My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Kutu Loncatkah Mereka?






 Jannerson Girsang.

Cocok kam rasa kalau politisi yang berpindah-pindah partai disebut kutu loncat? Itulah pertanyaan seorang teman dari suku Karo ketika secara berseloro menyematkan kata itu bagi tokoh yang berpindah partai. Idiom ini memang banyak disematkan untuk para tokoh politik yang pindah dari partai yang satu ke partai lainnya, karena sudah tak mungkin lagi duduk di DPR.

Saya kaget, sebelum menjawab pertanyaan teman di atas. Pasalnya, penggunaan kata kutu loncat itu sebenarnya berkonotasi negatif. Kutu loncat biasanya meninggalkan tanaman yang diserangnya: kering dan lambat tumbuh. Banyak pihak menyebut pindah partai itu hal yang wajar saja.

Loncat: Mengisap, Kemudian Membiarkan Tanaman Kering

Aa itu kutu loncat? Saya pernah belajar Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman (IHPT) di Institut Pertanian Bogor (IPB) era 80-an. IHPT mengajarkan bahwa kutu loncat adalah hama, perusak tanaman. Ilmu ini memasukkan kutu loncat sebagai serangga kecil yang merupakan anggota suku Psyllidae.

Setiap jenis kutu loncat menyerang tanaman tanaman yang khas dan menunjukkan jenis kutu loncatnya. Makanya ada kutu loncat lamtorogung (Heteropsylla spp) dan kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)l. Anda pasti pernah mendengar serangan hama kutu loncat terhadap tanaman lamtorogung, jeruk dan tanaman lainnya.

Kutu loncat biasanya pindah ke lokasi atau tanaman lain kalau cairan yang dibutuhkannya dari tumbuhan di tempatnya habis, dia meloncat ke tumbuhan lainnya. Dia bergerak lincah dan aktif. Misalnya kutu loncat jeruk sangat aktif meloncat dan mengisap cairian tanaman. Kalau kutu loncat menyerang jeruk, akibat yang ditinggalkannya adalah tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat.

Kutu Loncat dalam Kamus Politik Indonesia

Gelar kutu loncat bagi para politisi yang berpindah partai seperti yang dipertanyakan teman saya di atas memaksa saya mencoba memutar otak mencari referensinya dalam politik.

Kutu Loncat sudah masuk kamus politik di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama. Setidaknya pada tahun 1986 istilah ini muncul dari tokoh partai PDI Suryadi. "Menanggapi pandangan bahwa orang yang berpindah partai disebut sebagai kutu loncat atau bajing loncat Ketua DPP PDI Suryadi (Partai demokrasi Indonesia Suryadi mengatakan bahwa berpindah partai politik itu hal yang wajar saja". (Karikatur Kompas 16 September 1986 dalam buku 40 Tahun Om Pasikom, 2007).

Dalam buku Sikap Politik Tiga Konstestan, Burhan Magenda (1992) yang mengutip pendapat Suryadi mengatakan, "…..kini, tidak pantas lagi orang mengatakan seseorang yang berpindah partai disebut tidak memiliki pendirian (kata halus dari kutu loncat, Red.)," ujar Soerjadi dan menambahkan: "Itu semua merupakan proses demokrasi….".

Karakter yang ditunjukkan kutu loncat memang bermakna negatif. Dalam bukunya State of Authority, van Klinken (2009) menyebut Kutu Loncat dengan opportunist, tidak memiliki pendirian.

Buku Indonesian Idioms and Expression, Christopher Torchia (2007) menjelaskan kutu loncat sebagai someone who bounces from one job to the next like a louse that dancing in the lock of hair (seseorang yang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya seperti kutu yang menari dalam seikat rambut).

Bulan Januari 2013 media rame-rame memberitakan perpindahan tokoh-tokoh dari satu partai dan loncat ke partai lain. Empat hari setelah rombongan Hary Tanoesudibyo loncat dari Partai NasDem, 24 Januari 2013, Enggartiasto Lukita, tokoh partai Golkar mundur dari partai itu dan loncat ke Partai NasDem. Enggar sudah menjadi kader partai itu sejak 1979 dan dan menikmati keanggotaan DPR-RI sejak 1997. Enggar mengungkapkan ke media bahwa beberapa kader Partai Golkar akan menyusulnya.

Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin, mengingatkan: "Jika tidak ada penyebab prinsipiil terkait idealisme, berarti kepindahannya itu memang demi meraih keuntungan pragmatis. Jadi bukan hanya karena sakit hati, tidak suka dengan orang per orang, atau tidak punya peluang di posisi partai atau calon legislatif saja. Artinya hanya karena alasan ideologis saja, bukan meraih keuntungan praktis saja orang boleh berpindah partai". (Kompas, 25 Januari 2013).

Istilah kutu loncat memang berkonotasi negatif. Kutu loncat itu mengisap, kemudian meninggalkan mangsanya. Jeruk yang terserang kutu loncat: tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhan terhambat. Kalau seorang tokoh partai sudah mengisap, memperoleh keuntungan dari partai sebelumnya, kemudian meninggalkan partainya kering dan pertumbuhannya terhambat, maka karakternya sama dengan karakter kutu loncat!. Prakteknya di lapangan, kita serahkan waktu yang akan menjawabnya.

Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa,  Minggu, 17 Feb 2013.

Pelajaran dari Banjir Jakarta Membuang Sampah ke Sungai, Apa Kata Dunia?

Oleh: Jannerson Girsang

Banjir yang merendam ibukota negara Indonesia yakni Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi warga Kota Medan perihal bahaya membuang sampah atau limbah ke sungai. Salah satu penyebab banjir di Jakarta adalah perilaku buruk warganya yang tidak mengindahkan larangan membuang sampah ke sungai, serta kurangnya perawatan dan manajemen limbah. Akibatnya, sedimen dan limbah padat terkumpul di saluran-saluran air dan merupakan sebagian penyebab banjir di Jakarta.
Jokowi telah melarang penduduknya membuang sampah ke sungai, Medan juga wajib melakukannya. Kota berpenduduk 2 juta jiwa lebih ini saatnya mengambil hikmah momen bencana banjir di Jakarta untuk secara sadar mengampanyekan jangan membuang sampah dan limbah ke sungai atau parit. Dalam jangka panjang, seperti pengalaman di Jakarta, membuang sampah dan limbah ke sungai akan menimbulkan bencana.

Sebelum banjir terjadi di Jakarta, di hari ke-76-nya sebagai Gubernur DKI, Jakowi memerintahkan agar warganya jangan membuang sampah ke sungai. "Jokowi: Jangan Buang Sampah ke Sungai Biar Sedimennya Nggak Banyak", seperti diberitakan sebuah media ibu kota. Sedimen maksudnya endapan sampah atau limbah padat yang masuk ke sungai.

Imbauan itu muncul ketika Gubernur Jokowi meninjau Kali Ciliwung di depan pusat belanja Pasar Baru, Jakarta Pusat. Menurut Jokowi, masalah sungai di Jakarta ini terlalu banyak endapan sampah. "Di semua sungai sama. Nggak di Ciliwung, Angke, sedimennya. Hanya coba dilihat, dikeruk, bisa 2 meter ke bawah. Rencana tahun depan hampir semua kali begitu. Budaya buang sampah harus dikampanyekan. Di 13 sungai begitu juga," ujar Jokowi, 30 Desember 2012 (www.detik.com).

Perintah itu meluncur kurang dari tiga minggu sebelum banjir besar itu. Pesannya mengingatkan seluruh penduduk kota bahwa perilaku buruk membuang sampah ke sungai harus dihentikan. Imbauan yang sama tentu berlaku juga bagi penduduk Kota Medan yang masih memiliki perilaku buruk menambah sedimen di sungai dan parit.

Perilaku ini masih menjadi pemandangan sehari-hari yang kasat mata. Dalam beberapa jam saja, Anda bisa mengamati beragam perilaku buruk di seantero kota.

Sebuah sepeda motor berhenti dan kedua penumpangnya turun di dekat sebuah jembatan di atas sebuah sungai kecil di bilangan Simalingkar. Sebuah karung plastik berisi sampah dilemparkan ke sungai kecil tidak jauh dari rumah saya. Kemudian keduanya naik sepeda motor dan meluncur.

Sungai akan makin penuh dengan sampah. Padahal, hanya beberapa meter dari jembatan itu, Pemko Medan sudah menyediakan tempat pembuangan sampah yang setiap hari diangkut truk.

Di sebuah proyek pembangunan perumahan buldozer tanpa ampun meratakan tanah bekas pepohonan. Selain menghilangkan penutup tanah yang dapat menahan erosi, buldozer itu juga menyebabkan perataan tanah rentan kepada erosi yang membawa sedimen tanah ke sungai.

Sungai menjadi keruh dan penuh dengan sedimen tanah. Lambat laun sungai makin dangkal.

Padahal, setiap proyek perumahan dilengkapi dengan AMDAL, termasuk erosi yang ditimbulkannya, serta pencemaran bahan beracun lainnya.

Di tepian Sungai Deli, saya masih bisa menyaksikan para warga yang langsung membuang sampahnya ke sungai. Seorang pencuci piring mengumpulkan sisa nasi di dalam sebuah ember. Dengan ringan langkah, dia membuangnya ke sungai dan terlihat merasa puas. Padahal, Pemko sudah menyediakan pengutipan sampah melalui perahu.

Penduduk tidak sadar bahwa sungai-sungai itu adalah tempat keluarnya air ke laut dan kalau keseimbangannya terganggu akan menjadi ancaman bagi seluruh warga. Medan dan sekitarnya dilintasi beberapa sungai, yaitu Sungai Belawan dengan anak sungainya, Sungai Badera, Sungai Deli dengan anak sungainya Sungai Babura, Sikambing dan Sungai Putih; Sungai Kera, Sungai Percut, Sungai Tuan; Sungai Pantai Labu, Sungai Serdang dengan anak sungainya Sungai Belumai, Sungai Batugingging dan Sungai Kuala Namu. Sungai-sungai tersebut bersama sejumlah saluran drainase membentuk sistem drainase makro di Medan.

Bank Dunia mengatakan banjir di Jakarta, sebagian disebabkan oleh kurangnya perawatan dan manajemen limbah mengakibatkan terkumpulnya sedimen dan limbah padat di saluran-saluran air tersebut. Selain itu, urbanisasi yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama banjir di Jakarta. Pembangunan gedung dan pemukiman illegal di daerah-daerah resapan air menghambat aliran air hujan dan mengurangi kemampuan lingkungan untuk menyerap air hujan, baik di dalam kota maupun di daerah-daerah hulu resapan.

Dahsyatnya Air Mengamuk
Alpanya warga dan pemerintah kota menjaga kapasitas aliran air sungai membuat sungai bisa mengamuk. Bukan hanya harimau atau gajah yang mengamuk, sungaipun bisa. Pernahkah Anda berpikir, sungai juga bisa marah dan kapan dia marah?

Air sungai yang tenang itu menjadi sahabat di kala keseimbangan terpelihara. Kapasitasnya mengalirkan air sama atau lebih kecil dari volume air yang masuk. Keseimbangan itu bisa terganggu, kalau sampah dan limbah tertimbun di sungai, dialiri air dari hulu, curah hujan besar di sekitar sungai. Sungai akan marah dan menolak air mengalir melalui sungai dan membiarkannya meluber ke sekelilingnya secara membabi buta, tanpa peduli itu Istana Negara, perumahan mewah atau kumuh. Semua dilabrak.

Di kota-kota bila air mengamuk, maka dia akan menggenangi kota, menutup jalan raya. Ketika banjir di Simalingkar, Medan dua tahun lalu, jembatan dekat rumah kami tergenang air.

Kendaraan bermotor tidak bisa lewat. Untuk membeli makanan saja tidak bisa. Bahkan air bisa memaksa Bandara Cengkareng menunda 1.000 penerbangan.

Basemen sebuah perusahaan terlihat menjadi sebuah bendungan yang terisi air dan menimbulkan arus besar yang bisa menyedot bahkan membunuh manusia. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana air mengamuk di basemen UOB saat peristiwa banjir di Jakarta. Ruangan yang sehari-hari menjadi tempat parkir yang nyaman tiba-tiba menjadi arena amuk air yang marah. Bahkan peristiwa itu mengakibatkan dua orang tewas.

Sungai yang marah bisa membuat perumahan mewah seperti neraka. Penduduknya hanya bisa keluar menumpang perahu karet, seperti yang terjadi di Pluit Jakarta baru-baru ini. Penghuninya dipaksa meninggalkan rumahnya. Salah satu kawasan yang masih tergenang banjir hingga Minggu, 20 Januari 2013 adalah Pluit, Jakarta Utara. Tak hanya rumah, air juga merendam mobil-mobil mewah di kawasan perumahan elit ini. Anak-anak tidak bisa sekolah, keluarga panik. Layaknya situasi perang melawan air, bahkan harus tinggal di pengungsian.

Air yang marah bisa memaksa para pekerja tidak pergi ke kantor, perusahaan-perusahan akan merugi dan kegiatan ekonomi lumpuh. Mal-mal yang beromset miliaran rupiah per hari, terpaksa ditutup karena tergenang air. Belum lagi masalah-masalah ikutan yang muncul kemudian hari.

Penutup
Penduduk Medan harus menyadari kerugian akibat banjir sangat fantastis. Bank Dunia melaporkan bahwa banjir besar di Jakarta pada tahun 2007 berdampak kepada lebih dari 2,6 juta orang, dan membuat 340.000 orang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Pada tahun itu 70 orang meninggal dan lebih dari 200.000 orang terkena penyakit akibat banjir. Kerugian ekonomi dan finansial yang diderita diperkirakan mencapai US$ 900 juta.

Melihat cakupannya yang lebih luas, kerugian akibat banjir di Jakarta tahun ini akan lebih besar dari angka-angka ini!. Sebuah televisi swasta 21 Januari 2013 melaporkan bahwa diperkirakan kerugian akan menjapai Rp 15 triliun. Angka yang sangat fantastis.

Kita tidak ingin Medan tenggelam oleh suksesnya membangun kota. Sebuah media asing The Atlantic Cities (17 Januari 2013) menyindir Jakarta dalam sebuah artikelnya berjudul Flooding in Jakarta: A City Swamped by Its Own Success, Banjir di Jakarta: Sebuah Kota yang Tenggelam oleh Suksesnya Sendiri". Medan tidak harus tenggelam karena pembangunan yang tidak pro-ekologi, tidak memperdulikan kapasitas aliran sungai, merawat sungai dan lingkungannya.

Sebuah tantangan berat bagi Pemko Medan agar selain melakukan sosialisasi membuang sampah pada tempatnya, Pemko bersama masyarakat tidak boleh berhenti menambah fasilitas bak truk sampah di dekat kali. Program pengutipan sampah melalui perahu, dan lain-lain terus dilanjutkan.  Hari gini masih buang sampah ke sungai, apa kata dunia?.

Dimuat di Rubrik Wacana Harian Medan Bisnis, Selasa, 22 Jan 2013

Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun" (Harian Analisa, 22 Januari 2013)


Oleh: Jannerson Girsang.

Sukses seorang wartawan bisa diukur dari berbagai sudut pandang. Harmoko misalnya, dari kariernya menjadi wartawan bisa menjadi menteri Penerangan di masa Orde Baru, Dahlan Iskan, selain sukses menjadi pengusaha media, juga berhasil menduduki jabatan Menteri di Kabinet Bersatu Jilid 2 Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Karny Illias sukses menjadi wartawan media cetak, di era media televisi berjaya, juga sukses menjadi seorang pembawa talkshow Jakarta Lawyers Club (JLC) di salah satu media televisi swasta.
Ali Soekardi, tidak memiliki sukses setenar mereka. Dia terpanggil menjadi wartawan sejati. Menulis cerpen, artikel-artikel dengan berbagai sudut pandang dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Analisa hingga mencapai usia delapan puluh tahun. Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Kekayaannya adalah pengalaman dan daya ingatnya yang kuat. Dia menjadi saksi sejarah perjalanan pers di daerah ini. Di saat kebanyakan orang beristirahat menikmati masa tuanya, dia memilih aktif sebagai wartawan, penulis dan memegang jabatan penting di jajaran redaksi.

Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku para wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi.

Dari seorang pria berusia 80 tahun itu, saya dan para pembaca Harian Analisa masih menikmati tulisan-tulisannya dan bisa menemuinya dari pukul 09.00-12.00 di ruang kerjanya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Analisa di Jalan A Yani Medan. Dia kaya akan ide dan karyanya membuat para pembaca kaya ilmu. Tentu berbeda dengan koruptor yang hanya mampu membagi-bagi uang menjadikan orang kaya dari hasil curian.

Acara Sederhana dan Hikmat

Hadir di tengah-tengah kesederhanaan peluncuran buku biografi seorang wartawan senior menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai mantan wartawan.

18 Januari 2013, beberapa hari setelah Ulang Tahunnya ke-80, sebuah perhelatan digelar di ruang pertemuan Badan Perpustakaan Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara (Baperasda Sumut). Dari pintu masuk ruangan tampak di dinding sebelah kanan (Baperasdasu) sebuah spanduk dengan tulisan: "Peluncuran Buku 80 Tahun Ali Soekardi: Semangat yang tak Kunjung Padam".

Ruangan yang dipenuhi sekitar 50-an undangan terdiri dari penulis, wartawan, serta para tokoh-tokoh di Provinsi ini, serta istri, anak-anak dan cucu-cucunya keluarga besarnya menanti acara peluncuran dan berharap akan menguak misteri kehidupan Ali Soekardi dalam buku.

Di antara para undangan yang hadir diantaranya Muhammad TWH, Mohammad Yazid (mantan Ketua PWI Sumut), War Djamil (wartawan senior Harian Analisa), Parlindungan Purba, SH (Anggota DPD utusan Sumut), Saiful Syafri (mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemprovsu), Chandra Silalahi (Sekretaris Baperasda Sumut, Sofyan Tan (Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia, IPI), JA Ferdinandus seorang pegiat pluralis, serta para penulis di Sumatera Utara.

Di spanduk yang terpampang di dinding, terlihat wajah masa mudanya di sampul depan buku. Wajah yang memancarkan pria yang lembut dan melankolis. Tetapi, di balik penampilan luarnya, Ali Soekardi adalah seorang "kamus berjalan" yang menjadi saksi sejarah khususnya sejarah pers di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya.

Di tengah-tengah acara, para cucunya menghadiahkannya sebuah karikatur tentang dirinya. Ali Soekardi tampak bahagia dan menciumi satu-satu anggota keluarganya. Istrinya Soemiati menyaksikannya dengan rasa bangga dan haru.

Sebelumnya, menyambut Ulang Tahunnya ke-80, Harian Analisa juga menggelar acara di kantor Harian terbesar di Medan itu. Kamis (17/1) di ruang lantai 4 kantor Analisa suasana tidak seperti biasa. Ya, ada acara khusus. Syukuran sekaligus peluncuran buku "80 Tahun Ali Soekardi, Semangat yang Tak Pernah Padam".Acara itu dihadiri langsung unsur pimpinan "Analisa" yakni Pemimpin Umum Supandi Kusuma, Pemred H. Soffyan, Managing Editor Paulus M. Tjukrono, Pemimpin Perusahaan Sujito Sukirman dan Sekretaris Redaksi War Djamil serta para redaktur/asisten, wartawan dan karyawan. (Harian Analisa, 18 Januari 2013).

Membaca Menumbuhkan Minat Menulis

Selama tiga jam, berlangsung diskusi proses penulisan buku serta tanggapan para undangan terhadap buku itu. Kisah penulisan buku ini sendiri cukup menarik. Berawal dari selembar catatan seorang cucunya, Rizal Surya, Redaktur Harian Analisa, kemudian merangkai perjalanan hidupnya menjadi sebuah buku biografi setebal 157.

Buku biografi Ali Soekardi membawa kita ke kehidupan masa kecilnya yang cukup berliku. Pria kelahiran Tebing Tinggi 4 Januari 1933 adalah anak pasangan B Soekardi dan Warisah. Dia lahir ditengah keluarga yang memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan demi pendidikan anak-anaknya, ayahnya harus meninggalkan pekerjaannya sebagai "kerani" di perkebunan karet di pedalaman dan menjadi pedagang kecil di Tebing Tinggi. Alasannya, meski pendapatan di sana lebih besar, tetapi di tempatnya bekerja tidak tersedia sekolah.

Ali Soekardi menyelesaikan Sekolah Rakyat (Holland Inlandsche School, HIS) di Tebing Tingggi. Ayah yang kini dikaruniai tujuh orang anak dan 12 cucu ini, menempuh pendidikan SMP di Pematangsiantar. Selama belajar di Pematangsiantar, membaca menjadi bagian hidupnya semasa sekolah di sana. Warung yang menyediakan buku-buku bacaan untuk disewa menjadi tak terpisahkan dari kehidupannya. Perkembangannya kemudian, dia tidak hanya membaca buku-buku saja, tetapi sudah mulai membaca surat kabar.

Minatnya menulis telah tumbuh di era 40-an. "Ali ingin sekali menjadi pengarang seperti pengarang buku yang dibacanya. Ia menganggap para pengarang adalah orang pintar karena mampu menulis dengan baik,"demikian buku Biografinya.

Di usia remajanya, Ali Soekardi mulai menulis lelucon, teka-teki dan sajak dan dimuat di Dukasusi (Dunia kanak-kanak Sumathora Shimbun, sebuah harian yang terbit di masa penjajahan Jepang. Meski tinggal di Tebing Tinggi, tetapi Ali sudah mengirimkan tulisan-tulisannya ke Majalah Indonesia di Jakarta, kemudian Majalah Waktoe di Medan.

Dia cukup bangga ketika cerpen pertamanya dimuat di Majalah Waktoe—majalah berita bergambar yang terbit di Jakarta pada 1948, atau di usianya 17 tahun. Sayangnya, Ali kurang berhasil dalam pendidikannya. Karena tidak menguasai Aljabar dan Matematika, dia tidak bisa naik kelas di IMS (Indishce Middle Barre School), setingkat SMP di Pematangdiantar. Tidak lulus, bukan berarti sekolah dan kariernya berhenti.

Atas ajakan seorang gurunya yang mendirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Medan, Ali Hijrah ke Medan dan menjadi titik balik penting dalam kehidupannya kemudian. Dia menyelesaikan SMEP dan SMEA di Medan.

Kemudian hijrah ke Bandung melanjutkan sekolahnya. Awalnya diterima sebagai pegawai di Bank Tabungan Pos, tetapi pekerjaan itu ditinggalkannya karena kemudian diterima di Akademi Pos. Kuliahnya di Akademi Pos, ternyata tidak segairah minatnya untuk menulis. Selama kuliah di Bandung, Ali lebih tertarik untuk merangkai kata-kata menjadi cepen dan dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung.

Karier Jurnalistik

Karier jurnalistiknya diawali dengan menangani rubrik "Pentas" di Harian Waspada, kemudian Tabloid Waspada Taruna, Mimbar Teruna (dibredel pemerintah Orde Orde Lama), Harian Angkatan Bersenjata (selama sebulan), pindah lagi ke Mingguan Gelora Angkasa (milik Angkatan Udara) tutup. Dia seangkatan dengan Bokor Hutasuhut, seorang penulis terkenal daerah ini.

Selain menjadi wartawan, Ali Soekardi juga menulis buku dari karya-karyanya yang pernah diterbitkan. Tahun lalu Ali Soekardi meluncurkan buku berjudul: Catatan Kenangan, kumpulan tulisannya di harian Analisa dan mengisahkan pengalamannya di lapangan sebagai wartawan.

Dua pembahas J Anto dan War Jamil serta beberapa kata sambutan menggambarkan Ali Soekardi sebagai orang yang sangat dispilin, selalu membuat catatan peristiwa, teliti memeriksa bahasa dan akurasi berita, memilik pengetahuan yang luas, serta keingingannya untuk belajar melalui membaca. Menulis berita atau artikel adalah mengangkat soal kemanusiaan. Sebuah sikap yang seharusnya dimiliki para penulis dan wartawan.

Ali Soekardi terpanggil menjadi wartawan. Profesi wartawan bagi Ali Soekardi sudah merupakan fitrah bagi dirinya. "Ia sudah menjadi pegawai bank, kemudian sekolah di akademi pos, namun panggilan jiwanya tetap menjadi wartawan," ujar J Anto, seorang pengamat media dan penulis di Sumut.

Selama karier jurnalistiknya, Ali Soekardi telah menjelajah berbagai Negara di dunia ini. Pernah berkunjung ke Malaysia dan diterima PM Menteri Negara Itu, Tun Abdul Razak, mengunjungi Jerman, ke Harian Asahai Shimbun harian kedua terbesar di Jepang, ikut dalam delegasi Sumut dalam Pertemuian Kerja Sama Melayu Islam ASEAN di Bankok, berkunjung ke Mesir bersama rombongan PWI Sumut dan lain-lain.

Dia juga menerima berbagai penghargaan seperti Pemenang Pertama Sayembara Menulis Tajuk Rencana dari Gubernur Sumut EWP Tambunan. Atas jasa-jasanya dan dedikasinya dalam pengembangan Seni dan Budaya, Ali Soekardi mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar (1998). Tentunya masih banyak penghargaan lain yang tak sempat disebutkan disini.

Ali Soekardi adalah seorang wartawan yang rendah hati. Pengalamannya yang malang melintang di dunia jurnalistik tiga zaman ini hanya merendah. "Saya merasa hanya wartawan biasa saja sama seperti yang lain,"ujarnya dalam sambutan singkatnya mengawali peluncuran buku tersebut.

"Saya sangat mengagumi Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Belum ada yang menyaingi keberanian mereka mengritik dalam tulisan-tulisannya," ujarnya dalam pembicaraan singkat, usai acara peluncuran bukunya.

Dia mengungkapkan dalam bukunya, kunci menjadi seorang wartawan sukses adalah ada motivasi untuk maju dan berkembang. "Caranya adalah terus belajar dan membaca. …Wartawan yang baik harus belajar ndan membaca. Membaca apa saja, sebab wartawan harus tau perkembangan zaman. Wartawan yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan mati sendiri".

Apa yang mendorongnya terus melakukan pekerjaan menulis dan jurnalistik? Di dalam pikirannya, pengarang atau penulis adalah orang-orang pintar, menulis membuatnya mempertahankan dirinya pintar dan tidak pikun. "Kalau kita terus membaca dan menulis, maka kita tidak pikun,"ujarnya.

Makna lain dari buku ini adalah pentingnya para wartawan mendokumentasikan perjalanan dan pengalaman wartawan seniornya. Salut buat penulisnya Rizal Surya, Redaktur Analisa. Buku tersebut terdiri dari empat bagian besar. Bagian Pertama merupakan pengalaman Ali Soekardi sepanjang 80 tahun usianya. Bagian Kedua adalah Ali Soekardi di mata rekan sekerjanya di Harian Analisa: Mulai dari H Sofian, H War jamil. Idris Pasaribu, H. Agus Salim, H Hermansyah, H Ali Murthado, Sugiatmo. Bagian Ketiga adalah Ali Soekardi dimata pengamat media seperti: Muhammad TWH, Muh Jazid dan J.Anto. Bagian keempat: Ali Soekardi di mata empat anggota keluarganya mewakili 7 orang putra-putri dan menatu serta 12 cucunya.

Selamat buat Harian Analisa yang menelorkan para penulis dan wartawan handal di Provinsi ini. Semoga para penulis lain tertarik menulis perjalanan hidup para wartawan-wartawan dan penulis di daerah ini. ***

Penulis adalah kolomnis dan penulis biografi, tinggal di Medan.

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa,  Selasa, 22 Jan 2013