My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun" (Harian Analisa, 22 Januari 2013)


Oleh: Jannerson Girsang.

Sukses seorang wartawan bisa diukur dari berbagai sudut pandang. Harmoko misalnya, dari kariernya menjadi wartawan bisa menjadi menteri Penerangan di masa Orde Baru, Dahlan Iskan, selain sukses menjadi pengusaha media, juga berhasil menduduki jabatan Menteri di Kabinet Bersatu Jilid 2 Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Karny Illias sukses menjadi wartawan media cetak, di era media televisi berjaya, juga sukses menjadi seorang pembawa talkshow Jakarta Lawyers Club (JLC) di salah satu media televisi swasta.
Ali Soekardi, tidak memiliki sukses setenar mereka. Dia terpanggil menjadi wartawan sejati. Menulis cerpen, artikel-artikel dengan berbagai sudut pandang dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Analisa hingga mencapai usia delapan puluh tahun. Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Kekayaannya adalah pengalaman dan daya ingatnya yang kuat. Dia menjadi saksi sejarah perjalanan pers di daerah ini. Di saat kebanyakan orang beristirahat menikmati masa tuanya, dia memilih aktif sebagai wartawan, penulis dan memegang jabatan penting di jajaran redaksi.

Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku para wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi.

Dari seorang pria berusia 80 tahun itu, saya dan para pembaca Harian Analisa masih menikmati tulisan-tulisannya dan bisa menemuinya dari pukul 09.00-12.00 di ruang kerjanya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Analisa di Jalan A Yani Medan. Dia kaya akan ide dan karyanya membuat para pembaca kaya ilmu. Tentu berbeda dengan koruptor yang hanya mampu membagi-bagi uang menjadikan orang kaya dari hasil curian.

Acara Sederhana dan Hikmat

Hadir di tengah-tengah kesederhanaan peluncuran buku biografi seorang wartawan senior menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai mantan wartawan.

18 Januari 2013, beberapa hari setelah Ulang Tahunnya ke-80, sebuah perhelatan digelar di ruang pertemuan Badan Perpustakaan Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara (Baperasda Sumut). Dari pintu masuk ruangan tampak di dinding sebelah kanan (Baperasdasu) sebuah spanduk dengan tulisan: "Peluncuran Buku 80 Tahun Ali Soekardi: Semangat yang tak Kunjung Padam".

Ruangan yang dipenuhi sekitar 50-an undangan terdiri dari penulis, wartawan, serta para tokoh-tokoh di Provinsi ini, serta istri, anak-anak dan cucu-cucunya keluarga besarnya menanti acara peluncuran dan berharap akan menguak misteri kehidupan Ali Soekardi dalam buku.

Di antara para undangan yang hadir diantaranya Muhammad TWH, Mohammad Yazid (mantan Ketua PWI Sumut), War Djamil (wartawan senior Harian Analisa), Parlindungan Purba, SH (Anggota DPD utusan Sumut), Saiful Syafri (mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemprovsu), Chandra Silalahi (Sekretaris Baperasda Sumut, Sofyan Tan (Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia, IPI), JA Ferdinandus seorang pegiat pluralis, serta para penulis di Sumatera Utara.

Di spanduk yang terpampang di dinding, terlihat wajah masa mudanya di sampul depan buku. Wajah yang memancarkan pria yang lembut dan melankolis. Tetapi, di balik penampilan luarnya, Ali Soekardi adalah seorang "kamus berjalan" yang menjadi saksi sejarah khususnya sejarah pers di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya.

Di tengah-tengah acara, para cucunya menghadiahkannya sebuah karikatur tentang dirinya. Ali Soekardi tampak bahagia dan menciumi satu-satu anggota keluarganya. Istrinya Soemiati menyaksikannya dengan rasa bangga dan haru.

Sebelumnya, menyambut Ulang Tahunnya ke-80, Harian Analisa juga menggelar acara di kantor Harian terbesar di Medan itu. Kamis (17/1) di ruang lantai 4 kantor Analisa suasana tidak seperti biasa. Ya, ada acara khusus. Syukuran sekaligus peluncuran buku "80 Tahun Ali Soekardi, Semangat yang Tak Pernah Padam".Acara itu dihadiri langsung unsur pimpinan "Analisa" yakni Pemimpin Umum Supandi Kusuma, Pemred H. Soffyan, Managing Editor Paulus M. Tjukrono, Pemimpin Perusahaan Sujito Sukirman dan Sekretaris Redaksi War Djamil serta para redaktur/asisten, wartawan dan karyawan. (Harian Analisa, 18 Januari 2013).

Membaca Menumbuhkan Minat Menulis

Selama tiga jam, berlangsung diskusi proses penulisan buku serta tanggapan para undangan terhadap buku itu. Kisah penulisan buku ini sendiri cukup menarik. Berawal dari selembar catatan seorang cucunya, Rizal Surya, Redaktur Harian Analisa, kemudian merangkai perjalanan hidupnya menjadi sebuah buku biografi setebal 157.

Buku biografi Ali Soekardi membawa kita ke kehidupan masa kecilnya yang cukup berliku. Pria kelahiran Tebing Tinggi 4 Januari 1933 adalah anak pasangan B Soekardi dan Warisah. Dia lahir ditengah keluarga yang memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan demi pendidikan anak-anaknya, ayahnya harus meninggalkan pekerjaannya sebagai "kerani" di perkebunan karet di pedalaman dan menjadi pedagang kecil di Tebing Tinggi. Alasannya, meski pendapatan di sana lebih besar, tetapi di tempatnya bekerja tidak tersedia sekolah.

Ali Soekardi menyelesaikan Sekolah Rakyat (Holland Inlandsche School, HIS) di Tebing Tingggi. Ayah yang kini dikaruniai tujuh orang anak dan 12 cucu ini, menempuh pendidikan SMP di Pematangsiantar. Selama belajar di Pematangsiantar, membaca menjadi bagian hidupnya semasa sekolah di sana. Warung yang menyediakan buku-buku bacaan untuk disewa menjadi tak terpisahkan dari kehidupannya. Perkembangannya kemudian, dia tidak hanya membaca buku-buku saja, tetapi sudah mulai membaca surat kabar.

Minatnya menulis telah tumbuh di era 40-an. "Ali ingin sekali menjadi pengarang seperti pengarang buku yang dibacanya. Ia menganggap para pengarang adalah orang pintar karena mampu menulis dengan baik,"demikian buku Biografinya.

Di usia remajanya, Ali Soekardi mulai menulis lelucon, teka-teki dan sajak dan dimuat di Dukasusi (Dunia kanak-kanak Sumathora Shimbun, sebuah harian yang terbit di masa penjajahan Jepang. Meski tinggal di Tebing Tinggi, tetapi Ali sudah mengirimkan tulisan-tulisannya ke Majalah Indonesia di Jakarta, kemudian Majalah Waktoe di Medan.

Dia cukup bangga ketika cerpen pertamanya dimuat di Majalah Waktoe—majalah berita bergambar yang terbit di Jakarta pada 1948, atau di usianya 17 tahun. Sayangnya, Ali kurang berhasil dalam pendidikannya. Karena tidak menguasai Aljabar dan Matematika, dia tidak bisa naik kelas di IMS (Indishce Middle Barre School), setingkat SMP di Pematangdiantar. Tidak lulus, bukan berarti sekolah dan kariernya berhenti.

Atas ajakan seorang gurunya yang mendirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Medan, Ali Hijrah ke Medan dan menjadi titik balik penting dalam kehidupannya kemudian. Dia menyelesaikan SMEP dan SMEA di Medan.

Kemudian hijrah ke Bandung melanjutkan sekolahnya. Awalnya diterima sebagai pegawai di Bank Tabungan Pos, tetapi pekerjaan itu ditinggalkannya karena kemudian diterima di Akademi Pos. Kuliahnya di Akademi Pos, ternyata tidak segairah minatnya untuk menulis. Selama kuliah di Bandung, Ali lebih tertarik untuk merangkai kata-kata menjadi cepen dan dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung.

Karier Jurnalistik

Karier jurnalistiknya diawali dengan menangani rubrik "Pentas" di Harian Waspada, kemudian Tabloid Waspada Taruna, Mimbar Teruna (dibredel pemerintah Orde Orde Lama), Harian Angkatan Bersenjata (selama sebulan), pindah lagi ke Mingguan Gelora Angkasa (milik Angkatan Udara) tutup. Dia seangkatan dengan Bokor Hutasuhut, seorang penulis terkenal daerah ini.

Selain menjadi wartawan, Ali Soekardi juga menulis buku dari karya-karyanya yang pernah diterbitkan. Tahun lalu Ali Soekardi meluncurkan buku berjudul: Catatan Kenangan, kumpulan tulisannya di harian Analisa dan mengisahkan pengalamannya di lapangan sebagai wartawan.

Dua pembahas J Anto dan War Jamil serta beberapa kata sambutan menggambarkan Ali Soekardi sebagai orang yang sangat dispilin, selalu membuat catatan peristiwa, teliti memeriksa bahasa dan akurasi berita, memilik pengetahuan yang luas, serta keingingannya untuk belajar melalui membaca. Menulis berita atau artikel adalah mengangkat soal kemanusiaan. Sebuah sikap yang seharusnya dimiliki para penulis dan wartawan.

Ali Soekardi terpanggil menjadi wartawan. Profesi wartawan bagi Ali Soekardi sudah merupakan fitrah bagi dirinya. "Ia sudah menjadi pegawai bank, kemudian sekolah di akademi pos, namun panggilan jiwanya tetap menjadi wartawan," ujar J Anto, seorang pengamat media dan penulis di Sumut.

Selama karier jurnalistiknya, Ali Soekardi telah menjelajah berbagai Negara di dunia ini. Pernah berkunjung ke Malaysia dan diterima PM Menteri Negara Itu, Tun Abdul Razak, mengunjungi Jerman, ke Harian Asahai Shimbun harian kedua terbesar di Jepang, ikut dalam delegasi Sumut dalam Pertemuian Kerja Sama Melayu Islam ASEAN di Bankok, berkunjung ke Mesir bersama rombongan PWI Sumut dan lain-lain.

Dia juga menerima berbagai penghargaan seperti Pemenang Pertama Sayembara Menulis Tajuk Rencana dari Gubernur Sumut EWP Tambunan. Atas jasa-jasanya dan dedikasinya dalam pengembangan Seni dan Budaya, Ali Soekardi mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar (1998). Tentunya masih banyak penghargaan lain yang tak sempat disebutkan disini.

Ali Soekardi adalah seorang wartawan yang rendah hati. Pengalamannya yang malang melintang di dunia jurnalistik tiga zaman ini hanya merendah. "Saya merasa hanya wartawan biasa saja sama seperti yang lain,"ujarnya dalam sambutan singkatnya mengawali peluncuran buku tersebut.

"Saya sangat mengagumi Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Belum ada yang menyaingi keberanian mereka mengritik dalam tulisan-tulisannya," ujarnya dalam pembicaraan singkat, usai acara peluncuran bukunya.

Dia mengungkapkan dalam bukunya, kunci menjadi seorang wartawan sukses adalah ada motivasi untuk maju dan berkembang. "Caranya adalah terus belajar dan membaca. …Wartawan yang baik harus belajar ndan membaca. Membaca apa saja, sebab wartawan harus tau perkembangan zaman. Wartawan yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan mati sendiri".

Apa yang mendorongnya terus melakukan pekerjaan menulis dan jurnalistik? Di dalam pikirannya, pengarang atau penulis adalah orang-orang pintar, menulis membuatnya mempertahankan dirinya pintar dan tidak pikun. "Kalau kita terus membaca dan menulis, maka kita tidak pikun,"ujarnya.

Makna lain dari buku ini adalah pentingnya para wartawan mendokumentasikan perjalanan dan pengalaman wartawan seniornya. Salut buat penulisnya Rizal Surya, Redaktur Analisa. Buku tersebut terdiri dari empat bagian besar. Bagian Pertama merupakan pengalaman Ali Soekardi sepanjang 80 tahun usianya. Bagian Kedua adalah Ali Soekardi di mata rekan sekerjanya di Harian Analisa: Mulai dari H Sofian, H War jamil. Idris Pasaribu, H. Agus Salim, H Hermansyah, H Ali Murthado, Sugiatmo. Bagian Ketiga adalah Ali Soekardi dimata pengamat media seperti: Muhammad TWH, Muh Jazid dan J.Anto. Bagian keempat: Ali Soekardi di mata empat anggota keluarganya mewakili 7 orang putra-putri dan menatu serta 12 cucunya.

Selamat buat Harian Analisa yang menelorkan para penulis dan wartawan handal di Provinsi ini. Semoga para penulis lain tertarik menulis perjalanan hidup para wartawan-wartawan dan penulis di daerah ini. ***

Penulis adalah kolomnis dan penulis biografi, tinggal di Medan.

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa,  Selasa, 22 Jan 2013


Indonesia Bebas Narkoba 2015 (Medan Bisnis, 31 Januari 2013)



Oleh: Jannerson Girsang

DI tengah-tengah bangsa ini berjuang menuju Indonesia bebas narkoba, Bangsa Indonesia dikejutkan oleh peristiwa penggrebekan rumah seorang presenter terkenal, Rafi Ahmad, karena diduga mengadakan pesta narkoba.

Sebanyak 17 orang digelandang ke Kantor BNN. Dua di antaranya adalah idola saya, Rafi dan Wanda Hamid. Saya sering menyaksikan pria ganteng ini  sebagai presenter di salah satu televisi swasta, dan Wanda Hamid wanita berparas menarik yang selama ini saya kenal vokal menyuarakan keadilan. Saya turut sedih dan prihatin.

Kok idolaku punya teman-teman yang terlibat narkoba ya? Tak nyangka sedikitpun! Tapi, apapun status mereka, nantinya di depan hukum, peristiwa ini perlu saya dan bangsa ini jadikan sebagai pelajaran. Peristiwa ini setidaknya memberi sinyal bagi seluruh bangsa ini dalam dua hal.
Pertama, publik figur (artis dan politisi) yang memiliki banyak penggemar adalah idola masyarakat. Terlepas dari nantinya terbukti atau tidak bagi kedua idola saya ini, seluruh bangsa ini sepakat bahwa artis dan politisi harus bebas narkoba dan menjadi model anti narkoba. Bahkan ketika memiliki teman pengguna dan pengedar narkobapun, mereka harus  melaporkannya ke pihak kepolisian.

Kedua, peristiwa ini terjadi di tengah-tengah usaha seluruh bangsa untuk mencapai target nasional: Bebas Narkoba 2015. Saat bangsa ini sedang memperbaiki citra atas pemberitaan media-media nasional yang banyak melaporkan Indonesia masih menjadi "surga" bagi peredaran narkoba.

Artis dan Politisi: Model Anti Narkoba
Penggerebekan rumah Rafi Ahmat di Jakarta,  Minggu (26/1) pagi, sontak membuat banyak kalangan kaget. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok sendiri tidak percaya, kalau Wandah terlibat narkoba. Dalam benaknya, seorang politisi tak pernah membayangkan punya kaitan dengan penyalahgunaan narkoba.

Apa yang saya interpretasi dari benak  A Hok, tentu sama dengan harapan seluruh bangsa ini. Artis dan politisi adalah anti narkoba. Mereka tidak boleh menjadi pengguna, pengedar, atau tindakan apapun yang berkaitan dengan maraknya narkoba. Mereka adalah orang-orang sempurna: cantik atau ganteng, pintar, menjadi teladan. Tentu, tidak pernah menggunakan narkoba.

Rafi selama ini dikenal sebagai presenter kondang. Wanda Hamidah seorang aktivis perempuan yang kemudian menjadi anggota DPRD DKI, dikenal sebagai politisi bersih, pekerja keras dan vokal menyuarakan suara rakyat. Semua penggemarnya akan marah dan rating popularitasnya akan turun, kalau berurusan dengan narkoba.

Menurut Sanusi, Ketua Fraksi Gerindera DPRD DKI, harusnya anggota dewan tak boleh berurusan dengan narkoba. Berpesta sampai larut malam saja sudah bertentangan dengan kode etik dewan. "Terlepas dari itu (narkoba) semua harus sadar, walaupun anggota dewan menurut undang-undang bukan pejabat negara, tapi pejabat publik. Jadi harus menjaga etika. Kejadian seperti ini sangat mencoreng nama dewan. Dan menurut saya, dewan wajib memanggil dia (Wanda). Terlepas dia menggunakan atau tidak, BK wajib memanggil dia, meminta kejelasan," katanya. Tak mudah menjadi publik figur!

Sayangnya, para tokoh di atas tidak belajar dari pendahulunya. Sudah banyak rekan-rekan mereka yang mendapat hukuman berat akibat keterlibatannya tersangkut barang haram ini. Sebut saja beberapa nama seperti Roy Martin, Pedangdut Putri Vinata, Alba Fuad, Iyut Bing Slamet, Revaldo (pemain sinetron Ada Apa Dengan Cinta), Ibra Azhari,  Andhika Kangen Band, drummer grup band P@di, Yoyo dan lain-lain. 

Wanda Hamidah (yang masih dalam pemeriksaan hingga artikel ini ditulis) bukan politisi pertama berurusan dengan narkoba. Sebelumnya beberapa politisi sempat menghiasi media karena keterlibatannya dalam kasus narkoba, seperti Ate Dunggara (Tasikmalaya), Asep Oki Thakik (Karawang).

Kita pantas bersyukur, partai-partai mendukung tindakan kepolisian, serta memberikan sanksi tegas. Mendengar peristiwa penggerebekan itu, Wakil Ketua DPP Partai PAN, Wibowo Drajat mengingatkan akan memberikan sanksi tegas dan berat bagi kader yang terlibat narkoba. "Kalau hasilnya positif, dia langsung dicopot dari DPRD DKI Jakarta," kata Dradjad. Artinya partai PAN sangat anti narkoba.

Sebelumnya politisi yang terlibat narkoba sudah dihukum keras. Ate Dunggara, seorang kader PDIP Tasikmalaya dipecat sebagai anggota DPRD karena positif terlibat narkoba. (Kompas, 4 Januari 2013). Seorang kader Partai Demokrat (PD), Asep Oki Thakik yang duduk sebagai anggota Komisi A DPRD Karawang dipecat dari keanggotaan partai akhir Maret 2012. Pemecatan itu terkait kasus penggunaan narkoba oleh AOT beberapa bulan ssebelumnya. (Pikiran Rakyat, 9 April 2012). 

Mari kita jadikan peristiwa penggerebekan Minggu lalu  sebagai momen mengingatkan kembali seluruh bangsa ini bahwa 2015 adalah Indonesia Bebas Narkoba. Bebas Narkoba tentu bukan berarti tidak ada satupun masyarakat yang menyalahgunakan narkoba.

"Artinya bukan berarti nol. Free itu adalah untuk mencapai jadi ada suatu indikator keberhasilan. Kalau indikator berarti ada angka-angka capaian yang ingin dicapai di masing-masing bidang," jelas Goris Mere, mantan Kepala BNN dalam situs http://dedihumas.bnn.go.id. Saat ini BNN memiliki tiga bidang yakni, pencegahan, rehabilitasi dan bidang pemberantasan.

Seluruh bangsa ini wajib mendukung target bangsa ini: Indonesia Bebas Narkoba 2015. Serta mencatat bahwa :"…., pemberantasan narkoba bukan hanya tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri saja, namun seluruh masyarakat juga ikut bertanggung jawab untuk memberantas narkoba. Mari seluruh masyarakat Indonesia mendukung tugas mulia ini. Jangan beri ruang kepada peredaran narkoba. Semoga!  Penulis adalah seorang kolumnis

Dimuat di Rubrik Wacana Harian Medan Bisnis, Kamis, 31 Jan 2013.

Memaknai Jokowi di Urutan Ketiga Walikota Dunia (Harian Analisa, 17 Januari 2013)


Oleh: Jannerson Girsang.

Jokowi yang kemenangannya menjadi gubernur DKI September 2012 lalu bersama pasangannya Ahok mendapat sambutan paling antusias dari rakyat Indonesia, serta ulasan di harian besar The New York Times, kini menoreh lagi nama emasnya di dunia internasional. Banyak pihak mencitrakan dirinya sebagai seorang pemimpin generasi baru Indonesia.
The City Mayor Foundation menempatkannya di peringkat tiga Walikota Terbaik Dunia, 8 Januari lalu. Sejak berdiri 2003, lembaga yang menyebut dirinya an international think tank dedicated to local government, untuk pertama kalinya, menorehkan nama walikota Indonesia Joko Widodo (ketika itu Walikota Surakarta), di urutan ketiga. Dia berada di belakang Pemenang: Iñaki Azkuna (Bilbao, Spanyol); Runner-up: Lisa Scaffidi (Perth, Australia).

Pemenang-pemenang penghargaan ini tidak hanya berasal dari negara-negara berkembang,tetapi juga dari Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Canada, Swiss, Italia, Australia. Bahkan Ingeris, negara yang menjadi kantor pusat The City Majors, belum pernah tercatat sebagai pemenang.

Secara lengkap, Website City Mayors melaporkan bahwa penghargaan sebelumnya (2004), diberikan kepada: Pemenang: Edi Rama (Tirana, Albania); Runner-up: Andrés Manuel López Obrador (Mexico City, Mexico); Tempat Ketiga : Walter Veltroni (Rome, Italy), 2005: Pemenang: Dora Bakoyannis (Athens, Greece); Runner-up: Hazel McCallion (Mississauga, Canada); Tempat Ketiga: Alvaro Arzú (Guatemala City, Guatemala), 2006: Pemenang: John So (Melbourne, Australia); Runner up: Job Cohen (Amsterdam, Netherland); Tempat Ketiga : Stephen Reed (Harrisburg, USA), 2008: Pemenang: Helen Zille (Cape Town, South Africa); Runner up: Elmar Ledergerber (Zurich, Switzerland); Tempat Ketiga : Leopoldo López (Chacao, Venezuela), 2010: Pemenang: Marcelo Ebrard (Mexico City, Mexico); Runner-up: Mick Cornett (Oklahoma City, USA); Tempat Ketiga : Domenico Lucano (Riace, Italy).

City Mayors Foundation

Didirikan pada tahun 2003, City Majors mendorong para pemimpin kota dari seluruh dunia untuk mengembangkan solusi inovatif dan berkelanjutan jangka panjang tentang masalah perkotaan seperti perumahan, pendidikan, transportasi, dan lapangan pekerjaan. City Majors juga mendiskusikan cara menjawab tantangan lingkungan, teknologi, sosial dan keamanan terbaru, yang mempengaruhi kesejahteraan warga.

Lembaga ini menghargai walikota yang memiliki visi, semangat dan ketrampilannya membuat kota-kota yang dipimpinnya menjadi tempat luar biasa untuk dihuni, bekerja dan dikunjungi.

Menurut website lembaga itu, The City Walikota Foundation tidak memiliki hubungan dengan kota atau organisasi dan menjalankan secara ketat prinsip non-komersial, non-profit. Lembaga ini tidak mencari pendapatan dari sponsorship, iklan, langganan, donasi atau jenis lain dan akan ditolak, jika ditawarkan, demikian website lembaga itu memperkenalkan diri. Anda bisa menilai gengsi penghargaan yang diterima Jokowi.

Proyek World Mayors bertujuan untuk menunjukkan kepada audiens di seluruh dunia pencapaian walikota yang menonjol dan meningkatkan profil mereka secara nasional dan internasional.

Jokowi: Model Pemipin Baru Indonesia

Website www.worldmayor.com menyebutkan bahwa penyelenggara Proyek Walikota Dunia (World Mayor Project) mencari pemimpin kota yang unggul dalam kualitas seperti: kejujuran, kepemimpinan dan visi, kemampuan manajemen dan integritas, kesadaran sosial dan ekonomi, kemampuan untuk memberikan keamanan dan untuk melindungi lingkungan serta kemauan dan kemampuan membina hubungan yang baik antara masyarakat dari latar belakang budaya, ras dan sosial yang berbeda.

Tak berlebihan kiranya kalau penghargaan ini dijadikan sebagai momen menginspirasi generasi muda menciptakan sebuah negeri yang bebas korupsi dan menciptakan pemimpin yang memiliki figur dan integritas, bukan pemimpin yang KKN, mengandalkan uang dan koneksi.

Menurut Harian Tribune Jogya 8 Januari, Jokowi menempati posisi ketiga karena sukses melekatkan citra Kota Surakarta sebagai kota seni budaya. Atas citra tersebut, magnet Surakarta untuk menarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, semakin kuat. Jokowi juga dinilai sebagai politisi paling jujur di Indonesia karena aktif mengampanyekan antikorupsi dan menolak mengambil gaji selama menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Salah satu komentar yang berasal dari Ardi H yang tinggal di luar Indonesia dan diposting dalam website City Majors mengatakan: "Jokowi merupakan representasi dari generasi baru pemimpin Indonesia yang sejak lama ingin keluar dari "dosa" masa lalu korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Melalui pekerjaannya yang sukses bersama dan untuk rakyatnya, ia bisa dikatakan salah satu pemimpin politik yang paling dihormati selain Mr Dahlan Iskan, Menteri BUMN Indonesia. Hatinya memihak orang-orang yang terpinggirkan, kelas bawah masyarakat, sementara kebijakannya juga sangat dihormati oleh para intelektual. Dia membuat perubahan yang luar biasa di kotanya, secara fisik dan moral. Ia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pasangan dengan Ahok, tokoh lain pemimpin muda sebagai wakil.

Jokowi merupakan inspirasi dan harapan bagi Indonesia di seluruh dunia. Rendah hati, sederhana, tapi juga cerdas, inovatif, jujur dan dekat dengan rakyat (approchable). Dia, mudah-mudahan, menjadi model perubahan, dan membawa lebih banyak pemimpin muda untuk menyebarkan kabar baik: Indonesia Baru".

Jutaan rakyat Indonesia menyaksikan reaksi Gubernur DKI Jakarta ini atas pengumuman penghargaan ini. Dalam sebuah siaran televisi swasta Joko Widodo tampak tidak bersikap reaktif menanggapi penilaian sebuah situs internasional yang menempatkan dirinya di posisi ketiga sebagai wali kota terbaik sedunia saat memimpin Surakarta.

Dengan sikap rendah hati pria kelahiran Surakarta 21 Juni 1961 ini merasa penilaian seperti itu biasa saja, dan lebih memilih untuk terus bekerja demi kepentingan rakyat. "Saya kira itu urusan yang memberi penghargaan, saya enggak pernah bekerja dengan penghargaan. Tapi kalau diberi, harus ucapkan terima kasih," ujarnya.

Tidak seheboh beberapa pemimpin di daerah ini. Saat memperoleh penghargaan nasional saja sudah membuat iklan besar-besar di media. Bahkan untuk ulang tahun pejabat saja perlu memasang iklan besar-besar di halaman strategis.

Jokowi lahir dari keluarga sederhana di Surakarta, pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo. Rumahnya di tepi kali tergusur karena pelebaran bantaran Kali Anyar. Sebuah kondisi yang menentang pendapat bahwa pemimpin itu harus kaya dan bisa membagi-bagi duit.

Dengan kesulitan hidup yang dialami, ia terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah dan uang jajan. Saat anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, ia memilih untuk tetap berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji di umur 12 tahun. Penggusuran yang dialaminya sebanyak tiga kali di masa kecil mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya, saat harus menertibkan pemukiman warga. Barangkali pengalaman ini juga mempengaruhi sikapnya yang rendah hati dan dekat dengan rakyat.

Buku Jokowi: Spirit Bantaran Kali Anyar (Elex Media Komputindo, 2012) menggambarkan peraih penghargaan Majah Tempo sebagai 10 Tokoh 2008 ini, sebagai sebagai seorang yang "Kelihatan Bodoh Tetapi Pintar", "Piawi Memainkan Diplomasi", "Tak Ambil Gaji", "Tolak Mobil Dinas".

Karakter-karakter yang langka ditemui di kalangan elit kita sekarang ini. Dalam buku itu Jokowi digambarkan berhasil membuat Surakarta menjadi cantik, kegiatan relokasinya masuk rekor MURI, karena dinilai berhasil memanusiakan rakyat kecil di Surakarta supaya lebih beradab dan sejahtera, mendorong kreativitas anak-anak muda mewujudkan mobil ESEMKA dan segudang prestasi lainnya.

Kita berharap, Jokowi bukan saja menjadi walikota terbaik, tetapi lebih jauh dari itu mampu menginspirasi generasi muda bangsa ini memilih pemimpin berkarakter baik. Bekerja optimal dan memihak kepentingan rakyat. Kita berharap agar Jokowi sukses dalam memimpin DKI, dan menjadi model untuk para gubernur lainnya di Indonesia dan juga di berbagai negara di dunia ini.

Semoga Gubernur Sumatera Utara yang terpilih 7 Maret 2013 mendatang mampu meneladani karakter yang sudah dipertontonkan Jokowi, sehingga rakyat provinsi mampu mengelola kekayaan sumberdaya alamnya bagi kemakmuran seluruh rakyat.

Selamat buat Mas Jokowi dan lanjutkan perjuanganmu dan berpihak kepada rakyat banyak dan keteladananmu menjadi inspirasi khususnya buat para pemimpin dan rakyat di Provinsi Sumatera Utara dan Indonesia pada umumnya.***

Penulis berdomisili di Medan dan penulis Biografi.

Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa,  Kamis, 17 Jan 2013




Kisah Elizabeth P McIntosh: Menyimpan Laporan Jurnalistik Selama 71 Tahun (Harian Analisa, 2 Januari 2013)



Oleh: Jannerson Girsang. 


Elizabeth P. McIntosh, who was a Honolulu Star-Bulletin reporter when Pearl Harbor was attacked in 1941, interviews a U.S. sailor.

Elizabeth P. McIntosh Mewawancarai seorang Angkatan Laut Amerika (Sumber: The New Yorks Times)

Meski laporan atau karya Anda ditolak, simpanlah dengan baik, mungkin suatu ketika akan menjadi dokumentasi yang sangat bernilai. Mungkin perasaan kesal muncul kalau laporan lapangan yang sudah dibuat sedemikian bagus, ternyata kemudian ditolak. Bahkan kadang kita jengkel dan membuangnya ke tong sampah, dan melupakannya. 

Tapi, tidak demikian dengan Elizabeth P McIntosh-seorang mantan wartawan berusia 97 tahun. Dia tetap bersabar dan menyimpan karyanya, walau harus menunggu 71 tahun lamanya. Kisah Elizabeth P McIntosh, wanita kelahiran Washington DC, 1915 itu membuktikannya. Mantan reporter The Honolulu Star ini memiliki pengalaman yang unik. Laporannya dari lokasi serangan Jepang ke Pearl Harbour yang ditolak terbit pada 1941, kemudian diterbitkan oleh salah satu harian terbesar dunia, The Washington Post awal Desember 2012 lalu.

Bayangkan, menunggu hingga 71 tahun. Hebat kan?. Anda dapat menemukan artikelnya dalam artikel berjudul "Reporter"s untold story of Pearl Harbor attack is finally published". Secara lengkap silakan kunjungi website The Washington Post (http://seattletimes.com/html /nationworld/2019849572_ pearlharbor07.html). Kisah ini cukup menarik dan mengingatkan para jurnalis dan mungkin siapa saja untuk menghargai sebuah laporan jurnalistik dan tidak boleh dibuang atau hilang begitu saja. Nafas jurnalis ada di laporan dan tulisan Anda, baik yang sudah dan belum dimuat di media.

Alkisah, Elizabeth P McIntosh pada 1941 berada di lokasi saat terjadinya serangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawai, salah satu basis angkatan laut Amerika Serikat. Dia memiliki catatan jurnalistik dan setelah dikirimkan kepada redaksi, editornya menolak menerbitkannya. Karyanya disebut "Untold Story", kisah yang belum pernah dipublikasikan, dibaca atau didengar siapapun.

Hingga pada 6 Desember 2012, artikel Elizabeth McIntosh diterbitkan dan dilengkapi dengan foto dirinya saat mewawancarai seorang staf angkatan laut Amerika. Dalam artikel itu dia menceritakan suasana seminggu setelah perang, bahwa yang akan dihadapi wanita-wanita di Hawai dan apa yang bisa mereka lakukan.

"Pada 7 Desember 1941, ketika pesawat Jepang menyerang Pearl Harbour, saya bekerja sebagai reporter untuk Honolulu Star Bulletin. Setelah seminggu perang, saya menulis cerita yang ditujukan kepada wanita Hawaii, saya pikir itu akan berguna bagi mereka untuk mengetahui apa yang kulihat. Mungkin membantu mereka mempersiapkan apa yang terjadi di depan mata,"ujar wanita yang kisahnya dibukukan dengan judul: A Woman at War Marlene Dietrich Remembered dan diedit oleh J. David Riva itu.

Dia melaporkan bagaimana bom masih berjatuhan di atas kota sementara ambulans meraung-raung ke jantung kehancuran. Para supir yang berlumur darah kembali dengan cerita-cerita jalan-jalan yang rusak, rumah terbakar, pecahan peluru yang berputar dan menghanguskan tubuh anak-anak. Dia menuliskan seorang gadis kecil dengan sweter merah, tanpa alas kaki, masih menggenggam sepotong mainan lompat tali di tangannya.

Di bagian lain dia mengisahkan petugas pemadam kebakaran dari Hickam Air Force Base membawa korban-korban. Laki-laki diberi tanda T merah. Tubuh seorang pria dengan kemeja monogram, HAD, ditandai DOA (mati pada saat kedatangan, Dead on arrival), disisihkan untuk memberikan ruang bagi korban yang masih bernapas.

Dia melaporkan di ruang gawat darurat ada darah dan rasa takut akan kematian-dan kematian itu sendiri, sementara dokter dengan tenang terus mengobati korban perang yang baru saja terjadi…. "Saya tidak pernah tahu bahwa darah bisa sebegitu merah cerah" kisahnya.

Dia berbicara kepada para pengungsi, perawat, seorang wanita yang ingin mengirim kabar ke kekasihnya "di suatu tempat di Honolulu" bahwa dia masih hidup, …seorang gadis kecil bernama Theda yang memiliki boneka besar bernama Nancy dan yang mengatakan kepadanya dengan suara tenang "Ayah tewas di Hickam."

Di kantor, teriakan-teriakan panik dari beragam wanita- ibu rumah tangga, stenograf, ingin tahu apa yang bisa mereka lakukan di siang hari, ketika suami dan saudara sedang pergi dan tidak ada yang tersisa kecuali untuk mendengarkan radio dan membayangkan bahwa neraka pecah di seluruh bagian lain dari pulau itu.

"Saat itulah saya menyadari betapa pentingnya perempuan bisa berada di dunia yang dilanda perang. Ada pekerjaan bagi setiap wanita yang dapat dilakukan di Hawai" kata Elizabeth yang sudah menulis empat buku itu.

Hanya saja laporan dalam penilaian The Washington Post sebagai reportase deskriptif nomor satu, tidak demikian di mata editornya di The Honololu Stars Bulletin. Justru editornya tidak menerbitkannya, kecuali mengatakan "terlalu grafis".

"Tapi editor saya berpendapat konten terlalu grafis (jelas seperti keadaan yang sebenarnya) bisa mengganggu pembaca dan memutuskan untuk tidak menerbitkan artikel saya," katanya, seperti dikutip The Washington Post dalam pengantar.

Karya Jurnalistik merupakan catatan peradaban manusia yang memberi kontribusi atas pemaknaan sebuah peristiwa. Langkah The Washington Post menerbitkan artikel yang ditulis 71 tahun lalu itu memberi makna betapa berharganya sebuah laporan jurnalistik dari lapangan. Sebuah kisah yang belum pernah didengar dunia.

"One feels the excitement of hearing an untold story", demikian kata John Hope. Itulah kekuatan artikel Elizabeth McIntosh. Karya reporter Elizabeth P McIntosh yang ditulis dan disimpan selama 71 tahun ini masih memiliki nilai yang tidak kecil.

Dampaknya, jutaan penduduk dunia, kini kembali menikmatinya, seolah berada di lokasi itu 71 tahun yang lalu. Merasakan penderitaan akibat serangan itu.

Bagi Elizabeth sendiri tentu bermakna khusus. Di usia uzurnya dimana kebanyakan orang sudah dilupakan, Elizabeth P McIntosh yang kini berusia 97 tahun itu disebut-sebut dalam banyak media. Dirinya menjadi topik pembicaraan-dalam arti yang positif, mengenang peristiwa menyedihkan diri. Namanya disebut-sebut mengenang serangan Pearl Harbour hun serangan Jepang ke Pearl Harbour-peristiwa yang memicu Amerika terlibat dalam Perang Dunia Kedua, yang membuat jutaan penduduk dunia merana. Amerika sendiri kemudian melumpuhkan Jepang setelah menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki yang menelan korban ratusan ribu manusia dan membawa dampak kerusakan yang luar biasa.

Selain itu, laporan itu membuat media yang menolak memuatnya, seolah hidup kembali. Sebagai bahan pengetahuan, The Honolulu Star Buletin yang berbasis di Honolulu dan berdiri 1912 itu sudah tidak terbit lagi sejak 6 Juni 2010.

The Honolulu Star Bulletin merupakan media yang pertama memberitakan penyerangan Jepang Atas Pearl Harbour. Peristiwa yang dalam pelajaran Sejarah Dunia di SMP sebagai awal keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua.

Meski media itu sudah almarhum, namun kisah-kisah yang melekat pada para wartawannya memiliki kekuatan untuk membuatnya seolah hidup kembali. The Honolulu Star Bulletin kembali dibicarakan orang. Reporter bukan hanya buruh atau pegawai biasa. Nafas media ada di tangan reporter. Roh sebuah media bisa hidup kembali melalui kisah yang melekat dalam diri wartawannya.

Pengalaman Elizabeth McIntosh menasehatkan kepada setiap jurnalis agar tetap menyimpan laporan-laporannya, karena karya jurnalistik Anda memiliki roh yang bisa menginspirasi manusia sekeliling Anda dan dunia ini. Mungkin bukan sekarang, bisa sepuluh, dua puluh atau 71 tahun yang akan datang. Para pemilik media hargailah karya-karya wartawan-wartawan Anda, hargai wartawan Anda, karena mereka adalah roh media Anda.***

Penulis adalah Penulis Biografi, tinggal di Medan
Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, Rabu, 02 Jan 2013