http://nias-bangkit.com, 23 Oktober 2014.
Oleh Jannerson Girsang [1]
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
NBC — Berita kepergian Hikayat
Manaö Minggu, 12 Oktober 2014, sekitar pukul 15.10, mengagetkan banyak
pihak. Pria yang dikenal sebagai koreografer, konduktor, pencipta lagu
sekaligus penyanyi Nias ini kukenal sangat energik, perkasa, dan tak
pernah terdengar sakit.
“Seminggu sebelum dikabarkan meninggal, saya ngobrol lama dengan beliau lewat telepon,”’ujar Apolonius Lase, penulis buku
Kamus Li Niha yang sering berbincang dengan Hikayat Manaö.
Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ
Saat mendengar berita duka itu saya sedang berada di Bekasi, Jawa
Barat, mengunjungi saudara saya yang bermukim di sana. Melalui status
Facebook Reny (Markom NBC), saya menyaksikan foto seorang pria yang
sangat kukenal. Saya teperanjat, Hikayat Manaö meninggal!
Tentu, sama dengan saya, ribuan penduduk Nias, khususnya Desa
Bawömataluo, para sahabatnya, pencinta budaya NIas, para pengamat
budaya, kita semua kehilangan pria kelahiran 12 Juli 1958 itu.
Beberapa menit saya termenung dan berdoa bagi keluarga
yang ditinggalkannya. Kepergiannya membuatku kehilangan seorang “guru”
yang selama ini menjadi sumber informasi dalam menulis budaya dan
wisata Nias.
Perpustakaanku terbakar! Tak mungkin lagi saya menggali ribuan file
yang tersimpan dalam pikirannya yang belum terpublikasi. Mustahil
kugali ungkapan-ungkapan dan emosi khas dari pria yang selama puluhan
tahun menggeluti budaya dan menguasai banyak hal tentang budaya Nias.
Kenangan Tiga Tahun Lalu
Memutar memori ke belakang, terkenang kembali suatu hari
padaFebruari 2011, pertemuan pertama kami di rumahnya di Bawömataluo,
saat NBC mengutus saya dan Reny (Ketjel Zagötö) melakukan wawancara
dengan Hikayat untuk sebuah publikasi selama tiga jam lebih.
Sore itu, dari gerbang sebelah Timur, saya dan Reny menapaki 86 anak
tangga menuju puncak Desa Bawömataluo yang terletak 250 meter di atas
permukaan laut. Di tangga akhir, saya menyaksikan kehebatan rumah-rumah
adat peninggalan era megalitik.
Menyusuri perkampungan peninggalan megalitik ibarat masuk
ke ruangan masa lalu yang belum pernah terbayang. Sebelah kiri dan
kanan terdapat deretan rumah adat yang dihuni masyarakat (
Omo Hada) berjejer rapi. Salah satu rumah di jejeran sebelah kiri berbentuk unik yang dikenal sebagai rumah raja (
Omo Sebua).
Reny kemudian menunjukkan sebuah rumah sejajar
Omo Sebua,
hanya beberapa rumah dari sana. Itulah rumah Hikayat Manaö. Di sanalah
budayawan yang kesohor itu menunggu kami. Awalnya, saya membayangkan
wajahnya yang seram dan bicaranya agak kasar. Sambutan yang hangat dan
tutur katanya yang lembut membuyarkan bayangan. Initoh yang disebut
Panglima itu.
Ternyata, dia bukan pria seseram yang saya bayangkan.
Kesan pertama saya, Hikayat adalah orang yang cepat akrab, humoris.
Meski baru pertama kali bertemu, pria ini mampu menciptakan suasana
seolah kami sudah lama saling kenal, menghubungkan orang-orang yang
dikenalnya dekat dengan tamunya.
Hikayat dengan rendah hati mengoreksi dengan sabar dan
sopan kalau ada kesalahan-kesalahan kata yang saya ucapkan dalam bahasa
Nias, kalau ada istilah yang saya kurang mengerti.
Budaya adalah darah dagingnya. Membicarakan budaya adalah
salah satu sumber kebahagiaannya. Dia tidak kenal waktu dan tak
mengenal lelah. Kata-kata keluar dari mulutnya bak air mengalir.
Bukan saya sendiri. Jodhi Yudhono, wartawan Kompas.com,
dan dua penulis Nias yang saya kenal, Apolonius Lase dan Etis Nehe,
juga mengakui hal yang sama. Beliau adalah sumber berita yang hangat
tentang budaya Nias. “Dari pembicaraan saya dengan beliau seperti biasa
saya menangkap aura dan semangat yang berkobar-kobar tatkala bicara
soal budaya dan tradisi-tradisi kami
Ono Niha.”
Orangnya enak diajak bicara dan terbuka menjelaskan semua pertanyaan. Jawaban-jawabannya jelas, sekali-sekali dia menikmati (
afo)
sirih khas Nias. Sore itu, kami mengakhir pembicaraan yang sudah
berlangsung hampir tiga jam karena matahari memerah di ufuk barat Desa
Bawomataluo yang juga dikenal sebagai “Bukit Matahari” itu dan harus
kembali ke Gunungsitoli.
***
Pertemuan pertama itu menyusul kebersamaan kami selama tiga hari
dalam Pagelaran Budaya Nias, 13-15 Maret 2011, memungkinkan saya
mengamati kegiatanHikayat dari dekat. Pagi-pagi keluar rumah langsung
mengatur puluhan anak buahnya untuk mempersiapkan beberapa pertunjukan
tari, serta permainan-pemainan tradisional lainnya. Dia aktif
mengoordinasikan semua kegiatan, bahkan ikut sebagai pemain.
Lantas dia dikerumuni wartawan. Dia berperan sebagai humas, menjadi
sumber informasi bagi wartawan televisi yang saat itu saya catat hadir,
antara lain TVOne dan Trans-7, serta media nasional lainnya. Dia
menjadi penyuara budaya desanya, Bawömataluo, ke luar Nas sehingga
diketahui jutaan orang di luar desanya.
Sesudah acara itu, saya tidak pernah bertemu lagi dan berkomunikasi hanya melalui telepon.
Suatu ketika, saya sudah janji akan bertemu sesudah ia kembali dari
sebuah pergelaran budaya di Jakarta.Namun, karena sesuatu hal pertemuan
itu urung berlangsung. Janji terakhir dan tidak mungkin terwujud
seperti pertemuan di rumahnya tiga tahun lalu.
***
Bertemu dengan Hikayat Manaö seolah masuk ke sebuah perpustakaan
besar yang didalamnya semua serba komplet, khususnya budaya Nias. Dia
adalah sumber inspirasi tentang seorang pencinta budaya. Kegigihan,
ketulusan, tanpa pamrih serta semangatnya mewariskan pentingnya budaya
dilestarikan adalah sebuah sikap yang langka di zaman hedonisme sekarang
ini.
Kini, bertemu dengan Hikayat Manaö mustahil bagi saya terjadi lagi.
Kerinduan menggali informasi tentang budaya Nias dari dirinya hanyalah
mimpi di siang bolong. Itulah kesedihan pribadi saya atas kepergiannya,
kesedihan para penulis lainnya. Perpustakaanku terbakar, ribuan file turut lenyap bersama kepergiannya.
Kehidupan masa kecil Hikayat Manaö menarik diungkap mengingat saat
ini banyak keluhan soal fasilitas dalam mengembangkan budaya. Hikayat
Manaö telah membuktikan, dengan fasilitas yang terbatas, tempat yang
terisolasi, beliau mampu melakukan pengembangan dan pembaharuan budaya
Bawömataluo.
Desa Bawömataluo yang terkenal dengan nilai budaya tinggi
peninggalan era megalitik itu bukan sebuah desa yang mencerminkan
kemakmuran kehidupan penduduknya. Tidak sehebat popularitas yang
disandangnya.
Pada masa kecil Hikayat, penduduk desa berada di bawah
garis kemiskian. Mungkin hingga kini, penduduknya masih terbelakang
dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera. Di desa seperti
inilah Hikayat dilahirkan dan dibesarkan.
***
Sejak kecil Hikayat sudah terbiasa hidup dengan seni, bahkan ketika
duduk di sekolah dasar menjadi dirigen di sekolahnya. Darah seni
mengalir di tubuhnya di tengah lingkungannya hidup dalam kemiskinan.
Dia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa
kelahirannya. Karena SMP belum ada di sekitar desanya, setelah lulus SD
Katolik Bawömataluo, Hikayat melanjutkan sekolahnya ke SMP Bintang
Laut di Telukdalam dan tinggal di asrama sekolah itu.
Di asrama itu dia menjadi pemukul lonceng gereja hanya
untuk mendapatkan sepotong ikan kecil. “Pekerjaan saya di asrama adalah
membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil
oleh Zr Lumbertin,”ujarnya suatu ketika.
seusai menamatkan SMP, Hikayat melanjutkan SMA ke Gunungsitoli. Dia
pernah bercerita bahwa transportasi saat itu di Nias masih sulit. “Saat
itu, bepergian ke Gunungsitoli, layaknya berangkat ke luar negeri.
Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat
60 penumpang dan barang,”ujarnya, dalam sebuah wawancara NBC.
Waktu tempuh dari Telukdalam ke Gunung Sitoli bisa
mencapai 9 jam. Bandingkan sekarang jarak itu bisa ditenpuh dalam 2-3
jam dan perjalanan dapat dilakukan setiap saat.
Masa-masa SMA-nya di Gunungsitoli dijalaninya dengan penuh
keprihatinan. Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah
keluarga, hanya berbekal beras dari Bawömataluo. Untuk membeli kecap
penyedap nasi putihnya, Hikayat harus bekerja membuat batubata dengan
upah Rp 3 per buah. Bahkan, karena hanya memiliki sepasang pakaian
seragam, ia jarang ke gereja.
Mungkin pembukaan lapangan terbang Binaka di Gunungsitoli barangkali
sebuah kebahagiaannya yang menonjol, di tengah keprihatinan hidupnya.
“Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat
Capung di Bandara Binaka,”ujarnya tertawa, suatu sore di rumahnya.
Menyelesaikan SMA selama tiga tahun Hikayat
berpindah-pindah sekolah. Dia pernah putus sekolah dan memburuh ke
Balige di Tapanuli, Pulau Sumatera, kemudian menjadi penjual sepatu di
Pematangsiantar.
Akhirnya dengan bantuan mantan kepala sekolahnya di Gunungsitoli
Hikayat mendapat kesempatan menyelesaikan SMA-nya di Gunungsitoli
melalui jalur ekstraner selama enam bulan.
“Hombo Batu”: Mengubah Nasib
Hombo batu menjadi tonggak perubahan kehidupan Hikayat. Seperti pernah dikisahkannya, para pengunjung yang menonton
hombo batu ternyata tidak hanya melihat olahraga tradisional terkenal Nias itu sebagai hiburan belaka.
Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA,
Pangdam II Bukit Barisan Soesilo Soedarman ketika itu berkunjung ke
Bawömataluo. Dia menunjukkan kehebatannya di depan panglima.
Kehebatan para pria, termasuk Hikayat Manaö, mengundang
decak kagum Panglima TNI dan menawarkan anak-anak muda seperti Hikayat
dididik menjadi tentara. Panglima mengajak dirinya dan dua temannya.
Meski akhirnya tidak menjadi tentara, ajakan Panglima TNI
itu telah mengubah kehidupannya. Niatnya menjadi tentara itu urung
terwujud setelah membaca berita tentang nasib para tentara di Timor
Timor. “Saya akhirnya memutuskan tidak menjadi tentara,” ujarnya.
Namun, Hikayat tetap dihargai dan seorang pejabat di Kodam I Bukit
Barisan memberi ongkosnya kembali ke Nias. Akan tetapi, Hikayat tidak
kembali ke Nias, justru memilih berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, Hikayat mendapat pekerjaan di sebuah
perusahaan. Pendapatannya cukup lumayan sehingga mampu membelanjai
dirinya dan biaya perkuliahan. Sambil bekerja, dia kuliah seusai
bekerja di Akademi Teknik Komputer di Matraman, Jakarta. Sayangnya, dia
tidak sampai menyelesaikan perkuliahannya. Perusahaan tempatnya
bekerja juga akhirnya melakukan perampingan pegawai.
“Saya akhirnya keluar karena yang diajarkan cuma teori melulu, tidak pernah memegang computer,” katanya tiga tahun lalu.
[Bersambung]
[1]
Jannerson Girsang,
Penulis Biografi, tinggal di Medan. Dia juga menulis Profil Hikayat Manao yang dimuat di Nias-Bangkit.com, Maret 2011. - See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf