Oleh: Jannerson Girsang
"Selamat sore Father!. Enak banget di kantor ini. Lawyernya ramah. Smua baik. Terus makan siang disediakan ternyata...he..he,",
Demikian bunyi sms dari putri bontotku, Devee Girsang, sore ini sesaat menjelang pulang kantor,
Kesan dari bontotku yang menyenangkan bekerja di hari pertama di sebuah kantor Lawyer di bilangan CBD Kuningan, Jakarta, setelah wisuda dari President University, 6 Juni 2015 lalu.
Sebagai orang tua, mendengar kesan pertama hari pertama anak bekerja, khususnya si bontot, memupus semua kekhawatiran, kesusahan dan penderitaan selama ini.
Ibarat kata pepatah: "Kemarau setahun, pupus oleh hujan sehari"
Terharu, bangga dan bersyukur. Anak bontot yang kebanyakan manja ternyata tidak dengan putriku yang satu ini.
Teringat beberapa tahun lalu. Bontotku selalu ingin melakukan sesuatu sendiri.
Mencari kampusnya sendiri. Bahkan sebelum lulus SMA Methodis di Medan, diam-diam dia sudah mengikuti testing di President University, sebuah ampus yang relatif sangat mahal di bilangan Cikarang, Jakarta.
"Nanti kalau tidak lulus di SNMPTN, saya sudah punya tempat kuliah," katanya tiga setengah tahun yang lalu.
Memang, perkiraannya benar. Dia tidak lulus SNMPTN, tidak mengikuti kakak-kakak dan abangnya yang masuk PTN di Jakarta. Sempat sedih sebentar!
Lalu, dia akhirnya memutuskan kuliah di President University, sebuah kampus dengan pengantar bahasa Inggeris, padahal dia adalah BTL, Batak Tembak Langsung dari Medan! .
Tak pernah saya bermimpi mengirim anak-anak saya kuliah di kampus ini. Bukan hanya karena saya ragu kemampuan bahasa Inggeris putriku, tetapi karena mahalnya uang kuliah.
Kalau saya jumlah: jumlah uang kuliah ketiga kakak-kakak dan abangnya, 2 kali lipat dari uang kuliahnya sendirian. .
Ternyata President University adalah sebuah kampus bernuansa "asing" di sebuah kompleks industri di bawah asuhan Kawasan Industri Jababeka, sekitar 50-an kilometer sebelah Timur Jakarta. (Nuansa asing itu terasa saat wisuda, pidato, sambutan semuanya disampaikan dalam bahasa Inggeris).
Saya sering mengatakan kepada teman-teman, "Anak-anak kita sekarang ini jauh lebih pintar dan lebih berani dari kita. Mereka hidup di dekade yang jauh berbeda dari kita, Kita tak berhak menggurui mereka".
Saya selalu yakin itu. Makanya tidak pernah meragukan pilihan mereka!
Saya yang lulusan IPB Bogor tahun 80-an, dan sudah tinggal di Medan sejak 1990, sebelumnya tidak pernah tau dimana dan bagaimana itu President University.
Mencari pekerjaan juga dia melakukannya sendiri. Dia tidak pernah mau menggunakan dukungan orangtuanya. Padahal, saya punya banyak keluarga dan teman lawyer. '
"Tidak usah bapak yang mencari pekerjaanku, biarkan putrimu mandiri Pak. I love you Father. You are my hero," katanya suatu ketika, saat saya menawarkan bantuan untuk membantunya mencari pekerjaan.
Saya menurutinya. Ternyata dia bisa!
Seperti menabur benih, kami sebagai orang tua tidak pernah mengetahui bagaimana prosesnya putriku ini menjadi Sarjana Hukum, kapan dia akan memperoleh pekerjaan.
Kami tidak pernah khawatir seorang gadis harus kos sendiri di tempat yang jauh. Dari jauh saya hanya berdoa, memberi arahan.
Tuhanlah yang menumbuhkan benih yang kutabur itu dan kini sudah mampu mandiri, dalam usianya menjelang 22 tahun (bontotku lahir 19 Oktober 1993).
Perkuliahan bontotku adalah sebuah perjalanan iman saya dan istri yang luar biasa,
Dia kuliah di kampus yang mahal, saat tenaga sudah lemah, di saat persediaan sudah menipis, setelah tiga kakak dan abangnya menyelesaikan perkuliahannya.
Awalnya saya ragu dan tidak mampu membayar uang kuliahnya. Saya bukanlah orang yang berkelebihan. Tetapi semua cukup dan tersedia saat dibutuhkan.
Kami hanya bermodal prinsip. "Kuliah adalah investasi prioritas! Apapun dikorbankan demi kuliah anak-anak".
Itulah terjemahan kami: "Anakkon hi do hamoraon di ahu"--anak-anak harus mendapatkan pendidikan terbaik, tanpa membedakan perempuan atau laki-laki.
Menjelang perkuliahannya selesai tak ada lagi barang berharga yang bisa dijual. Bahkan belakangan ini, saya harus menahan diri tidak pergi ke restoran bayar sendiri!. Pesan saya selalu:"Usahakan jangan terlambat lulusnya ya sayang" .
Doa dan air mata, itulah senantiasa membuat saya dan istri bersemangat dalam keadaan yang sangat terbatas.
Ibarat bermimpi, ternyata tak terasa, kami sudah tiba di "ujung"!.
"Saya sudah lulus meja hijau, Pak. Wisuda nanti Juni, "katanya beberapa bulan lalu. Lega. Tetapi sedih karena tidak ada hadiah yang bisa kuberikan, kecuali doa dan kata-kata yang membesarkan hatinya..
Semangat dan doa membuat kita kuat menghadapi apapun persoalan dan tantangan hidup. Kita diberi kebijaksanaan melakukan yang terbaik bagi anak-anak!
Terima kasih Tuhan, semua Engkau buat indah pada waktunya.
Buat putriku Devee: orang tuamu akan selalu mendoakanmu dari jauh sayang!.
Kejujuran, ketekunan, kerendahan hati, kerja keras dan doa adalah kunci sukses. Semoga Devee tetap berada di jalur yang selama ini kita tempuh, di tempat kerja!
Ingat ya sayang: "Sukses bukan karena kamu menjadi orang kaya, berkuasa, tetapi karena kamu berhasil menjadi orang yang baik!". Orang tua akan bangga kalau anak-anaknya disenangi banyak orang, karena kebaikannya, bukan karena kekayaannya atau kekuasaannya..
Terima kasih buat bere kami Grace Sibarani, yang beberapa bulan terakhir membuat tulang yakin, karena tinggal dekat dengan bontotku!. Grace menjadi tempatku bertanya, orang yang kupercaya dan paling tau tentang keberadaan bontotku ini.
Teman sejati adalah teman yang hadir pada saat kita susah. Grace; Kau baik sekali nang, Tuhan akan membalas kebaikanmu!. Tuhan memberkati kalian ya nang:
Terima kasih untuk kedua kakak bontotku, Clara, dan Patricia, putri adikku Christin serta kedua menantuku yang senantiasa memonitor keadaan bontotku, memberi bantuan moril bahkan material dan tempatku bertanya selama dia kuliah jauh di luar Jakarta.
Medan, 15 Juli 2015.