Oleh: Jannerson Girsang
Pengantar
Beberapa hari yang lalu, saya menerima Undangan Hari Ulang Tahun Bibel Frau Lermianna Girsang, seorang perempuan yang bertahun-tahun merupakan sumber inspirasi kami. Seorang yang memberi perhatian besar pada orang di sekelilingnya. Seorang yang berkeinginan belajar terus menerus, serta menghargai orang lain. Kisah dirinya ini sekaligus juga merupakan bahan refleksi bagi kami sendiri dan semoga bermanfaat bagi pembaca blog ini.
Perempuan bertubuh pendek dan lincah itu, masih energik memasuki usia 60 tahun, 3 Desember 2009, bertepatan dengan Adven Pertama, saat orang Kristen menyambut Hari Natal. Berbicara di kediaman kami di Medan beberapa waktu lalu, dia banyak berkisah tentang kehidupannya, dan mengapa dia harus mengadakan syukuran atas masa pensiun yang akan dia jalani beberapa hari ke depan.
Mantan Ketua Penginjil GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) ini mengaku, Tuhan telah membimbingnya menjawab pertanyaan “Ada Apa di Balik Gunung itu”, satu demi satu dalam perjalanan hidupnya; tiga tahun di Sekolah Penginjil Wanita, dan 38 ahun pelayanannya sebagai Penginjil di GKPS--sebuah gereja dengan lebih dari 200 ribu jemaat dan berkantor pusat di Pematangsiantar itu, hingga memasuki masa pensiun.
Sebuah perjalanan hidup yang menghasilkan pemaknaan darinya sebagai refleksi dari perjalanan itu. Kisah kehidupannya sendiri selama 60 tahun, menurutnya merupakan jawaban pertanyaan seputar “Apa di Balik Gunung”, serta refleksinya atas jawaban pertanyaan itu.
Berikut kisahnya.
Lermianna Girsang, anak kedua dari 10 bersaudara ini, lahir Mardingding, Simalungun, 3 Desember 1949. Mardingding terletak di pinggir jalan besar Kabanjahe-Pematangsiantar. Ke arah Timur dari kampung yang ketika itu berpenduduk tidak lebih dari 40 Kepala Keluarga ini, terletak kota kecil Saribudolok. Di masa anak-anak dan remajanya, itulah satu-satunya pekan yang dikenal penduduk di daerah itu, dan jaraknya hanya 3 kilometer lebih sedikit. Ke sebelah Barat kampung ini terletak gunung Sipisopiso dengan air terjunnya yang terkenal, ”Sipiso-piso Water Fall” atau Air Terjun Sipiso-piso. Di sebelah Utara terdapat pegunungan dengan dua gunung berapi yang menjulang tinggi, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak, sedangkan di sebelah Barat, terpampang deretan pegunungan.
Kondisi geografi yang demikian membuat Lermianna senantiasa bertanya “Ada apa di Balik Gunung Itu?”. Pasalnya, sampai masa remajanya, Lermianna hanya pernah mengunjungi pekan Saribudolok dan hanya satu kali “naik truk” ke Air Terjun Sipisopiso. Dia menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) di Tigaraja dan kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Saribudolok. Praktis, perjalanan yang ditempuhnya kurang dari sepuluh kilometer dari kampungnya. Dalam perjalanannya ke sekolah dan ladang. , pemandangan yang dilihatnya hanya gunung-gunung di sekeliling kampungnya yang senantiasa menghalangi pandangannya.
Selain itu, kondisi ekonomi keluarganya turut menghalangi ruang geraknya. Anak kedua dari sepuluh bersaudara ini melukiskan keadaan ekonomi keluarganya ”kurang mampu”. Kondisi ini memang memaksanya setiap pulang sekolah harus membantu orangtuanya ke ladang. Dia terlibat mengerjakan ladang orang tuanya atau pergi mencari upahan mangomo) di ladang orang lain, kalau dia membutuhkan uang saku. ”Orang tua saya tidak punya uang selain menyediakan makanan dan biaya sekolah,”ujarnya.
Bahkan, sebelum menyelesaikan SMP, Lermianna putus sekolah. Alasannya cukup sepele. Ban sepedanya kempes dan orang tuanya tidak mau memberi uang untuk memperbaikinya. Hingga muncul tindakan bodohnya. Tidak melanjutkan sekolah!.
Keputusan ini, bukannya jadi ”mala petaka” bagi orang tuanya, bahkan dimaknai sebuah ”berkat”, karena dia bisa jadi “aset” mengatasi kesulitan ekonomi keluarga. Pada 1967, saat putus sekolah itu, ayahnya Benyamin Girsang meninggal dunia. Lermianna di usia 18 tahun sangat diharapkan bisa membantu menyokong ekonomi keluarga.
Setiap hari—dari pagi hingga sore, Lermianna bekerja di ladang, meski sebenarnya di dalam hatinya ada tekad untuk menjawab pertanyaan “Ada Apa di Balik Gunung itu”. “Sebenarnya, hati saya terus berontak. Saya tidak mau hidup di kampung, karena hidup di kampung tidak akan bisa menjawab pertanyaan itu”ujarnya.
Keinginannya keluar dari kampung semakin besar, saat bertemu dengan salah seorang namborunya (saudara sepupu ayahnya) yang ketika itu Sekolah Perawat di Rumah Sakit Cikini Jakarta, yang pulang saat berlibur. Jakarta, sebuah tempat yang sangat asing bagi seorang gadis yang hanya bisa keluar tak lebih sepuluh kilometer dari kampungnya.
Pertemuan itu menambah keinginannya keluar dari kampungnya mencari jawaban “Ada Apa di Balik Gunung”. Bahkan dia bertekad mengumpulkan uang sendiri. “Saya senantiasa menyimpan uang itu di dalam tudung (penutup kepala) saya. Meski sebenarnya uang itu tidak pernah cukup, seandainyapun dikumpul bertahun-tahun,”ujarnya.
Tapi, dari manakah datangnya pertolongan?. “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung, dari manakah datangnya pertolonganku?. Pertolonganku ialah dari Tuhan saja”.
Ayahnya Benyamin Girsang dan ibunya Morlinim boru Sinaga, adalah pasangan yang tekun beragama, meski keluarga ini kesulitan ekonomi. Sikap ini diwarisi Lermianna sejak kecil. Orangtuanya menganjurkannya mengikuti Sekolah Minggu dan kemudian sejalan usianya meningkat, dia mengikuti kebaktian di gereja.
Dalam sebuah kebaktian minggu, pada acara ting-ting (pengumuman) di gereja Lermianna mengarahkan perhatiannya. Sebuah berita penting, penerimaan Sekolah Penginjil Wanita di Sondiraya, sebuah sekolah yang baru saja dibuka GKPS. Tingting ini meyakinkannya sebagai “petunjuk” atas jawaban pertanyaannya selama ini. ”Ada Apa di Balik Gunung”.
Hatinya bulat mendaftar ke Sekolah Penginjil Wanita (SPW) di Sondiraya. Meski di awal, dia ragu apakah orang tuanya mengijinkannya mengikuti sekolah itu. Pasalnya, dari segi kemampuan ekonomi, hal itu tidak mungkin. Ayahnya baru saja meninggal, tentu beban ibunya akan bertambah berat menanggung saudara-saudaranya yang ketika itu masih dalam usia sekolah. Apalagi, selama ini, dia sudah “marharoan” dan bisa membantu meringankan beban orang tuanya.
Pulang dari gereja GKPS Nagasaribu di Tigaraja (beberapa desa di Silima Kuta masih mengadakan kebaktian di gereja itu), Lermianna langsung menemui Evangelis GKPS St Nelson Girsang di Mardingding. Pria ini tidak lain adalah adik ayahnya sendiri. Keinginannya mendaftar ke SPW, ternyata disambut baik ”mangudanya” itu. Evangelis Nelson bersedia memberitahu ibunya soal keinginannya ini. Ibunyapun merestui keinginan putrinya itu.
Lantas mereka bertiga, bersama ibunya dan St Nelson menemui Pendeta JM Girsang di Tigaraja, berjalan kaki sejauh 2 kilometer dari kampung di Mardingding. Pendek cerita, dia memenuhi seluruh persyaratan administrasi.
Bersama siswa lainnya dia menjalani tes dan lulus. Lulus bukan berarti hambatan terlewati. Mereka harus membayar sejumlah kewajiban. “Sungguh luar biasa Tuhan membantu manusia,”ujar Lermianna. Ketika itu, menurutnya, ada seorang warga di Sondiraya yang membantu orang-orang tak mampu seperti dirinya. Jadi, “kami hanya membayar uang membeli sabun dan keperluan kecil sehari-hari,”ujarnya terharu.
Bersama sekitar 15 orang siswa SPW, pada 1968, Lermianna mulai mengikuti SPW yang lama pendidikannya 3 tahun. Sebelum mengikuti pelajaran, guru berkebangsaan Jerman menjelaskan pelajaran-pelajaran yang akan mereka terima dan buku-buku yang harus disiapkan. Setiap pelajaran harus dilengkapi dengan buku tulis dan buku pelajaran. Sang guru bertanya, persiapan apa yang sudah mereka miliki. “Saat itu saya hanya memiliki bibel perjanjian Baru dan buku Haleluya” kata Lermianna lirih, betapa dia sebenarnya tidak mampu memenuhi kebutuhan buku-buku yang dimaksud gurunya itu. Untungnya seseorang bersedia memberikan bantuan kepadanya, bersama dengan beberapa orang temannya, sehingga mereka terbebas dari beberapa kewajiban sekolah.
Kegiatan sekolah di SPW berjalan dan suatu ketika dia berontak dan ingin keluar. Karena ternyata, sekolah baginya terasa sulit, dan lebih enak kembali ke ladang. Keluhan ini diutarakannya kepada St Nelson Girsang yang suatu ketika berkunjung ke Asrama mereka. Lermianna menyaksikan St Nelson berbicara dengan Suster Ursulla, guru mereka. Tetapi setelah itu dia pulang begitu saja, tanpa pernah merespon keluhannya. “Manguda Nelson tidak pernah menanggapi keluhan saya. Hingga saya lulus,”kenang Lermianna yang kemudian memaknainya sebagai sebuah tindakan yang bijaksana. Dengan segala keluhan dan kesulitannya, akhirnya Lermianna lulus dari SPW, bersama sebelas siswa SPW lainnya yang dinyatakan lulus. “Ada tiga orang yang ketika itu belum lulus,”katanya. Menurut Lermianna, sekolah itu hanya satu angkatan, dan setelah itu tidak menerima murid baru lagi.
Minggu, 17 September 1971. Lermianna bersolek dan melengkapi dirinya dengan baju kebaya, memakai sangggul seperti ibu-ibu. Seorang Bibel Frau harus tampil dewasa, meski usia mereka masih muda. Sebab nantinya mereka dituntut melayani orang-orang dewasa di tengah-tengah jemaat.
Hari itu adalah hari yang bersejarah baginya. Gereja GKPS Sondiraya menjadi saksi saat Pimpinan Pusat GKPS (Ephorus Pendeta Lesman Purba dan Sekjen Pendeta Armencius Munthe) menahbiskannya menjadi Bible Frau. Mereka mengucapkan janji Bibel Frau. “Aku sudah resmi menjadi Bibel Frau, bukan lagi murid sekolah Bibel Frau,”ujarnya dalam Buku Penginjil Diutus ke Dunia (2008).
Saat menegangkan kemudian tiba. Dia kaget mendengar pengumuman penempatannya menjadi Ibu Asrama di Asrama Putri Sondiraya merangkap ke GKPS Sondiraya. “Saya harus bekerja dengan orang Jerman? Bahasanya saya tidak mengerti, berpengetahuan luas. Oh Tuhan..”. Saat itu Zr Elizabeth Steinhard (anak pendeta Johannes dari Jerman yang lahir di desa Raya, Berastagi) adalah Pimpinan Asrama dan Zr Ursulla Woerman menangani pelayanan wanita di jemaat.
Pengalamannya selama dua belas tahun di bawah bimbingan dua suster Jerman itu di Asrama Putri Sondiraya memberinya sebuah refleksi kehidupan “Bekerja sambil belajar dan belajar membenahi diri”. Bersinggungan dengan orang Jerman memaksanya belajar bahasa Jerman dan menguasainya dengan baik. Pengelolaan asrama bagi seorang bekas “parharoan” bukan sesuatu yang mudah. Namun tekadnya belajar membuatnya mampu menjalaninya dengan baik.
Sebuah tantangan baru dihadapinya. 1984 Pimpinan Pusat GKPS menugaskannya sebagai Penginjil Wanita pertama di luar Pulau Sumatera. Dia kembali bergumul. “Apakah saya ini dilempar jauh, Tuhan. Apakah saya dihukum?”. Delapan tahun enam bulan melayani di sana, Lermianna memperoleh pengalaman baru. Ternyata jemaat Tuhan yang hidup di kota Metropolitan sarat dengan persolan kehidupan yang membuat mereka memerlukan ketenangan jiwa melalui ibadah-ibadah gerejawi, belajar, mendengar dan memahami Firman Tuhan,” ujarnya. Itulah menurutnya menguatkan mereka menghadapi hidup. Tugas pelayanannya kemudian memasuki kota terbesar di Sumatera, Medan. Pimpinan Pusat menempatkannya di GKPS Resort Medan Timur selama tujuh tahun (1992-1999), lantas ke GKPS Resort Pakam (1999-2001).
Dari penugasannya sebagai Penginjil Wanita di berbagai tempat, Lermianna menyimpulkan : “Ternyata, melayani di desa dan kota, serupa tapi tak sama. Dimanapun kita melayani, ada suka dan tantangannya. Kebersamaan dengan jemaat itu mendorong semangat melayani dan menjadi kekuatan yang tak dapat saya lupakan,” katanya.
Lermianna adalah seorang Penginjil yang di mata Pimpinan Pusat GKPS mampu mengerjakan tugas-tugas baru. Jauh di luar hal yang dipelajarinya sebagai lulusan Sekolah Penginjil Wanita. Delapan tahun menjelang memasuki masa pensiun, Lermianna ditugaskan di kantor Pusat GKPS, menangani Oikumene dan Kemitraan.
Dia kembali bergumul. “Apalah aku ini Tuhan?. Apa yang dapat saya lakukan di kantor Pusat dalam pelayanan oikumene dan kemitraan GKPS?. Saya ini gagap teknologi. Tanganku belum pernah menyentuh key board komputer...... Mungkin aku ini salah tempat,”ujarnya. Keluhan yang wajar.
Mula-mula dia menghadapinya dengan sikap pesimis. “Awalnya, sampai beberapa hari berikutnya saya masuk kantor, saya seperti kanak-kanak. Datang, duduk, diam dan lihat teman-teman tak mau mengerjakan apapun dan tak tau memulai dari mana,” ungkapnya seolah putus asa dengan tugas barunya itu.
Tetapi, seperti di awal kehidupannya, dalam keyakinannya, Tuhan senantiasa menunjukkan pertolongan melalui apa saja. Kamus, teman-teman di sekitarnya menjadi alat Tuhan membuka pikirannya. Namun,menggunakan komputer dan mengirim email, menjadi pergumulannya paling besar. Maklum, usianya sudah di atas 50-an, dan sebelumnya tidak pernah membayangkan bahwa komputer akan menjadi alat vital bagi tugasnya.
Hingga kemudian, “Aku bisa menggunakan komputer, dan mengirim email pertama kepada Suster Elizabeth di Jerman,” ujarnya bangga. Komputer dan e-mail kemudian menjadi alat baginya berhubungan dengan dunia ini. Sebuah kemampuan yang dikaruniakan padanya, jauh dari ilmu yang dipelajarinya di SPW Sondiraya puluhan tahun sebelumnya.
Wawasannya terbuka, dan kemudian dia mampu melaksanakan tugas-tugasnya mengadakan pertemuan, komunikasi, perkenalan, persahabatan, perkunjungan secara timbal balik dengan mitra-mitra di dalam dan luar negeri.
Pertanyaannya tentang “Apa di Balik Gunung” yang digumulinya sejak kecil, ternyata dalam kesaksiannya, Tuhan menjawabnya, melebihi sesuatu yang dibayangkannya ketika masih menganggur di Mardingding.
Perjalanannya yang sampai di usia remaja kurang dari sepuluh kilometer, puluhan tahun kemudian, memasuki usianya 60 tahun, Lermianna yang karena tugasnya atau undangan teman-temannya telah menjelajah dunia ini, terbang puluhan jam mencapai lokasi pertemuan atau rapat di Jerman atau negara lain. Berbagai kunjungannya ke luar negeri, memberinya sebagian jawaban pertanyaan itu.
Kirburg, kota kelahiran bekas gurunya Suster Elizabeth berkali-kali dikunjunginya, bahkan salah seorang anggota keluarganya turut serta dalam sebuah kunjungannya ke Jerman. Dia berhasil membina hubungan dengan rekannya, tidak hanya sekedar hubungan kerja, tetapi apa yang dimaknainya sebagai “persaudaraan di dalam Kristus”.
Memasuki masa pensiun, Lermianna memaknai pertanyaan “Apa di Balik Gunung”, dengan pemahaman baru, berbeda ketika dia masih "marharoan" di Mardingding. “Aku akan belajar tentang banyak hal yang belum saya ketahui dan bisa dipakai untuk memuliakan Tuhan,”ujarnya mantap.
Memasuki masa pensiun, Lermianna yang karena pilihannya tidak menikah seumur hidupnya, tinggal di Pematangsiantar bersama ibunya Morlinim br Sinaga, perempuan tegar yang kini sudah berusia 86 tahun.
Selamat Ulang Tahun ke-60 dan memasuki pensiun. Tuhan memberkati.
Artikel di atas diramu dari wawancara dan berbagai sumber.
Keterangan Foto: Gunung Singgalang, dekat Saribudolok, Kabupaten Simalungun dengan ketinggian 1865 meter diatas permukaan laut (atas) dan Gunung Sipisopiso, dekat Air Terjun Sipisopiso, Kabupaten Karo dengan ketinggian 2094 meter di atas permukaan laut (Bawah). Kampung Mardingding terletak di atara kedua gunung tersebut.