anto dan lain-lain.

Keteladanan untuk senantiasa memberi pencerahan, semangat dan kesempatan bagi generasi muda untuk berkiprah adalah sebuah contoh yang patut ditiru dari Asrmara.

Saya mengenalnya pada 1987, saat bergabung di KSPPM (Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat), yang ketika itu masih berkantor di Siborongborong. Di mataku, Asmara adalah seorang guru dan teman yang memperhatikan pentingnya kebebasan dan penghargaan kepada Hak Azasi Manusia. Setiap pertemuan beliau senantiasa berbicara soal dua hal itu. Terakhir saya menambahkan soal pentingnya biografi dan otobiografi ditulis. Dia memberi apresiasi. "Itu menarik dan penting kau lanjutkan," katanya dalam pertemuan kami yang terakhir di mobil saya. (Mobil itu sudah saya jual April lalu, karena saya kesulitan keuangan) .  .

Ketika berhenti menjadi wartawan pada 1992, saya sempat bertemu Asmara di kantornya di INGI (International NGO Group on Indonesia), Jakarta. Saat itu saya mengutarakan kekhawatiran saya, karena tidak memiliki pekerjaan, padahal saya memiliki dua orang putri dan satu putra ang masih kecil-kecil. (Kini dua diantara mereka sudah bekerja dan satu sedang kuliah di Jakarta).

Asmara peduli temannya yang sedang dalam kesusahan. Tak berapa lama sesudah itu, Asamara mengutus Setiawaty (salah seorang staf KSPPM) ke rumah saya di Simalingkar. Saat itu Setiawaty Otama membawa pesan dari Asmara bahwa sebuah lowongan tersedia di (INGI). Pasalanya, seorang staf INGI melanjutkan studi di Negeri Belanda. Asmara menominasikan saya untuk mengisi lowongan itu.

Sayangnya, usaha Asmara membantu teman memang tidak saya penuhi saat itu, karena saya keburu mendapat pekerjaan di kantor lain. Saya memberi alasan bahwa pekerjaan yang saya dapat sudah melalui  ”Doa khusuk dan tak mungkin kutinggalkan begitu saja”.

Saya tidak mengetahui perasaan Setiawaty saat itu, tapi sampai hari ini saya masih terus menjalin persahabatan dengannya, Hingga akhir akhir khayatnya, Asmara tetap mengenal saya dan menghargai persahabatan kami.

Saya kehilangan seorang tokoh yang mampu memberi motivasi, semangat juang. Seorang sahabat yang peduli kepada teman. Selamat jalan abang anda semoga karya-karyamu untuk bangsa ini tetap dikenang. Kami generasi penerusmu mampu meningkatkan kiprah yang selama ini sudah abanganda rintis.

Medan, 28 Oktober 2010

Artikel ini dikutip oleh Harian Pos Metro Medan tanggal 29 Oktober 2010.   

Rabu, 27 Oktober 2010

Menyambut Sumpah Pemuda ke 82: ”Hindari Kemacetan Regenerasi”


Oleh : Jannerson Girsang


https://encrypted-tbn3.google.com/images?q=tbn:ANd9GcTR012XEd2h3ptIUK6LrHf5H2MycgUBURPINMJmCoY4lrI7uXBaew
Sumber foto: bocahbancar.wordpress.

Notes : Artikel ini kami tulis pada 2007. Masalah yang aktual sekarang ini, rasanya
masih relevan untuk mempublikasikannya walau tanpa mengubah satu katapun.

Suatu hari menjelang Lebaran 2007 kami mengendarai mobil di Jalan Tol Belawan- Tanjung Morawa (Belmera). Beberapa truk beriringan yang mengangkut berbagai macam barang berjalan sangat lambat. Namun melaju di jalur cepat. Dalam posisi sejajar, pada jalur lambat, sederetan truk dan pick-up tahun 70-an yang bergerak tertatih-tatih bahkan hanya melaju dengan kecepatan 40 kilo meter per jam, kecepatan yang sama dengan truk-truk dan pick up disampingnya. Jalan menjadi tertutup bagi mobil berkecepatan tinggi di belakangnya.

Akibat situasai di atas, di belakangnya berjejer puluhan mobil mulai dari mobil mewah dan mobil-mobil baru—yang berplat putih, berjalan menahan kecepatannya dengan perasaan geram, dan kadang dengan klakson panjang. Mobil-mobil tersebut tidak bisa mendahului truk dan pick up yang menutup kedua jalur jalan. Perjalanan mereka terlambat mencapai tujuannya.

Makin lama, kemacetan makin panjang. Situasi seperti ini berlangsung sekitar 10 menit. Kemacetan seperti ini sudah sering terjadi. Bukan karena kelebihan kenderaan dibanding kapasitas jalan, tetapi karena ketidakpedulian para sopir atas kemampuan kenderaannya. Sampai akhirnya pada saat melewati pemberhentian pembayaran karcis di jalan yang sedikit lebih lebar, sebuah mobil menyalip dengan kencang dan supirnya memperingatkan truk-truk yang berjalan di jalur cepat, supaya melaju di jalur lambat. Setelah itu, jalan kembali normal dan para pengemudi mobil yang antri beberapa menit di belakang menjadi lega.

Banyak truk dan pick up sebenarnya tidak layak lagi masuk jalan tol (tidak memenuhi kecepatan yang ditentukan dan jalur yang ditempuh) apakah karena pembuatannya sudah tahun tinggi ditambah beban muatan yang kadang berlebihan. Faktor lain, si sopir truk dan pick up yang memang ”bandel” tidak mau perduli bahwa dengan melaju di jalur cepat berakibat antrian panjang dibelakangnya. Pengemudi di belakangnya menjadi terhalang menggunakan kemampuan mobilnya untuk mencapai tujuan. Pengelola jalan tol sebenarnya sudah membubuhkan tanda peringatan batas kecepatan minimum dan peringatan : ”jalur lambat dan jalur cepat”, sebagai arahan bagi pengemudi untuk menyesuaikan kemampuan kecepatan mobilnya.


***

Kejadian di atas merupakan analogi--meski tidak sempurna betul, sebuah regenerasi kepemimpinan yang mandek. Akibatnya banyak sumberdaya yang tidak termanfaatkan secara optimal, khususnya generasi muda yang potensial. Mereka ”menganggur” atau ”mengantri”, menahan ”sejuta rasa” menonton para orang-orang tua berlomba-lomba merebut kekuasan.

Kampanye tebar pesona yang mahal untuk merebut kekuasaan, dipertontonkan oleh mereka yang punya ”duit”—pejabat, mantan pejabat, pengusaha, dan sangat sedikit sekali dari kalangan pemuda. Publikasinya luar biasa dan berlangsung sepanjang tahun, mulai dari kampanye presiden, gubernur, bupati. Kegiatan ini mengisi berita yang cukup besar media kita.

Para pemuda kita seolah dibiarkan terpana menonton dan membaca peliputan korupsi dan menjadi headline di seantero tanah air. Ceritanya persis Cerbung, Cerita Bersambung. Silih berganti. Kasus yang satu tenggelam, muncul lagi kasus korupsi lain. Bahkan orang yang tersangka kasus korupsi, juga masih bisa lolos jadi anggota KPU. Berbagai berita yang ”menggeramkan” lainnya menghiasi media kita, seolah menutup karya-karya generasi muda, yang sebenarnya jauh lebih bernilai dalam konteks pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. .

Alhasil, kita cukup berpuas diri mendengar dan membaca prestasi bangsa-bangsa lain yang anak-anak mudanya dengan cepat maju dan tampil sebagai pionir bangsanya. Saat pengumuman hadiah Nobel untuk beberapa tokoh internasional, kita hanya bisa menonton tanpa sekalipun nama bangsa ini pernah tertoreh. Malu tokh kita, masyak Nobel yang perna kita terima hanya ketika konflik Timor Timur.

Prestasi olah raga kian tahun kian redup. Kalau kita melongok ke luar negeri, penemu Google, dalam usia mereka yang masih sangat muda menemukan mesin pencari tercanggih itu. Sergey dan Larry dua pemuda Amerika yang memiliki ruang yang kondusif mampu melihat sesuatu yang tak terlihat pakar-pakar tua.

Di usia 34 dan 35 tahun dalam waktu tidak lebih dari sepuluh tahun, mereka bisa menjadi urutan teratas dalam kreativias bahkan mampu menaikkan kekayaannya menjadi papan atas di Amerika Serikat. Google saat ini menjadi perusahaan papan atas di Amerika. Publikasi tentang mereka, justru tidak hanya di negara mereka, bahkan media nasional terbesar di negara inipun tertarik membuat cerita mereka setengah halaman beberapa hari menjelang Hari Sumpah Pemuda.

Miri kita melihatnya, dimana menjelang hari Sumpah Pemuda tahun ini media-media kita cukup berbangga mempublikasikan prestasi Singapura yang pertama kali menerbangkan pesawat Airbus A380. Pun dalam dunia pemerintahan, kita tau persis. Negara-negara maju menghasilkan pemimpin-pemimpin muda yang energik. Dalam usia muda, seorang sudah mampu menjadi presiden. Lihat saja Clinton, dalam usia 44 tahun sudah menjadi presiden, Tony Blair, dalam usia yang lebih muda dari Clinton sudah menjadi perdana menteri Inggeris. Orang-orang tua berdiri di belakang menjadi penasehat-penasehat yang bijaksana. Kita justru melihat, pemimpin kita beranggapan, generasi yang usianya seperti saat Clinton atau Tony Blair, belum saatnya memimpin negara ini.


***

Di era kecepatan (velocity era) ini, kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengelola sumberdaya manusia, khususnya para generasi muda. Mampu mengangkat karya-karya besar bangsa. Pemimpin harus tau diri dan memberikan peluang dan apresiasi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih. Sehingga tidak ada sumberdaya yang under used, tidak termanfaatkan sesuai ”kapasitas”nya.

Di era velocity (kecepatan) saat ini para pemimpin dituntut memberikan ruang dan kesempatan bagi generasi muda yang memahami dan mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Seperti tercatat dalam sejarah, generasi muda adalah insan-insan yang memiliki kreativitas, dan kemampuan prima untuk melakukan perubahan dalam mengejar ketertinggalan bangsa, perubahan yang mengeluarkan bangsa ini dari himpitan penjajah. Mereka bergerak di baris terdepan dalam mengambil keputusan-keputusan ”berkecepatan” tinggi. Ini Pada masa-masa kritis, peran pemuda dalam mendobrak perubahan cukup signifikan. Sumpah Pemuda 1928 adalah salah satu diantaranya. Demikian juga perubahan yang terjadi pada 1966 dan 1998.

Perubahan ada ditangan generasi muda dan sangat penting meningkatkan peran dan menghargai karya-karya mereka. Kita perlu kembali merenungkan peringatan Eep Saefullah—pengamat politik Universitas Indonesia dalam bukunya "Provokasi Abad 21". “Perubahan harus dilakukan oleh para pemuda dan jangan berharap bahwa bangsa ini akan berubah hanya mengandalkan pikiran dan usaha para orang tua. Pemuda masa lalu telah melepaskan negeri ini dari penjajahan Belanda. Akan tetapi, ketika para pemuda itu menjadi tua dan tetap memimpin negeri ini yang terjadi adalah sebuah kemunduran moral, material, dan spiritual di sebagian besar manusia Indonesia. Penindasan sistemik terus berlangsung bahkan hanya berganti wajah, kalau dulu dilakukan oleh bangsa asing, maka selama kemerdekaan penindasan dilakukan oleh bangsa sendiri”.

Saya setuju dengan statment di atas. Sejarah memang membuktikannya. Pun, di era informasi ini, karya-karya anak muda sesungguhnya luar biasa. Di dalam negeri terlihat bagaimana generasi muda telah memberikan sumbangan yang besar dalam perkembangan teknologi dan informasi, perubahan-perubahan politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Beberapa politisi muda juga, bahkan di usia 30-an sudah mampu memimpin partai besar.

Tapi aneh. Banyak orang pintar dari kalangan generasi muda kita, lebih nyaman tinggal dan berkarya di luar negeri. Yaya Rukayadi menjadi dosen di Universitas Yonsei, Seoul, seorang professor asal Medan menjadi guru besar di salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Sulit bagi kita untuk mengharapkan mereka kembali ke kampung halamannya. Mereka lebih merasa terhormat di sana. Tidak tertutup kemungkinan para pemenang medali dalam Olimpiade Fisika, Matematika, Biologi, Kimia Indonesia, juga akan mengikuti langkah yang sama, kalau bangsa ini tidak memperdulikan mereka.

Sayangnya, sikap para pemimpin dan masyarakat kita atas prestasi anak-anak muda ini, tampaknya belum bergeser. Meski tidak merupakan analogi yang persis, setidaknya, iklan sebuah merk rokok ”Yang Muda Belum Bisa Bicara”, terus ditayangkan di berbagai stasiun televisi nasional, bisa jadi sebuah realitas sikap di masyarakat kita terhadap generasi mudanya. Dengan semangat mudanya si gadis (diperankan seorang presenter kondang) menjelaskan kondisi sekelilingnya kepada penumpang bus yang membawa penumpang (mungkin bus pariwisata). Sang gadis secara professional sebagai seorang guide menjelaskan kepada penumpangnya informasi tentang daerah yang mereka lalui. Meski demikian dia selalu tidak dihiraukan penumpangnya. Bahkan penumpang tertidur saat dia bicara. Dalam iklan itu, seorang pria beruban dengan mengganti wajah tampilan, namun dengan tetap menggunakan bersuara si guide tadi. Para penumpangnya, kontan memperhatikan penjelasan itu. Barangkali ”persepsi” rakyat kita, entah itu direkayasa atau tidak, memang cenderung lebih percaya pada pria yang beruban dari pada generasi muda (diperankan anak gadis dalam iklan itu). Mengapa?. Wallahu alam!

Ada satu pelajaran yang pantas kita renungkan. Sejarah bangsa kita menunjukkan bukti bahwa di masa lalu para pemimpin yang dulunya ”pemuda” kemudian menjadi ”tua”, tidak mempersiapkan pengganti mereka dengan baik. Pergantian presiden tak luput dari permasalahan.

Bung Karno misalnya. Di tahun 1928 berstatus pemuda, dan kemudian menjadi presiden pertama dan berkuasa selama 20 tahun, lupa mempersiapkan penggantinya, demikian juga presiden Suharto yang sampai berkuasa selama 32 tahun. Bung Karno malah mengukuhkan dirinya menjadi Presiden seumur hidup. Sampai akhirnya turun tahta dengan ”tidak wajar”. Soekarno turun setelah rentetan protes usai pemberontakan G30S PKI, sedangkan Suharto ”mengundurkan diri” bulan Mei 1998, karena tekanan gerakan reformasi. Para pemimpin negara kita di masa lalu bercokol cukup lama sehingga tidak ada regenerasi pemimpin nasional. Pemuda dimasa kepemimpinan mereka tidak pernah menjadi ”tua” atau matang. Malah pengurus di organisasi pemudapun sering didominasi para orang-orang tua. Mereka lupa ini menyebabkan terjadinya ”kemacetan” regenerasi.


***

Sumpah Pemuda ke 79 ini hendaknya dimaknai sebagai sebuah refleksi atas pentingnya mempersiapkan dan memberi ruang kepada generasi muda ke depan untuk mampu menghasilkan karya-karya besar dan selanjutnya membawa mereka menduduki jabatan-jabatan penting dengan proses yang benar. Kita tidak mengharapkan mereka tampil dengan ”karbitan” dan kemudian maju ke puncak kekuasaan karena kecelakaan akibat ”kemacetan”.

Runtuhnya Orde Baru, ternyata menyisakan persoalan pada lemahnya sumberdaya partai, karena muncul secara tiba-tiba. Akibatnya, ada yang hanya lulusan SMP kemudian menjadi ketua partai dan selanjutnya menjadi ketua DPRD. Adalah lebih baik, kalau para pemimpin sekarang ini mempersiapkan penggantinya, ketimbang terlindas karena ”ditabrak” atau ”disalip” karena ”kelebihan energi” dan kemampuan generasi muda yang tidak tersalurkan sesuai porsinya.

Khususnya di era pasca reformasi ini, dalam mempersiapkan para pemimpin yang menduduki jabatan strategis dan politis sifatnya, pemimpin partai politik diharapkan mengoptimalkan partai sebagai mekanisme yang benar sebagai wadah bagi pemuda dalam menjalani proses mematangkan dirinya untuk memimpin.

Seharusnya Partai menjadi sebuah wadah sekaligus fasilitator karya-karya besar anak-anak muda bangsa ini. Sayangnya, Partai politik tidak mau belajar atas begitu besarnya potensi sumberdaya manusia bangsa ini. Ini bisa jadi karena mekanisme pengkaderan tidak jelas dan transparan, sehingga kurang mampu mendorong para generasi muda yang memiliki kemampuan.

Kesan kami, khususnya partai yang memenuhi persyaratan, tidak selamanya ”berani” atau ”mau” mencalonkan kadernya sendiri. Padahal, saat memilih di kotak suara, rakyat tidak hanya memilih partai—faktor profil kader-kader partai juga menjadi salah satu penentu. Mereka mengharapkan kader-kader partai tersebutlah yang akan jadi pemimpin mereka. Hanya melalui proses seperti inilah kaum muda berkesempatan diproses menjadi calon pemimpin yang benar-benar dipilih rakyat. Partai politiklah satu-satunya yang diharapkan mampu secara sistematis dan berkelanjutan menghasilkan pemimpin besar. Karena yang diinginkan rakyat bukanlah seorang pembeli kekuasaan!.

Apalah artinya partai kalau tokh dalam menetapkan pemimpin strategis dan bersifat politis, yang nantinya langsung melayani rakyatnya harus dari luar partai?. Apakah itu tidak mendemotivasi para pemuda yang kebetulan duduk sebagai anggota atau pengurus partai, yang sebenarnya sudah cukup matang menjadi pemimpin?.

Barangkali ketidakberesan proses seleksi pemimpin menjadi salah satu sebab mengapa reformasi yang sudah memasuki usia sepuluh tahun, kemampuan generasi muda yang ”bersih dan berwibawa” untuk maju sebagai calon pemimpin rakyat, belum secara optimal tampak ke permukaan. Perjuangan generasi muda untuk dicalonkan partai sebagai ”kapal” menuju pencalonan tidak cukup bermodalkan ”kemampuan kepemimpinan”, tetapi juga membutuhkan ”ongkos” yang tidak kecil.

Tidak berlebihan kiranya menyarankan agar partai lebih mengamalkan kedaulatan rakyat yang dimilikinya, sehingga potensi pemuda di lingkungan partai secara sistematis dan berkelanjutan dapat memunculkan generasi muda menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh yang nantinya memegang jabatan-jabatan politis.

Di era velocity (kecepatan) yang sedang kita jalani sekarang ini menuntut kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya manusia yang memiliki energi, dinamika, dan intelektualitas yang tinggi. Krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu belum recovery sepenuhnya, tidak bisa teratasi dengan cara yang ”biasa-biasa” saja apalagi dengan sikap”inkonsistensi”.

Terobosan kreatif—yang melibatkan para anak-anak muda, generasi muda adalah syarat mutlak. Percepatan yang terjadi dalam segala bidang kehidupan dan krisis yang dialami bangsa ini, jangan sampai mengulangi lagi ”kemacetan-kemacetan” regenerasi yang pernah terjadi, dan membuat kita terus terpuruk. SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA KE 82. (Artikel ini pernah dimuat di Majalah Sauhur, Medan Edisi II Oktober 2007).

Namaku dan Kisahnya

Oleh : Jannerson Girsang

Saya bersyukur, orang tuaku memberi nama Jannerson Girsang. Jannerson adalah anak laki-laki yang lahir pada bulan Januari, tidak lebih dari itu. Tak lebih dari sekedar menunjukkan tanggal lahir dan jenis kelamin.

Saya sering merasa risih kalau ditanya nama tengah "middle name", karena saya tidak punya. Padahal, orang tua saya memberi nama tengah kepada  kelima saudara saya.

Nama itu begitu mengesankan bagiku. Beberapa teman dari Eropa yang saya temui semasa Tsunami (2005-2006), nama itu katanya seperti nama orang Skandinavia. Demikian juga orang-orang asing yang pernah bekerja sekantor dengan saya.

Saya bangga dengan nama Jannerson Girsang. Ketika kucari di Google dan Yahoo, hanya ada dua atau tiga orang di dunia ini bernama Jannerson. Mereka berasal dari Swedia atau ada juga dari Amerika Latin.

Salah seorang adalah pria warga Brazil. Kami pernah berkomunikasi di Facebook dan sama-sama heran mengapa kami punya nama yang sama. Satu dari desa Nagasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, Indonensia, sedang satu di salah satu kota di Brazil sana. Usianya jauh lebuh muda, masih dibawah 30 tahun.

Tokh nama saya masih punya, nama keluarga yang unik, Girsang, sehingga namaku masih unik. Sesuatu yang menjadi nilai tambah dalam dunia maya, tidak ada nama yang sama dengan namaku. Namaku, identitasku di dunia maya spesifik.

Dikira Bukan Orang Indonesia

Saya pernah punya kenangan lucu soal namaku. Saat saya bekerja di TELKOM Divre I (pertengah 1990-an sampai akhir 2001). Saat itu saya menyusun jadwal dan nama rombongan untuk sebuah kunjungan ke Kandatel Banda Aceh. Namaku disandingkan dengan nama rombongan lain, semuanya dari Perancis. Saat itu saya mendampingi mereka. Ada Claude Laurent, dan lain-lain.

Ternyata nama itu asing bagi orang-orang Telkom di Banda Aceh. Sebelum berangkat, saya lebih dahulu melakukan hubungan telepon dengan staf TELKOM di Banda Aceh.

Pembicaraan berlangsung beberapa menit. Di akhir pembicaraan rekan saya bicara di Banda Aceh memuji karena bahasa Indonesia saya begitu lancar. Dalam hati, saya senyum-senyum saja. Saya katakan, saya sudah lama tinggal di Indonesia. ”Oh ya, sampai ketemu ya Pak Jannerson,”katanya.

Sampai saya tiba dengan rombongan di Banda Aceh, saya tidak pernah mengungkapkan kebangsaan saya. Tapi, saat tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, saya merada geli, ketika melihat teman saya mencantumkan nama saya di sebuah kertas karton berwarna putih dan tulisan hitam, sambil mengacung-acungkannya.

Dia kaget, ketika saya menyapanya. ”Saya Jannerson pak,apa kabar”. Dia kaget. Dia percaya saja sebelumnya, bahwa saya orang asing yang sudah lama tinggal di Indonesia. Akhirnya ”Wah pak Jannerson rupanya orang Indonesia,” katanya.

Susah Menyebutnya dan Sering Salah Tulis

Nama itu sebenarnya sangat simple tapi bagi teman-teman di sekolahku, nama itu susah di eja. Saat saya duduk di Sekolah Dasar di Nagasaribu, teman-temanku memanggilku Janner saja.

Ketika saya duduk di SMP, nama itu selalu dikurangi satu ”n”nya. Teman-teman baruku memanggilku Janerson. Di SMA di Pematangsiantar juga dipanggil Janerson. Entah mengapa orang susah sekali mengeja nama saya dengan benar : J-a-n-n-e-r-s-o-n.

Bahkan ketika saya pindah sekolah ke SMA Negeri 22 Jakarta saya malah dipanggil ”Jhon”. Saya ingat, teman sebangku saya Anna Margaretha suatu ketika memanggil saya John. Padahal, saya selalu menulis nama saya ”Jannerson”. Akhirnya semua teman sekelas, guru-guru memanggil saya Jhon.

Di setiap sekolah, guru-guru atau petugas administrasi sekolah yang kurang mengenalku sering menuliskan namaku ”Janerson”, ”Jarnelson” atau ”Janelson”.

Itu sebabnya, setiap kali menuliskan nama saya dalam dokumen resmi, saya selalu ingat untuk melakukan klarifikasi. Menghindari jangan sampai ditulis berbeda dengan nama babtis saya di gereja maupun di ijazah SD. Semua dokumen selalu mencantumkan nama depan saya sebagai Jannerson dan ditambah nama keluarga saya Girsang.

Bahkan sampai 26 Oktober 2010, dalam Pertemuan Penulis dan Pembaca di Hotel Antares Medan, nama saya masih salah, ditulis : Jamerson Girsang.

Di kalangan orang Batak, memanggil nama adalah sesuatu yang tabu. Jadi mereka memanggil saya Pak Girsang atau Pak Clara, nama anak tertua saya bernama Clara Mariana. Di luar orang Batak, umumnya orang memanggil saya dengan Pak Jannerson (kadang satu ”n”, kadang dua ”n”), Pak Girsang. Teman akrab memanggil saya ”Son”, atau ”Ner”, atau ”Janner”.

Nama tidak sembarangan karena merupakan identitas. Shakespeare berkata: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet"

Sabtu, 23 Oktober 2010

Top Ten: Blog Biografi Menulis Fakta Memberi Makna

Oleh: Jannerson Girsang

Ingin tau artikel terpopuler, top ten negara pengunjung, serta ranking blog ini di Alexa?. Berikut kami sajikan datanya, sehingga suatu ketika mudah membuat track beberapa bulan ke depan.  Saran dan pendapat anda sangat bermanfaat bagi penyempurnaan blog ini. 

Artikel Paling Populer

Sejak Mei 2010, blog ini dilengkapi pageview counter dan berikut ini adalah sepuluh artikel yang memiliki pageviews tertinggi sampai 23 Oktober 2010 (lima bulan).
 
1. Selamat Jalan SK Trimurti, 17 Maret 2009. (261 Pageviews)

2. Gunung Sinabung "Babak Baru" dan" Bukan Peristiwa ..., September 2010. (171 Pageviews)

3. "Keong Racun" dan Maknanya bagi Kita. 11 Agu 2010, (159 Pageviews)

4. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia, 18 Jan 2010. (157 Pageviews)

5. Belajar dari Kisah Tiger Woods, 30 Mar 2010, 4 comments. (109 Pageviews)

6. Kasus Facebook : Perkembangan Internet dan Peran Orang tua. 5 Mar 2010, 2 comments. (105 Pageviews)

7. Kisah Menulis Buku Biografi, 26 Apr 2009. (81 Pageviews).

8. Anda Ingin Membuat Otobiografi Sendiri!, 13 Okt 2009. (72 Pageviews)

9. Helen Keller “Buta dan Tuli, Jadi Penulis dan Politisi. 15 Sep 2010 . (71 Pageviews)

10. Nine Months to be Blogger. 30 Des 2009. (67 Pageviews).


Pengunjung (Visitor)

Sejak September 2009 (sampai 25 Oktober 210), visitor counter memberikan data pengunjung sebagai berikut:


Total Pengunjung (Visitor) : 8646
Total asal pengunjung :  64 negara

Top Ten pengunjung:

1. Indonesia : 6,668 (77.7%)
2. United States : 943 (10.9%)
3. Norway : 327 (3.8%)
4. Malaysia : 181 (2.1%)
5. Japan : 139 (1.6%)
6. Australia : 92 (1.1%)
7. Taiwan : 29 (0.3%)
8. Germany : 28 (0.3%)
9. Singapore : 27 (0.3%)
10. United Kingdom : 15 (0.2%)

Google PR : 1
Alexa Rank : 8,863,988
Value: $ 118
Value Rank : 420,304
Link in : 39

Menangisi Sepakbola Kita Renungan 70 Tahun Pele

Oleh : Jannerson Girsang

Pele, pemain sepakbola internasional legendaris. Sukses menjadi pemain dan pelatih sepakbola, kariernya tidak berhenti. Brazil menghargai profesionalismenya sebagai tokoh olah raga. Di negerinya sendiri Pele menjadi pejabat olah raga yang disegani. Namanya tidak pernah lenyap dari persepakbolaan dunia, karena kemudian dia menjadi duta olah raga dunia yang mampu menangkat nama negaranya. .

Selasa, 19 Oktober 2010

Menjadi Istri Pejabat: Berpengaruh, Tidak Sekedar Pendamping

Oleh : Jannerson Girsang

 

Apa yang tergambar di pikiran anda, ketika Forbes mengumumkan peringkat perempuan berpengaruh di dunia?. ”Ah ini hanya akal-akalan saja” atau “Akh, aku ingin seperti mereka?”.

Kali ini kami tertarik mengetengahkan Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia Tahun ini, Michelle Obama. Michelle adalah istri seorang pejabat pemerintah, yang mampu menempatkan dirinya paling berpengaruh di antara perempuan karier di seluruh dunia.

Bulan ini, Majalah Forbes (http://www.forbes.com/profile/michelle-obama) menempatkan istri Barack Obama, Presiden AS menjadi perempuan paling berpengaruh di dunia. Kenaikan peringkat yang luar biasa. Sebelumnya Michelle hanya menempati peringkat 39.

Bekerja di belakang suami (dalam hal ini istri pejabat) bukanlah sesuatu yang harus ditangisi karena di bawah bayangan suami, atau sebaliknya bukan sesuatu yang disyukuri secara membabi buta (mendapat fasilitas dan pengormatan yang semu, istri pejabat).

Di belakangnya terletak tanggungjawab yang melekat. Apakah anda memang seorang perempuan berpengaruh atau hanya seorang ”bayangan” suami—mendampingi suami jalan-jalan, memotong pita, tanpa kemampuan menggerakkan orang lain melakukan sesuatu ke arah yang lebih baik.

***

Sebagai istri presiden, Michelle tidak berpangku tangan hanya mengikuti suaminya. Dia melakukan sesuatu dan tidak dengan mudah memperoleh peringkat itu. Tidak semua istri presiden Amerika memperoleh peringkat seperti ini. Artinya, bukan karena dia istri presiden, walau memang faktor pendukung yang tidak boleh diabaikan.

Berbagai ide-idenya yang dituangkan dalam kegiatan telah tercatat memberi dampak tidak hanya bagi Amerika, tetapi bagi dunia ini. Dia tidak hanya menempel pada status suaminya sebagai presiden.

Dia berbeda dari istri presiden Amerika sebelumnya. Majalah Forbes menilai bahwa Michelle lebih banyak terlibat kebijakan dalam pemerintahan Amerika seperti memperjuangkan hak-hak perempuan dibandingkan Laura Bush, istri George W Bush. Dan Michelle tidak seperti Hillary Clinton yang melakukan kebijakan keras saat reformasi perawatan kesehatan.

Michelle, ibu dua anak bergelar sarjana hukum dari Harvard itu memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu sosial.

“Dia telah membuat kantor bagi dirinya sebagai Ibu Negara. Seorang penasehat standar gizi sekolah dan urusan keluarga militer, dia lebih banyak terlibat dalam kebijakan dari Laura Bush. Tapi tidak seperti Hillary Clinton, orang yang memperjuangkan reformasi rahasia pemeliharaan kesehatan (dan akhirnya gagal), Obama (Michelle) telah meninggalkan kebijakan keras. Ikon fashion dan ibu dua putri atletis, dia adalah Jackie Kennedy dengan gelar sarjana hukum dari Harvard dan rasa jalanan dari South Side Chicago. Dia juga efektif: Menanggapi kampanye ”Let's Move!”, sebuah kampanye melawan obesitas, perusahaan seperti Coca-Cola, Kellogg dan General Mills telah berjanji mengurangi kadar kalori makanan mereka pada 2012. Ibu Negara tetap populer: 54% orang Amerika berpandangan baik padanya,” ujar Forbes edisi Oktober 2010.
***

Pengaruh Michelle melebih semua perempuan dari berbagai jenis latar belakang. Saingan Michelle di peringkat kedua adalah Irene, perempuan kedua dengan gaji tertinggi di Amerika pada 2009. Irene dibayar sekitar US$ 26 juta dan bayarannya itu setimpal saat rencananya mengakusisi British Candymaker Cadbury. Keputusannya itu membuat keuntungan Kraft naik 25 persen yang sebagian besar disumbang Cadbury Eropa.

Sedangkan di peringkat ketiga adalah Oprah Winfrey. Forbes menilai Oprah merupakan perempuan yang paling sukses dalam bisnis media. Acara Oprah Winfrey telah tayang selama 25 musim, menulis buku-buku best seller sehingga membantu jutaan perempuan menemukan jati diri dan akhirnya menelurkan stasiun televisi sendiri, Oprah Winfrey Network.

Jangan berfikir, seorang perempuan akan memiliki pengaruh kalau dia seorang pejabat. Michele membuktikan ini tidak benar. Posisi sebagai seorang Kanselir tidak lantas membuat Angela Merkel, Kanselir Jerman mampu mempertahankan posisinya di peringkat 1, seperti tahun lalu. Tahun ini posisinya bergeser ke posisi ke empat.

Perempuan berpengaruh lainnya terdiri dari perempuan yang menjabat menteri luar negeri, CEO perusahaan, Penyanyi dan entertainer, model dan lain-lain. Posisi ke lima sampai ke sepuluh ditempati Hillary Clinton – Menlu AS, Indra Nooyi - CEO, PepsiCo, AS, Lady Gaga – Penyanyi dan entertainer, AS, Gail Kelly - CEO, Westpac, Australia, Beyoncé Knowles – Penyanyi dan desainer mode, AS dan Ellen DeGeneres - Talk show host, AS.

***

Bagi para pembaca, khususnya para perempuan, artikel ini mengingatkan bahwa seorang perempuan memiliki peluang yang sangat terbuka untuk menjadi seorang yang berpengaruh. Yakni melalui pemikiran-pemikiran yang diterjemahkan dalam kegiatan-kegiatannya yang berdampak positif kepada kehidupan masyarakat banyak. 

Kekuatan (Power) dewasa ini adalah kemampuan mempengaruhi—menggerakkan orang, membuat perubahan, membentuk pemikiran—wacana apa saja, issu apa saja, realitas apa saja. (Power today is the ability to influence –to move people, to affect change, to shape minds – whatever the platform, whatever the issue, whatever the realm). Forbes, October 2010.

Barangkali tidak ada salahnya Anda merenungkan perjalanan Michelle Obama! Silakan kunjungi website-websitenya, belajarlah dari perjuangannya. 

Marilah tidak sekedar menuntut perubahan kebijakan tentang perempuan. Itu memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor. ”Berpengaruh” bukan ”hadiah” tetapi ”usaha” dan ”kerja keras”.

Anda ingin jadi istri pejabat seperti Michelle, atau perempuan karier berpengaruh lainnya?. Silakan berkunjung ke: http://www.forbes.com/profile/michelle-obama#

Dimuat di Harian Analisa: 19 Oktober 2010 Hal 25. bisa juga diakses ke http://www.analisadaily.com. Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-17, anak bungsuku, Devi Anastasia Girsang. 

Semoga semangat Michelle menular bagi anakku yang pintar dan penuh semangat ini.


Senin, 11 Oktober 2010

HM Girsang: Pendeta Asia Pertama Sekretaris VEM

Sebuah Ringkasan

Oleh : Jannerson Girsang


Pendeta Hamonangan Girsang adalah mantan Sekjen Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Selain itu cucu Tahan Girsang ini pernah duduk dalam  kepengurusan di berbagai organisasi oikumene di dalam dan di luar negeri. Usai melepas jabatannya sebagai Sekjen GKPS, putra seorang Pangulu Balei ini menjadi pendeta Asia pertama menjabat Sekretaris Eksekutif di VEM (Vereinte Evangelische Mission)/UEM (United Evangelical Mission).

Minggu, 10 Oktober 2010

101010: Istimewakah Hari ini Bagi Anda?

Oleh : Jannerson Girsang

Dalam bahasa China 10 Oktober 2010 (10/10/10) disebut “shi quan shi mei,” atau “sempurna dalam semua sisi”. Momen dengan komposisi 10-10-10 hanya terjadi 12 kali dalam 1.000 tahun. Tahun depan ada angka yang mirip yaitu 11-11-11 dan pada 2012. Setelah itu, komposisi angka yang sama baru akan muncul lagi pada 3001. Jadi tentu wajar kalau orang merasa komposisi angka itu penting. Namun, hari ini saya merasa semua berjalan biasa-biasa saja.

Salman Khan dan Pengajaran Online

Oleh: Jannerson Girsang

Membagikan ilmu dan pelajaran melalui situs di internet, menyumbangkan ilmu kepada orang dimana saja, kapan saja. Muridnya tanpa bayar, tanpa ruang kelas!. Siapa yang mau melakukannya?.