Oleh : Jannerson Girsang.
Sumber foto: etwien-budi.blogspot.com
Sadarlah para pemimpin negeri ini, bahwa bekerja setengah hati tidak akan membuat diri nyaman tetapi menyakitkan banyak orang. Sebaliknya bekerja sepenuh hati akan menyenangkan kita semua.
Pembicaraan dengan seorang tukang urut langganan saya sejak tiga tahun terakhir ini benar-benar menyentuh perasaan saya. Betapa pekerjaan yang setengah-setengah hati berdampak tidak baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Dia seorang ayah dari dua anak berusia sekitar tiga puluhan. Yang tertua berusia 12 tahun. Orangnya sangat menyenangkan diajak bicara dan dia suka curhat saat mengurut saya.
Dalam kisahnya, beberapa waktu lalu dia bercita-cita menanam kopi di atas lahan satu hektar di kampungnya. Harapannya, bila kopinya sudah berbuah akan memberikan penghasilan tambahan baginya di samping penghasilannya sebagai tukang urut di kota. Dia terdorong menanam kopi karena menyadari, penghasilannya sebagai tukang urut ke depan tidak akan mampu membiayai keluarganya, khususnya kalau anak-anaknya nanti sudah semakin besar. Sementara dia ingin agar kedua anaknya bisa menginjak bangku kuliah seperti anak-anak lainnya.
Untuk itu dia mengumpul sejumlah uang. Ternyata sebagai tukang urut, dia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi kecil-kecilan di kampung. Memenuhi harapan itu, dia membuat rencana mulai dari pembersihan lahan, pengolahan, hingga penyediaan bibit dan pupuk, serta orang-orang yang akan mengerjakannya. Dia juga menghabiskan uang bolak-balik ke kampungnya untuk mengurus penanaman kopi itu.
Empat orang penduduk kampung dikerahkannya dalam persiapan untuk mewujudkan cita-citanya. Para pekerjanya itu terdiri dari orang tua dan anak-anak dari satu keluarga di kampungnya. Kebetulan tukang urut saya memiliki hubungan famili dengan mereka.
Keluarga ini sudah bersedia mengerjakan rencana penanaman kopi itu selama satu bulan penuh. Sebagai keluarga yang pekerjaannya memburuh di ladang orang, merekapun sudah menolak semua pekerjaan pada bulan itu. Janjinya, tukang urut saya akan menggaji mereka bekerja di ladangnya selama sebulan penuh.
Para pekerja itu tidak lagi menerima pekerjaan lain, kalau pekerjaan mereka belum selesai hingga penanaman kopi selesai. Kedua pihak sepakat dan pekerjaan dimulai. Tapi tentunya tidak pakai kontrak seperti di perusahaan-perusahaan besar.
Tugas pembersihan lahan berjalan dengan baik dan si pekerja yang digajinya itu bekerja sepenuh hati. Hanya dalam beberapa hari pembersihan lahan selesai.
Permasalahan justru terjadi pada tukang urut saya. Berbeda para pekerja yang digajinya, dia mengaku di tengah jalan dia berubah pikiran. "Saya ragu, kalau uang saya nanti tidak cukup untuk menutup biaya sampai kopi berbuah. Secara sepihak, saya menghentikan pekerjaan itu. "ujarnya.
Rasa ragunya juga membuatnya pusing, bahkan tidak berani segera memberitahukan perubahan pikirannya itu kepada pekerja yang digajinya. "Saya malah tidak mendatangi mereka, dan hanya berfikir-fikir saja" ujarnya.
Beberapa hari para pekerjanya menunggu dan menunggu. Selama itu mereka tidak bekerja dan tidak mendapat penghasilan. Hingga beberapa hari kemudian, tukang urut saya mendatangi mereka dan memberitahukan perubahan rencananya. Apa yang kemudian diperolehnya bukan sesuatu yang menyenangkan.
Ketidakseriusannya, membuat para pekerjanya merasa rugi dan marah. "Para pekerja saya marah besar dan sayapun merasa tidak nyaman. Uang habis, dapat cacian pula," ujar tukang urut saya sedih, sambil menyeka keringatnya dengan kain lap.
"Kalau sesuatu kita kerjakan tidak sepenuh hati, hasilnya seperti ini. Uang habis dan orang-orang sakit hati," ujarnya. Dia mengaku uang simpanannya beberapa tahun hilang begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa.
Ada pelajaran berharga dari kisahnya. "Dia mengerjakan sesuatu dengan setengah hati dan ragu-ragu, tidak hanya membuat dirinya susah dan kecewa, tetapi juga membuat orang lain sakit hati, khususnya pekerja-pekerja yang bekerja dengan dia"
Sayapun tidak ingin hanya kisah sepihak, kisah sedih dari sebuah pekerjaan yang dia kerjakan setengah hati. Lantas, pembicaraan informal itu saya alihkan tentang kisah dua orang anak muda yang berhasil menjadi pengusaha besar karena bekerja dengan sepenuh hati.
Meski dia tidak begitu paham, tapi saya yakin kisah saya juga bisa menguatkannya. Pasalnya kisah itu berasal dari sebuah buku yang mungkin belum pernah dibaca maupun didengarnya. Tokohnya adalah Sergei Brin dan Larry Page, pendiri perusahaan mesin pencari (searching machine) Google.
"Apa itu Google," tanyanya serius. Saya tidak begitu peduli pertanyaannya itu. Karena kalaupun saya jelaskan dia pasti tidak mengerti. Saya bercerita panjang lebar, bagaimana Sergei Brin dan Larry Page hingga berhasil.
Apa yang ingin saya nasehatkan kepadanya adalah bahwa kedua tokoh di atas bekerja dengan sepenuh hati, mengatasi masalah yang muncul di tengah perjalanan rencana mereka. Mulai dari permodalan, cara mengatasi masalah listrik, tenaga yang mereka butuhkan, serta dorongan semangat atas diri mereka serta orang-orang yang bekerja bersama mereka.
Diapun menghentikan sejenak pekerjaannya ketika saya bercerita soal penghasilan kedua orang itu.
"Sejak keduanya mendirikan Google pada 1998, perusahaan ini memperoleh penghasilan lebih dari USD 26 milyar per tahun. Tidak hanya itu, mereka mempekerjakan dan membuat bahagia ratusan ribu orang serta mencerahkan miliaran orang pengguna internet di seluruh dunia,"ujar saya.
Dia terpukau mendengar kisah ini dan mencoba menyimpulkan kisah yang saya ceritakan. Kesimpulannya kira-kira begini. "Orang yang bekerja sepenuh hati, akan menuai perasaan senang bagi dirinya sendiri, serta orang lain.
Sambil melanjutkan pekerjaannya mengurut di bagian kepala saya dia berujar: "Akh, kalau saya sudah cukup uang, saya akan mengerjakan kebun kopi dengan sepenuh hati. Saya pasti akan menyenangkan pekerja itu kembali".
Saya yakin, dia pulang dan hatinya dikenyangkan oleh prinsip. "Kalau mengerjakan pekerjaan dengan setengah hati tidak hanya mengecewakan diri sendiri, tetapi juga menyakiti orang lain. Sebaliknya, bekerja sepenuh hati, hasilnya akan menyenangkan diri sendiri dan orang lain".
Mudah-mudahan kisah kecil di atas mengingatkan para eksekutif, legislatif, yudikatif di setiap tingkatan di negara ini. Seriuslah menangani Kasus Century, Nazaruddin, Gayus dan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini.
Sadarlah bahwa ketidakseriusan anda, sikap ragu-ragu anda bekerja akan menyebabkan anda tidak nyaman, terlebih lagi masyarakat akan menderita. Bila anda bekerja serius dan sepenuh hati, maka rakyat akan senang, anda akan merasa nyaman. Kita semua akan berbahagia. ***
Penulis Biografi, Tinggal di Medan