|
Oleh: Jannerson Girsang.
Seandainya pemerintah berhasil menyadarkan masyarakat
untuk turut merawat dan memelihara jalan, memperpanjang usia jalan, anggaran
pemeliharaan dan perawatan jalan bisa dialihkan ke daerah yang sudah puluhan
tahun tidak mendapat perbaikan. Selain itu, demo protes kerusakan jalan ke
gedung DPRD seperti yang dilakukan penduduk Desa Naga Lingga, Merek,
Kabupaten Karo ke gedung DPRD, 25 Januari 2013 lalu, tidak terjadi lagi di
masa yang akan datang. (www.bisnis.com, 25 Januari 2013).
***
Saya baru saja mengunjungi desa Nagasaribu, kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Dari Medan melintasi Brastagi dan Kabanjahe. Bersyukur dan berdoa dengan kedua orang tuaku, karena ibuku genap berusia 75 tahun, Januari 2013 lalu. Sungguh senang rasanya, karena mengendarai mobil ke jalan ke Desa sekitar 1 kilometer dari Jalan Provinsi Kabanjahe-Pematangsiantar sudah terasa seperti jalan utama. Jalan aspal mulus, sejak beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya, sudah puluhan tahun jalan itu hanya dilapis batu dan tanah. Sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk desa, termasuk saya yang melintasi jalan itu. Sayangnya, berkah yang mereka terima di masa periode JR Saragih sebagai Bupati Simalungun itu, sudah mulai berlubang. Tidak saja karena aspalnya tipis dan dilapisi pasir - tidak sebaik aspal di jalan Kabanjahe-Tigapanah yang cukup tebal. Maklum karena jalan ke desa saya adalah jalan kabupaten. Baru beberapa bulan dibangun, di beberapa tempat paritnya tidak mampu menampung air, sehingga menggenangi badan jalan. Saya sedikit gundah, saat menyaksikan di beberapa bagian jalan, para pemilik ladang membiarkan saja rumput yang subur tumbuh di parit-parit jalan. Para petani kembali menumpuk tanah di parit jalan untuk membuat jembatan ke ladangnya. Parit tertutup dan jika hujan air akan mengalir di atas badan jalan. Kasus yang sama saya temukan juga saat melintasi jalan Kabanjahe-Pematangsiantar di daerah perta nian di Tigapanah. Padahal, kalau jalan itu rusak, tidak hanya pengguna jalan dari luar kota atau penduduk desa lainnya yang kena getahnya, para petani sendiri akan merasakan pahit kalau jalan itu rusak. Seperti pengalaman sebelumnya, penduduk akan membiarkan jalan itu menjadi tanggungjawab pemerintah. Dalam hati saya berfikir, seandainya saja dimunculkan kesadaran masyarakat yang tinggal di sekitar jalan mau "berjasa" memelihara parit jalan itu!. Andai saja Kepala Desa mau mengerahkan rakyatnya melakukan gotong royong secara teratur membersihkan parit itu!. Hasilnya, pasti mereka bisa menikmati jalan yang mulus lebih lama. Mereka dan desa mereka berjasa bagi pemerintah dan bangsa ini menghemat biaya pemeliharaan jalan. *** Memutar memori ke era 70-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, setiap pulang sekolah saya menyaksikan seorang bapak yang berusia 40-an sibuk menggali atau membabat. Parit di kedua sisi jalan berfungsi mengalirkan air, rumput-rumput di pinggir jalan dibabat secara teratur. Jalan tetap terawat. Meski dulu ketika kami masih kecil, jalan ke kampung kami masih terbuat dari batu dan tanah, kenderaan bisa melintas dengan mulus. Pria tadi merawat jalan itu dengan sungguh-sungguh. Kalau ada jalan berlobang, pria tadi dengan cepat menempelnya dengan tanah atau batu. Penduduk desa tak mengalami genangan air di badan jalan. Pria itu, seingat saya digaji dari kas desa, seluruh penduduk desa bertanggungjawab atas sarana vital itu. Kas desa yang memiliki pendapatan dari kedai koperasi dan pendapatan lain. Desa itu memiliki kedai koperasi dan menghasilkan uang dari kontrak yang dibayar pengelola kedai. Selain merawat jalan, dulu, kas desa juga digunakan untuk membangun air minum penduduk. Hal yang sama juga saya temukan di jalan provinsi yang menghubungkan desa dengan kota-kota di provinsi ini. Seorang pria setiap hari terlihat membabat pinggiran jalan yang membatasi jalan dengan parit. Rumput-rumput di pinggiran jalan terjaga dan rapi. Kalau ada timbunan tanah di parit, dia cepat menggalinya. Air berjalan lancar, tak sempat menggenangi aspal. Kalau yang satu ini dibiayai pemerintah. Kami memanggilnya sebagai " mantri PU". Jalan desa atau provinsi tetap terawat. Kerusakan-kerusakan kecil khususnya yang berpotensi menggenangi aspal cepat diatasi. Rakyat menikmati jalan yang bagus dan hasil pertaniannya bisa diangkut dengan lancar. *** Kini, kedua orang yang melakukan aktivitas yang bersahaja di jalan raya itu sudah tidak ada lagi. Saya lupa kapan persisnya kedua orang seperti itu menghilang dan tidak diberdayakan lagi. Sudah puluhan tahun, perawatan jalan seolah sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Rumput di pinggiran jalan dibiarkan sampai menjulang tinggi. Beberapa tahun lalu, saya sempat menyaksikan jalan provinsi di dekat Gunung Sipiso-piso rumputnya tumbuh sampai setinggi beberapa meter, hingga menghalangi pemandangan. Padahal, lokasi itu memiliki tikungan yang tajam. Tentu sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan. Di beberapa ruas jalan saya menyaksikan parit yang tertimbun tanah dibiarkan dan hanya menunggu penggalian yang dilakukan bulldozer-buldozer yang dikerahkan pemerintah. Lama-lama parit tidak mampu menampung aliran air, dan membuangnya ke atas badan jalan. Bahkan kadang parit menjadi lebih tinggi dari badan jalan. Saat hujan turun, saya pernah melintasi sebagian ruas jalan Tongkoh-Tigapanah layaknya melintasi sungai. Jalan sudah seperti sungai dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Air tidak mengalir dari parit, tetapi semuanya tumpah ke jalan. Jalan aspal yang dibangun, tidak pernah berusia di atas satu tahun. Dibangun sekarang, beberapa bulan sudah rusak dan hancur. Meski jalan itu untuk kepentingan penduduk di sekitarnya, tetapi tidak ada yang peduli. Partisipasi masyarakat dalam merawat jalan, boleh dikata sudah nihil. Padahal, dengan mengeluarkan kas desa untuk mengupah perawatan kerusakan jalan yang masih kecil, sebenarnya penduduk mampu. Kenapa puluhan tahun lalu, di saat desa masih miskin partisipasi masyarakat dalam merawat jalan cukup tinggi?. *** Pemandangan di perkotaan, yang nota bene penduduknya banyak yang berasal dari desa, budayanya hampir sama. Pemandangan umum terlihat banyaknya parit jalan di depan rumah yang tak berfungsi lagi. Bisa jadi karena pemiliknya menutup parit, dan juga karena tanah hasil erosi yang menutupi parit, pembuangan sampah ke parit, sehingga parit tidak mampu menampung, atau ada yang sama sekali sudah tertutup total. Aktivitas pembangunan rumah atau ruko seringkali menimbun parit yang terletak di depannya. Bahkan kadang menimbun pasir dan batu bertruk-truk di depan rumah di pinggir jalan raya. Sebagian memenuhi parit, atau bahkan tertutup sama sekali. Usai membangun, kadang muncul menjadi jembatan baru, tanpa membuat lobang air di bawahnya. Air dibiarkan mengalir melalui jalan raya di depan rumahnya, sampai menunggu pemerintah melakukan penggalian. Bahkan, tidak jarang kita saksikan, baru saja penggalian parit dilakukan Pemko Medan, pemilik rumah atau ruko kembali menutup parit itu, atau membangun semen di atas parit, sehingga air menumpuk ke jalan raya. Anehnya, tidak jarang penegak hukum juga tidak memperdulikannya. Parit yang tertutup dibiarkan saja. Menunggu proyek tahun berikutnya. Meski akibatnya jalan di depannya tergenang air dan lambat laun merusak dan menghancurkan jalan. Bahkan parit di depan rumah menjadi sarang nyamuk. *** Beban Pemprovsu untuk pemeliharaan jalan cukup besar. Dari 2.749 kilo meter jalan provinsi yang ada di Sumut, yang dalam kondisi baik hanya 1.213 kilo meter, dan dalam kondisi sedang 862 kilo meter hingga akhir 2011. Sementara itu, sepanjang 673 kilo meter lainnya dalam kondisi rusak, baik ringan mau pun berat, yaitu 369 kilo meter dalam keadaan rusak ringan dan 304 kilo meter dalam kondisi rusak berat. Paling tidak Rp 1 triliun diperlukan untuk pemeliharaan jalan setiap tahunnya. Warga tentu tidak bisa hanya mengharapkan pemeliharaan jalan dari pemerintah yang selama bertahun-tahun sudah kita alami dengan buruknya jalan raya. Tidak ada salahnya pemerintah juga melirik potensi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan itu, sehingga setidaknya mampu memperpanjang usia jalan, dan memberi peluang pemerintah memperbaiki jalan yang bertahun-tahun rusak di tempat yang lain. Saatnya memberdayakan Kepala desa atau organisasi masyarakat setempat melakukan gotong-royong atau dengan cara penduduk di kampung saya dulu. Turut membantu bahkan membiayai pemeliharaan jalan, merawat parit dan rumput di tepi jalan. Selain itu tentunya mereka juga berhak turut serta secara bersama menilai dan menentukan proyek-proyek pemeliharaan jalan yang dilakukan pemerintah di daerahnya. Mereka merasa turut memiliki dan memelihara jalan itu. Selain itu pemerintah perlu mengkaji ulang mempekerjakan kembali para petugas jalan raya seperti era 70-an, memelihara dan mengawasi jalan seperti zaman saya anak-anak. Pengamatan sehari-hari mereka bisa dijadikan dasar memonitor kerusakan jalan, dan tindakan yang segera diambil, menghindari kerusakan yang lebih besar dan biaya perawatan yang lebih besar. Tidak seperti sekarang ini, rusak parah dulu baru diperbaiki. DPRD Sumut tidak perlu menerima para pendemo dari desa Naga Lingga, Merek, Tanah Karo, 25 Januari 2013, yang mengeluhkan rusaknya infrastruktur jalan Lintas Sumatera di desa mereka. Desa Naga Lingga, tidak seharusnya meratapi rusaknya jalan Lintas Sumatera, karena tersumbatnya saluran drainase. Wah, ngomongnya sih gampang, tapi pelaksanaannya sulit yah. Tapi tidak salah untuk mencoba memikirkannya dan mengambil hikmahnya. Semoga. *** Penulis kolumnis dan penulis biografi, tinggal di Medan. |
Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, Rabu, 13 Feb 2013