Oleh: Jannerson Girsang
Kemana istirahat atau rekreasi paling murah dan
bersahaja di kota? Mengunjungi taman-taman kota. Semua orang bisa masuk ke sana
tanpa membayar, namun bisa menikmati suasana segar, membawa anak bermain bebas
- keluar dari suasana sumpek di rumah kecil di perumnas atau kumuh.
Singgahlah sejenak, meluangkan waktu beristirahat
di Taman A Yani, dekat Rumah Sakit Elizabeth. Rasakan sejenak udara segar di
sana, lepaskan pandangan mata Anda ke taman di bawah pepohonan besar,
rumput-rumput hijau yang terpelihara di bawahnya.
Berjalanlah ke pinggir Jalan Sudirman dan tataplah
air mancur besar di persimpangan Jalan Sudirman-Jalan Imam Bonjol. Hiruk pikuk
kendaraan terhalang batang pohon besar dan dedaunannya yang rindang. Taman itu
seolah mampu menyerap asap kendaraan yang lewat - sebagian dari 2.708.511 unit
kendaraan yang masih akan bertambah dengan kenaikan rata-rata 23,832% per
tahun.
Luasnya taman hijau di lokasi itu membuat perasaan
lega, apalagi dalam suasana suhu udara meningkat belakangan ini. Taman seperti
ini menjadi alternatif tempat rekreasi gratis bagi penduduk Kota Medan.
Sayangnya, selain taman di sekitar Jalan Sudirman itu kita hampir tidak
menemukan taman yang sama di lokasi lain di kota ini.
Normalnya, seiring meningkatnya jumlah penduduk,
seharusnya taman rekreasi bertambah, karena berkurangnya lahan terbuka akibat
kebutuhan bangunan.
Kalau di zaman Belanda, pemerintah kolonial bisa
membangun taman seperti Taman A Yani, menjalani abad 21, di kota yang menjalani
usia 423 tahun ini, pemko mestinya memiliki political will membangun fasilitas
taman yang memadai.
Sayangnya, taman sebagai sarana hiburan dan tempat
rekreasi segar bagi masyarakat luas justru hampir dilupakan.
Taman di
Perumnas
Pengalaman tinggal di perumnas (penulis tinggal di
Perumnas Simalingkar), penduduk memerlukan tempat rekreasi. Namun, kebutuhan
itu selalu kalah jika berhadapan dengan desakan kepentingan ekonomi atau
kepentingan lain.
Mari kita telusuri beberapa lokasi seperti Perumnas
Simalingkar, serta perumnas-perumnas lain seperti Helvetia dan Mandala. Penulis
sedikit menyinggung Lapangan Merdeka, karena bagi penduduk seperti penulis
lapangan itu punya sejarah tersendiri.
Perumnas Simalingkar, yang dihuni sekitar 8.000
kepala keluarga, adalah contoh minimnya perhatian Pemko Medan memenuhi
kebutuhan penduduk akan taman rekerasi. Kompleks ini, kini sama sekali tidak
memiliki taman. Jangankan taman, lapangan terbuka pun hampir tidak ada lagi.
Perubahan ini terjadi hanya dalam waktu 20 tahun.
Dulu di awal 90-an, sebelum pembangunan perumahan
selesai, penduduk sempat menikmati tanah kosong seluas lapangan bola di tengah
wilayah perumahan itu, persisnya di atas lahan ruko Simalingkar sekarang.
Saat itu penulis baru pindah ke wilayah tersebut.
Sore sehabis pulang kerja, penulis bisa bergabung dengan anak-anak, remaja,
pemuda dan orang tua bermain bola. Keakraban di antara penduduk kampung
demikian baik. Dua kesebelasan bisa dibentuk seketika di lapangan. Warga
menikmati hiburan murah untuk melepas lelah sekaligus bercengkerama antara satu
dengan yang lain.
Sebelum permainan olahraga dimulai, anak-anak kecil
menggunakan lokasi itu untuk belajar naik sepeda, main alip cendong dengan
memanfaatkan got yang terdapat di sekeliling lapangan. Selain sebagai tempat
rekreasi, lapangan itu bisa menjadi tempat olahraga, mengasah bakat anak-anak,
serta pertemuan informal bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.
Masa itu, menjelang acara 17 Agustusan dilaksanakan
pertandingan-pertandingan antarwarga. Penduduk beramai-ramai di sekeliling
lapangan menonton mereka bertanding. Penontonnya penduduk yang datang dari
berbagai penjuru kompleks perumnas yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga
itu.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian lapangan itu
diubah menjadi kompleks pertokoan. Lokasi hiburan murah bagi penduduk lenyap
begitu bunyi buldozer meratakan tanah dan diikuti pembangunan ruko di atasnya.
Kini, di lokasi tempat bermain bagi penduduk kompleks
perumahan itu rumah toko (ruko) berdiri megah, ditambah lagi kegiatan pajak
sore hingga malam. Tidak ada pengganti tempat bermain anak-anak dan pertemuan
informal penduduk perumnas.
Kompleks perumahan yang dihuni puluhan ribu
penduduk itu hanya ditutup oleh jalan, bangunan rumah, toko atau rumah ibadah.
Hampir tidak ada taman untuk bermain atau rekreasi bagi warganya. Penduduk
tinggal di rumah atau hanya bercengkerama dengan tetangga sebelah. Sangat minim
ruangan publik di mana ratusan orang bisa saling tegur sapa, berolahraga, atau
sekadar bermain bagi anak-anak.
Penduduk tentu tidak berwenang mempersoalkan
lapangan seluas lapangan sepak bola yang dulunya dipakai sebagai taman
rekreasi, apakah menurut master plan kota memang dulunya direncanakan untuk ruko.
Tapi, pernah ada lapangan bola.
Hal yang sama bisa ditemukan di Perumnas Helvetia
dan Mandala. Miskin taman. Anehnya, hal ini tidak hanya dijumpai pada lokasi di
perumahan-perumahan baru, bahkan di pusat kota. Bersamaan masa kami masih bisa
menikmati lapangan terbuka, Lapangan Merdeka jadi sebuah alternatif tempat
rekreasi. Tempat ini mengingatkan penulis nyamannya sebuah taman rekreasi
seperti di Alun-alun Kota Bandung atau Taman Monas Jakarta.
Pada Minggu pagi, karena lalu lintas masih lancar,
dari rumah penulis lapangan ini bisa ditempuh hanya dalam waktu belasan menit.
Sebelum mengikuti kebaktian di gereja, penulis biasa membawa anak-anak
bercengkerama dan lari pagi, bertemu dan bercengkerama dengan ratusan orang di
sana.
Persis seperti pengalaman di Pematangsiantar,
menggunakan taman bunga sebagai tempat rekreasi dan olahraga pagi. Tapi,
keindahan Lapangan Merdeka pun sudah terusik. Pinggiran lapangan yang dulunya
bebas dari bangunan, kini dipagari tempat jualan.
Nuansa taman rekreasi di Lapangan Merdeka menjadi hilang, tertutup
dengan restoran dan tempat jualan.
Taman di kota atau pinggiran kota setali tiga uang. Sama dengan lokasi
tempat tinggal penulis, beberapa tahun kemudian suasana taman di tengah kota
itu pun berubah. Lapangan Merdeka kini sudah disulap jadi Merdeka Walk, sebuah
lokasi yang dijejali restoran kecil dan tempat jualan.
Tidak hanya itu, taman margasatwa (kebun binatang) kebanggaan penduduk
Medan - taman dengan aneka binatang yang menarik bagi anak-anak sebagai hiburan
- turut tergusur ke pinggiran kota yang sulit dijangkau. Tak sedikit mereka
yang tinggal di Medan tidak tau lagi lokasi kebun binatang, selain karena
minimnya promosi, lokasinya juga sulit dijangkau. Beda ketika masih di Kampung
Baru.
Kota Medan, telah kehilangan tempat istirahat di area terbuka bagi
orang-orang yang ingin hidup bersahaja. Jangan salahkan kalau tempat-tempat
hiburan tertutup (panti pijat dan kamar-kamar yang sewanya dihitung perjam)
yang tersedia di segala penjuru kota makin marak dikunjungi penduduk kota.
Andaikata para penguasa penentu kebijakan pengembangan taman kota tidak
segera mengubah kebijakannya, bukan tak mungkin dua puluh tahun ke depan Kota
Medan memiliki penduduk yang lebih senang mencari hiburan di tempat tertutup.
Munculnya hiburan-hiburan di tempat tertutup akan menjerumuskan penduduk kota
ini mencari hiburan yang tidak sehat.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib penduduk kota ini kelak. Saatnya Pemko
Medan memperhatikan pembangunan taman-taman terbuka, sebagai pemersatu rakyat
kota ini, hiburan yang sehat bagi penduduk yang bersahaja.