Oleh : Jannerson Girsang
Sumber foto: bocahbancar.wordpress.
Notes : Artikel ini kami tulis pada 2007. Masalah yang aktual sekarang ini, rasanya
masih relevan untuk mempublikasikannya walau tanpa mengubah satu katapun.
Akibat situasai di atas, di belakangnya berjejer puluhan mobil mulai dari mobil mewah dan mobil-mobil baru—yang berplat putih, berjalan menahan kecepatannya dengan perasaan geram, dan kadang dengan klakson panjang. Mobil-mobil tersebut tidak bisa mendahului truk dan pick up yang menutup kedua jalur jalan. Perjalanan mereka terlambat mencapai tujuannya.
Makin lama, kemacetan makin panjang. Situasi seperti ini berlangsung sekitar 10 menit. Kemacetan seperti ini sudah sering terjadi. Bukan karena kelebihan kenderaan dibanding kapasitas jalan, tetapi karena ketidakpedulian para sopir atas kemampuan kenderaannya. Sampai akhirnya pada saat melewati pemberhentian pembayaran karcis di jalan yang sedikit lebih lebar, sebuah mobil menyalip dengan kencang dan supirnya memperingatkan truk-truk yang berjalan di jalur cepat, supaya melaju di jalur lambat. Setelah itu, jalan kembali normal dan para pengemudi mobil yang antri beberapa menit di belakang menjadi lega.
Banyak truk dan pick up sebenarnya tidak layak lagi masuk jalan tol (tidak memenuhi kecepatan yang ditentukan dan jalur yang ditempuh) apakah karena pembuatannya sudah tahun tinggi ditambah beban muatan yang kadang berlebihan. Faktor lain, si sopir truk dan pick up yang memang ”bandel” tidak mau perduli bahwa dengan melaju di jalur cepat berakibat antrian panjang dibelakangnya. Pengemudi di belakangnya menjadi terhalang menggunakan kemampuan mobilnya untuk mencapai tujuan. Pengelola jalan tol sebenarnya sudah membubuhkan tanda peringatan batas kecepatan minimum dan peringatan : ”jalur lambat dan jalur cepat”, sebagai arahan bagi pengemudi untuk menyesuaikan kemampuan kecepatan mobilnya.
***
Kejadian di atas merupakan analogi--meski tidak sempurna betul, sebuah regenerasi kepemimpinan yang mandek. Akibatnya banyak sumberdaya yang tidak termanfaatkan secara optimal, khususnya generasi muda yang potensial. Mereka ”menganggur” atau ”mengantri”, menahan ”sejuta rasa” menonton para orang-orang tua berlomba-lomba merebut kekuasan.
Kampanye tebar pesona yang mahal untuk merebut kekuasaan, dipertontonkan oleh mereka yang punya ”duit”—pejabat, mantan pejabat, pengusaha, dan sangat sedikit sekali dari kalangan pemuda. Publikasinya luar biasa dan berlangsung sepanjang tahun, mulai dari kampanye presiden, gubernur, bupati. Kegiatan ini mengisi berita yang cukup besar media kita.
Para pemuda kita seolah dibiarkan terpana menonton dan membaca peliputan korupsi dan menjadi headline di seantero tanah air. Ceritanya persis Cerbung, Cerita Bersambung. Silih berganti. Kasus yang satu tenggelam, muncul lagi kasus korupsi lain. Bahkan orang yang tersangka kasus korupsi, juga masih bisa lolos jadi anggota KPU. Berbagai berita yang ”menggeramkan” lainnya menghiasi media kita, seolah menutup karya-karya generasi muda, yang sebenarnya jauh lebih bernilai dalam konteks pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. .
Alhasil, kita cukup berpuas diri mendengar dan membaca prestasi bangsa-bangsa lain yang anak-anak mudanya dengan cepat maju dan tampil sebagai pionir bangsanya. Saat pengumuman hadiah Nobel untuk beberapa tokoh internasional, kita hanya bisa menonton tanpa sekalipun nama bangsa ini pernah tertoreh. Malu tokh kita, masyak Nobel yang perna kita terima hanya ketika konflik Timor Timur.
Prestasi olah raga kian tahun kian redup. Kalau kita melongok ke luar negeri, penemu Google, dalam usia mereka yang masih sangat muda menemukan mesin pencari tercanggih itu. Sergey dan Larry dua pemuda Amerika yang memiliki ruang yang kondusif mampu melihat sesuatu yang tak terlihat pakar-pakar tua.
Di usia 34 dan 35 tahun dalam waktu tidak lebih dari sepuluh tahun, mereka bisa menjadi urutan teratas dalam kreativias bahkan mampu menaikkan kekayaannya menjadi papan atas di Amerika Serikat. Google saat ini menjadi perusahaan papan atas di Amerika. Publikasi tentang mereka, justru tidak hanya di negara mereka, bahkan media nasional terbesar di negara inipun tertarik membuat cerita mereka setengah halaman beberapa hari menjelang Hari Sumpah Pemuda.
Miri kita melihatnya, dimana menjelang hari Sumpah Pemuda tahun ini media-media kita cukup berbangga mempublikasikan prestasi Singapura yang pertama kali menerbangkan pesawat Airbus A380. Pun dalam dunia pemerintahan, kita tau persis. Negara-negara maju menghasilkan pemimpin-pemimpin muda yang energik. Dalam usia muda, seorang sudah mampu menjadi presiden. Lihat saja Clinton, dalam usia 44 tahun sudah menjadi presiden, Tony Blair, dalam usia yang lebih muda dari Clinton sudah menjadi perdana menteri Inggeris. Orang-orang tua berdiri di belakang menjadi penasehat-penasehat yang bijaksana. Kita justru melihat, pemimpin kita beranggapan, generasi yang usianya seperti saat Clinton atau Tony Blair, belum saatnya memimpin negara ini.
***
Di era kecepatan (velocity era) ini, kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengelola sumberdaya manusia, khususnya para generasi muda. Mampu mengangkat karya-karya besar bangsa. Pemimpin harus tau diri dan memberikan peluang dan apresiasi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih. Sehingga tidak ada sumberdaya yang under used, tidak termanfaatkan sesuai ”kapasitas”nya.
Di era velocity (kecepatan) saat ini para pemimpin dituntut memberikan ruang dan kesempatan bagi generasi muda yang memahami dan mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Seperti tercatat dalam sejarah, generasi muda adalah insan-insan yang memiliki kreativitas, dan kemampuan prima untuk melakukan perubahan dalam mengejar ketertinggalan bangsa, perubahan yang mengeluarkan bangsa ini dari himpitan penjajah. Mereka bergerak di baris terdepan dalam mengambil keputusan-keputusan ”berkecepatan” tinggi. Ini Pada masa-masa kritis, peran pemuda dalam mendobrak perubahan cukup signifikan. Sumpah Pemuda 1928 adalah salah satu diantaranya. Demikian juga perubahan yang terjadi pada 1966 dan 1998.
Perubahan ada ditangan generasi muda dan sangat penting meningkatkan peran dan menghargai karya-karya mereka. Kita perlu kembali merenungkan peringatan Eep Saefullah—pengamat politik Universitas Indonesia dalam bukunya "Provokasi Abad 21". “Perubahan harus dilakukan oleh para pemuda dan jangan berharap bahwa bangsa ini akan berubah hanya mengandalkan pikiran dan usaha para orang tua. Pemuda masa lalu telah melepaskan negeri ini dari penjajahan Belanda. Akan tetapi, ketika para pemuda itu menjadi tua dan tetap memimpin negeri ini yang terjadi adalah sebuah kemunduran moral, material, dan spiritual di sebagian besar manusia Indonesia. Penindasan sistemik terus berlangsung bahkan hanya berganti wajah, kalau dulu dilakukan oleh bangsa asing, maka selama kemerdekaan penindasan dilakukan oleh bangsa sendiri”.
Saya setuju dengan statment di atas. Sejarah memang membuktikannya. Pun, di era informasi ini, karya-karya anak muda sesungguhnya luar biasa. Di dalam negeri terlihat bagaimana generasi muda telah memberikan sumbangan yang besar dalam perkembangan teknologi dan informasi, perubahan-perubahan politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Beberapa politisi muda juga, bahkan di usia 30-an sudah mampu memimpin partai besar.
Tapi aneh. Banyak orang pintar dari kalangan generasi muda kita, lebih nyaman tinggal dan berkarya di luar negeri. Yaya Rukayadi menjadi dosen di Universitas Yonsei, Seoul, seorang professor asal Medan menjadi guru besar di salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Sulit bagi kita untuk mengharapkan mereka kembali ke kampung halamannya. Mereka lebih merasa terhormat di sana. Tidak tertutup kemungkinan para pemenang medali dalam Olimpiade Fisika, Matematika, Biologi, Kimia Indonesia, juga akan mengikuti langkah yang sama, kalau bangsa ini tidak memperdulikan mereka.
Sayangnya, sikap para pemimpin dan masyarakat kita atas prestasi anak-anak muda ini, tampaknya belum bergeser. Meski tidak merupakan analogi yang persis, setidaknya, iklan sebuah merk rokok ”Yang Muda Belum Bisa Bicara”, terus ditayangkan di berbagai stasiun televisi nasional, bisa jadi sebuah realitas sikap di masyarakat kita terhadap generasi mudanya. Dengan semangat mudanya si gadis (diperankan seorang presenter kondang) menjelaskan kondisi sekelilingnya kepada penumpang bus yang membawa penumpang (mungkin bus pariwisata). Sang gadis secara professional sebagai seorang guide menjelaskan kepada penumpangnya informasi tentang daerah yang mereka lalui. Meski demikian dia selalu tidak dihiraukan penumpangnya. Bahkan penumpang tertidur saat dia bicara. Dalam iklan itu, seorang pria beruban dengan mengganti wajah tampilan, namun dengan tetap menggunakan bersuara si guide tadi. Para penumpangnya, kontan memperhatikan penjelasan itu. Barangkali ”persepsi” rakyat kita, entah itu direkayasa atau tidak, memang cenderung lebih percaya pada pria yang beruban dari pada generasi muda (diperankan anak gadis dalam iklan itu). Mengapa?. Wallahu alam!
Ada satu pelajaran yang pantas kita renungkan. Sejarah bangsa kita menunjukkan bukti bahwa di masa lalu para pemimpin yang dulunya ”pemuda” kemudian menjadi ”tua”, tidak mempersiapkan pengganti mereka dengan baik. Pergantian presiden tak luput dari permasalahan.
Bung Karno misalnya. Di tahun 1928 berstatus pemuda, dan kemudian menjadi presiden pertama dan berkuasa selama 20 tahun, lupa mempersiapkan penggantinya, demikian juga presiden Suharto yang sampai berkuasa selama 32 tahun. Bung Karno malah mengukuhkan dirinya menjadi Presiden seumur hidup. Sampai akhirnya turun tahta dengan ”tidak wajar”. Soekarno turun setelah rentetan protes usai pemberontakan G30S PKI, sedangkan Suharto ”mengundurkan diri” bulan Mei 1998, karena tekanan gerakan reformasi. Para pemimpin negara kita di masa lalu bercokol cukup lama sehingga tidak ada regenerasi pemimpin nasional. Pemuda dimasa kepemimpinan mereka tidak pernah menjadi ”tua” atau matang. Malah pengurus di organisasi pemudapun sering didominasi para orang-orang tua. Mereka lupa ini menyebabkan terjadinya ”kemacetan” regenerasi.
***
Sumpah Pemuda ke 79 ini hendaknya dimaknai sebagai sebuah refleksi atas pentingnya mempersiapkan dan memberi ruang kepada generasi muda ke depan untuk mampu menghasilkan karya-karya besar dan selanjutnya membawa mereka menduduki jabatan-jabatan penting dengan proses yang benar. Kita tidak mengharapkan mereka tampil dengan ”karbitan” dan kemudian maju ke puncak kekuasaan karena kecelakaan akibat ”kemacetan”.
Runtuhnya Orde Baru, ternyata menyisakan persoalan pada lemahnya sumberdaya partai, karena muncul secara tiba-tiba. Akibatnya, ada yang hanya lulusan SMP kemudian menjadi ketua partai dan selanjutnya menjadi ketua DPRD. Adalah lebih baik, kalau para pemimpin sekarang ini mempersiapkan penggantinya, ketimbang terlindas karena ”ditabrak” atau ”disalip” karena ”kelebihan energi” dan kemampuan generasi muda yang tidak tersalurkan sesuai porsinya.
Khususnya di era pasca reformasi ini, dalam mempersiapkan para pemimpin yang menduduki jabatan strategis dan politis sifatnya, pemimpin partai politik diharapkan mengoptimalkan partai sebagai mekanisme yang benar sebagai wadah bagi pemuda dalam menjalani proses mematangkan dirinya untuk memimpin.
Seharusnya Partai menjadi sebuah wadah sekaligus fasilitator karya-karya besar anak-anak muda bangsa ini. Sayangnya, Partai politik tidak mau belajar atas begitu besarnya potensi sumberdaya manusia bangsa ini. Ini bisa jadi karena mekanisme pengkaderan tidak jelas dan transparan, sehingga kurang mampu mendorong para generasi muda yang memiliki kemampuan.
Kesan kami, khususnya partai yang memenuhi persyaratan, tidak selamanya ”berani” atau ”mau” mencalonkan kadernya sendiri. Padahal, saat memilih di kotak suara, rakyat tidak hanya memilih partai—faktor profil kader-kader partai juga menjadi salah satu penentu. Mereka mengharapkan kader-kader partai tersebutlah yang akan jadi pemimpin mereka. Hanya melalui proses seperti inilah kaum muda berkesempatan diproses menjadi calon pemimpin yang benar-benar dipilih rakyat. Partai politiklah satu-satunya yang diharapkan mampu secara sistematis dan berkelanjutan menghasilkan pemimpin besar. Karena yang diinginkan rakyat bukanlah seorang pembeli kekuasaan!.
Apalah artinya partai kalau tokh dalam menetapkan pemimpin strategis dan bersifat politis, yang nantinya langsung melayani rakyatnya harus dari luar partai?. Apakah itu tidak mendemotivasi para pemuda yang kebetulan duduk sebagai anggota atau pengurus partai, yang sebenarnya sudah cukup matang menjadi pemimpin?.
Barangkali ketidakberesan proses seleksi pemimpin menjadi salah satu sebab mengapa reformasi yang sudah memasuki usia sepuluh tahun, kemampuan generasi muda yang ”bersih dan berwibawa” untuk maju sebagai calon pemimpin rakyat, belum secara optimal tampak ke permukaan. Perjuangan generasi muda untuk dicalonkan partai sebagai ”kapal” menuju pencalonan tidak cukup bermodalkan ”kemampuan kepemimpinan”, tetapi juga membutuhkan ”ongkos” yang tidak kecil.
Tidak berlebihan kiranya menyarankan agar partai lebih mengamalkan kedaulatan rakyat yang dimilikinya, sehingga potensi pemuda di lingkungan partai secara sistematis dan berkelanjutan dapat memunculkan generasi muda menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh yang nantinya memegang jabatan-jabatan politis.
Di era velocity (kecepatan) yang sedang kita jalani sekarang ini menuntut kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya manusia yang memiliki energi, dinamika, dan intelektualitas yang tinggi. Krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu belum recovery sepenuhnya, tidak bisa teratasi dengan cara yang ”biasa-biasa” saja apalagi dengan sikap”inkonsistensi”.
Terobosan kreatif—yang melibatkan para anak-anak muda, generasi muda adalah syarat mutlak. Percepatan yang terjadi dalam segala bidang kehidupan dan krisis yang dialami bangsa ini, jangan sampai mengulangi lagi ”kemacetan-kemacetan” regenerasi yang pernah terjadi, dan membuat kita terus terpuruk. SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA KE 82. (Artikel ini pernah dimuat di Majalah Sauhur, Medan Edisi II Oktober 2007).