Oleh: Jannerson Girsang
Di hari-hari Passion ini, saya mengingat hari-hari sedih dan pahit, ketika adikku Parker menuju maut, empat tahun lalu.
Maret 2010 lalu, adikku sakit parah. Dokter memvonis dia mengidap
kanker nasoparing dan memperkirakan usianya hanya tinggal 15 bulan lagi.
Mendengar itu, saya menelepon dia sambil menangis.
Kenapa Tuhan?. Rasa kemanusian, pengalaman saya lebih dominan membawa saya dalam pikiran dan tindakan sendiri.
Kemudian dia dirawat di Rumah Sakit Cikini Jakarta. Saya mendampinginya
sekitar dua minggu. Ratusan teman, keluarga dekat yang mengunjungi dia,
semua berdoa. Ada yang berdoa sambil menangis, bersujud.
Inti doa-doa kami: "Tuhan kasihanilah kami, sembuhkanlah saudara kami".
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia kemudian meninggalkan kami
untuk selama-lamanya, hanya 3 bulan setelah vonis dokter itu, 16 Juni
2010.
Sedihnya tak terlukiskan. Saat itu usianya memasuki 49 tahun dan menyusul istrinya yang meninggal 4 tahun sebelumnya.
Semua hati tertuju, trenyuh pada nasib tiga putrinya yang cantik-cantik dan
pintar-pintar. Saat itu yang tertua baru berusia 19 tahun dan memasuki
semester I di FISIP UI, putri keduanya memasuki Kelas I SMA, dan si
bungsu baru SMP Kelas I.
Kenapa Tuhan begitu kejam? Itulah respon kemanusiaan saya paling pertama muncul.
Waktu kemudian menguatkan putri-putri kami yang ditinggal kedua orang
tuanya. Tuhan tidak pernah memberikan beban lebih besar dari apa yang
mampu kita tanggung.
Saya mengumpulkan ketiganya beberapa hari
sepeninggal adikku. Kita berdiskusi soal harapan. Semua menetapkan
cita-citanya, harapannya dan melupakan semua kepahitan.
Di akhir diskusi, yang tertua dengan tangkas berkata: "Adik-adikku, kita harus kuat, kita harus menatap ke depan".
Keluarga (keluarga istri adikku, keluarga kami dan beberapa teman yang
mau membantu) berembuk untuk pembiayaan mereka bertiga. Semua suka cita
dan memberikan apa yang dapat diberikan semampunya.
Empat
tahun peristiwa itu sudah berlalu. Semua berjalan dengan baik, ketiga
putri almarhum tumbuh dan yakin sepenuhnya mereka tidak dipelihara uang,
gaji, atau orang tuanya, tetapi mereka dilindungi dan dipelihara Tuhan.
Sebuah renungan di hari Passion ini : untuk apa kita
berdoa?. Jesus mengajarkan: "Berdoalah agar kamu tidak jatuh ke dalam
pencobaan".
Kita tidak berdoa untuk sesuatu yang kita
cita-citakan harus tercapai, tetapi berdoa agar Tuhan menguatkan kita
menuju rencana Tuhan yang terbaik bagi kita. Berdoa adalah menguatkan
kita menghadapi peristiwa apa saja dalam hidup kita agar kita mampu
bersyukur atas apapun yang terjadi.
Jesus tidak berdoa agar
Dia diberikan harta, kekuasaan dll yang bersifat duniawi. Tetapi Dia
meminta kekuatan menghadapi maut. Maut yang telah direncanakan bagiNya.
Jesus sendiri, secara kedagingan, tidak menginginkan kematian atas
dirinya.
Katanya: "Ya Abba, Ya Bapa-Ku, tidak ada yang
mustahil bagi-Mu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari
pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti
yang Engkau kehendaki."
Beda Jesus yang berdoa dan
murid-muridnya yang tertidur adalah sikap mereka menghadapi maut. Jesus
mampu menjalaninya, sementara murid-muridnya lari tunggang langgang.
Malah Petrus ketakutan dan menyangkal mengenal Jesus sampai tiga kali.
Menyambut Hari Raya Paskah ini, melalui khotbah-khotbah pendeta, Pdt
Enida Girsang (Kamis Putih) dan Pdt CHE Purba (Jumat Agung), saya
bersyukur karena kemudian diberi pemahaman yang lebih dalam memaknai
soal berdoa.
Sekali lagi, berdoa adalah agar kita diberi
kekuatan menghadapi semua persoalan hidup. Bukan "memaksa" Tuhan
memenuhi keinginan kita. Rencana Tuhan jauh lebih indah dan lebih baik
dari keinginan, cita-cita dan harapan kita.
Ketiga putri kami dari almarhum Parker sedang merajut masa depan mereka menjalani rencana Tuhan yang terbaik bagi mereka : Yani Christin Girsang (kini kuliah di extension UI, S1 melanjutkan studinya, setelah memperoleh D3 Sekretaris, sambil bekerja), Hilda Valeria Girsang (kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Trisha Melanie Girsang, (Siswa SMA Negeri 1 Bekasi). I love you all!.
Mereka mengarungi kehidupan dengan harapan yang cerah. Jauh dari
kekhawatiran kami sebelumnya. Jauh lebih baik dari apa yang kami
pikirkan dan doakan
Doaku setiap hari: Tuhan kuatkan ketiga
putriku agar mereka mampu menjalani dan menerima hari-hari yang telah
Tuhan rencanakan dengan rasa syukur.
Anak-anak dan menantuku Clara Girsang, Anja Novalianto Saragih, Patricia GirsangFrederick Simanjuntak, Bernard Patralison Girsang, Devee Girsang. Berdoalah agar kita mampu menghadapi maut sekalipun!
Semoga pengalaman ini bisa menjadi renungan bagi teman-teman. Selamat Paskah!.
Semoga teman-teman yang sedang merawat saudara-saudaranya tetap
dikuatkan. Kemaren, saya dan teman-teman mengunjungi teman-teman se
gereja, St Wilmar Saragih yang sedang menunggui istrinya Sy Asima Lubis
yang sedang sakit di RS Adam Malik, Mama Heru yang sedang menunggui
anaknya, Heru yang sakit, di RS Adam Malik, Saudaraku Hadomuan Sinaga
dan Br Tarigan yang baru kehilangan bayi mereka. Juga buat Rodear Stp, yang sedang menjaga suaminya (bpk Ronald) yang masuk rumah sakit Mitra Sejati kemaren.
Juga buat Eni Ramayanti JAwak, yang baru kehilangan mamanya, temanku semasa kecil, beberapa waktu yang lalu dalam usia 54 tahun. Juga saudaraku Jon Parman yang baru beberapa minggu lalu kehilangan ayah tercinta di usia 61 tahun.
Semoga kalian membaca artikel ini.
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Sabtu, 19 April 2014
Jumat, 18 April 2014
CIUMAN PENGKHIANATAN JUDAS
Ciuman yang secara normal digunakan mengekspresikan kasih sayang, justru Judas menggunakannya menyerahkan Jesus, gurunya ke Kayu Salib.
Uang, bisa bikin orang buta. Dengan 30 keping perak, salah seorang murid Jesus, Judas mengkhianatiNya, dengan ciuman.
Sebelum Perjamuan Terakhir yang diselenggarakan Yesus kepada murid-muridNya, Yudas, salah seorang murid Jesus dan pemegang kas, secara sembunyi-sembunyi menemui para pemimpin Jahudi, sehubungan dengan rencana mereka membunuh Jesus.
Dia menerima uang 30 keping perak, sebagai upahnya untuk melakukan tugas khusus. Pekerjaan Judas tidak rumit, hanya memberitahu tanda ketika para penangkapnya sudah dekat.
Tanda itu adalah: Judas akan mendekati Yesus untuk mencium-Nya. "Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia."
Sesudah persekongkolan jahat itu, Judas bergabung lagi dengan murid-muridNya. Dia turut dalam Perjamuan Terakhir. Jesus menyindir niat jahat Judas. Tapi dasar Judas buta, dia masih melanjutkan niatnya.
Persis seperti yang sudah dijanjikan, ketika para penangkapNya datang, Judas segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: "Salam Rabi," lalu mencium Dia.
Jesus mengetahui niat Judas. Maka kata Yesus kepadanya: "Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?". Matius mencatat ucapan Yesus itu: "Hai teman, untuk itukah engkau datang?".
Jesus kemudian ditangkap, lalu diadili. Disiksa bahkan disalibkan, mati dan dikuburkan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Judas mengira, Yesus akan menggunakan kuasaNya menghindar dari maut.
Ternyata kuasa yang dimiliki Yesus bukan digunakan seperti yang dibayangkan Judas. Yesus bukan anggar kekuasaan, tetapi Dia setia kepada yang mengutusNya. Dia tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan untukNya.
Perjanjian Lama menubuatkan bahwa Anak manusia itu akan menderita. Jesus sendiri telah memberitahu murid-muridNya tentang maut yang akan dihadapinya, tetapi mata mereka buta dan telinga mereka tuli.
Melihat kejadian yang menimpa Jesus, Judas kecewa berat. Dia mengembalikan uang 30 keping perak kepada pemimpin Jahudi. Bahkan saking kecewanya, dia akhirnya bunuh diri.
Sadarlah kita, setiap penipuan, korupsi, manipulasi akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Judas, sama seperti kita manusia biasa seringkali menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh sesuatu yang "kelihatan": uang, harta, dan kemewahan lain untuk dirinya sendiri.
Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan di Indonesia adalah pengkhianatan kepada rakyat (mahluk yang paling dikasihi Tuhan, suaranya adalah suara Tuhan) yang memilih dan memberi mandat.
Rakyat mengutus para pejabat atau pemimpin bukan untuk korupsi, menghianati tetapi untuk membahagiakan rakyatnya.
Orang yang mengkhianati kepercayaan itu, akan menghadapi nasib seperti Judas. Hidup tidak nyaman, bahkan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak wajar. .
Masihkah penipuan, korupsi, dan pengkhianatan kita lanjutkan?
Selamat merayakan Jumat Agung.
Medan, 18 April 2014
Uang, bisa bikin orang buta. Dengan 30 keping perak, salah seorang murid Jesus, Judas mengkhianatiNya, dengan ciuman.
Sebelum Perjamuan Terakhir yang diselenggarakan Yesus kepada murid-muridNya, Yudas, salah seorang murid Jesus dan pemegang kas, secara sembunyi-sembunyi menemui para pemimpin Jahudi, sehubungan dengan rencana mereka membunuh Jesus.
Dia menerima uang 30 keping perak, sebagai upahnya untuk melakukan tugas khusus. Pekerjaan Judas tidak rumit, hanya memberitahu tanda ketika para penangkapnya sudah dekat.
Tanda itu adalah: Judas akan mendekati Yesus untuk mencium-Nya. "Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia."
Sesudah persekongkolan jahat itu, Judas bergabung lagi dengan murid-muridNya. Dia turut dalam Perjamuan Terakhir. Jesus menyindir niat jahat Judas. Tapi dasar Judas buta, dia masih melanjutkan niatnya.
Persis seperti yang sudah dijanjikan, ketika para penangkapNya datang, Judas segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: "Salam Rabi," lalu mencium Dia.
Jesus mengetahui niat Judas. Maka kata Yesus kepadanya: "Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?". Matius mencatat ucapan Yesus itu: "Hai teman, untuk itukah engkau datang?".
Jesus kemudian ditangkap, lalu diadili. Disiksa bahkan disalibkan, mati dan dikuburkan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Judas mengira, Yesus akan menggunakan kuasaNya menghindar dari maut.
Ternyata kuasa yang dimiliki Yesus bukan digunakan seperti yang dibayangkan Judas. Yesus bukan anggar kekuasaan, tetapi Dia setia kepada yang mengutusNya. Dia tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan untukNya.
Perjanjian Lama menubuatkan bahwa Anak manusia itu akan menderita. Jesus sendiri telah memberitahu murid-muridNya tentang maut yang akan dihadapinya, tetapi mata mereka buta dan telinga mereka tuli.
Melihat kejadian yang menimpa Jesus, Judas kecewa berat. Dia mengembalikan uang 30 keping perak kepada pemimpin Jahudi. Bahkan saking kecewanya, dia akhirnya bunuh diri.
Sadarlah kita, setiap penipuan, korupsi, manipulasi akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Judas, sama seperti kita manusia biasa seringkali menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh sesuatu yang "kelihatan": uang, harta, dan kemewahan lain untuk dirinya sendiri.
Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan di Indonesia adalah pengkhianatan kepada rakyat (mahluk yang paling dikasihi Tuhan, suaranya adalah suara Tuhan) yang memilih dan memberi mandat.
Rakyat mengutus para pejabat atau pemimpin bukan untuk korupsi, menghianati tetapi untuk membahagiakan rakyatnya.
Orang yang mengkhianati kepercayaan itu, akan menghadapi nasib seperti Judas. Hidup tidak nyaman, bahkan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak wajar. .
Masihkah penipuan, korupsi, dan pengkhianatan kita lanjutkan?
Selamat merayakan Jumat Agung.
Medan, 18 April 2014
Kamis, 17 April 2014
RENUNGAN MENYAMBUT PASKAH
Oleh: Jannerson Girsang
Libur kantor mulai hari ini hingga Senin mendatang. Terima kasih bagi kantorku yang menyediakan masa panjang bagiku untuk merenungkan arti penderitaan Yesus menuju Kayu Salib.
Hari ini adalah sebuah momen terindah sepanjang 53 tahun hidupku menjelang Paskah. Belum pernah aku memperoleh waktu begini indah, merenungkan Paskah, kisah perjalanan Via Dolorosa.
Kematian adalah sesuatu yang sangat menyeramkan dan tidak seorangpun ingin mengalaminya. Manusia sangat sayang pada nyawanya. Masalahnya, saking sayangnya, manusia memiliki sikap egois, bahkan tidak peduli nyawa orang lain.
Tetapi ada satu jiwa yang rela dirinya mati untuk orang lain. Meski Perjanjian Baru mencatat bagaimana Yesus mengalami pergulatan batin yang luar biasa menghadapi kematian. Berdoa semalam suntuk, hingga mampu mengatakan: "Bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi".
Yesus memberikan teladan yang luar biasa, tentang contoh mengasihi sesama, dengan tunduk kepada perintah yang mengutusNya.
Kitab-kitab Perjanjian Lama menggambarkan seorang yang diurapi (bahasa Ibrani: Mesias; bahasa Yunani: Kristus) oleh Allah akan menderita sengsara dan mati sebagai penebus dosa umat manusia.
Sejumlah nubuat berfokus pada peristiwa ini, dan menurut keyakinan saya sebagai orang Kristen digenapi dalam kematian Yesus Kristus.
Yesus menunjukkan teladan, bagaimana sikap atau respons seorang yang tidak bersalah, disiksa, dihukum, malah dibunuh. Saya, dicolek atau diremehkan sedikit aja sudah marah. Dikatakan tidak hebat, marah. Teman kalah Pileg, menyalahkan saya, saya marah juga!.
Dewasa ini, orang-orang Kristen (Gereja Kristen Protestan Simalungun) merenungkan Peristiwa penderitaan Yesus melalui Kamis Putih (nanti malam, 17 April 2014, pukul 20.00), Jumat Agung (Jumat pukul 12.00) , kemudian kebaktian peringatan kebangkitan dari kubur pada hari ketiga (Minggu Pagi), dilanjutkan dengan Kebaktian Tuntunan (lanjutan) hari Senin.
Tentu, ada perenungan pribadi di luar kebaktian-kebaktian di atas, seperti yang saya tuliskan ini. 53 tahun peristiwa seperti ini saya alami, saya masih terus berlatih dan berlatih, meminta pertolongan, karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam diri saya masih muncul bibit tidak baik: suka marah, iri hati, senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, belum tahan diremehkan, acapkali lemah ketika menerima kegagalan, belum bekerja dengan tulus.
Berdoa, terus berdoa dan berusaha menghilangkan sikap negatif itu, seiring bertambahnya usia. Saya dan setiap orang Kristen, sepanjang hidupnya harus terus menerus merenungkan kata-kata yang keluar dari mulut Yesus selama dalam penderitaan.
Dari kayu salib, dengan mahkota duri di kepala, tubuh yang bergelimang darah karena terluka, Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (* Lukas 23:34 ).
Kalimat pendek dan inti dari ajaran Kristen. Mengasihi setiap orang, bahkan musuh sekalipun, karena Yesus telah mengasihi saya dan Anda lebih dahulu.
Mampukah kita mengeluarkan kata-kata yang demikian saat menderita, saat orang dengan sengaja menghabisi nyawa kita?. Bukankah kita sering membalas air susu dengan air tuba. Mampukah kita membalas air tuba dengan air susu?.
Paskah mengajar kita menyikapi secara positif, ketika orang membalas dengan kejahatan bagi perbuatan kita yang baik dan benar, mengambil makna yang baik dari seuatu yang buruk. "Kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihimu, apakah upahmu?".
Saya belum mampu melaksanakannya. Jangan munafik!. Kalau jujur, Andapun belum mampu, bahkan mungkin sampai kita berakhir di liang kubur.
Saya dan Anda masih lebih sering menginginkan orang lain lebih dulu berbuat baik, baru kita mau berbuat baik.
Mari saling mengisi, bukan saling menghakimi. Mari merendahkan diri, bukan menganggap diri paling hebat. Mari merenungkan, memaknai dan mempraktekkan sikap, ucapan, dan tindakan Yesus ketika dalam penderitaan hebat:
Memperingati Paskah setiap tahun, merupakan masa perenungan menuju ke kesempurnaan hidup. Meski tidak pernah mencapainya, karena hanya Dia yang dapat menyempurnakannya.
Peristiwa ini tidak bisa dimaknai dengan logika dan penjelasan kata-kata. Mengasihi adalah pekerjaan iman. Dia tidak pernah datang dari dunia ini.
Mintalah pertolongan, hayati suara Tuhan, alami dan latihlah iman secara terus menerus. Jangan harapkan sekali mendengar khotbah langsung berubah total. Biasakan kuping rindu mendengar hal-hal yang baik.
Tujulah peningkatan pemahaman dan kemampuan mengasihi istri, anak-anak, teman dan manusia di lingkungan dimanapun dia berada. Paskah bukan sekedar seremoni!
Libur kantor mulai hari ini hingga Senin mendatang. Terima kasih bagi kantorku yang menyediakan masa panjang bagiku untuk merenungkan arti penderitaan Yesus menuju Kayu Salib.
Hari ini adalah sebuah momen terindah sepanjang 53 tahun hidupku menjelang Paskah. Belum pernah aku memperoleh waktu begini indah, merenungkan Paskah, kisah perjalanan Via Dolorosa.
Kematian adalah sesuatu yang sangat menyeramkan dan tidak seorangpun ingin mengalaminya. Manusia sangat sayang pada nyawanya. Masalahnya, saking sayangnya, manusia memiliki sikap egois, bahkan tidak peduli nyawa orang lain.
Tetapi ada satu jiwa yang rela dirinya mati untuk orang lain. Meski Perjanjian Baru mencatat bagaimana Yesus mengalami pergulatan batin yang luar biasa menghadapi kematian. Berdoa semalam suntuk, hingga mampu mengatakan: "Bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi".
Yesus memberikan teladan yang luar biasa, tentang contoh mengasihi sesama, dengan tunduk kepada perintah yang mengutusNya.
Kitab-kitab Perjanjian Lama menggambarkan seorang yang diurapi (bahasa Ibrani: Mesias; bahasa Yunani: Kristus) oleh Allah akan menderita sengsara dan mati sebagai penebus dosa umat manusia.
Sejumlah nubuat berfokus pada peristiwa ini, dan menurut keyakinan saya sebagai orang Kristen digenapi dalam kematian Yesus Kristus.
Yesus menunjukkan teladan, bagaimana sikap atau respons seorang yang tidak bersalah, disiksa, dihukum, malah dibunuh. Saya, dicolek atau diremehkan sedikit aja sudah marah. Dikatakan tidak hebat, marah. Teman kalah Pileg, menyalahkan saya, saya marah juga!.
Dewasa ini, orang-orang Kristen (Gereja Kristen Protestan Simalungun) merenungkan Peristiwa penderitaan Yesus melalui Kamis Putih (nanti malam, 17 April 2014, pukul 20.00), Jumat Agung (Jumat pukul 12.00) , kemudian kebaktian peringatan kebangkitan dari kubur pada hari ketiga (Minggu Pagi), dilanjutkan dengan Kebaktian Tuntunan (lanjutan) hari Senin.
Tentu, ada perenungan pribadi di luar kebaktian-kebaktian di atas, seperti yang saya tuliskan ini. 53 tahun peristiwa seperti ini saya alami, saya masih terus berlatih dan berlatih, meminta pertolongan, karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam diri saya masih muncul bibit tidak baik: suka marah, iri hati, senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, belum tahan diremehkan, acapkali lemah ketika menerima kegagalan, belum bekerja dengan tulus.
Berdoa, terus berdoa dan berusaha menghilangkan sikap negatif itu, seiring bertambahnya usia. Saya dan setiap orang Kristen, sepanjang hidupnya harus terus menerus merenungkan kata-kata yang keluar dari mulut Yesus selama dalam penderitaan.
Dari kayu salib, dengan mahkota duri di kepala, tubuh yang bergelimang darah karena terluka, Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (* Lukas 23:34 ).
Kalimat pendek dan inti dari ajaran Kristen. Mengasihi setiap orang, bahkan musuh sekalipun, karena Yesus telah mengasihi saya dan Anda lebih dahulu.
Mampukah kita mengeluarkan kata-kata yang demikian saat menderita, saat orang dengan sengaja menghabisi nyawa kita?. Bukankah kita sering membalas air susu dengan air tuba. Mampukah kita membalas air tuba dengan air susu?.
Paskah mengajar kita menyikapi secara positif, ketika orang membalas dengan kejahatan bagi perbuatan kita yang baik dan benar, mengambil makna yang baik dari seuatu yang buruk. "Kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihimu, apakah upahmu?".
Saya belum mampu melaksanakannya. Jangan munafik!. Kalau jujur, Andapun belum mampu, bahkan mungkin sampai kita berakhir di liang kubur.
Saya dan Anda masih lebih sering menginginkan orang lain lebih dulu berbuat baik, baru kita mau berbuat baik.
Mari saling mengisi, bukan saling menghakimi. Mari merendahkan diri, bukan menganggap diri paling hebat. Mari merenungkan, memaknai dan mempraktekkan sikap, ucapan, dan tindakan Yesus ketika dalam penderitaan hebat:
Memperingati Paskah setiap tahun, merupakan masa perenungan menuju ke kesempurnaan hidup. Meski tidak pernah mencapainya, karena hanya Dia yang dapat menyempurnakannya.
Peristiwa ini tidak bisa dimaknai dengan logika dan penjelasan kata-kata. Mengasihi adalah pekerjaan iman. Dia tidak pernah datang dari dunia ini.
Mintalah pertolongan, hayati suara Tuhan, alami dan latihlah iman secara terus menerus. Jangan harapkan sekali mendengar khotbah langsung berubah total. Biasakan kuping rindu mendengar hal-hal yang baik.
Tujulah peningkatan pemahaman dan kemampuan mengasihi istri, anak-anak, teman dan manusia di lingkungan dimanapun dia berada. Paskah bukan sekedar seremoni!
Minggu, 13 April 2014
JOKOWI MENDAHULUI BERBUAT BAIK
Oleh: Jannerson Girsang
Jokowi melakoni teladan seorang pemenang!. Tidak sombong dengan posisi Partainya sebagai jawara di Pileg 2014. Dia menghormati orang yang lebih tua, lebih senior dari dirinya.
Jokowi kecil--Capres PDI Perjuangan, berinisiatif lebih dahulu menemui
para Pemimpin Partai Golkar, Nasdem, tak lama setelah Pileg 2014 selesai. Padahal, partainya adalah pemenang
Pileg 2014.
Kebaikan Jokowi sangat dihormati Bakrie dan Suryo
Paloh. Dua tokoh yang bukan orang orang biasa di negeri ini. Mereka
tokoh partai, pengusaha terkenal dan memiliki media terbesar di negeri
ini.
Kedua tokoh ini tidak melihat Jokowi secara fisik. Fisiknya kecil, kekayaannya mungkin hanya senilai "sayap kiri" pesawat jet pribadi Suryo Paloh dan Bakrie. Di mata mereka Jokowi sebagai tokoh, pemimpin.
Senyum kehangatan dalam pertemuannya dengan Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar menjanjikan persatuan dan perdamaian. Hal yang ditunggu dan diharapkan seluruh rakyat Indonesia.
"Siapapun yang menang, kami saling mendukung" kata Bakrie yang disiarkan TV-One berkali-kali. Sebuah statemen yang sangat menyejukkan hati.
Sebelumnya, Jokowi juga sudah menemui Partai Nasdem. Pertemuannya dengan Suryo Paloh juga disiarkan oleh Metro TV dengan citra: Jokowi pantas menjadi presiden.
Menanam kebaikan menabur kebahagiaan. Mungkin itulah yang sedang dilakoni Jokowi.
Kebaikan Jokowi membuat orang-orang yang ditemuinya, secara tidak sadar sedang membesarkannya.
Pertemuannya dengan Bakrie dan Suryo Paloh ditonton jutaan pemirsa Metro TV dan TVOne, dua televisi terbesar di Indonesia.
Kebaikan membuat semua orang senang dan bahagia. Semua mendapat citra yang baik, baik bagi Bakrie, maupun Suryo Paloh! Bagi penonton televisi, menyejukkan dan pembelajaran atas tokoh yang bersaing secara benar.
Sikap ini tidak banyak dimiliki pemimpin. Kebanyakan sombong dengan kemenangan dan cenderung melecehkan yang kecil. Mengeluarkan statemen-statemen yang buat hati panas, menghakimi, mabok kebesaran. Akhirnya, lupa mengambil inisiatif berbuat langkah-langkah baik dan sangat strategis, seperti dilakoni Jokowi.
Jokowi telah menang selangkah. Dia lebih dahulu menunjukkan sikap melayani. Meski dia pemenang, tetapi lebih dulu menemui partai yang peroleh suaranya lebih kecil dari partainya sendiri.
Itulah sikap seorang pemimpin. Pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Melakukan hal yang terbaik lebih dahulu. Berlomba-lombalah membuat yang terbaik.
Kalau mau jadi pemimpin besar: Melayanilah lebih dahulu, jangan tunggu dilayani.
Mari kita ingat statemen Aburizal Bakrie: "Kita bersaing di Pilpres. Siapapun pemenangnya, kita akan saling mendukung"
Jumat, 11 April 2014
SEANDAINYA AKU TIDAK MENCALEG!
(Kisah ini Hanyalah Khayalanku Belaka, bukan Peristiwa Nyata)
Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke DPRD Tingkat I.
Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.
Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di mataku Caleg adalah segala-galanya.
Uang itu bisa kupakai untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".
Aku lebih suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti Suara Tuhan!
Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman mengelola kampanye.
Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.
Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya pengalaman apa-apa.
Aku malah tidak kasihan melihat beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas pelayanannya lancar.
Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku selalu parkir mobil-mobil mewah.
Kini aku sadar, bahwa mereka hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang. Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak. Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.
Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan. Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.
Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.
Utangku...oh utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.
Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?
Kini aku hanya bisa berandai-andai. Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.
Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".
Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"
Oh seandainya aku tidak Mencaleg!
Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang
Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke DPRD Tingkat I.
Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.
Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di mataku Caleg adalah segala-galanya.
Uang itu bisa kupakai untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".
Aku lebih suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti Suara Tuhan!
Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman mengelola kampanye.
Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.
Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya pengalaman apa-apa.
Aku malah tidak kasihan melihat beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas pelayanannya lancar.
Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku selalu parkir mobil-mobil mewah.
Kini aku sadar, bahwa mereka hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang. Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak. Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.
Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan. Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.
Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.
Utangku...oh utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.
Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?
Kini aku hanya bisa berandai-andai. Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.
Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".
Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"
Oh seandainya aku tidak Mencaleg!
Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang
Jumat, 04 April 2014
Blusukan dan Kebijakan Pro-Rakyat (Harian Analisa, 4 April 2014)
Oleh: Jannerson Girsang.
Pejabat di daerah kami suka blusukan bah, hebat kali dia, dekat dengan rakyat. Tunggu dulu!.
Jangan buru-buru menilai. Blusukan yang dilakukan seorang pejabat Negara itu mahal dan dibayar rakyat.
Blusukan, istilah yang sangat popular dan banyak dilakoni pejabat belakangan ini bukanlah sekedar jalan-jalan mencitrakan diri dekat dengan rakyat, tetapi harus bermanfaat bagi perumusan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Banyak pejabat melakukan blusukan bahkan memasuki rumah-rumah kumuh, berfoto di depan jembatan-jembatan yang rusak, jalan-jalan rusak, petani-petani miskin, diliput dan disiarkan media.
Kalau pejabat itu, besoknya dan bulan-bulan berikutnya, terus melakukan blusukan, bahkan sampai lima tahun periode jabatannya, tanpa menghasilkan kebijakan atau memuluskan kebijakan yang sudah ada, maka itu namanya pencitraan menggunakan uang negara.
Mari dengar apa kata pejabat yang suka blusukan dan menjadi terkenal di Jakarta. Istilah Jokowi, esensi blusukan adalah melatih mental dan spiritual karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan, menurut dia, cara seperti ini ampuh dalam membantu membuat kebijakan. Kata kuncinya, kebijakan. Bukan sekedar jalan-jalan semata dan mencitrakan diri dekat dengan rakyat.
Blusukan dilakukan, “Agar kita nyambung dengan rakyat, bisa merasakan getaran rakyat. Kalau bersalaman saja nggak pernah, bersentuhan kulit saja nggak pernah. Bagaimana mata batin kita bisa terlatih, kalau kita tidak pernah berdekatan dengan rakyat yang menderita,” ujar Jokowi saat seminar kepemimpinan di kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1
Seorang tokoh masyarakat Frans Magnis Soeseno, yang juga Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai meninjau ke daerah-daerah di Indonesia memang menjadi salah satu tugas Presiden Indonesia. Namun bukan berarti permasalahan Indonesia dapat selesai dengan melakukan blusukan. (http://www.merdeka.com/peristiwa/franz-magnis-blusukan-itu-tidak-menyelesaikan-masalah.html).
Kebijakan yang Pro-Rakyat
Rakyat yang ditemui pejabat umumnya senang. Bisa bersalaman dengan Presiden, Gubernur, atau Bupati adalah sebuah kehormatan bagi merekat. Tiba di kedai kopi bisa bercerita kepada temannya. Atau tiba di rumah bercerita kepada keluarganya. Pertemuan yang bisa menjadi mimpi masa depan.
Untuk jangka pendek mereka puas. Tapi sesudah itu, got di sekitar rumahnya, air PAM yang tidak mengalir dalam jam-jam tertentu, listrik yang mati, harga sarana produksi petani yang meroket, serta berbagai kebutuhan vital mereka tidak kunjung terpenuhi. Blusukan itu menjadi tidak berarti dan mengecewakan, menurunkan kepercayaan masyarakat.
Blusukan harusnya memastikan persoalan yang dirumuskan sesuai fakta, kebijakan yang diambil menyelesaikan persoalan yang dirumuskan itu dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Bukan sekedar cium-ciuman atau salam-salaman dengan penduduk, sekedar menjalin hubungan emosional. Memang, rakyat butuh itu, tetapi bukan satu-satunya.
Blusukan seorang pejabat misalnya, Presiden, Gubernur atau Bupati adalah proses merumuskan permasalahan untuk membuat kebijakan atau memuluskan pelaksanaan kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang dibutuhkan rakyat untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Secara umum, Said Zainal Abidin dalam bukunya Kebijakan Publik (Said Zainal Abidin,2004:31-33) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan: Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang dan Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Idealnya, menurut Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam era otonomi daerah, ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seluruhnya tidak ditangani oleh pemerintah pusat. “Dengan blusukan, idealnya kebijakan yang diambil bisa dilakukan secara cepat dan tepat guna, karena sudah melihat permasalahan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak mubajir,”. (www.harianterbit.com. 21 Maret 2014)
Jadi, blusukan adalah mempertajam kebijakan seorang pejabat sesuai dengan levelnya masing-masing. Blusukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang belum terjamah ketika merumuskan sebuah kebijakan, sehingga pelaksanaan di lapangan berhasil. Jadi, blusukan adalah tugas pejabat untuk memastikan sebuah kebijakan yang dikeluarkannya benar-benar bermanfaat dan menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Blusukan itu Mahal
Blusukan seorang pejabat menyerap dana yang tidak sedikit, tergantung pejabatnya. Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, lurah. Bayangkan kalau seorang presiden blusukan, biaya transportasi, biaya pengawalan, biaya lapangan dan lain-lain cukup besar.
Blusukan yang dilakukan Jokowi di berbagai lokasi di Solo, atau Jakarta sekarang ini memang banyak menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat, walau tentunya bukan hal yang baik bagi mereka yang merasa dirugikan.
Kebijakan blusukan Jokowi bukan tidak mendapat kritikan dari masyarakat. Sesuai dengan release LSM Fitra, anggaran blusukan Jokowi mencapai Rp 26 miliar, sementara anggaran blusukan pendahulunya hanya Rp 17, 64 miliar.
Soal anggaran ini tentu terpulang pada hasil blusukan itu yang tercermin dalam manfaatnya bagi rakyat banyak. Masyarakat tidak akan memperdulikan anggaran yang dikeluarkan asalkan hasil blusukan itu mampu memberi manfaat bagi rakyat.
Rakyat dewasa ini memang suka pejabat dekat dengan mereka. Seorang tokoh partai di Jakarta, bahkan menganjurkan pejabat-pejabat melakukan blusukan. "Terlepas anggaran yang harus dipertanggung jawabkan semua perangkat struktur pemerintah daerah harus ikut blusukan juga. Serta efek blusukan itu harus demi semua warga Jakarta dan kota Jakarta," demikian diungkapkan seorang tokoh partai PKB di Jakarta.
Bagaimana blusukan yang dilakukan pejabat di daerah kita?. Rakyat harus menuntut blusukan seorang pejabat dengan sebuah pertanggungjawaban. Mereka bukan hanya jalan-jalan, bagi-bagi bantuan sekedar pencitraan untuk periode berikutnya.
Masyarakat harus kritis mempertanyakan apakah sesudah blusukan, pejabat yang bersangkutan memiliki kebijakan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, kata Frans Magnis Soeseno, blusukan tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan di lapangan.
Dan, jangan pula sembarangan menilai, seorang pejabat yang suka blusukan itu baik. Tergantung!. Apakah sesudah itu ada kebijakan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak!.
Artikel ini bisa diakses di http://analisadaily.com/news/read/blusukan-dan-kebijakan-pro-rakyat/18943/2014/04/04
Pejabat di daerah kami suka blusukan bah, hebat kali dia, dekat dengan rakyat. Tunggu dulu!.
Jangan buru-buru menilai. Blusukan yang dilakukan seorang pejabat Negara itu mahal dan dibayar rakyat.
Blusukan, istilah yang sangat popular dan banyak dilakoni pejabat belakangan ini bukanlah sekedar jalan-jalan mencitrakan diri dekat dengan rakyat, tetapi harus bermanfaat bagi perumusan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Banyak pejabat melakukan blusukan bahkan memasuki rumah-rumah kumuh, berfoto di depan jembatan-jembatan yang rusak, jalan-jalan rusak, petani-petani miskin, diliput dan disiarkan media.
Kalau pejabat itu, besoknya dan bulan-bulan berikutnya, terus melakukan blusukan, bahkan sampai lima tahun periode jabatannya, tanpa menghasilkan kebijakan atau memuluskan kebijakan yang sudah ada, maka itu namanya pencitraan menggunakan uang negara.
Mari dengar apa kata pejabat yang suka blusukan dan menjadi terkenal di Jakarta. Istilah Jokowi, esensi blusukan adalah melatih mental dan spiritual karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan, menurut dia, cara seperti ini ampuh dalam membantu membuat kebijakan. Kata kuncinya, kebijakan. Bukan sekedar jalan-jalan semata dan mencitrakan diri dekat dengan rakyat.
Blusukan dilakukan, “Agar kita nyambung dengan rakyat, bisa merasakan getaran rakyat. Kalau bersalaman saja nggak pernah, bersentuhan kulit saja nggak pernah. Bagaimana mata batin kita bisa terlatih, kalau kita tidak pernah berdekatan dengan rakyat yang menderita,” ujar Jokowi saat seminar kepemimpinan di kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1
Seorang tokoh masyarakat Frans Magnis Soeseno, yang juga Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai meninjau ke daerah-daerah di Indonesia memang menjadi salah satu tugas Presiden Indonesia. Namun bukan berarti permasalahan Indonesia dapat selesai dengan melakukan blusukan. (http://www.merdeka.com/peristiwa/franz-magnis-blusukan-itu-tidak-menyelesaikan-masalah.html).
Kebijakan yang Pro-Rakyat
Rakyat yang ditemui pejabat umumnya senang. Bisa bersalaman dengan Presiden, Gubernur, atau Bupati adalah sebuah kehormatan bagi merekat. Tiba di kedai kopi bisa bercerita kepada temannya. Atau tiba di rumah bercerita kepada keluarganya. Pertemuan yang bisa menjadi mimpi masa depan.
Untuk jangka pendek mereka puas. Tapi sesudah itu, got di sekitar rumahnya, air PAM yang tidak mengalir dalam jam-jam tertentu, listrik yang mati, harga sarana produksi petani yang meroket, serta berbagai kebutuhan vital mereka tidak kunjung terpenuhi. Blusukan itu menjadi tidak berarti dan mengecewakan, menurunkan kepercayaan masyarakat.
Blusukan harusnya memastikan persoalan yang dirumuskan sesuai fakta, kebijakan yang diambil menyelesaikan persoalan yang dirumuskan itu dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Bukan sekedar cium-ciuman atau salam-salaman dengan penduduk, sekedar menjalin hubungan emosional. Memang, rakyat butuh itu, tetapi bukan satu-satunya.
Blusukan seorang pejabat misalnya, Presiden, Gubernur atau Bupati adalah proses merumuskan permasalahan untuk membuat kebijakan atau memuluskan pelaksanaan kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang dibutuhkan rakyat untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Secara umum, Said Zainal Abidin dalam bukunya Kebijakan Publik (Said Zainal Abidin,2004:31-33) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan: Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang dan Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Idealnya, menurut Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam era otonomi daerah, ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seluruhnya tidak ditangani oleh pemerintah pusat. “Dengan blusukan, idealnya kebijakan yang diambil bisa dilakukan secara cepat dan tepat guna, karena sudah melihat permasalahan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak mubajir,”. (www.harianterbit.com. 21 Maret 2014)
Jadi, blusukan adalah mempertajam kebijakan seorang pejabat sesuai dengan levelnya masing-masing. Blusukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang belum terjamah ketika merumuskan sebuah kebijakan, sehingga pelaksanaan di lapangan berhasil. Jadi, blusukan adalah tugas pejabat untuk memastikan sebuah kebijakan yang dikeluarkannya benar-benar bermanfaat dan menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Blusukan itu Mahal
Blusukan seorang pejabat menyerap dana yang tidak sedikit, tergantung pejabatnya. Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, lurah. Bayangkan kalau seorang presiden blusukan, biaya transportasi, biaya pengawalan, biaya lapangan dan lain-lain cukup besar.
Blusukan yang dilakukan Jokowi di berbagai lokasi di Solo, atau Jakarta sekarang ini memang banyak menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat, walau tentunya bukan hal yang baik bagi mereka yang merasa dirugikan.
Kebijakan blusukan Jokowi bukan tidak mendapat kritikan dari masyarakat. Sesuai dengan release LSM Fitra, anggaran blusukan Jokowi mencapai Rp 26 miliar, sementara anggaran blusukan pendahulunya hanya Rp 17, 64 miliar.
Soal anggaran ini tentu terpulang pada hasil blusukan itu yang tercermin dalam manfaatnya bagi rakyat banyak. Masyarakat tidak akan memperdulikan anggaran yang dikeluarkan asalkan hasil blusukan itu mampu memberi manfaat bagi rakyat.
Rakyat dewasa ini memang suka pejabat dekat dengan mereka. Seorang tokoh partai di Jakarta, bahkan menganjurkan pejabat-pejabat melakukan blusukan. "Terlepas anggaran yang harus dipertanggung jawabkan semua perangkat struktur pemerintah daerah harus ikut blusukan juga. Serta efek blusukan itu harus demi semua warga Jakarta dan kota Jakarta," demikian diungkapkan seorang tokoh partai PKB di Jakarta.
Bagaimana blusukan yang dilakukan pejabat di daerah kita?. Rakyat harus menuntut blusukan seorang pejabat dengan sebuah pertanggungjawaban. Mereka bukan hanya jalan-jalan, bagi-bagi bantuan sekedar pencitraan untuk periode berikutnya.
Masyarakat harus kritis mempertanyakan apakah sesudah blusukan, pejabat yang bersangkutan memiliki kebijakan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, kata Frans Magnis Soeseno, blusukan tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan di lapangan.
Dan, jangan pula sembarangan menilai, seorang pejabat yang suka blusukan itu baik. Tergantung!. Apakah sesudah itu ada kebijakan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak!.
Artikel ini bisa diakses di http://analisadaily.com/news/read/blusukan-dan-kebijakan-pro-rakyat/18943/2014/04/04
Selasa, 01 April 2014
Mengenang Sembilan Tahun Gempa Nias: “Bencana Lepas, Jangan Selepas Itu Dilupakan”
Oleh: Jannerson Girsang[1]
Sembilan tahun peristiwa tragis dan memilukan itu berlalu. Mengisahkan
kembali Gempa terbesar lima puluh tahun terakhir dengan 8.7 Skala Richter yang
menerjang Nias dan menewaskan ratusan penduduk, ribuan rumah penduduk hancur
dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum lainnya rusak parah, mengingatkan
kita bagaimana bangsa ini pernah memiliki pengalaman keluar dari bencana
dahsyat itu. Penderitaan penduduk, karya-karya
ratusan lembaga-lembaga internasional/dalam negeri, dan pemerintah dalam menangani
bencana menghasilkan sesuatu peradaban manusia untuk menaklukkan alam dan
diwariskan ke generasi berikutnya.
Catatan Pribadi
28 Maret 2005, sekitar pukul 23.00. Saat penduduk Medan bersiap-siap
ke peraduan, tiba-tiba merasakan goncangan hebat. Lampu listrik di kamar
bergoyang-goyang, terdengar bunyi krek..krek di atas atap dan dinding. Semua
anggota keluarga berhamburan ke luar rumah. Malam itu, penduduk Medan bisa tidur lelap.
Ternyata, saat yang sama penduduk Nias semalama tidak bisa
tidur. Mereka kehilangan sanak saudara tewas tertimpa runtuhan bangunan, menjerit
meminta pertolongan dan berlarian ketakutan menuju ke perbukitan akibat terjarang
gempa berskala 8,7 Skala Richter, dan khawatir disusul tsunami.
Sehari sesudah gempa, sebagai Information Officer untuk sebuah kantor lembaga donor, saya ditugaskan ke lokasi bencana. Penerbangan regular masih tertutup, karena bandara Binaka rusak berat. Kalaupun ada sangat terbatas, karena hanya pesawat khusus. Dengan menumpang Ferry dari Sibolga dan mengarungi Samudera Hindia selama dua belas jam, saya tiba di pelabuhan Gunungsitoli, pagi hari sekitar pukul 06.00, 30 Maret 2005.
Ketika menyusuri jalan dengan ojek—saat itu satu-satunya alat
transportasi yang tersedia, dari pelabuhan pusat kota, saya menyaksikan kerusakan
hebat di sepanjang jalan. Di sebelah kanan jalan, Bank BRI—kantor perbankan
satu-satunya di sana ketika itu, rubuh.
Di pusat kota, hotel-hotel berlantai dua-empat rata dengan tanah, ratusan rumah
penduduk rusak berat. Sedih melihat rombongan yang baru saja kembali dari pemakaman
mengantar mayat. Saya kamum melihat beberapa sukarelawan sedang melakukan penggalian
bangunan untuk mencari mayat yang belum ditemukan.
Saya meninjau lokasi korban di sekitar daerah Pelita,
rumah-rumah rubuh dan penduduk mengungsi. Di sebuah mesjid dekat lapangan
Pelita terdapat ratusan pengungsi yang tertidur dan sebagian memasak indo mie,
mungkin persediaan makanan terakhir mereka. Sangat menyedihkan!.
Malam pertama saya di sana suasana begitu menyeramkan. Saya
sendiri menginap di kompleks kampus Sunderman, sebuah bangunan terbuat dari
kayu yang tahan gempa. Malam hari kota itu begitu mencekam. Gelap gulita,
karena jaringan listrik rusak, rumah-rumah kosong karena penduduk mengungsi ke
bukit-bukit di sekitar Gunungsitoli, seperti Mega View dll. Di tengah
kegelapan, terkadang di daerah tertentu saya mencium bau mayat. Mungkin masih ada mayat yang belum sempat
diangkut dari reruntuhan bangunan.
Kembali ke penginapan, di depan tempat saya menginap di Kompleks STT Sundherman, saya kisah-kisah menyedihkan dari beberapa korban yang mengunsi di sana. Ada yang keluarganya patah kaki, atau kehilangan anak-anak mereka karena tewas tertimpa bangunan.
Telekomunikasi tidak sepenuhnya berfungsi (hanya beberapa
oprator yang bisa terhubung), lapangan terbang rusak, jalan-jalan rusak dan
sebagian tidak bisa dilalui kenderaan roda empat. Transportasi laut dengan kapal Ferry menjadi
alat transportasi vital. Akibatnya, kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama
makanan langka.
Pulau ini benar-benar terisolasi. Sudah tertimpa bencana, akses masuk terbatas pula. Ibarat
kata pepatah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Masyarakat yang
tertimpa gempa hanya menggantungkan diri
kepada bantuan dari luar pulau. Mereka memerlukan kebutuhan pokok, obat-obatan,
serta penghiburan.
Selama berada di sana, saya menyaksikan helikopter menjadi
alat transportasi yang sangat efektif, menunggu bandara selesai direhab. Lapangan
sepakbola di Jalan Pelita seolah menjadi bandara oengganti yang menghubungkan
Nias dengan bandara Polonia Medan dan Meulaboh. Berkali-kali saya menyaksikan
Helikopter Xinox milik Singapura mendarat di lapangan Pelita, membawa relawan
dan pejabat (termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah berada di
Nias beberapa hari setelah gempa), serta mengangkut kembali para korban yang
luka-luka dan membutuhkan perawatan ke rumah sakit di Medan.
Saat seperti itu, informasi atau laporan situasi menjadi sangat penting, dan harus segera sampai kepada mereka yang bisa memberi bantuan. Beberapa information officer lembaga-lembaga internasional, wartawan asing hadir di sana. Saya bertemu beberapa wartawan asing (Reuter, AFP dll), serta wartawan-wartawan lokal. Peran mereka sangat strategis dalam mengisahkan kejadian itu ke luar Nias. Muncul solidaritas nasional dan internasional membantu Nias!
Pasca Bencana: Nias
dengan Wajah Baru
Hari ini, sembilan tahun peristiwa itu berlalu. Akibat gempa
itu, pulau ini mendapat kucuran dana yang cukup besar, dan belum pernah dialami
sepanjang sejarah pulau itu. Ratusan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam
dan luar negeri dan pemerintah pusat dan daerah mengulurkan tangan melalui
bantuan keuangan, fisik dll.
Pemerintah kemudian menetapkan tahapan-tahapan
penanganan bencana Nias, mulai dari
Tahap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Tiga tahapan yang memiliki
karakteristik penanganan yang berbeda. Rehabilitas
dan rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa besar seperti di Nias dan
Aceh, memerlukan koordinasi yang baik.
Setelah melalui masa darurat, pemerintah membentuk Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) yang mencakup wilayah
bencana Aceh dan Nias (PP No 2/2005, dan Kepres No 30/2005). Badan ini bertugas
membangun kembali masyarakatAceh dan Nias, membangun kembali infrastruktur dan
fisik, membangun kembali ekonomi agar bisnis berjalan normal, membangun kembali
pemerintahan untuk melayani masyarakat.
Dengan dana yang bersumber dari APBN,
Negara-negara/Lembaga-lembaga Donor (multilateral dan bilateral), Palang Merah
Internasional/Negara Indonesia/Indonesia, NGO/LSM (Internasional dan local).
Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya
(1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan
rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu.
BRR Aceh-Nias membangun kembali berbagai fasilitas misalnya jalan,
pelabuhan, perkantoran dan pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak, serta
berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya. Kalau sebelum gempa dana pemsukan
daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama
rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau
berpenduduk 800 ribu lebih itu.
Saat ini, kemajuan Nias secara fisik dengan mudah bisa disaksikan pada jalan-jalan mulus yang dibangun pasca gempa. Nias sebelumnya tidak pernah memiliki jalan semulus itu. Lapangan terbang diperluas dan kini menjadi lapangan terbang kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kuala Namu, Medan. Bangunan-bangunan yang rusak sudah kembali diperbaiki dan di banyak tempat lebih baik dari sebelumnya. Penduduk mendapat peningkatan kapasitas, mengenal teknik-teknik baru bercocok tanam dan berbagai usaha baru membangun kembali mata pencaharian mereka.
Pada kunjungan terakhir ke Nias, Maret 2012, saya menyaksikan
kemajuan ekonomi yang luar biasa di pulau ini. Perbankan kini sudah menyebar ke
berbagai kota. Kantor BRI berdiri megah, demikian pula kantor BNI menjadi
bangunan kebanggan kota itu. SPBU yang dimasa sebelum tsunami hanya terdapat di
Gunungsitoli, kini memiliki beberapa SPBU, termasuk di Teluk Dalam, Nias
Selatan, restoran-restoran di tepi pantai Gunungsitoli lebih ramai.
Jembatan No yang hancur oleh gempa, kini berganti menjadi
jembatan yang kokoh memperindah wajah Gunungsitoli. Pasar Yahowu yang hancur,
kini berubah menjadi parasa modern di pusat kota. Pasar Yahowu yang hancur
akibat gempa, kemudian berubah wajah dengan pasar yang modern dan kini berdiri megah menghiasi kota itu.
Kalau sebelum gempa, kapasitas pemerintah, LSM dan
masyarakat Nias dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan
masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Sumatera Utara, kehadiran BRR, lembaga-lembaga donor, maupun NGO asing memberikan
pengalaman berharga bagi pulai ini merancang dan melaksanakan sebuah
pembangunan yang berkelanjutan.
Belakangan, pemerintahanpun dimekarkan dari dua Kabupaten menjadi 5 Kabupaten
dan Kota.
Kesiapsigaan Bencana
“Tahun demi tahun negeri ini tak lepas dari bencana. Namun,
selepas bencana itu datang, selepas itu orang lupa. Tak berubah cara berfikir
masyarakat maupun pengelola pemerintah,” kata buku Jurnalisme Bencana dan
Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, seorang wartawan senior.
Sebuah potongan kritik atas penyakit lupa bangsa ini terhadap peristiwa bencana, padahal kita berada di lingkungan bencana. Pengalaman kita mengelola bencana seharusnya menjadi kearifan yang bisa digunakan pada gempa berikutnya dan bahkan bisa berguna bagi dunia lainnya yang mengalami bencana. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pengelolaan bencana di negeri ini. Bangsa ini masih perlu belajar menggunakan pengalaman sebagai guru yang baik.
Bayi yang lahir pada 28 Maret 2005, kini sudah berusia 9
tahun. Mereka mungkin sudah kelas dua atau tiga SD. Sekolah-sekolah di Nias
seharusnya memiliki muatan lokal pelajaran tentang Gempa besar itu. Anak-anak
balita ketika gempa terjadi kini sudah
remaja atau menjelang dewasa juga perlu pengetahuan tentang peristiwa ini.
Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) daerah harus lebih gesit ke depan.
Semoga peristiwa 28 Maret 2005 membawa pelajaran bagi bangsa
ini di masa datang. Jangan sampai, “Bencana Lepas, Selepas itu pula Kita Lupa”.
[1] Mantan
Information Officer untuk Action by Churches Together (ACT-Intl) dan Program
Manager Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (2005-2006). Keduanya donor dan
Implementing Partner untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Pernah
menjadi konsutan media website http://www.nias-bangkit.com
dan beberapa kali mengunjungi Nias hingga 2012.
Minggu, 23 Maret 2014
SELAMAT ULANG TAHUN PERAK BUAT PUTRIKU PATRICIA GIRSANG
Putriku Patricia yang Cantik, Pintar dan Baik!.
Malam ini sepulang dari makan malam di luar, bersama mama dan kedua adikmu Bernad dan Devi, bapak sendirian di meja kesayangan, berdoa dan menuliskan sesuatu yang mungkin ada artinya bagi hidupmu ke depan.
Mungkin di Depok, kalian sudah di peraduan, sementara Bapak masih menahan ngantuk menyelesaikan renungan ini.
Bapak menganggap ini hadiah istimewa. Tidak semua anak mengetahui peristiwa kelahirannya dan kau salah seorang yang berbahagia, karena bapak masih sempat menceritakannya.
Kado sederhana dari Bapak, di tahun pertama bersama pasanganmu sehidup semati, Frederik Simanjuntak. Kado seorang ayah yang sangat menyayangimu!.
Kenangan ini bapak tuliskan untuk memaknai hari kelahiranmu dan peristiwa istimewa pada pernikahanmu tahun lalu, beberapa bulan menjelang Ulang Tahunmu ke-25.
Selamat Ulang Tahun ke-25 dan selamat menjalani HIDUP BARU bersama menantuku Frederick Simanjuntak, pilihan hatimu dan yang kami sayangi.
Menunggu Tengah Malam Hingga Pagi
Tengah malam 23 Maret 1989. Cuaca cerah di kota Pematangsiantar yang sepi. Hanya suara gelegar becak BSA, angkutan khas kota itu terdengar di kejauhan.
Malam itu, saya sendiri mengendarai mobil dinas Rektor Universitas Simalungun (USI), mengantarkan mamayang usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih, ke Klinik Bersalin Bidan br Tondang di Jalan Simalungun, Kelapa Dua, Pematangsiantar.
Beberapa jam menunggu, Patricia lahir normal pagi hari sekitar pukul 06.00. Peristiwa ini adalah pengalaman kedua menyaksikan isteri melahirkan. Tidak sedramatis kelahiran putri pertama, yang sempat mengalami pecah ketuban dan sempat kering. Pada kelahiran Patricia, hampir semua ciri-ciri akan melahirkan dan segala persiapan sudah dilakukan.
Saya memberimu nama Patricia Marcelina Girsang. Saya hanya mengingat arti nama Patricia, diambil dari seorang perempuan Cina yang meminta suaka ke Italia. Dia begitu tegar dan seorang yang sekuat tenaga berjuang dan pantang menyerah. Marcelina bapak sudah lupa artinya. Mungkin nama itu dari ompung perempuan yang pernah mengatakan nama Marta, Marcelina. Nanti Tanya ompung apa artinya. Mungkin diambil dari sana.
Pernah bapak cantumkan nama tambahan Anastasia. Tetapi karena kepanjangan, akhirnya dihapus. (nama ini kemudian saya berikan kepada adikmu Devi Anastasia. Ini mungkin yang membuat Patricia dan Devi begitu dekat, orang yang paling sedih ketika kau menikah).
Patricia sangat istimewa bagi saya. Nama Patricia juga mengingatkan Bapak saat sedang berada di posisi puncak, menjabat Rektor USI, saat masih muda (28 tahun). Kelahiranmu begitu membahagiakan Bapak dan Mama, menjadi perhatian banyak orang. Kau begitu menyenangkan!
Saya sempat terpikir memberimu nama Rektoriana. Tetapi tidak jadi. Bapak juga tidak ingat lagi alasannya. Tapi, untunglah tidak jadi, karena nama itu terlalu berat kau sandang. Beberapa bulan setelah kau lahir, bapak sudah melepas jabatan itu. Jabatan hanya sementara, dan tidak kekal.
Bahkan Bapak harus meninggalkanmu berbulan-bulan, hingga sewaktu kembali, Pety tidak mau bapak gendong lagi karena tidak kenal. Sedih ya!.
Sampai akhirnya kita pindah ke Medan, 1990. Kau menjalani masa-masa kecilmu di rumah kontrakan yang kecil selama bertahun-tahun. Guru-guru dan anak-anak Sekolah Minggi di jemaat Simalingkar membuat kalian tetap berbahagia. Mama selalu di ruah membimbing dan mengisnpirasi kalian.
Sekolah Katholik Budi Murni mulai SD sampai SMP memberimu didikan yang baik, hingga bisa memasuki SMA favorit di Medan.
Kau akhirnya merasakan enaknya kuliah di Universitas terbaik di negeri ini, bekerja dan kemudian menikah. Kini semua yang terbaik dianugerahkan Tuhan kepadamu, kepada Bapak dan Mama. Great Patricia!
Silitonga Hadir saat Kau Lahir, Boru Silitonga datang 25 Tahun Kemudian
Di ulang tahun ke-25 ini, Patricia baru saja mengalami peristiwa penting dalam hidupmu. Saat pernikahanmu, Bapak teringat sebuah peristiwa penting.
Satu atau dua bulan setelah Patricia lahir, Kol JP Silitonga—Bupati Simalungun (1980-1990), dan juga Ketua Umum Yayasan Universitas itu, melakukan peninjauan ke kompleks kampus USI, di Jalan Sisingamangaraja Barat, Pematangsiantar.
Dalam peninjauan itu, Bapak menceritakan baru saja dikaruniai putri kedua. Beliau senang sekali dan mengucapkan selamat. JP Silitonga adalah seorang orang tua yang sangat peduli dan memperhatikan anak buahnya.
(Bahkan hingga menjelang meninggalnya, Bapak masih sering dipanggil untuk berkonsultasi. Dia tidak pernah lupa kepada teman seperjuangannya)
Saat mau pulang, Setelah selesai meninjau kampus, Pak JP (panggilan akrabnya) langsung menyuruh supirnya mengarahkan mobil ke Rumah Dinas Rektor USI, yang kebetulan berada di kompleks USI.
Beliau masuk ke rumah dan menyalami Mama. Patricia yang saat itu masih tidur di kamar, langsung disuruh dibawa ke ruang tamu. “Wah, ini berkat untuk keuarga Pak Girsang. Cantik ya. Nanti orang pintar ini…” kata beliau.
(Bapak merasa apa yang diucapkan beliau terbukti. Prestasimu cukup membanggakan Bapak dan Mama, kemudian mendapat suami yang pintar dan baik pula).
Bapak masih ingat, beliau memberikan “kado” yang nilainya cukup besar untuk ukuran saya ketika itu.
Dua puluh lima tahun kemudian, Patricia menikah dengan menantu saya Frederick Simanjuntak, kebetulan ibunya boru Silitonga.
Ketika keluarga Simanjuntak melakukan kunjungan ke rumah kita, Marhusip, Juli, 2013, Bapak sangat senang. Boru Silitonga (mertua Patricia) adalah seorang ibu yang tegar, ramah, cantik dan lembut, mirip Mamamu ya.
Dia setia dan berjuang mendukung sekolah anak-anaknya. Meski sudah janda ketika anak-anaknya masih kecil-kecil, dengan gelar sintua yang disandangnya di HKBP, mertuamu tetap bersemangat dan mampu mengantar anak-anaknya menyelesaikan pendidikannya.
Saat itu, saya menceritakan bahwa Marga Silitonga sangat baik kepada Patricia, dan pasti boru Silitonga juga baik kepadanya. Semua tertawa dan semua bersuka cita.
Bapak sangat yakin, Patricia berbahagia memiliki mertua yang baik seperti itu. Keluarga besar mereka di Pekanbaru adalah Paradat dan sangat menghormati etika berkeluarga!
Bapak memaknai pernikahan Patricia dengan Frederick mengukuhkan “kebaikan” seorang marga Silitonga dua puluh lima tahun yang lalu. (Konon boru Silitonga (mertua Patricia) masih memiliki hubungan darah dengan Kol JP Silitonga).
Perbuatan baik Kolonel JP Silitonga dan ikatan keluarga kami saat ini dengan boru Silitonga di Pekanbaru meyakinkan saya bahwa pernikahan itu bukan rencana manusia.
(Kol JP Silitonga sendiri meninggal pada 20 September 2007. Memberi pengormatan atas kepergian beliau, saya menulis orbituarinya di harian Analisa, dan sebelumnya, saya diminta menulis otobiografinya: “Tuhan Berbicaralah, Hambamu Mendengarkan”. Otobiografi itu ditulis saat merayakan Ulang Tahunnya ke 80, pada 3 Januari 2006).
Pernikahan adalah rencana Tuhan. Sakral dan hanya “sekali seumur hidup”.
Terima kasih untuk menantuku Frederick Simanjuntak, Kau hadir dan mendampingi putriku di ulang tahunnya ke-25. Tulang berdoa buat kalian dan senantiasa bersuka cita dalam Tuhan!
SELAMAT ULANG TAHUN DAN SELAMAT MENJALANI HIDUP BARU. TUHAN MEMBERKATI
Catatan: tanggal 19 Pebruari 2015, pasangan Frederick Simanjuntak, ST dan Patricia Marcelina Girsang, SH dianugerahi Tuhan seorang bayi laki-laki dan diberi nama: Javier Marc Simanjuntak)
Malam ini sepulang dari makan malam di luar, bersama mama dan kedua adikmu Bernad dan Devi, bapak sendirian di meja kesayangan, berdoa dan menuliskan sesuatu yang mungkin ada artinya bagi hidupmu ke depan.
Mungkin di Depok, kalian sudah di peraduan, sementara Bapak masih menahan ngantuk menyelesaikan renungan ini.
Bapak menganggap ini hadiah istimewa. Tidak semua anak mengetahui peristiwa kelahirannya dan kau salah seorang yang berbahagia, karena bapak masih sempat menceritakannya.
Kado sederhana dari Bapak, di tahun pertama bersama pasanganmu sehidup semati, Frederik Simanjuntak. Kado seorang ayah yang sangat menyayangimu!.
Kenangan ini bapak tuliskan untuk memaknai hari kelahiranmu dan peristiwa istimewa pada pernikahanmu tahun lalu, beberapa bulan menjelang Ulang Tahunmu ke-25.
Selamat Ulang Tahun ke-25 dan selamat menjalani HIDUP BARU bersama menantuku Frederick Simanjuntak, pilihan hatimu dan yang kami sayangi.
Menunggu Tengah Malam Hingga Pagi
Tengah malam 23 Maret 1989. Cuaca cerah di kota Pematangsiantar yang sepi. Hanya suara gelegar becak BSA, angkutan khas kota itu terdengar di kejauhan.
Malam itu, saya sendiri mengendarai mobil dinas Rektor Universitas Simalungun (USI), mengantarkan mamayang usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih, ke Klinik Bersalin Bidan br Tondang di Jalan Simalungun, Kelapa Dua, Pematangsiantar.
Beberapa jam menunggu, Patricia lahir normal pagi hari sekitar pukul 06.00. Peristiwa ini adalah pengalaman kedua menyaksikan isteri melahirkan. Tidak sedramatis kelahiran putri pertama, yang sempat mengalami pecah ketuban dan sempat kering. Pada kelahiran Patricia, hampir semua ciri-ciri akan melahirkan dan segala persiapan sudah dilakukan.
Saya memberimu nama Patricia Marcelina Girsang. Saya hanya mengingat arti nama Patricia, diambil dari seorang perempuan Cina yang meminta suaka ke Italia. Dia begitu tegar dan seorang yang sekuat tenaga berjuang dan pantang menyerah. Marcelina bapak sudah lupa artinya. Mungkin nama itu dari ompung perempuan yang pernah mengatakan nama Marta, Marcelina. Nanti Tanya ompung apa artinya. Mungkin diambil dari sana.
Pernah bapak cantumkan nama tambahan Anastasia. Tetapi karena kepanjangan, akhirnya dihapus. (nama ini kemudian saya berikan kepada adikmu Devi Anastasia. Ini mungkin yang membuat Patricia dan Devi begitu dekat, orang yang paling sedih ketika kau menikah).
Patricia sangat istimewa bagi saya. Nama Patricia juga mengingatkan Bapak saat sedang berada di posisi puncak, menjabat Rektor USI, saat masih muda (28 tahun). Kelahiranmu begitu membahagiakan Bapak dan Mama, menjadi perhatian banyak orang. Kau begitu menyenangkan!
Saya sempat terpikir memberimu nama Rektoriana. Tetapi tidak jadi. Bapak juga tidak ingat lagi alasannya. Tapi, untunglah tidak jadi, karena nama itu terlalu berat kau sandang. Beberapa bulan setelah kau lahir, bapak sudah melepas jabatan itu. Jabatan hanya sementara, dan tidak kekal.
Bahkan Bapak harus meninggalkanmu berbulan-bulan, hingga sewaktu kembali, Pety tidak mau bapak gendong lagi karena tidak kenal. Sedih ya!.
Sampai akhirnya kita pindah ke Medan, 1990. Kau menjalani masa-masa kecilmu di rumah kontrakan yang kecil selama bertahun-tahun. Guru-guru dan anak-anak Sekolah Minggi di jemaat Simalingkar membuat kalian tetap berbahagia. Mama selalu di ruah membimbing dan mengisnpirasi kalian.
Sekolah Katholik Budi Murni mulai SD sampai SMP memberimu didikan yang baik, hingga bisa memasuki SMA favorit di Medan.
Kau akhirnya merasakan enaknya kuliah di Universitas terbaik di negeri ini, bekerja dan kemudian menikah. Kini semua yang terbaik dianugerahkan Tuhan kepadamu, kepada Bapak dan Mama. Great Patricia!
Silitonga Hadir saat Kau Lahir, Boru Silitonga datang 25 Tahun Kemudian
Di ulang tahun ke-25 ini, Patricia baru saja mengalami peristiwa penting dalam hidupmu. Saat pernikahanmu, Bapak teringat sebuah peristiwa penting.
Satu atau dua bulan setelah Patricia lahir, Kol JP Silitonga—Bupati Simalungun (1980-1990), dan juga Ketua Umum Yayasan Universitas itu, melakukan peninjauan ke kompleks kampus USI, di Jalan Sisingamangaraja Barat, Pematangsiantar.
Dalam peninjauan itu, Bapak menceritakan baru saja dikaruniai putri kedua. Beliau senang sekali dan mengucapkan selamat. JP Silitonga adalah seorang orang tua yang sangat peduli dan memperhatikan anak buahnya.
(Bahkan hingga menjelang meninggalnya, Bapak masih sering dipanggil untuk berkonsultasi. Dia tidak pernah lupa kepada teman seperjuangannya)
Saat mau pulang, Setelah selesai meninjau kampus, Pak JP (panggilan akrabnya) langsung menyuruh supirnya mengarahkan mobil ke Rumah Dinas Rektor USI, yang kebetulan berada di kompleks USI.
Beliau masuk ke rumah dan menyalami Mama. Patricia yang saat itu masih tidur di kamar, langsung disuruh dibawa ke ruang tamu. “Wah, ini berkat untuk keuarga Pak Girsang. Cantik ya. Nanti orang pintar ini…” kata beliau.
(Bapak merasa apa yang diucapkan beliau terbukti. Prestasimu cukup membanggakan Bapak dan Mama, kemudian mendapat suami yang pintar dan baik pula).
Bapak masih ingat, beliau memberikan “kado” yang nilainya cukup besar untuk ukuran saya ketika itu.
Dua puluh lima tahun kemudian, Patricia menikah dengan menantu saya Frederick Simanjuntak, kebetulan ibunya boru Silitonga.
Ketika keluarga Simanjuntak melakukan kunjungan ke rumah kita, Marhusip, Juli, 2013, Bapak sangat senang. Boru Silitonga (mertua Patricia) adalah seorang ibu yang tegar, ramah, cantik dan lembut, mirip Mamamu ya.
Dia setia dan berjuang mendukung sekolah anak-anaknya. Meski sudah janda ketika anak-anaknya masih kecil-kecil, dengan gelar sintua yang disandangnya di HKBP, mertuamu tetap bersemangat dan mampu mengantar anak-anaknya menyelesaikan pendidikannya.
Saat itu, saya menceritakan bahwa Marga Silitonga sangat baik kepada Patricia, dan pasti boru Silitonga juga baik kepadanya. Semua tertawa dan semua bersuka cita.
Bapak sangat yakin, Patricia berbahagia memiliki mertua yang baik seperti itu. Keluarga besar mereka di Pekanbaru adalah Paradat dan sangat menghormati etika berkeluarga!
Pernikahan Patricia dan Erick, di HKBP Pekanbaru, 9 Nopember 2013
Bapak memaknai pernikahan Patricia dengan Frederick mengukuhkan “kebaikan” seorang marga Silitonga dua puluh lima tahun yang lalu. (Konon boru Silitonga (mertua Patricia) masih memiliki hubungan darah dengan Kol JP Silitonga).
Perbuatan baik Kolonel JP Silitonga dan ikatan keluarga kami saat ini dengan boru Silitonga di Pekanbaru meyakinkan saya bahwa pernikahan itu bukan rencana manusia.
(Kol JP Silitonga sendiri meninggal pada 20 September 2007. Memberi pengormatan atas kepergian beliau, saya menulis orbituarinya di harian Analisa, dan sebelumnya, saya diminta menulis otobiografinya: “Tuhan Berbicaralah, Hambamu Mendengarkan”. Otobiografi itu ditulis saat merayakan Ulang Tahunnya ke 80, pada 3 Januari 2006).
Pernikahan adalah rencana Tuhan. Sakral dan hanya “sekali seumur hidup”.
Terima kasih untuk menantuku Frederick Simanjuntak, Kau hadir dan mendampingi putriku di ulang tahunnya ke-25. Tulang berdoa buat kalian dan senantiasa bersuka cita dalam Tuhan!
SELAMAT ULANG TAHUN DAN SELAMAT MENJALANI HIDUP BARU. TUHAN MEMBERKATI
Catatan: tanggal 19 Pebruari 2015, pasangan Frederick Simanjuntak, ST dan Patricia Marcelina Girsang, SH dianugerahi Tuhan seorang bayi laki-laki dan diberi nama: Javier Marc Simanjuntak)
Sabtu, 22 Maret 2014
BEDA ANJING DAN MANUSIA
Oleh: Jannerson Girsang
Manusia beda dengan anjing. Manusia punya martabat, punya harga diri dan mampu menaklukkan lingkungannya, tidak tergantung kepada seseorang.
Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, seekor anak anjing yang kudisan dan menjijikkan datang ke teras rumah saya. Tampaknya kurang terurus.
Lantas, saya memberinya makan seadanya, karena kasihan. Tapi, anehnya, dia tidak mau pergi dan tetap tinggal di teras, menjadi penghuni baru.
Karena tiap hari datang, timbul niat saya memeliharanya. Beberapa hari kemudian, saya memandikannya, memberi obat pada luka-luka di tubuhnya.
Beberapa minggu kemudian, anak anjing itu jadi menarik perhatian semua anak-anak, termasuk saya sendiri, karena memang mungkin dari keturunan anjing yang bagus. Anak saya memberinya nama Boncel!. Tapi tidak ada marganya, seperti keluarga saya.
Yang menarik, anjing begitu loyal kepada induk semangnya. Dia mengenal betul siapa yang menjadi tuannya. Kalau saya pulang dari mana saja, dari jauh, beberapa ratus meter dari rumah, anjing berwarna putih dan sangat menyenangkan itu, sudah menjemput saya.
Lama kelamaan, dia mengenal anjing-anjing lain dan berhubungan dengan anjing jantan yang lewat di depan rumah kami.
Begitulah Anjing, tidak perlu memilih bebet, bobot calon suaminya. Entah mereka satu marga atau satu ibu, mereka tidak pernah tau.
Dia kemudian hamil dan melahirkan. Saya sungguh takjub melihat anjing. Dia bisa melahirkan 2 kali setahun, dan jumlahnyapun cukup banyak--7-8 ekor. Selama di rumah kami, anjing itu melahirkan tiga kali. Banyak anggota keluarga yang kebagian anak-anak anjing.
Bahkan anak saya Bernard Patralison Girsang pernah memelihara anaknya: si Don. Dia sangat sayang kepada anak anjing itu, bahkan pernah "berdoa kepada Tuhan" agar kami tidak memotongnya, karena tidak suka lagi memelihara anjing.
(Tapi suatu hari tanpa sepengetahuannya, keluarga saya di kampung membawanya. Dia sangat sedih)
Satu hal yang kurang menyenangkan adalah anjing tidak suka diganggu. Sekali diganggu, dia tau siapa yang mengganggu, dan ketika lewat di depan rumah, dia akan menggongong dan mengejarnya. Bagi yang tidak terbiasa memelihara anjing, maka dia akan ketakutan. Mereka yang pernah digonggongpun mengeluh dan mengundang masalah.
Selain itu anjing tidak pernah memilih-milih temannya. Tidak peduli apakah temannya banyak kutu atau bersih. Hingga suatu ketika, dia memiliki banyak kutu. Jorok dan beberapa bagian tubuhnya sampai terluka.
Akhirnya induk anjing saya antarkan ke belakang Rumah Sakit Adam Malik dan kulepas di sebuah jalan yang sepi. Kembali tak bertuan. Anak-anaknya dibagi-bagi kepada keluarga.
Entah dimana anjing itu sekarang!. Anjing tidak mampu bersikap baik dan memikirkan bahaya yang dilakukannya.
Dia hidup sesuai dengan kemauan bosnya. Bosnya lagi pengen anjing, maka dia hidup dengan bosnya. Ketika bosnya sudah tidak butuh, dia dibuang begitu saja.
Tentu tidak ada bos yang mau memperlakukan manusia, seperti saya memperlakukan si Boncel dan si Don!
Manusia beda dengan anjing. Manusia punya martabat, punya harga diri dan mampu menaklukkan lingkungannya, tidak tergantung kepada seseorang.
Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, seekor anak anjing yang kudisan dan menjijikkan datang ke teras rumah saya. Tampaknya kurang terurus.
Lantas, saya memberinya makan seadanya, karena kasihan. Tapi, anehnya, dia tidak mau pergi dan tetap tinggal di teras, menjadi penghuni baru.
Karena tiap hari datang, timbul niat saya memeliharanya. Beberapa hari kemudian, saya memandikannya, memberi obat pada luka-luka di tubuhnya.
Beberapa minggu kemudian, anak anjing itu jadi menarik perhatian semua anak-anak, termasuk saya sendiri, karena memang mungkin dari keturunan anjing yang bagus. Anak saya memberinya nama Boncel!. Tapi tidak ada marganya, seperti keluarga saya.
Yang menarik, anjing begitu loyal kepada induk semangnya. Dia mengenal betul siapa yang menjadi tuannya. Kalau saya pulang dari mana saja, dari jauh, beberapa ratus meter dari rumah, anjing berwarna putih dan sangat menyenangkan itu, sudah menjemput saya.
Lama kelamaan, dia mengenal anjing-anjing lain dan berhubungan dengan anjing jantan yang lewat di depan rumah kami.
Begitulah Anjing, tidak perlu memilih bebet, bobot calon suaminya. Entah mereka satu marga atau satu ibu, mereka tidak pernah tau.
Dia kemudian hamil dan melahirkan. Saya sungguh takjub melihat anjing. Dia bisa melahirkan 2 kali setahun, dan jumlahnyapun cukup banyak--7-8 ekor. Selama di rumah kami, anjing itu melahirkan tiga kali. Banyak anggota keluarga yang kebagian anak-anak anjing.
Bahkan anak saya Bernard Patralison Girsang pernah memelihara anaknya: si Don. Dia sangat sayang kepada anak anjing itu, bahkan pernah "berdoa kepada Tuhan" agar kami tidak memotongnya, karena tidak suka lagi memelihara anjing.
(Tapi suatu hari tanpa sepengetahuannya, keluarga saya di kampung membawanya. Dia sangat sedih)
Satu hal yang kurang menyenangkan adalah anjing tidak suka diganggu. Sekali diganggu, dia tau siapa yang mengganggu, dan ketika lewat di depan rumah, dia akan menggongong dan mengejarnya. Bagi yang tidak terbiasa memelihara anjing, maka dia akan ketakutan. Mereka yang pernah digonggongpun mengeluh dan mengundang masalah.
Selain itu anjing tidak pernah memilih-milih temannya. Tidak peduli apakah temannya banyak kutu atau bersih. Hingga suatu ketika, dia memiliki banyak kutu. Jorok dan beberapa bagian tubuhnya sampai terluka.
Akhirnya induk anjing saya antarkan ke belakang Rumah Sakit Adam Malik dan kulepas di sebuah jalan yang sepi. Kembali tak bertuan. Anak-anaknya dibagi-bagi kepada keluarga.
Entah dimana anjing itu sekarang!. Anjing tidak mampu bersikap baik dan memikirkan bahaya yang dilakukannya.
Dia hidup sesuai dengan kemauan bosnya. Bosnya lagi pengen anjing, maka dia hidup dengan bosnya. Ketika bosnya sudah tidak butuh, dia dibuang begitu saja.
Tentu tidak ada bos yang mau memperlakukan manusia, seperti saya memperlakukan si Boncel dan si Don!
Selasa, 18 Maret 2014
JANGAN GOLPUT di PILEG 2014!
Oleh: Jannerson Girsang
Selamat Pagi dan salam Sejahtera teman-teman.
Turut menggunakan hak di Pileg 2014, berarti Anda ikut mengawasi jalannya pemilu di TPS dan berpartisipasi memilih caleg berkualitas.
Menuju 9 April 2014, beberapa survey memperkirakan Golput meningkat dari Pemilu Legislatif 2009. Puluhan juta kertas suara akan terbuang percuma. Kasihan jutaan petugas KPPS, pegawai KPU yang berdedikasi dan bekerja keras mensukseskan Pemilu, kasihan rakyat yang telah menyisihkan pajaknya untuk biaya Pemilu!.
Menurut tokoh Partai Gerindra Hasyim Joyohadikusumo, kertas suara yang kosong ini bisa menggoda orang melakukan kecurangan. Jadi, ikut mencoblos di TPS menurutnya turut melakukan pengawasan jalannya Pemilu yang bersih dan memilih caleg yang berkualitas.
Golput berarti tidak menghargai jerih payah lebih dari 3.5 juta petugas KPPS di TPS (7 orang petugas KPPS, di 545.647 TPS di seluruh Indonesia), ribuan pegawai KPU Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota. Mereka adalah teman sebangsa Anda yang berdedikasi, bekerja keras mempersiapkan penyaluran hak pilih rakyat melalui pencoblosan di TPS.
Kami adalah orang-orang kecil dan tidak pernah menikmati enaknya jadi anggota legislatif. Sebagai petugas KPPS beberapa Pemilu, kami rela berjemur di panas, kedinginan kalau datang hujan, lelah menghitung suara kadang sampai larut malam. Semua demi tegaknya demokrasi di Indonesia.
Ujung-ujungnya, saya sedih melihat surat suara yang hampir 50% kosong, dan harus dikembalikan, tanpa dicoblos. Kertas berkualitas tinggi itu, sia-sia. Sebagian dari Rp. 16.000.000.000.000,biaya Pemilu 2014, seolah membuang "garam ke laut".
Mari, jangan sia-siakan uang rakyat. Jangan biarkan kertas suara kosong, jadi potensi sumber kecurangan. Datanglah ke TPS, 9 April 2014!
Turut memilih, berarti Anda berpastisipasi mengawasi jalannya Pemilu di TPS, mendorong terpilihnya caleg-caleg terbaik bangsa!.
Pastikan diri Anda terdaftar di DPT.
Turut menggunakan hak di Pileg 2014, berarti Anda ikut mengawasi jalannya pemilu di TPS dan berpartisipasi memilih caleg berkualitas.
Menuju 9 April 2014, beberapa survey memperkirakan Golput meningkat dari Pemilu Legislatif 2009. Puluhan juta kertas suara akan terbuang percuma. Kasihan jutaan petugas KPPS, pegawai KPU yang berdedikasi dan bekerja keras mensukseskan Pemilu, kasihan rakyat yang telah menyisihkan pajaknya untuk biaya Pemilu!.
Menurut tokoh Partai Gerindra Hasyim Joyohadikusumo, kertas suara yang kosong ini bisa menggoda orang melakukan kecurangan. Jadi, ikut mencoblos di TPS menurutnya turut melakukan pengawasan jalannya Pemilu yang bersih dan memilih caleg yang berkualitas.
Golput berarti tidak menghargai jerih payah lebih dari 3.5 juta petugas KPPS di TPS (7 orang petugas KPPS, di 545.647 TPS di seluruh Indonesia), ribuan pegawai KPU Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota. Mereka adalah teman sebangsa Anda yang berdedikasi, bekerja keras mempersiapkan penyaluran hak pilih rakyat melalui pencoblosan di TPS.
Kami adalah orang-orang kecil dan tidak pernah menikmati enaknya jadi anggota legislatif. Sebagai petugas KPPS beberapa Pemilu, kami rela berjemur di panas, kedinginan kalau datang hujan, lelah menghitung suara kadang sampai larut malam. Semua demi tegaknya demokrasi di Indonesia.
Ujung-ujungnya, saya sedih melihat surat suara yang hampir 50% kosong, dan harus dikembalikan, tanpa dicoblos. Kertas berkualitas tinggi itu, sia-sia. Sebagian dari Rp. 16.000.000.000.000,biaya Pemilu 2014, seolah membuang "garam ke laut".
Mari, jangan sia-siakan uang rakyat. Jangan biarkan kertas suara kosong, jadi potensi sumber kecurangan. Datanglah ke TPS, 9 April 2014!
Turut memilih, berarti Anda berpastisipasi mengawasi jalannya Pemilu di TPS, mendorong terpilihnya caleg-caleg terbaik bangsa!.
Pastikan diri Anda terdaftar di DPT.
Sebuah terobosan baru dan
pantas kita hargai, pada Pemilu Legislatif 2014, KPU sudah membuat
database seluruh Pemilih yang dengan mudah bisa dibuka di website. Sebuah prestasi luar biasa KPU di era reformasi ini.
Pertama, Periksa nama Anda, apakah sudah terdaftar atau belum di DPT.
Klik website KPU data.kpu.go.id/dpt.php!.
Setelah terbuka, masukkan NIK KTP. Website ini akan memberitahu Anda Nomor TPS tempat Anda memilih. Enak kan?. Kurang apa lagi?.
Tidak usah ribut-ribut nanti
di TPS. Kalau belum terdaftar, hubungi Kepling atau minta keterangan
dari KPU!.
Keluarga saya semua sudah terdaftar. Pastikan semua anggota keluarga Anda sudah terdaftar di DPT.
Himbauan keprihatinan ini kusampaikan kepada seluruh bangsa ini, khususnya generasi Muda. Gunakanlah hak pilihmu, cintailah negerimu.
Himbauan keprihatinan ini kusampaikan kepada seluruh bangsa ini, khususnya generasi Muda. Gunakanlah hak pilihmu, cintailah negerimu.
Penulis pernah menjadi anggota/Ketua KPPS Pemilu, Pilpres, Pilgub dan Pilkada!
Langganan:
Postingan (Atom)